“Gendhis! Tunggu! Gendhis!!” seru Farid tapi Gendhis terus berlalu meninggalkan Farid yang terpaku. Farid menyusul Gendhis ke luar restoran tapi mereka sudah pergi jauh dengan terburu-buru. Farid tak menyusul Gendhis lagi, ada apa dengan Gendhis mengapa dia menghindari Farid.“Ada apa tho Rid? Kok kayak orang kesetanan begitu?” tanya Bu Wartini menghampiri Farid. Ia tak menyadari jika Farid telah bertemu Gendhis.“Mak, aku melihat Gendhis, aku melihat Gendhis,” ucap Farid.“Dimana? Kok Emak nggak lihat.” “Tadi di situ, tapi kini mereka telah pergi dan sepertinya menghindari ku, Gendhis tidak mau bertemu denganku,” ucap Farid sambil terus melongok ke sana ke mari mencari keberadaan Gendhis.“Mereka? Apa dia bersama suaminya? Tentu saja dia menghindar, takut suaminya salah paham.”“Bukan, dia bersama Annisa Mak, apa mungkin Gendhis juga belum menikah?” Farid menerka-nerka. Kemudian Bu Wartini mengajak Farid untuk kembali duduk dan melanjutkan makan. Bu Wartini menatap wajah anakny
Bagaimana ini? Aisya membatin. Bolehkah dia memberi tahu Farid kalau sebenarnya Gendhis juga belum menikah, kasihan mereka berdua setelah sekian lama masing-masing dari mereka belum ada yang menikah, mungkinkah takdir Alla menyatukan mereka.“Bang Farid sebenarnya Gendhis sudah mewanti-wantiku agar tidak memberitahumu, ketika Abang masih bertunangan dengan Seruni dulu, dia takut merusak hubungan kalian, kalau sekarang Bang Farid sudah tidak bertunangan lagi bolehkah aku memberitahumu tentang Gendhis?” “Jadi kau pernah bertemu Gendhis Sya? Kapan? Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanya Farid.“Gendhis tidak mau kau tahu Bang, dia takut kau akan goyah dan tidak melanjutkan hubunganmu dengan Seruni, tapi ternyata hubungan pertunangan mu harus putus juga dengan Seruni, Gendhis itu baik sekali Bang Farid,” ucap Aisya.“Jadi benar Gendhis belum menikah Sya?” tanya Farid. Aisya mengangguk.“Ya Allah, Alhamdulillah, Gendhis belum menikah, entah kenapa aku tidak bisa melupakannya, ternyata dia
Annisa sudah mempersiapkan semua barang-barangnya yang akan dibawa ke Singapura. Semalam Damar sudah bertanya pada Annisa, apakah dia sanggup menjalani bayi tabung untuk program kehamilan.“Insyaallah aku siap Mas,” ucap Annisa mantap.“Mungkin ini akan menyakitkan sekali bagimu sayang, apakah kau sanggup? Waktunya juga tidak sebentar mungkin butuh waktu berminggu-minggu untuk kita menjalaninya,” ujar Damar memberikan pandangan pada Annisa.“Insya Allah aku siap Mas,” ucap Annisa mantap.“Baiklah kalau begitu, kita berangkat besok siang,” ucap Damar.Pagi ini mereka tengah sarapan bersama, untuk beberapa Minggu ke depan mungkin Damar harus libur bekerja, ia mempercayakan kantor pada general manager, nanti Damar juga akan bolak-balik Singapura-indonesia untuk memantau kantornya.“Jadi, kalian berangkat nanti siang?” tanya Pak Danu sambil menyeruput kopinya.“InsyaAllah, jadi Pa, sekarang aku mau ke kantor dulu, untuk menandatangani beberapa berkas,” ucap Damar, kini dia tidak mau ambil
Dokter paruh baya tersebut, menyapa Damar dan Annisa dengan ramah. “Halo, silahkan duduk, ada yang bisa kami bantu?” ujar Dokter Richard dalam bahasa inggris.“Terima kasih Dokter.” Damar dan Annisa duduk di depan sang Dokter. “Begini Dokter, ini istri saya Annisa, kami suda menikah cukup lama dan belum memiliki anak, ketika awal-awal menikah, sudah mempunyai anak, tapi tidak berumur panjang jadi kami ingin menjalani program bayi tabung dokter,” terang Damar dengan menggunakan bahasa inggris yang sangat pasih. “Oh, saya paham, apakah kalian pernah menjalani program bayi tabung sebelumnya?” tanya sang Dokter. “Belum Dokter.” “Baiklah, saya akan memeriksakan istri anda terlebih dahulu,” ujar Dokter Richard. Annisa berbaring di brankar yang telah disediakan, Dokter Richard memeriksakan Annisa dengan menggunakan alat USG. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan untuk mengukur kualitas sel telur dan mengukur kadar hormon estrogen, pemeriksaan penyakit menular Dan pemeriks
Esok harinya Annisa dan Damar berkunjung ke chinatown, berbagai oleh-oleh dijual di sana. Chinatown dulunya merupakan kawasan pusat imigran China yang datang ke Singapura. Sekarang, tempat ini disulap menjadi salah satu spot wisata populer di Singapura. Terdapat arsitektur bangunan ala Negeri Tirai Bambu di sana. Selain itu, aneka kuliner otentik China, seperti nasi ayam hainan, mi, dimsum, dan sebagainya banyak dijual di sana, hanya saja harus memilih makanan yang halal yang bisa dimakan oleh muslim. “Mas, kita makan ditempat lain aja ya? Takut salah pilih,” ujar Annisa, Damar menganguk, mereka berjalan menyusuri toko-toko di Chinatown sambil berpegangan tangan. Mereka berbelanja sepuasnya di Chinatown, mulai dari pakaian, produk kerajinan, barang antik, dan sebagainya. Tak lupa ia membeli oleh-oleh untuk kedua sahabatnya, Cellin dan Andina. Chinatown juga dilengkapi dengan tempat ibadah yang bisa menjadi destinasi wisata religi, seperti Sri Layan Sithi Vinayagar Temple, Buddh
Clarissa sedang duduk di ranjangnya ia mengelus perutnya yang sudah sangat besar. Ia mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.“Bagaimana jika Damar tidak mau menikahiku?” ujar Clarissa pada dirinya sendiri. “Aku harus mencari cara agar ketika tes DNA nanti hasilnya anak ini benar-benar anak Damar, tapi bagaimana caranya. Ah siap, mengapa cinta satu malam ini membuatku hamil, jika saja aku minta pertanggung jawaban pada David pastilah tidak tidak akan percaya, Ahhhh....mengapa semua ini terjadi padaku,” keluh Clarissa, ia terduduk di lantai, memegang perutnya yang membesar air matanya mengalir deras.Hubungan Damar dan Annisa kini juga sudah memulai membaik, Clarissa gagal menghancurkan hubungan mereka, padahal sudah berbagai cara ia lakukan tapi tak berhasil, cinta mereka begitu kokoh. Clarissa kembali mengambil ponselnya, ia menekan nomor David mencoba menghubungi David. Stelah sekian lama mereka tak pernah bertemu. Clarissa menghapus sisa air mata yang mengalir di pipinya.
“Lho emang ada apa sih? Kok wajah kalian kusut sekali?” tanya Gendhis melepaskan pelukannya. “Programnya gagal Ndis,” jawab Annisa menunduk dalam.Gendhis menghela nafas, ia tahu sahabatnya itu sangat sedih dan kecewa. “Belum rejeki itu namanya, nanti kita usahain lagi, yang penting jangan berputus asa, Allah tidak suka loramg yang berputus asa,” ucap Gendhis. “Iya Ndis, aku tahu.” Akhirnya mereka pulang ke rumah, tak bisa dibayangkan reaksi Bu Widya, setelah tahu jika program bayi tabung Annisa gagal. Ia pasti akan menertawakan Annisa dan pastilah ia menyalahkan Annisa. Mereka bertiga sampai di rumah, ada Bu Widya da Pak Danu yang sedang menunggu kepulangan Damar dan Annisa dari Singapura. “Bagaimana hasilnya? Berhasil nggak?” tanya Bu Widya sewot.“Ma, biarkan mereka istirahat dulu kek, kok langsung ditanyai begitu, Papa heran dengan sikap Mama, sama Clarissa aja baik tapi sama menantu sendiri disewotin terus,” ucap Pak Danu. Bu Widya meruncingkan mulutnya tanda tak suka.“Bag
Annisa menyambut kedatangan ukhti Aisya dengan menyalaminya begitu juga dengan Gendhis, Farid dipersilahkan duduk oleh Annisa. Farid terlihat sangat tampan dan bersahaja, ia mengenakan baju semi Koko berwarna abu-abu.Sedangkan Gendhis duduk sambil menundukkan pandangannya, entah kenapa disaat Farid ada di depannya ia malah tak berani mengangkat kepalanya, sedangkan jika tidak berhadapan langsung Ia akan mencarinya. “Apa kabar Ukhti, sudah lama kita tak pernah ngumpul-ngumpul begini, aku juga sibuk sekali di kantor,” ujar Annisa sambi memegang tangan Aisya.“Iya Nis, aku juga sibuk, kadang-kadang bantuin Abinya anak-anak di toko, sibuk ngurus anak-anak, mana sempat lagi untuk bersantai,” timpal Aisya pula sambil tertawa kecil. Farid dan Gendhis dari tadi hanya menyimak perbincangan teman lama ini, biasanya Gendhis yang ceplas-ceplos dan agak pecicilan kini terdiam seribu bahasa, mungkin saja karena ada pujaan hati yang sudah sekian tahun ada di lubuk hati yang paling dalam. “Ndis,
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis