Untuk beberapa waktu, baik Pijar dan Bagas hanya bisa saling tatap. Pijar terkejut tentu saja. Namun, dia bisa menguasai hatinya. Ekspresinya tercetak dingin dan formal. Elang menatap dua orang itu bergantian sebelum berdehem keras. “Kalau kalian membutuhkan waktu untuk bernostalgia, maka lakukan nanti di luar jam kerja.” Suara Elang yang dingin itu membuat suasana di tempat itu terasa canggung luar biasa. Elang adalah jenis laki-laki yang tidak suka berpura-pura apalagi menyembunyikan ketidaksenangannya terhadap sesuatu. Oleh karena itu, dia akan langsung mengatakan apa pun yang mengganjal di dalam kepalanya. “Saya minta maaf, Pak.” Bagas buru-buru bersuara. “Bapak ingin melihat-lihat lebih detail lagi?” tanya Bagas meskipun fokusnya terbagi dengan menatap Pijar. “Tentu saja. Saya ingin proyek ini berjalan dengan baik dan tidak ada yang mengecewakan.” “Pasti, Pak.” Mereka lagi-lagi berjalan mengelilingi tempat tersebut untuk memastikan tidak ada yang terlewatkan. Pijar fokus pa
“Apa aku serendah itu di matamu, Elang?” tanya Pijar dengan perasaan yang teriris perih, “kalau kamu tidak tahu apa pun tentang sesuatu, tolong jangan berbicara sembarangan. Kamu menyakiti hati orang lain.” “Oh, orang sepertimu juga punya rasa sakit hati? Bukankah kamu sudah tidak punya hati?” Elang semakin merendahkan Pijar dengan kata-katanya. “Pijar … Pijar …, jangan terus menggunakan topeng. Sekali-kali buka topengmu dan tunjukkan betapa kamu adalah manusia rendah.” Elang menunjukkan wajah tidak senangnya ketika mengatakan itu kepada Pijar. Dia seolah tengah menikmati setiap rintihan sakit yang Pijar rasakan atas semua kata-kata pedas yang diberikan. Meskipun begitu, Elang sepertinya tidak tampak puas. “Aku jadi penasaran. Berapa kamu membandrol hargamu untuk bisa dibawa ke kamar hotel. Seratus ribu? Atau dua ratus ribu? Atau bahkan gratis?” Kekehan sinis keluar dari mulut Elang setelah itu sebelum dia kembali bersuara. “Sayangnya, meskipun gratisan, aku bahkan tidak ingin tidu
“Apa yang kamu lakukan, kamu mau ke mana?” Elang mengernyitkan dahinya ketika melihat Pijar berbalik untuk pergi meninggalkan Elang yang masih berdiri di tempat semula. Langkah kaki Pijar terhenti. Gadis itu berbalik untuk menatap Elang. Wajah lelahnya tampak menyedihkan meskipun masih tertutup dengan makeup. Pijar menatap Elang sebelum satu tarikan napasnya lolos. “Saya ini manusia biasa, Pak. Bukan robot. Ini sudah hampir jam sembilan malam, kenapa saya harus meneruskan bekerja?” Pijar tidak mengalihkan tatapannya di wajah Elang dan menunggu jawaban lelaki itu. “Apa saya tidak membayar kamu ketika saya memintamu untuk lembur?” “Ini bukan bukan soal uang, Pak.” “Oh, tentu saja ini bukan soal uang. Kamu pasti sudah banyak uang karena itu kamu merasa tidak penting lagi lembur menyelesaikan pekerjaan kantor. Atau, hari ini kamu punya klien? Sudah ditunggu di hotel?” Pijar sangat lelah mendengar segala hinaan yang diberikan oleh Elang kepadanya sampai dia tak ingin mempermasalahkan
“Ada apa ini? Mas … menikah?” Suara Pijar yang bergetar membuat semua orang yang berada di dalam ruang tamu keluarga Bagas itu menoleh serentak ke arahnya. Beberapa anggota keluarga Bagas yang sudah mengenal Pijar tampak terkejut. Bahkan Bagas yang baru saja menandatangani dokumen pernikahan pun berdiri seketika. Menatap Pijar dengan ekspresi tegang. Bisik-bisik itu tak bisa dihindarkan. Namun Pijar tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Yang dia butuhkan sekarang adalah penjelasan yang masuk akal dari sang kekasih. Hari ini adalah hari ulang tahun lelaki itu. Pijar sudah mempersiapkan kejutan untuk sang kekasih dengan datang ke kediaman orang tuanya. Tak lupa dia membawa kue ulang tahun dan juga sebuah kado. Tapi yang terjadi justru mendapati sebuah kenyataan yang menyakitkan. Kekasihnya itu menikah dengan perempuan lain secara diam-diam di belakangnya. Menorehkan luka yang dalam di hati Pijar. Seandainya Pijar tidak datang ke sana, apakah dia akan seperti perempuan bodoh
“Pijar Kemuning!” Panggilan setengah bentakan itu membuat lamunan Pijar tercecer. Ingatan malam itu yang baru saja terlukis di pikirannya kini hancur berantakan. Elang berdiri di depan mejanya dengan mata menatap tajam. Pijar tergagap salah tingkah. Dia segera berdiri dan meminta maaf. “Maaf, Pak.” Pijar menunduk dalam tahu kalau dia bersalah. “Apa Bapak membutuhkan sesuatu?” Elang melepaskan napasnya panjang. “Kamu tidak dihubungi oleh Pak Gema?” tanyanya setelah itu. “Tidak, Pak. Apa ada sesuatu?” Pijar tidak mengerti kenapa Gema harus menghubunginya, tetapi pertanyaan Elang itu tentu saja membuat Pijar merasa penasaran. “Kamu diundang datang ke rumah beliau malam ini. Jadi, pastikan kamu tidak menerima ‘tamu’ dan penuhi undangan tersebut.” Setelah mengatakan itu, Elang segera masuk ke dalam ruangannya. Kini giliran Pijar yang menarik napasnya panjang. Elang akan selalu menyelipkan kata-kata tajam yang menjurus hinaan untuknya. Terlebih lagi setelah semalam mereka sempat berde
“Aku heran.” Elang menjawab ucapan sang ayah. “Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Pijar untuk keluarga kita sampai Mama, Papa, dan Leo membela habis-habisan perempuan itu.” “Karena dia tidak pernah memiliki masalah dengan kami,” jawab Gema dengan tenang, “kami juga tidak pernah mengajari kamu untuk menjadi laki-laki pecundang, Elang. Kenapa, kamu menjadi seperti ini?” tanya Gema menatap putranya dengan serius. “Pak Gema.” Pijar menegakkan tubuhnya bersiap untuk berbicara. “Saya akan menjadi sekretaris Pak Elang,” putusnya dengan berat, “apa pun yang menjadi kesalahan saya di masa lalu, saya akan menebusnya sekarang sampai Pak Elang merasa semua kesalahan saya terbayar.” Pijar menelan ludahnya susah payah. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih karena Bapak sudah menawari saya jabatan yang baik untuk saya. Kalau tidak ada yang perlu Bapak sampaikan lagi, izinkan saya pulang sekarang.” “Ya.” Almeda yang menjawab. “Pulanglah, Pijar. Maaf, karena sudah membuat kamu sedih.” Pijar mengula
‘Jika aku tidak bisa meluluhkan hatimu dengan sikapku yang keras, maka aku akan melakukannya dengan kelembutan.’Itulah kira-kira cara yang Pijar ambil untuk bisa bertahan di sisi Elang yang penuh dengan rasa sakit. Dia juga ingin membuat kedamaian dalam versi dirinya sendiri meskipun hantaman dari luar bertubi-tubi. Pijar bisa melaluinya, itulah yang selalu dipegang dalam hatinya. “Kamu berpakaian seperti ini?” Pijar baru sampai sampai di apartemen Elang, masih berdiri di depan pintu lelaki itu, tetapi pertanyaan itu yang pertama kali dilontarkan oleh Elang.Ekspresinya tidak senang terpasang di wajahnya. Memindai penampilan Pijar dari atas sampai bawah. Seragam golf terpasang sempurna di tubuh gadis itu. Rok pendek di atas lutut berwarna putih dengan kaos navi benar-benar membuat penampilan Pijar tampak sempurna. Kaki jenjangnya terlihat sangat mulus dan Elang harus mengurut dadanya karena melihat itu. Jelas itu berbeda dengan Pijar yang biasanya saat di kantor. Pijar di kantor sa
Sepanjang permainan golf, Pijar senantiasa berada di belakang Elang. Memastikan jika lelaki itu membutuhkan sesuatu, maka dia bisa memberikannya dengan cepat. Sepanjang Elang bermain golf bersama dengan teman-temannya Elang tidak bicara meskipun candaan terkadang keluar dari mulut mereka. Pijar bersyukur karena teman-teman Elang sekarang bukanlah orang-orang yang sama dengan mereka yang ada di diskotik waktu itu. “Pijar, mau coba main?” Salah satu teman Elang menawarkan. Lelaki tampan itu tersenyum ramah. “Biar saya ajari.” Pijar menggeleng. “Tidak usah, Pak. Terima kasih. Saya lebih suka menonton.” Lelaki itu mengangguk dan tidak memaksa Pijar. Memilih melihat Elang yang tengah beraksi di lapangan hijau tak jauh dari mereka. Setelah mereka mengakhiri permainan, waktu sudah semakin siang. Tidak segera pulang dan mereka memilih untuk istirahat di sebuah coffee shop sambil menikmati pemandangan lapangan hijau di hadapannya. Seperti biasa, obrolan mereka tentu saja tak jauh dari bis
Pernikahan itu tidak mewah seperti yang diinginkan oleh Ruby sebelumnya. Namun, bisa dirasakan begitu khidmatnya acara akad nikah tersebut. Tamu yang datang benar-benar hanya teman dekat dari dua belah keluarga sehingga acara itu sungguh begitu nyaman.Sepanjang acara, Orion tidak melepaskan Ruby sama sekali. Entah itu dengan menggenggam tangannya, memeluk pinggangnya, atau hanya menempelkan bahunya dengan bahu Ruby. Lelaki itu seolah tidak ingin ditinggalkan oleh Ruby. Acara itu hanya berjalan dua jam, tetapi Orion merasa dia lelah luar biasa.“Pa, Ma, aku pamit.” Ruby berdiri di depan anggota keluarganya untuk pergi dari rumah dan tinggal berdua dengan Orion. Mereka bahkan tidak ingin seharipun menginap di rumah orang tua Ruby.“Kamu baik-baik, ya. Sekarang kamu sudah menjadi istri. Yang nurut sama suami. Kalau ada sesuatu yang dirundingkan dan jangan asal ambil keputusan sendiri,” pesan ibunya dengan mata berkaca-kaca.“Iya, Ma. Aku ngerti.” Ruby mengangguk dan tidak lagi banyak bic
Ruby tampak anggun dengan dress navy di bawah lutut. Rambutnya diurai dengan model curly, make up tipis menghiasi wajahnya. Keseluruhan penampilannya begitu cantik luar biasa. Sebelumnya dia tak pernah berpenampilan seperti ini. Tentu saja hal itu membuat Orion tampak terpesona. Senyum tipis penuh makna itu terlihat di bibirnya. Dua keluarga itu duduk berhadapan untuk membicarakan masalah pernikahan. Pada akhirnya, hubungan yang dianggap tidak akan bertahan lama itu ternyata akan berakhir di pelaminan. “Untuk mengikat keduanya, kami sudah menyiapkan cincin pertunangan untuk mereka. Maaf kalau sebelumnya kami tidak mengatakan apa pun terkait ini, tapi, akan lebih baik kalau mereka tunangan lebih dulu.” Pijar meletakkan kotak cincin di atas meja dengan keadaan terbuka. Dua cincin berkilauan itu terlihat. Satu cincin bertahtakan berlian itu tampak begitu mewah dan indah. Cincin itu diperuntukkan untuk Ruby dan satu cincin polos tentu saja untuk Orion. “Bu Pijar, bukankah ini terlalu
“Pasti ada hal penting yang ingin dr. Daniel katakan kepada kami sehingga jauh-jauh datang ke kantor kami.” Elang menyambut dengan baik kedatangan Daniel. Setelah mengetahui jika Elang adalah seorang CEO, lelaki itu tampaknya mengubah pandanganya tentang Orion. Dia belum tahu mendalam tentang Orion dan keluarganya dan hanya dengan semua ini saja dia sudah terkejut luar biasa. Daniel mengangguk sebelum berbicara. “Ruby menerima tawaran Orion. Dia mau menikah dengan Orion dan saya diminta Papa untuk menemui Pak Elang untuk membicarakan tentang ini. Kapan keluarga kami bisa datang ke kediaman Pak Elang untuk membahas pernikahan?” Elang menatap Orion yang juga tengah menatapnya dengan serius. Dia tak memiliki apa pun untuk dikatakan. Lelaki itu hanya diam seolah masih mencerna setiap kejadian yang terjadi hari ini. “Kalau memang ingin membicarakan pernikahan, kami saja yang akan datang. Sekalian melamar secara resmi.” Elang menjawab dengan lugas dan tegas. “Tidak, Pak. Bapak dan kelu
“Aku sudah memutuskan untuk menikah. Nggak peduli kalau hanya menjadi ibu rumah tangga.” Setelah memikirkan selama berhari-hari, akhirnya Ruby mengambil keputusan dan mengatakan kepada keluarganya. setelah makan malam, dia mengumpulkan empat anggota keluarganya untuk diajak berbicara serius. Baginya semua akan sama saja. Dia sekarang terkurung di rumah besar orang tuanya tanpa melakukan apa pun. Semua yang dia mau sudah tersedia dan sekedar menginginkan es krim saja sudah tersedia. Ruby sudah merasa lelah dengan semua yang terjadi sekarang. Biarlah dia menikah dan menjadi istri Orion. Dia tidak pernah apa keputusannya menikah muda adalah keputusan yang tepat, tetapi baginya ini lebih baik. “Aku sudah memikirkan secara matang dan mendalam. Aku akan menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku banyak cinta dan Orion adalah orang itu.” Ruby menatap satu per satu keluarganya. Bisa dilihat bagaimana mereka tampak terkejut yang berusaha ditutupi. Rahang sang ayah tampak mengerat, pun d
Seluruh anggota keluarga Ruby dibuat terkejut dengan kemunculan Orion di rumah mereka. Orion tidak datang sendiri melainkan bersama dengan kedua orang tuanya. Lelaki itu seolah ingin menunjukkan keseriusannya kepada Ruby atas hubungannya dengan gadis itu. Ayah Ruby tentu saja menerima kedatangan mereka dengan santun selayaknya tuan rumah menerima tamu. “Maafkan kami, Pak, kalau kedatangan kami mengejutkan Bapak dan keluarga.” Elang mengawali. “Tujuan kami ke sini tak lain adalah untuk itikad baik kami dalam hubungan Orion dan Ruby.” Ruby yang juga berada di sana pun terlihat terdiam tak mengatakan apa pun. Elang adalah bos besar dan dia bahkan tidak pernah berhadapan langsung dengan lelaki itu sejauh dia bekerja di Infinity. Namun, sekarang lelaki itu tiba-tiba datang dan membicarakan masalah hubungan putranya dengan mantan karyawannya. Sungguh, dalam bayangan Ruby pun dia tak pernah menyangka hari ini akan tiba. “Orion mengatakan jika dia sangat mencintai Ruby dan tidak siap jika
Total sudah dua bulan Orion tidak bertemu dengan Ruby. Jangan tanyakan bagaimana rindunya lelaki itu kepada sang pujaan hati. Setelah dia mendapatkan alamat rumah orang tua Ruby, alih-alih segera mendatangi rumah gadis itu, dia justru terus memutar ucapan sang ayah di dalam kepalanya. Dia selama ini tidak pernah mendapatkan penolakan dalam hal apa pun. Tentu saja ada sebuah ketakutan yang muncul di dalam hatinya jika orang tua Ruby akan menolaknya mentah-mentah. Oleh karena itu, dia belum berani ambil resiko. Namun, semakin dia merasakan rindu itu menggebu, semakin tidak bisa dia mengendalikan emosinya. Hampir setiap hari dia marah kepada orang-orang di sekitarnya. “Silakan, Mas.” Orion terhenyak ketika seorang pelayan datang membawa pesanan makan siangnya. Dia mengangguk dan berterima kasih kepada pelayan tersebut sebelum memulai makan. Merasa ada yang memperhatikan, Orion mendongak dan seperti ada tamparan di wajahnya, tepat di depannya ada Ruby yang menatap ke arahnya. Orion den
Perjalanan cinta Orion sama sekali tidak mudah. Pertentangan itu bukan hanya muncul dari satu orang, tetapi satu keluarga Ruby. Orion memang belum pernah bertemu dengan ayah Ruby, tetapi dia pun yakin semua ucapan Daniel sudah mewakili ayahnya. Sekarang dia hanya menunggu sebuah keajaiban barangkali dia akan bertemu dengan Ruby tanpa disengaja. “Mas Orion.” Orion mendongak menatap dua orang yang ada di depannya. Dia memanggil dua orang tersebut untuk ke ruangannya. “Duduk!” perintahnya setelah itu. “Di antara kalian, apa ada yang tahu sesuatu tentang Ruby?” tanya Orion. “Kalian satu divisi dengan Ruby saya rasa mungkin ada sesuatu yang bisa kalian bagi tentang dia.” Dua orang itu saling menatap sebelum salah satu dari mereka menjawab. “Jujur saja selama kami bekerja bersama dengan Ruby selama ini, nggak pernah sekalipun dia bercerita tentang kehidupan pribadinya, Pak.” Orion sudah menduga jawaban itu yang diberikan. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara lebih dulu. “Ruby itu ti
Seorang lelaki berbadan kekar berdiri di depan Ruby dengan wajah garangnya. Ruby tidak tahu kenapa ada lelaki asing itu di rumah orang tuanya, tetapi tiba-tiba saja dia mengingat ucapan ayahnya saat itu. Jika Ruby ingin ke mana-mana, maka ada seorang bodyguard yang akan menemaninya. Apa jangan-jangan ….“Namanya Brama.” Ayah Ruby tiba-tiba bersuara. “Dia yang akan menemani kamu ke mana pun kamu pergi. Kamu bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau dan Brama yang akan membayar semuanya. Papa sudah memberikan kartu debitmu kepadanya.” Ruby tahu kenapa ayahnya melakukan itu karena memang kartu debit yang diberikan kepadanya bahkan tidak diterima. “Aku nggak mau ke mana-mana.” Ruby berlalu dari hadapan sang ayah untuk pergi ke ruang makan. Ruby tidak berlama-lama mogok makan. Bagaimanapun dia tidak ingin mati secara mengenaskan hanya karena kelaparan. “Aku butuh HP-ku, Pa.” Ruby duduk di kursi makan. Menerima roti yang baru saja dibuatkan oleh ibunya. “Daniel bilang kalau kamu sudah dibel
“Semua urusan di kantormu sudah Abang selesaikan. Kamu per hari ini sudah nggak tercatat lagi sebagai karyawan Infinity.” Daniel baru saja pulang dari rumah sakit ketika melihat adiknya tengah melamun di halaman samping rumah dengan sebuah buku di tangannya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di atas meja sebelum duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Ruby. “Ini Abang belikan HP dan tablet baru buat kamu. Nomornya sudah ada dan kamu tinggal pakai.” Ruby melirik tanpa minat seolah dia tak membutuhkan itu. Untuk apa barang-barang mewah itu? Toh dia sebenarnya membutuhkan itu untuk bekerja. Sekarang semuanya sudah berakhir dan sudah tidak menyisakan apa pun lagi di dalam hidupnya. “Non Ruby, dipanggil untuk ke ruangan Bapak.” Belum satu terjawab, dia sudah diminta menghadap sang ayah. Betapa kakunya hidupnya sekarang. Ini adalah hal yang paling tidak disenangi ketika dia berada di rumahnya. Segalanya terasa begitu berat untuknya. Ruby beranjak untuk menemui