Satu minggu dari waktuyang dijanjikan, Romo meminta pertemuan dan di sinilah keluargaku, ralat, aku dan keluarga Abah berada. Dalam pondokan resto yang Sara pesan khusus untuk memperkenalkan keluarga dari pihak papanya.
Meja bundar lesehan dengan penghias petromaks imitasi pada dinding bambu sekeliling kami dan berbagai hidangan lokal yang kutebak berasal dari wilayah Jawa, entah Jawa mana kalau lihat ada beragam sate dari bumbu kacang sampai santan kuning. Belum lagi berbagai manisan yang dari aromanya bisa ditebak sebagai olahan singkong dengan toping gula merah dan kelapa parut.
Percakapan yang terdengar di antara mereka pun sebagian besar aku enggak ngerti. Sumpah. Paling banter pas Abah nanya, "Pripun kabare?"
Berasa lagi di planet antah berantah karena melongo sendirian. Ujungnya, aku sibuk sendiri nyobain makanan yang tersaji sementara Sara masih betah ngeliatin aku sambil nahan ketawa dengan nutup mulut.
Janji pernikahan secara pribadi? Ya, ternyata enggak sulit buat saling berjanji. Kesulitan terbesarnya justru memegang janji itu sementara enggak banyak orang yang tau. Belum lagi permintaan Abah buat meresmikan ikatan kami lebih cepat di mata hukum.Lucu aja gitu. Abah sama Ambu mendaftarkan pernikahan mereka secara hukum dengan sah, tapi enggak secara agama. Di kepercayaan kami emang enggak ada istilah poligami. Di luar istri pertama, hukum secara gereja tetaplah zina. Cuma di zaman sekarang hal kayak gini udah enggak tabu lagi.Sara mengikutiku ke kamar kos. Meski secara agama dia menjadi pasanganku, tetap aja masih belum ada bukti riil buat ngehindarin penggerebekan sambil menunggu surat pernyataan dari paroki, gereja yang membawahi Romo Beni.Sebelumnya enggak takut digerebek?Ya takut, lah. Takut diusir, sedangkan belum nemu rumah buat pindah. Apalagi orang tuanya Sara kayaknya punya pengaruh dari gaya hidup mereka yang terlihat benefit setiap keluar da
Bangun tidur ngerasa remuk? Bener. Meski cuma sekali, kuakui semalam itu terlalu lama. Mungkin dua-tiga jam baru tuntas. Ah, bodohnya. Kurentangkan kedua tangan dan kaki menjauhi tubuh sejauh mungkin, kemudian sadari sesuatu menghilang. "Sara?" Aku beranjak, menarik celana dalam dari pinggir kasur, mengenakannya seraya memanggil nama istriku berkali-kali. Istri? Mengucapkannya aja buatku ngerasa lucu. Enggak nyangka aja gitu semuanya berlalu dengan cepat seolah skenario yang Tuhan berikan tanpa rintangan berarti. Mulus. "Ra? Lo di mana?" Aku sampai perlu mengetuk pintu kamar mandi dan mendapati Sara menunduk, duduk di atas toilet tertutup. "Kenapa, Ra?" Jongkok di hadapannya, kupegangi wajah Sara agar melihatku. Matanya sembab, memerah "Lo nangis?" Sara menepis tanganku. Dia kembali menunduk. "Fleknya keluar lagi, Sa. Darahn
Ketukan di depan memaksaku meninggalkan potongan sawi di dapur. Saat membuka pintu rumah, kutemukan Kea merengut lebih dulu sambil menarik tali ranselnya dan melihat ke arah taman bunga memanjang di samping. "Aksa?" kejutnya setelah bertemu tatap denganku. Rengutan Kea berganti semringah palsu yang kuketahui setelah mempelajari setiap reaksinya di sekolah atau dalam pertemuan biasa kayak gini. "Hai, Sepupu." Aku menegaskan hubungan di antara kami meski ya ... kadang mikir juga soal kemungkinan Kea curiga karena relasi dadakan kami beberapa minggu terakhir. Belum terbiasa. "Enggak sekolah tadi?" Kea bertanya seraya melewatiku seolah dia menitah kalau aku yang harus menutup pintu. Dia meletakkan sepatu yang dilepas pada rak di dinding dekat pintu utama. Aku mengangguk setelah memutar slot kunci. "Bolos. Enggak belajar juga abis ujian." "Presensi masih jalan kali, Sa." Kea
Pas harinya bagi rapor, tetep aja siswa disuruh bersihin kelas. Gegara jadi siswa cowok yang terakhir berada di kelas, para siswi malah minta bantuanku buat naikkan kursi ke meja sementara mereka nyapu.Kerjaan ... yang piket malah pada ngabur."Kak!""Jurig sia!"Tepukan di pundak seketika buat kaget. Udah haus, capek, kurang tidur karena semalam nemenin anak barunya Nyonya ke klub, pake ketemu makhluk astral pula."Jurig? Ngatain setan nih, ya! Kinar ini, Kak." Tau, kok. Teman sekelasnya Sara yang beberapa kali ketemu di luar sekolah macam penguntit."Salah sendiri dateng kekjurig," keluhku kemudian. Selesai mengangkat semua kursi ke atas meja, kuraih ransel milikku dan melangkah keluar kelas."Kak Aksa." Lah, sijurigmasih ngekor aja."Apa?" Aku berhenti melangkah. Kumasukkan kedua tangan dalam saku celana sementara menghadapinya."Sara beneran hamil anak lo, Kak?"Ken
Sara menunjukkan mangkuk kaca berisi gumpalan merah mengelilingi bola air yang menampilkan citra bayi yang utuh dalam bentuk sangat kecil, bahkan gumpalannya belum mencapai permukaan telapak tanganku. Mungkin sebesar buku ibu jariku."Anak kita, Sa ...." Tangisannya menghancurkan hatiku. Berulang sampai aku sendiri ngerasa perlu keluar.Langkahku berhenti di ujung anak tangga. Setelah mengeluarkan kotak rokok dari ransel, kubakar sebatang di selipan bibir, menghirup asapnya kuat-kuat dan menahan di dalam rongga mulut hingga menguar melalui hidung.Menangis? Enggak.. Biarpun mataku terasa panas, sulit buat nangis saat ini. Rasanya enggak cukup hanya dengan menangis. Kepalan tanganku menguat, menerpa dinding terdekat."Sara enggak bilang soal kehamilan." Via, gadis yang selalui menyertai Sara tiap urusan kerjaan menghampiriku. Gaya berpakaian yang tomboi enggak nutup kejelasan gendernya. "Gue kira kalian baru aja kayak gitu pas di kapal.""Apa urusan gue?
"Ini bini lo?" Nyonya berdiri kaku setelah berhasil masuk kamar. Wajah berpulas riasan yang menyamarkan usianya seketika semringah.Aku mengiakan, mengangguk meski belum tentu dilihat."Artis yang sering muncul di tv, ya." Wanita paruh baya itu langsung duduk pada pinggiran ranjang dan menggenggam jemari Sara yang sedang berusaha bersandar. "Cantik aslinya."Sara bertanya, "Siapa, Sa?" tanpa mengeluarkan suara. Dia menunjuk dan memberi isyarat bingung.Aku berjalan mendekat seraya mengusap tengkuk yang dadakan berasa dingin. Kayak ada setannya gitu yang niup-niup. "Ini ... lo tau lah yang nampung gue selama ini.""Yang losave pakai nama Nyonya?" Suara Sara baru kedengaran, masih serak. Sekeliling matanya pun tampak sembab. Biarpun begitu, Nyonya benar soal satu hal, Sara tetap cantik."Iya, bener." Nyonya lebih dulu menjawab. Dia belum berhenti mengusap punggung tangan Sara. "Tangan artis memang putih, mulus, lembut.
Dua minggu lebih setelah pertemuan terakhir dengan Sara, masih ada dua minggu lebih lagi buat liburan sebelum muncul di kelas dua belas. Aku di mana? Berjemur di pinggir pantai tanpa alas, menikmati matahari sore yang sebenernya enggak panas. Sendirian.Kebiasaan, sih. Hampir enggak punya teman. Kalan sedang mengikuti pertandingan gim, Nabas lagi ambil banyak kerjaan. Aku ... membiasakan diri seperti dulu lagi meski kadang masih kepikiran juga apa yangdialakukan dua minggu terakhir tanpa bisa dihubungi.Ponsel dalam tas pinggang yang melekat bergetar. Layar di sana menampilkan nama kontak dari seseorang yang enggak kuharap. Kea."Lo di mana?" cecarnya tanpa salam atau basa-basi. Bikin aku refleks menjauhkan telinga dari pengeras suara ponsel."Liburan," jawabku setelah memastikan enggak ada suara pengganggu di seberang panggilan."Enggak ngajak-ngajak.""Buat apa?" Aku membenahi kacamata gelap yang meng
"Tapi, Vi, dia megang-megang Sara!" Aku semakin naik darah ketika si pemuda yang sok ngefans itu terus melayangkan alasan enggak masuk akal soal ketidaksengajaan. Jelas-jelas Sara enggak nyaman.Sara bahkan berbisik padaku mengenai gesekan yang terasa di belakang tubuhnya ketika berfoto, tetapi keramaian yang terbentuk menjadi alibinya buat menghindari masalah dengan menarikku menjauhi pinggiran pantai. "Biar Kak Via aja entar yang urus melalui hukum," kata Sara."Artis kayak l**te aja sok gaya! Dipegang-pegang sana mau. Perlu dibayar berapa lo?"Teriakan enggak senonoh dari orang itu memaksaku lepaskan pegangan Sara dan berlari menghajarnya seketika. Kerumunan yang belum mengurai terdengar bertanya-tanya.Enggak. Aku enggak peduli sama sekali. Kepalanku yang semakin mengencang begitu gatal untuk dilontarkan. Tinjuan melayang pada wajah dan perut pemuda itu berkali-kali sampai dia terjerembab di permukaan pasir pantai yang sebelumnya menjadi tempatku bers