Sudah manis belum Pak Regan????? >,<
“Aku tidak sakit, Sayang. Pergilah.” Reina mengangguk saja. Lalu ia menemani Leon di ruangannya. Wanita itu duduk. Menanti dengan sabar hingga rasa kantuk datang menyerang. Reina ketiduran dengan wajah yang bertumpu di kedua tangannya. Dengan perlahan Leon mulai membuka kedua matanya. Jemari bergerak hingga mengenai kepala Reina. Seketika Reina terbangun karena terkejut. Ia segera mendongakkan kepalanya. “Leon ... kamu sudah sadar?” tanya Reina antusias. “Reina ... bagaimana bisa kamu ada di sini? Apa yang terjadi kepadaku?” tanya Leon begitu lirih suaranya hampir tidak terdengar. “Kamu kecelakaannya, Leon.” Leon mulai mengingat kejadian tadi malam. Ia sangat kecewa dan sakit hati kepada Karin. Akan tetapi lelaki itu tidak mau menceritakan hal itu kepada Reina. Leon merasa malu. “Terima masih sudah mau menemani aku di sini.” Lelaki itu tersenyum tipis. Reina pun membalas dengan sebuah anggukan dan senyuman. Ingin rasanya menanyakan tentang Karin. Namun ia belum berani. Takut
“Reina hanya ingin minta maaf. Tidak seharusnya Reina bertengkar dengan Karin karena Leon.” “Baiklah. Mungkin setelah ini kamu tidak akan bertengkar lagi dengan Karin karena dia sudah tidak bekerja di sini. Aku akan memaafkan kamu. Tapi ada syaratnya?” Regan menaik-turunkan alisnya. Reina mengerucutkan bibirnya. Ia tidak mau jika syaratnya aneh-aneh. Perasaannya sudah tidak enak. “Sayang ... kok malah cemberut? Aku tidak meminta yang aneh-aneh kok. Aku ingin nanti malam kamu menemaniku pergi ke suatu tempat. Mau 'kan?” pinta lelaki itu memohon. “Suatu tempat? Ke mana?” “Rahasia. Anggap saja sebuah kejutan.” “Kenapa harus kejutan? Kenapa tidak mengatakannya saja mulai sekarang?” Reina sengaja bersikap manja. “Jadi mau dimaafkan atau tidak?” Regan menyentil pelan hidung istrinya. Reina pun segera menganggukkan kepalanya. Setelah itu Regan kembali ke ruangannya. Dan Reina mulai melanjutkan pekerjaannya sebagai sekretaris. Sore itu tidak ada yang lembur. Jeffan pun memi
Tanpa terasa waktu yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Hari ini adalah hari perayaan pernikahan Reina dan Regan. Acaranya diadakan di sebuah hotel berbintang lima. Sejak pagi Reina sudah disibukkan dengan berbagai peralatan make up. Wanita itu dirias layaknya seorang ratu. Reina mengenakan pakaian berwarna putih yang dipilihkan Desvita waktu itu. Benar-benar sangat cocok dan tampak elegan saat dikenakan oleh Reina. “Kamu sangat cantik, Sayang. Kamu terlihat sempurna,” puji Regan kepada Reina yang memakai gaun begitu indah. Terpancar raut wajah penuh kebahagiaan di antara keduanya. “Pak Regan juga sangat tampan.” Reina malu-malu mengatakannya. “Aku harap setelah ini kamu tidak memanggilku Bapak lagi Istriku,” bisik Regan di dekat telinga wanita itu. “Kalau begitu ... sebaiknya Bapak menyiapkan panggilan yang tepat. Atau—” “Akan aku pikirkan panggilan paling romantis untukku.” Mereka berdua terkekeh pelan. Acara demi acara pun berlangsung sangat lancar. Setelah pemotongan
“Pak Regan, maafkan Reina.” Wanita itu memeluk tubuh Regan dari belakang saat sang suami hendak meninggalkannya sendirian. “Jangan tinggalkan, Reina.” Wanita itu memohon. Reina ingin Regan mendengar penjelasannya dan menerima permintaan maafnya. Regan memejamkan kedua matanya. Menarik napas panjang. Kemudian baru memutar tubuhnya perlahan. Tentu ia tidak bisa jika harus marah kepada Reina. “Katakanlah apa yang terjadi!” ujar Regan kemudian. Kedua tangannya memegang bahu kanan dan kiri istrinya. Reina pun mengangguk dan segera menjelaskan semuanya tanpa ditutup-tutupi lagi. Ia benar-benar tidak mau jika Regan mencurigai dirinya. “Bapak percaya 'kan sama Reina?” ujar Reina berwajah sendu. “Reina hanya penasaran dengan hubungan Evan dan Karin. Reina ternyata masih peduli dengan Karin.” Regan langsung menarik tubuh Reina dan mendekapnya begitu erat. Sebenarnya ia tidak benar-benar marah. Hanya menginginkan Reina bertindak lebih tegas dan jujur kepadanya. Rasa sayang Regan jauh leb
“Kamu ini bicara apa, Sayang? Mana mungkin aku melakukannya? Pacaran saja tidak pernah.” “Mana mungkin?” Reina mengubah posisinya. Ia segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Walau bagaimanapun masih ada perasaan malu terhadap Regan. “Jadi kamu masih tidak percaya?” Jemari Regan membelai wajah istrinya. Ia ingin berlama-lama menatap wajah menyenangkan di depannya itu. Karena Regan tahu jika Reina kelelahan, maka lelaki itu membiarkan istrinya segera beristirahat. “Istirahatlah, Sayang. Pasti kamu sangat lelah.” “Pak Regan juga, ya?” Reina ikut membelai wajah suaminya. Terlihat kumis tipis mulai tumbuh di atas bibirnya. “Iya, Sayang.” Regan mengelus lembut kepala sang istri hingga tertidur. Pukul dua pagi, Reina terbangun karena merasa haus. Kedua matanya mengerjap pelan dan mendapati Regan tidak ada di sisinya. “Ke mana suamiku? Kenapa tidak ada di sini?” Dengan perlahan Reina turun dari ranjang. Bermaksud mengambil air minum sekaligus mencari keberadaan Regan. Samar-sa
Seketika Regan menoleh ke arah Reina. “Reina?”Regan merasa khawatir dengan keadaan istrinya.Lelaki itu langsung berjalan cepat menghampiri Reina. Memastikan bahwa sang istri baik-baik saja dan tidak terkena pecahan beling sehingga membuat kulitnya terluka.“Sayang ... kamu baik-baik saja?” Regan berusaha menyentuh istrinya untuk menenangkan. Tetapi Reina segera menepis tangan Regan.“Berhenti! Tidak usah sok peduli! Jadi benar 'kan, selama ini Pak Regan masih berhubungan dengan dia?” bentak Reina sambil menunjuk ke arah Kimberly yang masih berdiri di dekat pintu sambil memegangi perutnya.“Puas Pak Regan sudah menyakiti perasaan Reina? Bahkan Pak Regan dengan terang-terangan membuat wanita itu hamil?”Reina merasa Regan telah banyak berbohong kepadanya. Wanita itu menggeleng perlahan. “Pantas saja tadi bilang pengen cepat-cepat menjadi seorang papa. Jadi ini alasannya, hah?!”Air mata pun tak berhenti menetes. Reina menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli jika Xavier dan beberapa pela
“Lepaskan!” Kimberly mencoba mendorong tubuh lelaki di hadapannya. “Aku sedang hamil. Aku tidak mau kehilangan anak ini.”Air mata Kimberly jatuh perlahan. Ia sudah kehilangan tenaga untuk melawan. Sementara lelaki di dekatnya ini semakin bersemangat untuk menyentuhnya.“Aku sudah katakan waktu itu. Gugurkan kandungan ini. Kenapa kamu masih keras kepala?!” bentak lelaki itu.“Aku tidak mau. Aku tidak bisa. Jangan paksa aku, Om Justin.” Kimberly menggelengkan kepalanya berkali-kali.Lelaki paruh baya itu terdiam sejenak. Dalam hal ini ia tidak mau disalahkan sepenuhnya. Dari Awal Kimberly sudah berusaha menggodanya. Meski niat wanita itu hanya untuk mengambil hati Justin agar hubungannya dengan Regan direstui.Tetapi Justin salah mengartikan. Jiwa laki-lakinya menyala kembali hingga membuat dirinya menyalurkan hasrat kepada calon menantunya itu.“Bagaimana jika istriku tahu? Aku tidak bisa mengendalikan diri saat melihatmu. Salah siapa kamu datang sendiri ke rumah ini.” Justin berbicar
“Lebih baik Pak Regan menikah dengan Kimberly. Mama sangat mendukung hal itu.”“Maksud kamu apa, Reina?” Regan menatap dalam manik mata milik istrinya. Terlihat ada kekhawatiran di sana.“Tidak ada yang menyukaiku, Pak. Aku selalu jadi masalah di keluarga ini. Reina merasa tidak pantas.”“Stop, jangan berbicara seperti, Reina. Kita jalani semua ini sama-sama. Aku janji tidak akan pernah meninggalkan kamu.” Regan menggenggam erat kedua tangan Reina.Namun wanita itu justru melepaskannya. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan pelan menuju jendela kamar.“Tapi Reina tidak biasa memberikan seorang cucu. Sedangkan Mama dan Papa sudah menginginkannya.”Regan ikut berdiri. Ia segera menghampirinya istrinya. “Dengarkan aku, Reina. Kita menikah baru beberapa bulan. Masih banyak waktu. Aku yakin suatu saat nanti kita akan diberikan sebuah kepercayaan untuk menjadi orang tua dari anak-anak kita.”“Tapi, Pak?”“Tidak ada tapi-tapian, Reina. Apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah menikah lagi.
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko