Aku dan Sara duduk pada bangku yang tersedia menghadap altar di depan sana. Sesaat, aku berpikir tentang seperti apa pernikahan sebenarnya. Apakah harus dipenuhi banyak orang sebagai saksi atau perayaan besar?
Menilik latar belakang Sara, aku sempat merasa terlalu kejam memberinya momen pertama yang lebih rendah dari kata sederhana. Namun, sepanjang perjalanan dia terus mengiakan perkataanku mengenai tanggung jawab yang bisa kuampu.
Dan ..., berakhirlah kami di sini, menunggu pastur yang disebutnya sebagai paman selesai memberi pengarahan di dekat nyala lilin yang berjejer.
"Ada apa? Tumben Sara ke sini lagi selain kebaktian?" Senyum menenangkannya selalu menyambut kami beserta tangan terbuka, merangkul bersamaan ketika aku dan Sara turut berdiri.
"Sara mau nanya tawaran Paman tempo hari?"
Ucapan Sara ternyata langsung mendatarkan raut wajahnya. Tatapan Romo Beni berali
Aku mempertimbangkan, mengetuk-ngetuk pelan pintu di depan mata meski tahu tombol bel di samping tinggal tekan. Ragu meminta bantuan Abah untuk urusan sepelik ini. Kulekatkan jaket yang tidak diritsleting hingga menutupi leher. Sekadar mengurarangi kecanggungan yang masih mendera. Kakiku pun turut mengetuk lantai. Gelengan kepala mengawali keraguan. Aku berbalik menjauhi pintu, turun dari pelataran dan berhenti melangkah karena panggilan yang terdengar dari akses jalan di depan. Pria tua yang aku cari tampak turun dari mobil penumpang dan bergegas menghampiri. "Berapa kali Abah bilang jangan ke sini dulu?" "Aksa juga enggak bakal ke sini kalau bukan sesuatu yang penting." Rahangku mengeras, menahan kertakan gigi yang geram. Kepalan tanganku menguat di samping tubuh. Ingin menantang tatapannya, tetapi kepala ini justru menunduk lemah. Kulangkahkan lagi sepatu melalui jal
Pikiranku masih beradu dengan pembicaraan di rumah Abah. Meski berada di sisi Sara saat ini, menunggunya mempersiapkan apa aja yang perlu kulakukan dalam dapurnya, isikepalaku justru mengulang kejadian beberapa hari silam. "Kalian masih terlalu muda kalau berpikir rumah tangga itu gampang. Aksa yakin ingin bertanggung jawab?" tanya Abah setelah berisyarat pada putrinya untuk pindah ruangan. Kea memang mengangguk, tapi gerutuannya benar-benar membuatku harus mengulum senyum. Dia protes, sepertinya karena ingin tahu urusan kehamilan Sara dan reaksi keluarganya. Aku ... mengetuk jemari di pinggiran meja, lalu menegakkan punggung seketika saat istri Abah turut bergabung dengan duduk pada kursi di samping pria tua itu. "Kenapa, Pak?" tanya si ibu, terlihat heran dengan membekunya suasana di antara kami tanpa pembicaraan lanjutan. Hanya aku dan Abah saling berisyarat diam.
"Aksa?" Sara bersandar di bahuku, mengeratkan pelukan di depan perutku ketika kami melalui terpaan angin di sepanjang perjalanan berkendara. "Masih sakit?" Jelaslah sakit. Dapet tamparan keras dari mamanya Sara yang enggak pake rem dan nyuruh aku keluar dari rumahnya. Buatku lucu, sih. Cuma kayaknya malah jadi drama buat Sara. "Enggak. Enggak apa-apa. Udah biasa," tanggapku tanpa melepaskan pandangan dari jalan raya di hadapan. Emang udah biasa. Terakhir kena pukul aja, aku masih bisa ngelawan. Masalahnya kalau perempuan udah emosi, enggak mempan ngejelasin apalagi ngebalas perlakuan dengan kekerasan. Cara termudahnya ya ... ngabur. "Maafin Mama, ya?" pinta Sara yang terdengar di antara desing angin. Aku mengangguk, biar keliatan paham dengan maksudnya. Maafin gimana coba kalau ke depannya bakal jadi besan? Sayangnya, aku bukan tipe pemaaf kalau misalnya ini berulang. "
Ngebawa Sara ke rumah Abah? Enggak heboh-heboh banget. Saling sapa berlanjut perkenalan, dan ... Ibu yang antusias tanya-tanya soal kehamilan. "Kapan kalian pertama kenal?" Pertanyaan sama yang pernah diajukan Romo Beni tempo hari juga dimulai Abah. "Emm ..., Aksa?" Sara menggigit bibir bawahnya seraya melirikku di meja perjamuan keluarga. Seperti yang kuduga, masakan Ibu emang seenak aromanya di awal berjumpa. Mi goreng buatannya yang penuh rempah malahan menggantung di selipan bibir ketika mendengar panggilan Sara. Kugigit potongan mi dan mengambil tisu untuk mengelap sisa bumbu di bibir sebelum bicara. "Ketemu pertama waktu Sara dikejar wartawan, tapi kenalnya pas Aksa baru pindah sekolah." "Pindah?" tanya Ibu. Aku mengangguk. Peganganku pada garpu menggantung karena melihat tatapan tiap orang tertuju padaku. Sempat mikir, aku terkekeh sebelum menjawab, "Iya, sedikit masalah kecil. Daripada kelamaan dirundung terus, T
Sepatu putih mendarat di atas mejaku diiringi bentakan. "Keluar lo!" Setelah dilihat pemiliknya, aku rasa bisa ngerti kalau kali ini bermasalah karena urusan apa. Sara lagi. Ingat salah satu fansnya yang ampe nembak dulu waktu aku lewat kelasnya? Kenapa pake ditolak coba? Dari segi postur, fans Sara yang ini enggak sebuluk cowok di meja sebelah. "Siapa, Sa?" Tuh, baru diktain buluk, Kalan udah sok galak aja waktu nurunin kaki bersepatu dari mejaku. "Enggak pa-pa. Cuma adik kelas." Aku menggeser kursi mundur biar bisa berdiri dan memanggul ransel. Syukurnya si tukang cari masalah datangnya pas udah sepi. Tinggal beberapa siswa yang sibuk bersih-bersih karena piket dan berhenti bergerak mendapat tontonan gratis. "Perlu bantuan?" Kuabaikan tawaran Kalan dengan menggesernya. "Aman." Kuacungkan jempol ke ar
Satu minggu dari waktuyang dijanjikan, Romo meminta pertemuan dan di sinilah keluargaku, ralat, aku dan keluarga Abah berada. Dalam pondokan resto yang Sara pesan khusus untuk memperkenalkan keluarga dari pihak papanya. Meja bundar lesehan dengan penghias petromaks imitasi pada dinding bambu sekeliling kami dan berbagai hidangan lokal yang kutebak berasal dari wilayah Jawa, entah Jawa mana kalau lihat ada beragam sate dari bumbu kacang sampai santan kuning. Belum lagi berbagai manisan yang dari aromanya bisa ditebak sebagai olahan singkong dengan toping gula merah dan kelapa parut. Percakapan yang terdengar di antara mereka pun sebagian besar aku enggak ngerti. Sumpah. Paling banter pas Abah nanya, "Pripun kabare?" Berasa lagi di planet antah berantah karena melongo sendirian. Ujungnya, aku sibuk sendiri nyobain makanan yang tersaji sementara Sara masih betah ngeliatin aku sambil nahan ketawa dengan nutup mulut.
Janji pernikahan secara pribadi? Ya, ternyata enggak sulit buat saling berjanji. Kesulitan terbesarnya justru memegang janji itu sementara enggak banyak orang yang tau. Belum lagi permintaan Abah buat meresmikan ikatan kami lebih cepat di mata hukum.Lucu aja gitu. Abah sama Ambu mendaftarkan pernikahan mereka secara hukum dengan sah, tapi enggak secara agama. Di kepercayaan kami emang enggak ada istilah poligami. Di luar istri pertama, hukum secara gereja tetaplah zina. Cuma di zaman sekarang hal kayak gini udah enggak tabu lagi.Sara mengikutiku ke kamar kos. Meski secara agama dia menjadi pasanganku, tetap aja masih belum ada bukti riil buat ngehindarin penggerebekan sambil menunggu surat pernyataan dari paroki, gereja yang membawahi Romo Beni.Sebelumnya enggak takut digerebek?Ya takut, lah. Takut diusir, sedangkan belum nemu rumah buat pindah. Apalagi orang tuanya Sara kayaknya punya pengaruh dari gaya hidup mereka yang terlihat benefit setiap keluar da
Bangun tidur ngerasa remuk? Bener. Meski cuma sekali, kuakui semalam itu terlalu lama. Mungkin dua-tiga jam baru tuntas. Ah, bodohnya. Kurentangkan kedua tangan dan kaki menjauhi tubuh sejauh mungkin, kemudian sadari sesuatu menghilang. "Sara?" Aku beranjak, menarik celana dalam dari pinggir kasur, mengenakannya seraya memanggil nama istriku berkali-kali. Istri? Mengucapkannya aja buatku ngerasa lucu. Enggak nyangka aja gitu semuanya berlalu dengan cepat seolah skenario yang Tuhan berikan tanpa rintangan berarti. Mulus. "Ra? Lo di mana?" Aku sampai perlu mengetuk pintu kamar mandi dan mendapati Sara menunduk, duduk di atas toilet tertutup. "Kenapa, Ra?" Jongkok di hadapannya, kupegangi wajah Sara agar melihatku. Matanya sembab, memerah "Lo nangis?" Sara menepis tanganku. Dia kembali menunduk. "Fleknya keluar lagi, Sa. Darahn
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la