Pas harinya bagi rapor, tetep aja siswa disuruh bersihin kelas. Gegara jadi siswa cowok yang terakhir berada di kelas, para siswi malah minta bantuanku buat naikkan kursi ke meja sementara mereka nyapu.
Kerjaan ... yang piket malah pada ngabur.
"Kak!"
"Jurig sia!"
Tepukan di pundak seketika buat kaget. Udah haus, capek, kurang tidur karena semalam nemenin anak barunya Nyonya ke klub, pake ketemu makhluk astral pula.
"Jurig? Ngatain setan nih, ya! Kinar ini, Kak." Tau, kok. Teman sekelasnya Sara yang beberapa kali ketemu di luar sekolah macam penguntit.
"Salah sendiri dateng kek jurig," keluhku kemudian. Selesai mengangkat semua kursi ke atas meja, kuraih ransel milikku dan melangkah keluar kelas.
"Kak Aksa." Lah, si jurig masih ngekor aja.
"Apa?" Aku berhenti melangkah. Kumasukkan kedua tangan dalam saku celana sementara menghadapinya.
"Sara beneran hamil anak lo, Kak?"
Ken
Sara menunjukkan mangkuk kaca berisi gumpalan merah mengelilingi bola air yang menampilkan citra bayi yang utuh dalam bentuk sangat kecil, bahkan gumpalannya belum mencapai permukaan telapak tanganku. Mungkin sebesar buku ibu jariku."Anak kita, Sa ...." Tangisannya menghancurkan hatiku. Berulang sampai aku sendiri ngerasa perlu keluar.Langkahku berhenti di ujung anak tangga. Setelah mengeluarkan kotak rokok dari ransel, kubakar sebatang di selipan bibir, menghirup asapnya kuat-kuat dan menahan di dalam rongga mulut hingga menguar melalui hidung.Menangis? Enggak.. Biarpun mataku terasa panas, sulit buat nangis saat ini. Rasanya enggak cukup hanya dengan menangis. Kepalan tanganku menguat, menerpa dinding terdekat."Sara enggak bilang soal kehamilan." Via, gadis yang selalui menyertai Sara tiap urusan kerjaan menghampiriku. Gaya berpakaian yang tomboi enggak nutup kejelasan gendernya. "Gue kira kalian baru aja kayak gitu pas di kapal.""Apa urusan gue?
"Ini bini lo?" Nyonya berdiri kaku setelah berhasil masuk kamar. Wajah berpulas riasan yang menyamarkan usianya seketika semringah.Aku mengiakan, mengangguk meski belum tentu dilihat."Artis yang sering muncul di tv, ya." Wanita paruh baya itu langsung duduk pada pinggiran ranjang dan menggenggam jemari Sara yang sedang berusaha bersandar. "Cantik aslinya."Sara bertanya, "Siapa, Sa?" tanpa mengeluarkan suara. Dia menunjuk dan memberi isyarat bingung.Aku berjalan mendekat seraya mengusap tengkuk yang dadakan berasa dingin. Kayak ada setannya gitu yang niup-niup. "Ini ... lo tau lah yang nampung gue selama ini.""Yang losave pakai nama Nyonya?" Suara Sara baru kedengaran, masih serak. Sekeliling matanya pun tampak sembab. Biarpun begitu, Nyonya benar soal satu hal, Sara tetap cantik."Iya, bener." Nyonya lebih dulu menjawab. Dia belum berhenti mengusap punggung tangan Sara. "Tangan artis memang putih, mulus, lembut.
Dua minggu lebih setelah pertemuan terakhir dengan Sara, masih ada dua minggu lebih lagi buat liburan sebelum muncul di kelas dua belas. Aku di mana? Berjemur di pinggir pantai tanpa alas, menikmati matahari sore yang sebenernya enggak panas. Sendirian.Kebiasaan, sih. Hampir enggak punya teman. Kalan sedang mengikuti pertandingan gim, Nabas lagi ambil banyak kerjaan. Aku ... membiasakan diri seperti dulu lagi meski kadang masih kepikiran juga apa yangdialakukan dua minggu terakhir tanpa bisa dihubungi.Ponsel dalam tas pinggang yang melekat bergetar. Layar di sana menampilkan nama kontak dari seseorang yang enggak kuharap. Kea."Lo di mana?" cecarnya tanpa salam atau basa-basi. Bikin aku refleks menjauhkan telinga dari pengeras suara ponsel."Liburan," jawabku setelah memastikan enggak ada suara pengganggu di seberang panggilan."Enggak ngajak-ngajak.""Buat apa?" Aku membenahi kacamata gelap yang meng
"Tapi, Vi, dia megang-megang Sara!" Aku semakin naik darah ketika si pemuda yang sok ngefans itu terus melayangkan alasan enggak masuk akal soal ketidaksengajaan. Jelas-jelas Sara enggak nyaman.Sara bahkan berbisik padaku mengenai gesekan yang terasa di belakang tubuhnya ketika berfoto, tetapi keramaian yang terbentuk menjadi alibinya buat menghindari masalah dengan menarikku menjauhi pinggiran pantai. "Biar Kak Via aja entar yang urus melalui hukum," kata Sara."Artis kayak l**te aja sok gaya! Dipegang-pegang sana mau. Perlu dibayar berapa lo?"Teriakan enggak senonoh dari orang itu memaksaku lepaskan pegangan Sara dan berlari menghajarnya seketika. Kerumunan yang belum mengurai terdengar bertanya-tanya.Enggak. Aku enggak peduli sama sekali. Kepalanku yang semakin mengencang begitu gatal untuk dilontarkan. Tinjuan melayang pada wajah dan perut pemuda itu berkali-kali sampai dia terjerembab di permukaan pasir pantai yang sebelumnya menjadi tempatku bers
Kerumunan di foyer sebenarnya sangat-sangat ngeganggu. Aku aja sampai harus menembus para pengabdi berita buat mencapai tangga hingga bintang utama tiba dan menarik semua atensi wartawan. Kilat cahaya hingga pertanyaan-pertanyaan menguar. Benar-benar .... Seumur hidup, aku baru ngeliat hal kayak gini dua kali. Pertama waktu bawa kabur Sara dari restoran, dan ini waktu sedang liburan. Euforia sebuah berita pembelaan diri bisa jadi kriminal dalam sekejap kalau ... dilakuin figur publik. Kayaknya setiap jengkal hidup seorang artis bakal jadi sorotan, ya? "Mbak Sara! Mbak Sara! Bagaimana tuntutan dari pihak Pak Andra yang meminta Mbak Sara meminta maaf atas pencemaran nama baik?" Dari anak tangga tempatku menunggu, pertanyaan serupa terus bergulir. Aku bahkan sampai duduk, memegang teralis horizontal penyusun tangga, turut lakukan hal yang sama seperti orang di sekitarku, menonton. Mungkin kalau aku masuk jajaran fans, menunggu kayak gini bisa ber
"Garini! Buka pintunya! Garini Sarasidya!"Gedoran pintu dari luar sempat membuat mataku terbuka. Namun, lelah yang menguasai membuatku abai. Begitu juga dengan Sara. Dia semakin mengeratkan pelukan seolah takut aku bakal pergi seperti terakhir kali. Mungkin, aku juga mulai bosan dengan keadaan diam-diam kami selama ini."Garini!"Sara mendadak terbangun, menarikku untuk mengikuti. Dari membuka pintu lemari sampai menyuruhku tetap diam di kamar mandi. Dia panik."Sara takut?" Aku terkikik, menyadari tubuh yang terasa lengket setelah peluh semalaman melekat di bawah pendingin ruangan.Di luar terlalu bising. Suara bariton tampaknya mendominasi pembicaraan. Setelahnya seperti pintu-pintu yang dibanting dan berakhir pada gedoran pintu kamar mandi."Buka! Buka atau perlu saya dobrak?" Gagang pintu bergerak kencang, dipaksa membuka. Teriakan Sara dan suara jatuh membuatku berhenti menganggap remeh. Spontan kutarik handuk di kabinet setelah mencuc
Minggu pertama sekolah tuh apa sih yang dihadapi siswa? Perkenalan siswa baru? Perkenalan wali kelas? Banyak rapat guru?Jarang banget seminggu pertama itu langsung belajar. Kayak deretan orang yang ikut nongkrong bareng aku pada bangku di pinggir lapangan. Kayaknya semenjak punyateman, kebebasanku seketika terpasung.Ada Nabas yang milih jongkok di bangku dengan dalih enggak mau belakang celananya kotor. Tau-tau nanya aja,"Ambil kerjaan enggak entar?""Kagak." Masih aja nawarin padahal udah berkali-kali kutolak.Nabas mengeluarkan permen dari sakunya. "Nemenin doang." Kirain bakal ngasih. Iya, bungkusnya doang dititip ke saku seragam.Aku menggeleng, mengembalikan sampah ke sakunya sebelum merentangkan kedua tangan pada sandaran bangku. "Kerjaan lo .... Gue enggak mau ambil risiko." Tatapanku tertuju pada Sara yang berada di puncak piramida tim pesoraknya. Seminggu terakhir latihan fisik ternyata bisa mengurangi efek penambaha
"Kalian bisa lakuin di rumah kali. Bukan di sekolah." Kea muncul di depan pintu dalam keadaan bersedekap, melirik ujung lorong dan kami bergantian. "Syukur gue yang nemuin." "Lo ngapain muncul di sini?" Aku menengahi keberadaan Sara dan Kea, menggenggam tangan Sara keluar dari ruangan. Kea menyejajari langkahku melintasi lorong yang menghubungkan empat kelas di lantai tiga. Enggak kayak sebulan lalu tanpa dinding, gedung ini sudah siap ditempati kalau aja dibersihin kayak lantai satu. "Jaga-jaga. Kali ada adik kelas yang naik ke atas sini." Kea fokus menekuri lantai yang akan dijejaknya. Sesekali tatapannya terlihat ke arah lapangan tempat dua temanku bicara sama teman Sara tadi. "Bikin jantungan aja lo." Kurasakan genggaman Sara menguat. Saat menoleh, aku tertinggal dari Kea karena menaikkan Sara ke belakang punggung. "Mungkin mereka mau mesum juga," timbangku mengingat lorong ini mema
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la