Hari-hari berlalu, kami masih tinggal di rumah orang tua Mas Damar, Bu Widya sudah mulai bisa menerima keberadaanku di rumah ini, walaupun masih tak terlalu ramah denganku. Aku tetap bersabar sampai ia bisa menerimaku.
Pagi ini kami sarapan bersama di ruang makan, Pak Danu menanyakan prihal aku yang masih menjadi sekretaris Mas Damar.“Damar, menurut Papa, apa sebaiknya kamu cari sekretaris lain saja, kasian Nisa terlalu banyak beban pekerjaan yang harus dia selesaikan,” ucap Pak Danu seraya menyeruput kopi hangat.“Iya sih Pa, saya sudah mengusulkan ke bagian HRD untuk merekrut sekretaris baru, tapi ... “ Mas Damar menggantung ucapannya. Semua orang menatap Mas Damar.“Tapi kenapa, Mar?” tanya Pak Danu penasaran.“Tapi kata Annisa, sekretarisku yang baru tidak boleh yang cantik dan harus yang sudah menikah,” ucap Pak Damar melirik ke arahku.“Aku gak pernah bilang begitu, Mas.” Aku membelalakkan mata pada Mas Damar.“Em“Damar, panggilkan dokter keluarga kita, secepatnya,” ucap Mama. Mas Damar segera menelpon dr. Anita untuk segera datang ke rumah dan memeriksaku, beliau adalah dokter keluarga ini.“Yuk Nis, ke kamar,” ucap Gendhis, Gendhis dan Mas Damar memapahku masuk ke kamar.Tak lama kemudian dokter Anita datang dan memeriksaku, mereka semua menatapku cemas, dokter Anita membuka kacamatanya dan tersenyum.“Damar, coba kamu bantu istrimu ke kamar mandi, gunakan tespack ini,” titah dokter Anita kepada Mas Damar.Setelah selesai Mas Damar memberikan hasil testpack tersebut kepada dokter Anita dan membaringkanku kembali ke tempat tidur, Mas Damar menyelimutiku penuh kasih.“Hasilnya positif, selamat Damar kamu akan menjadi seorang ayah,” ucap Dokter Anita seraya tersenyum.“Alhamdulillah wa syukurillah, Ya Allah Nisa aku akan jadi ayah, Nis,” ucap Mas Damar kegirangan.“Alhamdulillah, Ya Allah,” ucapk
#Cerita ini lanjutan dari cerbung sekretarisku jilbaber, yang sudah baca jangan lupa subscribe dan tinggalkan komentar.SetelahFarid melakukan ta’aruf beberapa pekan yang lalu dengan Gendhis ditemani Annisakakak iparnya, ia menceritakan semuanya kepada Wartini, Emaknya Farid, bahwa Faridserius ingin melamar Gendhis.“PokoknyaEmak gak setuju kalau kamu menikah dengannya? Keluarganya gak cocok sama kita,Farid,” ucap Wartini.“TapiMak, dia tidak seperti yang Emak pikirkan,” ucap Farid lembut.Bu Wartinimemang berwatak keras, ia paling tidak suka jika ada yang membatah danmeremehkannya.“Hidupkita memanglah susah, tapi Emak tidak mau dihina karena kita miskin,seolah-olah Emak ini nyari mantu kaya, biar hidup enak,” ucap Wartini lagi.“Astaghfirullah,Mak, Bertemulah dulu dengan keluarganya, Mak, Setelah itu Emak bolehmenyimpulkan seperti apa mereka,” ucap Farid lagi membujuk Emaknya.“Baiklah,jika saja sambutan dari
∆ Jangan lupa subcribe dan coment yah?♥️♥️Sementara Itu di rumah Farid, Wartini tak henti-hentinya menyalahkan Farid.“Benarkan Emak bilang, sambutan mereka tidak baik, mana ada orang kaya mau besanan sama orang miskin kayak kita,” ucap Wartini pada Farid yang tertunduk.“Pokoknya Emak gak akan setuju dengan pernikahan ini, cukup Farid, Emak gak mau dihina lagi,” ucap Wartini menitikkan air mata.Farid terpekur menatap vas bunga kecil yang berada di atas meja tamu, dari awal bertemu Gendhis di pengajian rutin ia sudah mulai menaruh hati.Setelah ta’aruf barulah Farid tau ternyata Gendhis anak orang kaya, Annisa menceritakannya pada saat itu. Hendak mundurpun tak mungkin lagi, karena Gendhis sudah memberi lampu hijau, agar Farid segera melamar Gendhis.“Tapi Bu, hanya mamanya Gendhis saja begitu, sedangkan yang lain kan tidak,” ucap Farid mencoba meyakinkan Emaknya.“Farid! Sadar, Nak, barusan itu harga diri kita su
Suara azan shubuh berkumandang di langit kota ini, Farid segera bangun dan dan menunaikan shalat shubuh.“Farid, maafkan Emak, mungkin Emak terlalu keras kepadamu, Mak gak mau kalau kejadian yang menimpa Emak terjadi juga padamu,” ucap Wartini seraya menyendokkan nasi goreng ke piring.“Ya Mak, Farid paham, Mak gak perlu minta maaf.”“Rasanya dihina gara-gara miskin itu sakit banget Farid, Emak gak sanggup selalu dihina oleh Eyangmu yang orang kaya itu. Makanya Emak minta cerai dari ayahmu, dan sakitnya lagi ayahmu tak mau mempertahankan kita, alasannya jika anak laki-laki surga ada di telapak kaki ibunya,” kenang Wartini sedih, netranya mengembun.Ayah Farid, Anwar, menikahi Wartini atas dasar sama-sama cinta, walaupun tak mendapatkan restu dari Ibunya Anwar, mereka tetap melaksanakan pernikahan di bawah tangan.Mereka pikir setelah punya anak Ibu Anwar akan berubah menerima Wartini, sampai Farid lahir pun Ibu An
Gendhis segera menandatangani surat persetujuan untuk melakukan tindakan operasi pada Farid. Gendhis juga sudah menghubungi Wartini Emaknya Farid agar segera datang ke rumah sakit.Setelah semua berkas ditandatangani oleh Gendhis, Farid segera dimasukkan ke dalam ruangan operasi dalam keadaan kesakitan.Gendhis dan Sandika menunggu Farid di depan ruangan tindakan operasi. Gendhis terlihat sangat khawatir, ia tak bisa duduk dengan tenang, ia mondar mandir di depan ruangan operasi.Sandika yang melihat Gendhis seperti itu, mencoba menenangkannya.“Mbak, sebaiknya Mbak duduk disini, tenangkan diri, Mbak, semoga suami Mbak gak kenapa-kenapa,” ucap Sandika merasa bersalah.“Maafkan saya Mbak Gendhis, karena saya, suami Mbak harus masuk ruangan operasi,” ucapnya lagi pelan.“Ini musibah Mbak, Mbak jangan merasa bersalah, sesuatu yang terjadi di muka bumi ini semua atas gerak Allah, kita tak bisa mengelaknya,” ucap Gendhis bijak.“M
Yang rindu sama Damar dan Annisa semoga terobati yahch!!“Ngapain lagi kamu kesini?!” ketus Wartini.“Saya hanya ingin melihat keadaan Mas Farid, Bu,” ucap Gendhis lembut.“Bi, Bibi kan cuma bermasalah dengan ibunya, anaknya kan tidak, sebaiknya Bibi bersikap baik sama Gendhis,” ucap Aisya pada Wartini.Wartini beralih pada Aisya, “Kamu tau apa Aisya? Berani menasehati Bibimu? Aku tidak akan merestui hubungan mereka, ngapain lagi dia kemari?!” Wartini tetap pada pendiriannya.“Saya masih bisa mengurus Farid, Belum jadi istri saja dia sudah lancang mengambil keputusan untuk Farid ketika di rumah sakit kemarin, bagaimana kalau sudah jadi suami mungkin kamu akan jadi babunya,” ucap Wartini menuding Gendhis.“Astagfirullah Bu, istighfar Bu, kenapa Ibu sangat membenci Gendhis? Kalau dia tidak langsung menandatangani surat persetujuan di rumah sakit itu, entah apa mungkin yang akan terjadi pada Farid,” ucap Farid yang masih berbaring di tempat tidur.Tiba-tiba pintu di ketuk seseorang, terd
Annisa segera mengangkat telpon dari ‘Cs’ tersebut dengan perasaan tak karuan, “Hallo, Assalamualaikum?”“Hallo?” Tak ada sahutan apapun.“Hallo?” Hening.Tiba-tiba saja telepon dimatikan, Annisa menggenggam erat ponsel Damar dan terduduk di ranjang, lalu ia menghapus log panggilan dari orang tidak dikenal tersebut.Pintu kamar mandi terbuka, Damar sudah selesai mandi, Annisa buru-buru meletakkan ponsel Damar di tas meja kerja kembali, kemudia ia duduk di tempat tidur.“Mas, aku boleh tanyak sesuatu gak?” tanya Annisa tenang.“Mau nanyak apa sayang?” tanya Damar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Emm Mas pernah dihubungi oleh Clarissa gak?”Damar menghentikan aktivitasnya dan memandangi Annisa, kemudian ia menghampiri Annisa yang duduk di ranjang.“Annisa, berapa kali sudah kukatakan, jangan bahas tentang Clarissa lagi, kamu sekarang istri Mas, sedangkan Clarissa hanya masa lalu,” ucap Damar
Andina dan Cellin kembali diam, Annisa semakin gusar, apa sebenarnya yang mereka sembunyikan.“Ndin, pliiss aku tau pasti ada sesuatu yang kalian ketahui, beritahu aku, aku tidak akan mengatakan pada Pak Damar.“Demi aku Ndin,” ucap Annisa seraya memegang tangan Andina.Andina menghela nafas berat, sebenarnya ia tak ingin menceritakan apa yang ia ketahui pada Andina tapi Annisa sudah memaksa.“Sebenarnya beberapa hari yang lalu Clarissa datang ke kantor dan sepertinya menemui Pak Damar di kantornya.”Deg!Annisa terkejut dan membelalakan matanya. Ia tak menyangka Mas Damar masih berhubungan dengan mantannya, awalnya ketika Clarissa datang dan mengucapkan selamat di hari bahagia mereka. Wajah Annisa langsung berubah sedih.“Nis, Nis, lu lagi hamil Nis, jangan mikirin yang gak penting, aku gak tau keperluan Clarissa kemari apa, bisa jadi mereka mempunyai hubungan bisnis atau apa,”Andina menjelaskan dengan terburu-buru.“Nis, jangan dipikirkan ya, makanya aku ngerahasiain semuanya karen
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis