Radit terkekeh. “Tidak, Pak.” Eko pergi ke bangkunya sendiri. Radit menunduk. “Dia iri sekali dengan kita. Dia mendadak tidak ingat saat menolak misi itu dan melemparnya pada anak buahnya seperti kita.” Benar. Seharusnya misi itu tidak berada di tangan Kevin yang hitungannya masih terbilang baru. Seharusnya misi yang begitu berbahaya diambil alih oleh senior yang sudah berpengalaman. Namun, senior seperti Eko itu melempar misi itu pada Kevin. “Biarkan saja.” Kevin menatap ponselnya. Sebuah notifikasi yang masuk adalah pesan dari Giselle. [Pulang jam berapa?]Sekarang sudah pukul 20.00, seharusnya memang ia sudah pulang. namun ia harus segera menyelesaikan laporannya agar bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan kekasihnya. “Bos itu—” Radit menunduk. “Itu nona Giselle—maksudku, Giselle istri Jordan?” hampir satu tahun menjadi bodyguard, Radit masih terbawa membawa Giselle dengan sebutan nona. “Iya.” “Bos kau masih ingat resikonya?” “hm.” Kevin mengangguk. “Tenang saja. Hubungan
Giselle mengangguk. “Ya. Saya memang membantu mereka. karena saya juga ingin lepas dari Jordan. Dia tidak akan melepaskan saya sampai kapanpun. Saya hanya ingin semuanya berakhir dan saya bisa hidup diluar dengan bebas.” Setelahnya Polisi terus menanyai Giselle dengan pertanyaan lain. Pertanyaan yang sama akan diajukan beberapa kali. Untuk memastikan apakah pernyataannya bisa dipercaya. Penyelidikan ini berlangsung selama 6 jam. Giselle benar-benar lelah. Begitu keluar—masih harus disambut dengan cecaran pertanyaan Wartawan lagi. “Untuk selanjutnya saya akan menghubungi anda,” ucap Pengacara yang bernama Joseph itu. “Saya akan memberi pernyataan sedikit kepada mereka.” “Beritahu sedikit saja,” balas Giselle. “Giselle beri pernyataan sebentar!” “Bagaimana dengan penyelidikannya?!” “Penyelidikan berjalan dengan lancar,” ucap Joseph. “Nyonya Giselle telah menjalankan Penyelidikan sesuai dengan aturan. Selama ini Nyonya Giselle tidak tahu perbuatan suaminya. Hubungan merea tidak te
Kevin tersenyum. Jemarinya mengusap bibir Giselle yang basah akibat ulahnya. “Aku—kekasihmu.” Giselle memukul pelan dada Kevin. “Aku tidak bercanda.” Kevin menarik Giselle ke dalam pelukannya. “Aku Kevin. Aku—” Giselle mencium pipi kanan Kevin. “Semua orang pun tahu kau Kevin. Ayo pergi, aku ingin istirahat.” Kevin tersenyum tipis sebelum keluar dari mobil. Ia menarik pinggang Giselle, melingkarkan tangannya di pinggang ramping wanita itu. “Kau yakin bisa istirahat malam ini?” Giselle mengangguk. “Hm. Aku akan langsung tidur saat bersentuhan dengan kasur.” Mereka memasuki lift. “Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja?” bisik Kevin tepat di samping telinga Giselle. Kevin memeluk tubuh mungil Giselle dari belakang. Mengecup tengkuk wanita itu beberapa kali. “Kalau begitu kau jahat.” Giselle menguap lebar. Ia sungguh mengantuk. Jemarinya mengusap tangan Kevin yang memeluk perutnya. Giselle membuka matanya lebar ketika jemari Kevin menangkup salah satu dadanya. “KEVIN!” Gisel
“Dia memang mengganggapku, tapi watak beliau memang begitu keras. Kita sangat jarang berkomunikasi. Tapi sebenarnya dia juga memperhatikanku—” Kevin tersenyum tipis. “Saat pertama kali aku menjadi polisi, dia mengirimkan kopi untuk semua orang yang di kantor. Saat aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal di sini, dia membeli Penthouse ini atas namaku.” Giselle tersenyum. Jemarinya mengusap rahang Kevin pelan. “Ayahmu menyayangimu, Kevin.” “Mungkin.” Kevin mengangguk pelan. “Dia tidak pernah menunjukkannya secara langsung.” Giselle mengangguk. “Bagaimana dengan kakakmu? Apa kalian berhubungan baik?” Kevin menggeleng. “Tidak. Dia menganggapku saingan. Padahal dari dulu aku tidak pernah berusaha merebut apa yang sudah menjadi miliknya. Selama 20 tahun aku tinggal di sana, aku merasa sendirian. Tidak ada yang namanya keluarga, mereka tidak pernah menganggapku ada.” Giselle menjadi ingin menangis sendiri. Membayangkan selama 20 tahun hidup bersama orang yang tidak pernah meng
21 ++Giselle melakukan tugasnya. Sesekali mendongak untuk melihat kekasihnya. Kepala Kevin mendongak—jakun pria itu naik turun. Otot leher pria itu terlihat menggoda. Apalagi keringat yang membanji tubuh kekar Kevin. Giselle semakin bersemangat memuaskan sang kekasih. Sampai Kevin menarik tubuh Giselle paksa. Kemudian menyatukan miliknya ke dalam milik Giselle. Kevin menarik salah satu kaki Giselle. Memasukkan miliknya ke dalam milik sang kekasih. Semakin dalam. Giselle mencengkram lengan Kevin. Tubuhnya bergerak seiring dengan kecepatan Kevin. “Kevin aah..” Giselle memejamkan mata dan sesekali membuka mata. “Kevin sayaang aah..aah.. pelan-pelan sayaanghh.” “Tidak bisa sayang.” Kevin membalikkan tubuh Giselle. Menangkup duah buah dada Giselle yang menganggur. Giselle berpegang pada tembok. Tubuhnya bergerak terombang-ambing. Rambutnya yang panjang berantakan. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Sampai akhirnya ombak itu datang—kenikmatannya sampai di puncak. “Kevin aku..aah..”
“Bagaimana kabarmu?” tanya Giselle pada seorang pria yang berada di hadapannya. Giselle menatap Jordan yang terlihat berantakan. Jordan menggunakan pakaian tahanan berwarna orange. Rambut pria itu nampak berantakan dengan wajah yang begitu kusam.“Kau yang membantunya?” tanya Jordan to the point. Tidak ada yang bisa masuk ke dalam ruangannya selain dirinya sendiri. namun beberapa hari setelah berbaikan dengan Giselle, ia memperbolehkan wanita itu masuk ke dalam kamarnya dengan bebas. Giselle mengangguk. “Ya.” BRAAAK! Meja dipukul dengan begitu keras membuat Giselle terlonjak terkejut. Polisi hendak mendekat namun Giselle menghentikannya. Memberikan kode bahwa akan baik-baik saja. “Kenapa? Aku mencintaimu Giselle. Aku mempercayaimu tapi kau malah menghianatiku. Kau membantu mereka dan membuatku masuk ke dalam tempat sialan ini.” Giselle menghela nafas. “Cintamu tidak cukup untuk mengobati lukaku selama 2 tahun ini. Selama aku menikah denganmu, duniaku seperti berada di dalam nera
Radit menunduk pelan memberikan hormat pada Giselle. Giselle sendiri bingung. Memang setiap bodyguard yang berada di mansion akan melakukan hal yang sama seperti yang Radit lakukan. Tapi, mereka bukan lagi atasan dan bawahan. Aneh sekali jika polisi memberikan hormat padanya. “Kau—“ Giselle dan Kevin saling berpandang. “Oh maaf saya masih terbawa. Tapi anda memang punya aura ratu yang harus dihormati.” Ucapan Radit membuat Giselle tertawa. “Ratu?” “Terlebih anda kekasih dari senior saya.” Radit menyenggol lengan Kevin. Kevin membeirkan tatapan mematikan pada Radit. “Jaga perkataanmu.” Kevin mengapit kepala Radit dengan lengannya. Giselle tertawa melihat tingkah laku mereka. Ia berdiri—“Aku pergi dulu.” “Tidak ada kiss bye?” tanya Radit heboh. Kevin menginjak kaki Radit. “Kau semakin kurang ajar.” Giselle tertawa pelan. “Nanti di rumah.” sembari mengedipkan mata pada Kevin. “Waaaaah!!!” teriak Radit heboh. Ia bahkan menepuk pelan bahu Kevin. “Tersenyum saja bos. Jangan ditah
“Tolog panggilkan saya taksi.” Giselle tidak berpikir apa-apa. Ia hanya ingin menangis namun bukan di sini tempatnya. Giselle menatap sinis pada Ibu Jordan yang masuk ke dalam mobil Alpard berwarna putih itu. Tidak lama setelah taksi datang. Giselle langsung masuk. Sesampainya di tempat yang ia tuju, ia langsung melangkah menuju tempat seseorang yang paling ia sayangi. Giselle duduk di tepi sebuah gundukan tanah.Mencabuti rumput yang berada di sekitar makam itu. Giselle mengusap batu nisan ibunya. “Mama Giselle lelah. Mama Giselle kangen, Mama…” Giselle tidak bisa mencegah air matanya yang keluar. “Giselle berhasil berpisah dengan Jordan. Tapi pernderitaan Giselle belum usai juga. Giselle benar-benar lelah, Ma.” Menunduk dan memeluk gundukan tanah itu. “Giselle benar-benar lelah Ma.” “Giselle benci hidup, Giselle.” Giselle menangis sesenggukan di atas makam ibunya. Beberapa jam di sana sampai tidak menyadari jika hari mulai gelap dan petang. Giselle mengusap air matanya. “Ma, Gi
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar