"Mas, bisa tolong bantu aku bermain sebentar dengan Rena?" Weni meminta tolong Haris yang tengah bermain ponselnya dengan televisi yang menyala.
Hari ini adalah hari libur Haris, sejak pagi Haris terus bermain ponselnya. Sementara Weni, ia sudah sibuk sejak matahari mulai terbit.
Pekerjaan yang sama terus ia lakukan setiap harinya, tapi itu adalah kewajibannya. Meski terkadang penat, kodratnya sebagai seorang Istri membuatnya tak bisa menolaknya.
"Aku ini sedang libur, aku ingin beristirahat. Bukankah itu wajar?" Haris menatap tajam Weni, menolak dibalik ucapannya.
Weni terdiam, dia butuh Rena ditemani Haris. Tapi lagi-lagi dirinya harus mengurus anaknya dan juga mengurus rumah secara bersamaan.
"Mama …."
Tangan kecil Rena yang menarik tangannya, membuyarkan lamunannya. Rasa kesal dan sakit hati yang dirasakan berangsur reda, terlebih saat Rena tersenyum.
"Aku akan pergi ke rumah teman, lebih baik beristirahat di sana."
Suara yang cukup keras terdengar dari dapur tempat Weni bersama Rena. Weni berlari ke depan bersama Rena, mengejar Haris yang tengah bersiap.
"Istirahatlah di rumah, aku tidak akan mengganggumu."
Weni mencoba menghentikan langkah Haris, tapi itu percuma. Haris tetap pergi, meski Rena tengah menangis karena ditinggal Ayahnya.
Weni menggendong Rena, mencoba menenangkannya. Ia mengajak bermain Rena, menyingkirkan tugasnya akan rumah.
Beruntung Rena dengan cepat menghentikan tangisannya dan bermain seperti biasanya. Hingga akhirnya Rena tertidur, ia segera menyelesaikan tugasnya.
Setelah segala tugas selesai, ia berbaring di samping Rena dan menatap langit-langit kamarnya. Melamunkan segala yang terjadi, terlebih saat mengingat ucapan Bianca.
Weni menatap ponselnya yang selalu sepi, ia jarang memainkan media sosial karena suaminya melarang itu. Bahkan nomor teman-temannya juga tidak ada, itu karena suaminya tidak suka dengan teman-temannya.
Weni sebenarnya cukup populer di sekolah dulu, bahkan di saat ia bekerja sekalipun. Namun setelah bertemu Haris, dunianya seakan ditarik oleh Haris.
Weni menjauh dari apa yang dia suka, bahkan dari semua teman-temannya. Ia seakan terkurung di rumah, tanpa tahu dunia luar yang sesungguhnya.
Namun saat melihat satu aplikasi yang ia tak kenal di ponselnya, membuat segala pikirannya terhenti. Dirinya fokus pada aplikasi tersebut, karena dirinya tak merasa menginstalnya.
Terlebih ponselnya itu rata-rata berisi aplikasi untuk bermain Rena, sementara aplikasi tersebut cukup berbeda.
"Ah, ini yang di instal Mila."
Weni baru mengingat akan aplikasi yang di instal oleh Mila. Ia menatap aplikasi yang menunjukkan ada satu pesan di sana. Ia yang penasaran segera membukanya dan melihat pesan tersebut.
[Hai, salam kenal. Bolehkah aku berkenalan denganmu?]
Pesan yang bertuliskan bahasa Inggris itu, cukup menarik perhatiannya. Weni melihat profil tersebut dan mendapati foto pemandangan malam yang indah.
Namanya adalah Park Hajoon, dia berasal dari Korea Selatan. Sementara umurnya berbeda 3 tahun darinya, entah mengapa Weni sangat penasaran dengannya.
[Hai.]
Hanya itu yang bisa di balas oleh Weni karena ia cukup bingung.
Tak lama status akun itu yang tadinya dilihat terakhir 10 jam yang lalu, berubah menjadi online.
[Aku Park Hajoon, asal Korea Selatan. Kamu?]
Weni bingung, rasanya ia ingin segera membalasnya. Entah rasanya ia bisa merasakan kesenangan yang sudah lama dilupakannya.
Namun saat melihat Rena yang tengah tertidur, membuatnya menahan balasan yang sudah diketiknya. Perasaan bersalah tiba-tiba merayapinya.
Weni memindahkan aplikasi itu dan memasukkannya ke dalam aplikasi tersembunyi. Berusaha melupakannya, seperti aplikasi media sosial lainnya yang ia tak sentuh lagi.
***
"Kamu bisa minta uang dengan keluargamu?"
Haris membuka pembicaraan, setelah seharian ia menutup mulutnya.
"Sepertinya tidak bisa, kamu tahu sendiri keluarga aku bagaimana."
Weni berbicara pelan-pelan, takut suaminya tersinggung. Namun segalanya percuma. Sebaik apapun atau sehalus apapun Weni bicara, ia tetap salah bicara.
"Akhir bulan kita harus membayar hutang, aku sudah berusaha bekerja sana sini. Tapi itu belum cukup untuk membayar hutang, apa kamu tidak memikirkan itu?" Haris menatap Weni yang mulai tertunduk seperti biasanya.
Haris kembali kesal melihat wanita di hadapannya itu, bukannya mencari jalan keluar dia justru hanya bisa diam. Bahkan terkadang dia menangis dan kembali menambah beban pikirannya.
"Bagaimana kita akan membayar semua itu? Harusnya hanya itu yang kamu pikirkan, jangan hanya menangis dan diam!"
"Aku tahu Mas, selama ini aku berusaha mencari pekerjaan. Aku …."
"Nyatanya? Kamu hanya diam di rumah dan menghabiskan uang!"
BRAK!
Haris memukul meja, membuat Weni terkejut dan tak lama di susul tangis Rena yang terkejut.
"Bagaimanapun caranya, hasilkan uang dan bantu aku melunasi hutang!"
Haris bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Sementara Weni segera berlari ke kamar Rena yang sudah ia tempati cukup lama.
Weni menggendong Rena dan membuatnya tenang. Karena kalau tidak, Haris akan kembali marah dan berujung pergi.
"Rena kaget ya?" tanya Weni menahan getaran suaranya.
Rena mengangguk pasti sambil menghapus air matanya yang mengalir di pipi. "Tadi Papa memukul nyamuk, jadi jangan takut lagi ya."
Rena mengangguk mengerti, ia kembali tiduran di dalam pelukan Weni. Tak butuh waktu lama Rena kembali tertidur, membuat Weni kembali tenggelam dengan kepiluannya.
Namun tak lama, tangannya mengambil ponsel di hadapannya. Membuka beberapa aplikasi sosial media yang ia punya, mencoba mencari teman dan kerabat terdekat.
Tapi semuanya nihil, tak ada yang bisa dihubungi. Sekalipun ada, ia tak sanggup untuk bicara bahwa ia ingin meminjam uang.
Belum sempat mencari kembali, notifikasi sebuah aplikasi membuatnya tertarik. Aplikasi yang ia buka terakhir kali memberikan pemberitahuan pesan masuk.
[Kenapa tidak balas?]
[Maukah kamu jadi pacarku? Aku akan membayar untuk itu.]
Kata 'bayar' yang tertera di layar mengusik hatinya, terlebih mengingat bahwa orang tersebut orang asing. Ia tak mengenalnya, bahkan dirinya tak tahu bahwa pria itu nyata.
[Aku akan membayarmu 1000$ per bulan.]
Belum sempat Weni berpikir, angka yang keluar membuatnya tercengang. Bagaimana tidak? 1000 dollar sama saja sekitar 14 juta rupiah.
[Apa yang harus aku lakukan?]
Weni akhirnya membalas pesan tersebut, uang membuatnya tidak punya pilihan lain. Hidupnya yang kelilit hutang dan tuntutan sang suami tak bisa lagi membuatnya berpikir jernih.
"Apa aku sudah gila?" gumam Weni saat menunggu balasan pria itu.
Cukup lama Weni menunggu balasan itu dan pria itu tak kunjung membalasnya. Pikirannya entah kenapa berkelana, membayangkan permintaan apa yang akan diterimanya.
"Kenapa dia tak kunjung membalas?"
Weni mulai frustasi akan balasan pria itu, hingga ia tak sadar dirinya ketiduran tepat di samping Rena. Tubuh serta pikirannya sudah banyak bekerja hari ini, jadi seberat apapun pikirannya ia akan tertidur begitu saja.
Ting!
Satu notifikasi masuk, tapi sayangnya Weni tak menyadarinya dan tetap tertidur dengan memeluk Rena.
***
"Apakah wanita semudah itu?"
Seorang pria terduduk di Sofanya, menatap televisi yang terus menyala. Sejak tadi ia menatap ponselnya dan tak mengetik apapun.
Cukup lama ia berpikir dan tak lama tangannya mulai menari di atas layar ponselnya, menulis apa yang diinginkannya. Sambil tersenyum miring, ia menyudahi ketikannya.
Menaruh ponselnya dan kembali ke kamarnya, melanjutkan istirahatnya yang tertunda.
***
"Makanlah dahulu." Weni menahan Haris yang ingin langsung berangkat bekerja, padahal Weni sudah memasak sejak pagi. Bahkan ia sudah membuatkan kopi, yang biasa menjadi rutinitas sang suami. "Aku sudah telat," elak Haris. "Ini masih jam berapa Mas, kamu …." "Aku sudah bilang telat, ya telat." Haris menepis tangan Weni yang tadi sempat menahannya. Ia bahkan tak mengecup kening dan memberi salam seperti dulu, saat awal dirinya menikah. Weni yang kecewa, mengambil kopi yang dibuatnya dan meminumnya. Ia tidak nafsu makan belakangan ini, kopilah yang membuatnya sedikit tenang.
"Bagus, kamu melakukannya dengan baik." Haris menerima uang dari Weni tanpa bertanya dari mana uang itu berasal. Ia hanya menerima uang itu dan tersenyum, mengusap kepala Weni. Hal yang selama ini sudah lama ditinggalkannya, bahkan Weni sudah lupa terakhir Haris menyentuhnya. Haris hanya menyentuhnya bila ia meminta berhubungan intim saja, saat dia terpuaskan dia akan tidur kembali. Tak ada sentuhan perhatian seperti sekarang dilakukannya, Haris mengusapnya lembut dengan penuh kasih sayang. Hanya saja Weni tetap merasakan hampa dan kosong. "Aku akan membayarkan uang ini," ucap Haris dengan membawa uang itu bersamanya. "Hati-hati di jalan."
“Mama ... Mama ....”Weni yang tengah tertidur, terbangun oleh suara kecil dan guncangan tangan kecil Rena di lengannya. Dengan mata yang masih berat, Weni mencoba membuka matanya.“Ah ...,” rintih Weni saat merasakan pipinya yang sedikit perih.Ia dengan berat hati mendudukkan tubuhnya dan menutup pipi yang terasa sakit dengan tangan dinginnya. Weni baru ingat apa yang terjadi semalam.Matanya yang bengkak dan rambut yang berantakan, terpantul dari kaca meja rias di hadapannya. Weni menghela napas berat dan beranjak dari duduknya.“Rena tunggu sini ya, Mama ke kamar mandi dulu.”Weni mencoba tersenyum perlahan karena sudut bibirnya terasa sakit. Namun tangan kecil Rena justru mencegahnya, ia menunjuk ponsel yang berada di atas kasurnya.“Itu, bunyi ....” Rena mencoba menjelaskan bahwa ponse
“Maaf Pak, Anda harus menghadiri rapat.”Seorang wanita masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali dan memberikan sebuah berkas pada atasannya. Atasannya menatap layar komputer dan kembali menatap jam tangannya beberapa kali.Ia memutuskan untuk mematikan microphone yang masih menyala dan menatap wanita yang merupakan Sekretaris pribadinya. “Beri aku waktu sepuluh menit,” ucapnya.“Baik,” ucap wanita yang memiliki nama Kim Dami.Pria itu kembali menyalakan microphone dan menatap seorang wanita yang tengah menangis di layar komputernya. Ia ingin berbicara, hanya saja dirinya takut wanita itu justru semakin menangis.“Maafkan aku Hajoon,” ucap wanita yang berada di seberang panggilan videonya.“Tidak apa-apa.” Hajoon tersenyum pada wanita di dalam layar yang bukan lain adalah Weni. Seorang wanita yang ia kenal dari sebuah aplikasi dan kini mulai mengisi hari-harinya.“Aku
Weni membuka pintu dan kembali menemukan seorang pria tengah berdiri di hadapannya. “Maaf Anda siapa?” tanyanya.“Ini benar rumah Ibu Anggara?” tanya pria itu, sementara Weni hanya bisa mengangguk. “Ini ada kiriman paket,” ucapnya seraya mengambil sesuatu dari dalam mobil yang terparkir di depan.Weni terdiam sejenak, ia merasa tidak pernah membeli barang. “Maaf, tapi saya tidak pernah membeli barang Online. Apa Mas tidak salah rumah?” tanya Weni sebelum menerima sebuah paper bag yang cukup besar.“Anda bisa melihat nama pengirimnya karena saya di pesan untuk tidak boleh menyebutnya.” Pria itu memberi paper bag tersebut pada Weni.Weni hanya bisa menerimanya dan melihat nama pengirim, yang di maksudnya oleh kurir tersebut. Betapa terkejutnya Weni saat nama Park Hajoon tertera di kertas tersebut.“Benar, ini milik I
Hari ini, seorang wanita tengah sibuk dengan pekerjaan tambahan yang diberikan. Semua karena keluarganya hari ini tengah mengadakan acara untuk menyambut pengiriman Anak pertama di keluarganya sebagai perawat di Australia.“Bangga banget punya anak kaya Helen,” ucap seorang wanita paruh baya pada wanita yang merupakan tuan rumah acara.Helen Anggara sendiri adalah Anak pertama yang akan menjadi Perawat di Australia. Anak yang selalu menjadi kebanggaan keluarganya yang notabene nya adalah keluarga Pegawai Negeri Sipil.“Anak kamu juga hebat, sudah jadi Karyawan tetap di Bank.” Ibu dari Helen kembali memuji temannya itu.Tak lama mereka pun saling tertawa, setelah memuji anak pertama mereka yang sukses. Tanpa melihat sedikit pada wanita yang tengah membantu di dapur, yang merupakan anak kedua dari tuan rumah.“Weni, sapa Ibu Dian.”
“Jaga ucapan kalian!” Ghana berdiri di hadapan kedua orang yang sejak tadi asyik membicarakan Bianca maupun Weni. Hal itu mampu menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan, tanpa terkecuali sang tuan rumah. “Apa pantas wanita terhormat dan berkelas membicarakan seseorang sampai seperti itu?” ucap Ghana kembali penuh penekanan. Bianca dengan segera menghampiri Ghana, mencoba menahan Ghana yang tengah meluapkan kekesalannya. Bianca sangat tahu bagaimana bila Ghana sampai benar-benar marah. “Maafkan kami, kami hanya ....” “Ghana, mereka tidak bermaksud mengatakan hal itu.” Helen segera memotong pembicaraan salah satu wanita dan mendekati Ghana, mencoba menetralkan keadaan. “Maafkan mereka,” bisik Helen dengan sedikit memohon. “Iya, katanya kamu ingin bermain sama Rena. Ayo,” ajak Bianca segera membawa Ghana mendekat pada Weni yang tengah terdia
Makan telah usai, tapi Weni dan juga Bianca tak juga kunjung membuka pembicaraan. Mereka hanya sibuk makan dan berkutat dengan pikiran mereka sendiri, hingga tanpa sadar mereka sudah menyelesaikan makanan mereka.“Terima kasih banyak, Bia.” Weni merapikan bungkusan makanannya dan menjadikan satu di dalam plastik sampah.“Sama-sama, ini bukan hal yang patut mendapatkan ucapan terima kasih.”Bianca tersenyum dan ikut melakukan hal yang sama seperti Weni, kebisuan kembali terjadi di antara mereka. Hingga akhirnya kebisuan mereka terisikan oleh tawa Rena dan Ghana yang baru saja datang.“Mama!” seru Rena saat pintu mobil di buka oleh Weni.Rena melepaskan pegangan tangannya dari Ghana dan berlari sekuat mungkin menuju tempat Weni berdiri. Dengan sigap Weni merentangkan tangannya dan menyambut pelukan Rena, Ghana dan Bianca yang melihatnya tersenyum
Weni terbangun dengan cukup kaget, mengingat kamar yang semula terlihat gelap kini sangat terang. Tangannya segera meraba nakas, mencari keberadaan ponselnya untuk mengetahui jam berapa sekarang.Namun tak lama pergerakannya tertahan, ada tangan besar yang kini menariknya untuk kembali tidur. Bahkan tangan itu kini memeluknya erat dengan balutan selimut tebal.“Kamu tidak bekerja?” tanya Weni menyerah saat tubuh hangat sang pemilik tangan kini bisa ia rasakan.“Aku ambil cuti hari ini.”“Bukannya kamu sedang banyak pekerjaan?” Weni melepaskan pelukan sang pria, membalik tubuhnya dan menatap pria yang selalu membuatnya terpesona itu. “Aku Ngga mau kamu sering mengabaikan pekerjaan karena aku,” tutur Weni memegang wajah tampan kekasihnya, Hajoon.Hajoon tersenyum, ia menghilang di dekapan Weni. Menghirup wangi tubuh Weni yang tembus oleh selimut tebal yang melilit tubuh kecil wanitanya. Rasanya sudah la
Weni menatap ruangan yang cukup sepi saat siang hari, Rena tengah tertidur siang dan ia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Tak banyak yang dilakukan di kediaman Hajoon karena ada seorang Wanita paruh baya yang membantunya pada pagi hari dan ia akan menyelesaikannya sisanya.Bahkan kegiatan berbenah sangat mudah karena ada alat-alat yang cukup canggih untuk membersihkan rumah. Weni cukup sedikit kesulitan pada awal pengoperasian alat-alat canggih itu, beruntung Wanita paruh baya yang Bernama Bibi Jang sangat membantunya, meski mereka berbicara dengan Bahasa Korea yang minim.“Apa yang harus aku lakukan lagi?” gumam Weni menyalakan Televisi di hadapannya.Beruntung saluran TV tidak hanya berbahasa Korea, banyak penayangan film luar dan acara-acara yang berbahasa Inggris. Weni sedikit terhibur, hanya saja tetap ada rasa bosan tersendiri untuknya.Hal itu terus berulang sampai tak terasa sudah seminggu lamanya ia berada di negeri orang. Hal yang sangat menghibur bagi Weni ada
Weni menatap wanita bak bidadari tepat di hadapannya, wanita dengan wajah yang kecil dan cantik. Kulit putih bersih, bibir yang tipis, rambut sebahu yang indah terurai.Bahkan saat wanita itu mendekat wangi lembut semerbak mengisi indra penciuman Weni. Semua kepercayaan diri Weni hancur luluh lantah tepat di saat wanita itu duduk di dekatnya.“Maaf membuatmu terkejut akan kehadiranku,” ucap Yerim untuk membuka pembicaraan di antara mereka.Weni tak menjawab, ia bingung, kesal, marah, rendah hati, dan merasa minder. Semua perasaan itu akan meledak, andai Weni membuka mulutnya. Ia menahan segalanya, berharap masih bisa mempertahankan harga dirinya.Weni sepenuhnya tahu bahwa dirinyalah yang salah, ia yang berselingkuh. Weni bisa merasakan posisi Yerim, karena belum lama itu adalah posisinya.“Aku dan Hajoon bertunangan bukan karena cinta.” Yerim cukup fasih dengan bahas Inggris, jadi Weni bisa mengerti ucapannya. “Kami bertunangan karena aku sakit, Hajoon menerimanya begitu saja. Tapi s
Weni menatap langit yang berbeda dari langit yang biasa menemani hidupnya selama ini. Udara yang cukup dingin menerpa wajahnya, memberikan kesejukan yang berbeda.“Mamah, ini dimana?”Weni berjongkok dan memakaikan syal pada leher Rena agar anak semata wayangnya itu tak sakit dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba. “Kita sedang berada di negara yang Bernama Korea Selatan,” jawab Weni.“Apa?”Rena menatap tak mengerti, ia bahkan sedikit mengernyitkan keningnya karena tak mengerti. Namun belum sempat Weni kembali menjelaskan, tangan besar nan kokoh sudah mengambil alih Rena darinya dan menggendong tubuh kecil Rena dengan erat.“Rena sekarang ada di tempat Om dilahirkan.” Hajoon menjelaskan dengan singkat dan di terima dengan cepat oleh Rena. “Apa Rena senang berada di tempat kelahiran Om?” tanya Hajoon dengan membawa Rena dan Weni ke sebuah mobil yang terparkir.Mereka masuk ke dalam mobil yang cukup bagus, bahkan saat masuk ke dalamnya Weni bisa merasakan kemewahan mobil itu. Bahkan so
Weni menghembuskan napasnya dalam, melangkahkan kakinya dengan pasti. Setelah ia keluar dari gedung tempatnya berada, kehidupan dan status baru kini di sandangnya.‘Janda’Ya, kini statusnya berubah dari seorang ‘Istri’ menjadi seseorang ‘janda’. Wanita yang telah bercerai dengan suaminya secara sah.Pengadilan memutuskan menerima gugatannya, begitu juga hak asuh sepenuhnya menjadi miliknya. Weni cukup merasa puas, meski ada rasa yang sedikit tertinggal kala semua diputuskan.Wajah Haris yang ia pikir akan sedikit menyesal, justru menunjukkan rasa senangnya. Bahkan salam perpisahan dengan menjabat tangan dilakukannya dengan senang hati.“Sudah selesai?”Suara berat yang kini lebih banyak menyita pikirannya, sukses membuat Weni terkejut. Bahkan ia terlihat seperti baru saja bertemu hantu.Pria tinggi nan tampan dengan gagahnya berdiri di hadapan Weni, ia seakan menanti kehadiran Weni sejak tadi. Bahkan wajah sang pria seakan menunggu kepastian yang sudah beberapa bulan ini di t
Weni yang tak menau isi perjanjian ikut terkejut. Matanya kini teralihkan menatap pengacara wanita di sampingnya, dirinya juga butuh penjelasan.“Setelah bercerai, semua hubungan akan terputus baik dengan Istri atau Anak.” Pengacara itu berbicara dengan tegas, Weni dan Haris menatap dengan penuh penolakan. “Hal ini dimaksudkan agar tidak ada ancaman yang akan merugikan pihak mana pun.”“Wah, aku tidak tahu kalau kamu segila ini.” Haris menatap Weni dengan rendah. “Kamu dengan teganya memisahkan seorang Anak dan Ayah,” sindir Haris.“Aku ....” Weni merasa bersalah.“Baiklah, lagi pula ini semua menguntungkanku. Aku juga bisa memiliki anak lainnya dari kekasihku.” Dengan yakin Haris menandatangani surat itu, yang membuat kekecewaan besar pada hati Weni. “Ini, aku kembalikan.”Haris mengeluarkan ponsel di sakunya dan menaruh di meja, ponsel yang ia ambil untuk bisa menghubungi Hajoon. “Urus semua hingga tuntas, aku tidak mau mengeluarkan sedikit pun uang.”“Kamu benar-benar menerima uan
Weni terbangun dengan pantulan cahaya yang cukup terang menembus kelopak matanya yang tertutup, membuat tidur nyenyak terusik. Dengan malas ia membuka mata, tubuhnya terasa tak nyaman. Rasanya ia menghabiskan seluruh tenaganya semalam.Memikirkan apa yang semalam terjadi, Weni dengan segera membuka matanya. Ia terkejut mendapati tubuhnya hanya tertutup selembar selimut tebal. Tubuhnya kini tanpa busana, ingatan akan semalam terpampang jelas di pikirannya.Semalam adalah malam terpanas untuknya, setelah sekian lama ia merasakan kenikmatan yang tak pernah di rasakannya selama berumah tangga dengan Haris. Ia tak tahu bahwa melakukannya bisa membuatmu mabuk kepayang.“Sedang memikirkan apa?” bisikan lembut tepat di sampingnya membuat Weni terkejut dan menarik selimutnya.“Ha-Hajoon ....”Pria dengan wajah tampan itu segera membuat jantung Weni tak karuan. Terlebih saat Hajoon tersenyum manis dan mencubit pipi Weni lembut.“Apa semalam aku terlalu berlebihan? Kamu sampai pingsan da
“Weni Anggara, menikahlah denganku.”Hajoon kembali melontarkan ajakannya pada Weni yang sejak tadi terdiam dan tak kunjung merespons ucapannya. Weni terlihat terkejut, hanya saja matanya berkata lain. Mata seorang Wanita yang tengah bahagia karena apa yang dinantikannya kini menjadi kenyataan.“Apa aku masih kurang baik untukmu? Katakan apa yang membuatmu ragu menjawab ajakanku?” tanya Hajoon mencoba membuat Weni yakin akan dirinya.Weni yang ditanya hanya terdiam, ia merasa ini adalah kesempatan untuknya untuk memantapkan diri. Ia juga sangat penasaran pria seperti apa sebenarnya Park Hajoon yang selama ini ia kenal, masih banyak yang tak ia ketahui tentang pria di hadapannya.“Aku belum tahu banyak tentangmu, itu yang membuatku ragu.” Weni berbicara dengan mantap, terlihat Hajoon tak memperlihatkan keterkejutan akan pernyataannya.Hajoon memegang kembali pipi Weni dan tersenyum lembut. “Tanyakan apa pun yang ingin kamu ketahui untuk aku bisa bersamamu?”Deg! Pertanyaan itu
Hari demi hari berganti, Weni suah berada di rumah barunya selama 3 hari bersama Rena. Rena tidak rewel sedikit pun, ia justru menikmati fasilitas yang di dapatkannya dari Hajoon.Bahkan tanpa dipungkiri Weni juga ikut merasakan itu, ia cukup bebas dan nyaman. Dirinya tak perlu tertekan dengan Haris ataupun keluarganya, Weni menikmati kegiatannya sebagai seorang wanita dengan penuh kedamaian.Weni tak tahu apa yang terjadi di luar sana, terlebih tentang apa yang akan terjadi antara Haris dan Hajoon. Dirinya hanya mengandalkan kabar dari Mila, tapi yang di tunggu tak juga mengabarinya.Ia akhirnya mengikuti apa yang diperintahkan Hajoon, untuk tetap di rumah dan mengikuti semua arahan yang diberikannya. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan.“Mamah, Rena mau makan.” Rena menarik baju Weni yang kini tengah menikmati secangkir teh di sofa yang nyaman. Bukankah itu terlihat elegan, ia bahkan tak pernah berpikir meminum teh di ruang tengah dengan menonton televisi akan senyaman ini.“Rena