Sudah belasan jam berlalu, namun Rain masih belum juga sadarkan diri. Kondisinya yang memprihatinkan membuat semua orang terdekatnya khawatir.“Kak Ayya, gimana kondisi Rain?” tanya Alana yang baru saja tiba di rumah sakit.”Rain masih belum sadar, Na,” sahut Kanayya tidak bersemangat.”Sabar ya, Kak. Rain pasti bangun. Aku yakin itu.” Alana mengusap pelan pundak Kanayya.Kanayya menjatuhkan kepalanya di sandaran kursi. Sejak Rain dibawa ke rumah sakit, ia nyaris tidak beristirahat. Selera makannya juga menguap hingga membuat badannya lemah. Kanayya takut jika kemungkinan paling buruk itu betul-betul terjadi. Kanayya tidak akan sanggup jika Rain benar-benar pergi dan tidak akan bangun lagi.“Darahnya gimana, Kak? Udah ada?”Gelengan lemah kepala Kanayya dilihat Alana.”Jadi gimana dong? Kalau bener-bener nggak dapet, gimana Rain?” Alana memburu.Kanayya mengusap muka. Ia semakin panik memikirkannya.“Kenapa sih Rain darahnya beda sama kita semua?” keluh Alana. “Kenapa aku, Kak Ayya sa
Setelah mengantar Lady ke ruangan Rain, Kanayya dan suster keluar, meninggalkan mereka hanya berdua.Dari tempatnya duduk Lady memerhatikan Rain tanpa melewatkan seinci pun bagian dari diri laki-laki itu. Rain tampak tenang dalam lelap, namun entah apa yang terjadi di dalam dirinya. Mungkin saat ini Rain sedang berjuang melawan maut dan mati-matian mencoba untuk bangun.Lady memberanikan diri menyentuh tangan Rain. Ia melakukannya dengan hati-hati. Tangan suaminya itu terasa dingin saat kulit mereka saling bersentuhan. “Rain, ini aku, Lady.” Ia berujar pelan.Tidak ada respon apa-apa. Rain tetap di posisi semula. Ya, tentu saja. Rain kan tidak sadarkan diri.”Kapan kamu bangun? Kasihan Bunda. Bunda nggak berhenti nangis mikirin kamu. Aku juga cemas ngeliat keadaan kamu kayak gini. Nggak cuma aku dan Bunda, tapi Alana dan Ale juga. Kami semua sayang sama kamu, Rain…”Ucapan Lady terhenti ketika teringat sesuatu. Ia merasa ada yang salah dengan kalimatnya. Sayang? Benarkah ia sayang p
Kanayya meremas ujung bajunya sambil mengumpulkan kekuatan untuk bicara. Ia menyadari sepenuhnya bahwa tidak mungkin menyembunyikan fakta sesungguhnya dari Rain. Cepat atau lambat Rain harus tahu.Rain merasa aneh melihat muka-muka tegang di hadapannya. Bergantian dipandanginya Lady dan Kanayya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ada apa? Apa ada hal besar yang dirahasiakan darinya?“Ini Bunda sama Lalad kenapa sih diem-dieman kayak gini? Apa ada yang disembunyiin dari aku?” Rain bertanya curiga.Lady dan Kanayya masih membisu ketika Rain menggeser posisinya dan mencoba untuk duduk. Rain merasa ada yang berbeda dengan tangannya yang membuatnya menolehkan mata ke arah itu.Tangannya terasa kaku begitu Rain coba untuk menggerakkannya. Ringisan muncul di wajahnya ketika merasakan perih. Tangannya sakit.“Nda, tangan aku kenapa? Berasa kaku banget dan susah digerakin.” Rain mengadu pada Kanayya.“Iya, Rain, memang begitu. Itu akibat luka tusuk kemarin,” jawab Kanayya pelan.“Ahh, tapi ini s
Rain masuk ke kamar setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar Kanayya padanya. Lady langsung waspada kalau saja Rain akan meledakkan kemarahan.”Lo kenapa? Takut sama gue?” ujar Rain melihat Lady duduk dengan tangan mencengkram permukaan kasur.Lady menggelengkan kepala. Ia tidak bohong. Bukan Rain yang membuatnya ketakutan, tapi kemarahan laki-laki itu.Rain mendekat pelan-pelan. Ia ikut duduk di sebelah Lady. Sesaat diembuskannya napas sembari mencari kata yang tepat untuk membuka obrolan.“Lad…”“Ya?”“Tadi Bunda cerita semuanya sama gue. Jadi gue baru tahu sekarang. Apa bener lo yang donorin darah buat gue?”“Kalau Bunda bilang begitu apa mungkin Bunda bohong?” Lady menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.”Lo jangan berbelit-belit. Gue mau denger dari mulut lo langsung. Lo tinggal jawab iya apa nggak.”“Sepenting apa memangnya jawaban aku buat kamu? Sebesar apa pengaruhnya?””Bawel banget ya lo? Tinggal jawab doang apa salahnya malah pake muter-muter dulu.” Rain geram sendiri m
Lady sontak mengangkat kepala dari atas dada Rain. Sulit untuk memercayai apa yang baru saja ia dengar dari mulut laki-laki itu.“Gimana, Rain? Bisa ulangi lagi?”“Lo nyebelin ya, Lad.”Lady mungkin tidak akan tahu betapa susah Rain untuk mengucapkannya, malah minta diulangi.“Kok nyebelin sih? Aku kan cuma nanya tadi tuh kamu lagi ngomong apa?””Masa lo nggak denger.”“Iya, emang aku nggak denger. Suara kamu terlalu pelan.” Lady berbohong pada bagian ini. Tadi ia mendengar dengan jelas apa yang disampaikan laki-laki itu. Hanya saja Lady ingin mendengarnya sekali lagi.Rain mengesah lelah, mengembuskan napasnya yang berat. ”Gue mau minta maaf atas sikap gue selama ini. Gue banyak salah sama lo.”Hufffttt… Lega sekali mendengarnya.”Itu kamu ngomongnya sungguh-sungguh atau disuruh Bunda?” tatap Lady curiga. Ia masih sulit mempercayai jika Rain yang gengsian, yang egonya tinggi akan meminta maaf padanya apalagi secara tiba-tiba begini.“Emang muka gue nggak kelihatan serius?”Lady menat
Eh, apa? Morning, Love?Lady balas memandang Rain dan membaca setiap detail ekspresi yang terlukis di wajah laki-laki itu.Rain terlihat lembut. Tidak ada kebengisan di wajahnya. Tidak ada amarah di sana. Caranya menatap tidak berubah dan masih serupa dengan saat mereka bercinta kemarin malam. Meskipun merasa lega mengetahuinya namun Lady tetap waswas kalau saja setan dalam diri Rain bangkit lagi.“Kamu udah bangun?” tanya Lady hati-hati pada Rain yang menahan tangannya.”Menurut lo gimana? Kalo gue udah buka mata begini artinya apa?”Senyum mengembang di bibir Lady begitu menyadari pertanyaan bodoh yang baru saja terlontar dari mulutnya.“Aku keluar dulu ya, mau nyiapin sarapan.”“Kan udah gue bilang lo bukan pembantu di rumah ini. Kenapa sih lo doyan banget memosisikan diri kayak gitu?”“Bukannya gitu, tapi kalau bukan aku siapa lagi? Nggak mungkin Bunda atau Tante kamu. Aku juga harus tahu diri.”Rain mengesah menyadari perkataan Lady yang mungkin ada benarnya juga. “Ya udah. Nanti
“Love, tolong tambah airnya dong.” Rain menunjuk gelasnya yang hampir kosong. Saat itu mereka sedang sarapan bersama di ruang makan. Tidak hanya berdua. Ada Kanayya dan Alana juga.“Love?” ulang Kanayya terkejut. Pun dengan Alana. Kedua saudara kandung itu saling berpandangan dengan pikiran tersimpan di kepala masing-masing.Sedangkan Lady merona malu ketika Kanayya dan Alana gantian memandang padanya. Tidak tahu harus menyembunyikan mukanya ke mana. Yang dilakukannya adalah segera mengisi gelas Rain dengan air.”Iya, Nda, ada yang salah?” Rain menanggapi dengan ringan.“Nggak ada yang salah, udah bener kok.” Kanayya tersenyum hangat. Ada rasa bahagia mengalirinya. Meski di satu sisi masih ada perasaan sedih yang melingkupinya akibat musibah yang menimpa Rain, setidaknya begitu banyak hikmah dari kejadian itu. Salah satunya adalah membaiknya hubungan Rain dengan Lady.”Cieee… yang love-love-an.” Alana menimpali menggoda Rain. “Kalau udah sayang-sayangan kayak gini harusnya jangan pake
Rain duduk dengan gelisah di sebelah Ale yang sedang menyetir. Sesekali memajukan badan dan menyandarkan kembali beberapa saat kemudian seakan jok yang didudukinya mengandung ranjau.”Lo kenapa sih sebenernya? Gue nggak yakin lo minta dia pulang cuma karena minta ditemenin makan.””Masalahnya dia udah janji mau pulang jam dua belas tiga puluh, tapi sekarang coba lo lihat udah jam berapa?” Rain berargumen.“Tapi biasanya lo nggak peduli. Sekarang kenapa lo kayak yang care banget?”“Itu dulu, ya beda sama sekarang.”“Emang sekarang gimana?” pancing Ale ingin tahu.“Gue udah baikan sama dia,” ungkap Rain jujur yang menuai cibiran dari Ale.“Jadi lo baikan sama dia karena Sydney udah ninggalin lo?”“Bukan dia yang ninggalin gue tapi gue yang ninggalin dia. Catet!” balas Rain tidak terima.”Whatever. Sama aja. Intinya lo balik ke Lady gara-gara lo putus sama Sydney. Iya kan?”“Bukan.” Rain membantah tudingan Ale.“Nggak usah bohong sama gue. Gue tahu siapa lo.”“Seriusan, bukan itu.” Rain
“Nyet, sekalian lo pesenin untuk Lalad ya,” ujar Rain pada Ale.Ale lantas bertanya pada Lady. “Kalau kamu mau minum apa, Dy?” Lady melirik gelas Zee dan Alana yang berisi cola sebelum memberi jawaban. “Samain kayak Zee dan Alana aja deh,” putusnya.”Oke.”Sejak kehadirannya bergabung bersama mereka, Lady melihat Alana dan Zee tidak banyak bicara. Alana yang biasanya ceria saat ini tampak murung. Hmm, dia kenapa ya?Tidak ingin mencampuri urusan keduanya, Lady tidak bertanya apa-apa. Ia memindahkan perhatiannya pada Rain di sebelahnya.”Rain, nanti minumnya jangan terlalu banyak. Inget, kita lagi tinggal di rumah Bunda, bukan apartemen,” ucap Lady. Khawatir kalau sampai Rain mabuk berat.“Iya, iya, bawel…,” jawab Rain yang untuk kesekian kali mengecup puncak kepala sang istri. “Lagian Bunda nggak bakal tahu, Bunda kan udah tidur,” sambungnya lagi.Rain kemudin beralih pada Alana yang tidak menimpalinya seperti biasa. “Tante kenapa? Aku perhatiin dari tadi cemberut kayak orang lagi sa
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa
Lady diam saja saat Rain terus menceramahinya. Justru sekarang pikirannya hanya tertuju pada seseorang yang jauh berada di benua sana. Lady sudah tidak sabar ingin menceritakan pada Ale mengenai pertemuannya dengan perempuan gipsi tadi. Lady yakin, hanya Ale yang akan memahaminya mengenai pergipsian ini. Sedangkan Rain sudah antipati duluan. Rain bukan pendengar yang baik untuk hal ini.“Kenapa diam aja?” tanya Rain yang baru menyadari jika Lady bungkam sejak tadi dan tidak merespon apa pun yang ia katakan.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” balas Lady.“Emang orang tadi bilang apa aja sih sama kamu?” Meskipun tidak pernah memercayai hal semacam itu namun Rain merasa penasaran juga dan tidak tahan untuk tidak bertanya.Lady ingin berterus terang, tapi merasa ragu. Ia khawatir akan penilaian negatif Rain nanti. Alhasil ia pun mendustai suaminya.”Dia cuma nanya nama aku.”“Terus?””Dia nanya aku berasal dari mana.”“Next?”Lady terdiam untuk sesaat. Apa ya tanggapan Rain jika tahu r
lLady terkikik geli ketika Rain menceritakan padanya mengenai obrolan dengan orang tua Reza. Siapa pun yang tidak mengenal pria itu pasti tidak akan menyangka kalau Reza mengalami gangguan jiwa. Secara kasat mata Reza tampak gagah, sehat, segar bugar dan baik-baik saja.”Bangke emang, bisa-bisanya gue dikerjain orang sakit,” rutuk Rain antara geli serta jengkel.Tawa Lady bertambah keras. Geli melihat Rain saat ini. “Pantes aja dia lebay banget ke aku. Gombalan-gombalannya bikin aku eneg, untung aja aku nggak muntah di depan dia.”Rain menimpali tawa Lady. “Emang dia bilang apa ke kamu?” tanyanya ingin tahu.”Dia bilang aku cantik, mandiri, aku perempuan istimewa, pokoknya ya gitu deh. Kamu ngeliat nggak kemarin waktu di restoran banyak banget makanan di atas meja aku? Itu semua dia yang suruh. Padahal jatah sarapan aku udah habis. Tapi emang enak-enak sih makanannya.”“Aku nggak lihat.”“Gimana mau lihat, kamu-nya udah keburu emosi. Nggak tahu aja dia yang dicemburui orang sakit. Hah
Matahari sudah tenggelam sempurna ketika Rain dan Lady tiba di hotel. Syukurlah mereka tidak bertemu dengan Reza. Cowok gesrek dengan mulut tanpa filter yang super duper menyebalkan.Setibanya di kamar keduanya sama-sama merebahkan tubuh ke pembaringan. Hari ini terasa sangat melelahkan ketimbang hari-hari sebelumnya.“Gimana? Ada berasa sakit?” tanya Rain ingin tahu keadaan Lady setelah merajah tato tadi.Lady menggelengkan kepala. “Udah enggak.” Tadi saat dirajah ia hanya merasakan sedikit rasa perih. Jika setelahnya mereka mengalami efek samping seperti alergi, gatal-gatal atau pun ruam pada kulit, mereka diharuskan untuk datang kembali.Tangan Rain lantas terulur mengusap-usap kepala Lady yang berbaring miring menghadap padanya. Keduanya tidak habis pikir pada apa yang mereka lakukan berdua.“Lad, udah yuk rebahannya. Kita check out sekarang,” cetus Rain tiba-tiba ketika ingat rencananya tadi untuk check out sorenya. Bahkan sekarang hari sudah malam.“Duh, Rain, aku capek banget,