Pagi menjelang. Sinar mentari di ufuk timur perlahan memberikan kehangatan. Tak lagi berfungsi, satu per satu kobaran api di pucuk obor pun mulai dipadamkan.
Sekelompok orang mengenakan jubah putih terlihat sibuk mengatur segala keperluan pertandingan. Hanya beberapa saat pertandingan dihentikan. Dan kini, tiba saatnya pertumpahan darah demi menjadi seorang Penjaga harus dimulai kembali.
Orang-orang telah kembali berkumpul. Tak sabar ingin menyaksikan kelanjutan pertarungan. Para peserta yang tersisa telah lengkap menempati kursi mereka masing-masing. Akan tetapi, di jajaran kursi paling ujung, ada sebuah kursi kosong yang masih tak bertuan.
Kedua kakinya kembali menapaki tempat yang sesaat ia tinggalkan. Ada hening yang tiba-tiba menjengahkan. Ribuan pasang mata tertuju ke arahnya. Ada sebongkah tanda tanya besar di dalam benak semua orang yang menyaksikan Marcapada kembali bertengger di kursinya.
“Kenapa dia bisa duduk di kursi itu lagi?”
“A
Pedang hitam itu tergeletak pasrah jauh di luar arena. Tak mungkin dijangkau lagi oleh pemiliknya. Angin bertiup kencang. Butiran debu beterbangan, menyelimuti sebuah senjata yang kini sudah tak bisa lagi dipergunakan di dalam pertarungan. Situasi tak menguntungkan. Peserta bernomor tujuh puluh tujuh saat ini bertarung tanpa satu pun senjata. Bagai telur di ujung tanduk. Peluangnya untuk menang semakin tipis. Kekalahan justru semakin dekat menghantui. Mundur beberapa langkah ke belakang menjadi pilihan terbaik. Sedikit mengulur waktu. Mencari cara untuk keluar dari situasi sulit, sekaligus mengantisipasi serangan yang bisa kapan saja datang menghampiri. Marca bangkit berdiri. Kini semua terasa mudah untuknya. Akan tetapi, ia sama sekali tak ingin menang dengan cara memalukan. Dalam benak, ia yakin lawannya masih mungkin memberikan banyak kejutan. “Aku tak ingin menang dengan cara seorang pengecut,” ujar Marca tiba-tiba. Peserta bernomor tujuh puluh tu
Rambut hitam panjang bergelombang itu tergerai tak beraturan, bibir mungil, wajah bentuk oval, alis lebat, bulu mata lentik, dan sepasang bola mata yang menyorot teduh. Wajah ayu itu mencuat manakala topeng hitam tak lagi menutupi pesonanya. Semua orang terperangah. Tak percaya dengan penampakan sesosok wujud perempuan yang kini tampak jelas di penglihatan. Peraturan kembali dilanggar. “Ku—Kuja. Kenapa kau bisa berada di sini?” tanya Marca terbata-bata di tengah-tengah keterkejutannya. Merasa identitas rahasianya telah terbongkar, peserta bernomor tujuh puluh tujuh langsung merebut paksa kembali topeng hitamnya dari tangan Marca. “Memang kenapa? Ada yang salah?” sahut Kuja, ketus. Topeng hitam itu kembali berpindah tangan. “Tentu. Tentu saja salah. Di dalam peraturan hanya seorang laki-laki yang boleh mengikuti pertarungan.” “Kenapa? Apa kau kira aku tak cukup kuat untuk menjadi seorang Penjaga?” tukas Kuja. Air mukanya menunjukkan kekes
Dua puluh tahun lalu …. Siapa sangka, anak laki-laki bertubuh mungil, berwajah pucat itu menyalahi ekspektasi semua orang. Seharusnya ia duduk termenung di bangku teras rumahnya. Memandangi setiap sudut kayu yang telah lapuk dimakan usia, setiap bagian besi yang telah berkarat tergerus cuaca, dan setiap sudut bagian rumahnya yang hanya tinggal menghitung mundur untuk masa penghabisan. Tungkai-tungkai mungil itu terus berlari tanpa henti. Mengejar segala sesuatu yang ia temui. Hewan bersayap sebesar kepalan tangan dengan dua tanduk di kepala, hewan berwarna cokelat dengan ekor menjuntai, hewan bertaring dengan enam kaki, dan hewan berbulu putih dengan empat kaki. Tak ada yang tak ia kejar selagi mereka masih terus bergerak. Hanya jika perutnya merasa perlu diisi, ia akan berhenti, dan pergi. Ke mana pun. Untuk mencari sesuap nasi, atau sepotong roti. Entah sejak kapan ia mengena
Di tengah-tengah arena, pertarungan untuk memperebutkan gelar sebagai seorang Penjaga masih terus berlanjut. Silih berganti para peserta saling berusaha mengalahkan. Korban terus berjatuhan. Tidak sedikit dari mereka terluka, dan tak sedikit dari mereka yang merenggang nyawa. Sudah berhari-hari pertandingan dilangsungkan. Deretan kursi yang tadinya penuh terisi kini mulai terlihat lengang. Hanya ada beberapa peserta yang masih duduk di atas kursi mereka dengan raut ketegangan. Seorang peserta yang telah berhasil mengalahkan lawan pertamanya tampak membusungkan dada. Tangan kiri lelaki itu mengepal kuat, terangkat ke udara. Sementara satu tangan lainnya menggenggam erat sebuah pedang. Senjata tajam milik lelaki itu tampak berlumuran darah segar. Berwarna merah, pekat, dan kental. Enam orang mengenakan jubah putih bergegas masuk ke tengah-tengah arena. Salah seorang dari mereka membawa sebuah tandu, dan salah seorang lagi membawa beraneka macam peralatan kebers
Di area peserta, satu per satu kursi-kursi kosong mulai disingkirkan. Menyisakan dua kursi yang masih berpenghuni. Dari kedua wajah peserta yang masih tersisa, terlihat ada raut ketegangan, serta ketidakyakinan, yang terus mengikuti mereka bagai bayangan. Hilangnya sederet kursi kosong justru membuat mereka semakin terasa terintimidasi. Dengan mata terpejam, Luca menjulurkan tangan ke dasar kuali, berusaha meraih satu dari dua potongan kayu. “Baiklah, untuk peserta yang akan bertarung berikutnya adalah ....” Luca mengalihkan perhatiannya, melihat ke kedua peserta. “Oh, iya” gumam Luca sambil menganggukkan kepala, menyadari sesuatu hal. “Sebelum aku melanjutkan pertarungan, sepertinya aku harus memberitahukan satu hal penting terlebih dahulu,” katanya dengan suara lantang. “Seperti yang kita ketahui bersama, peserta yang tersisa hanya tinggal dua orang, maka satu tempat untuk menjadi seorang Penjaga kemungkinan besar hanya dimiliki oleh peserta bernomo
Desiran ombak terdengar merdu. Deru angin laut menyapanya lembut. Marca kini duduk di tepian jurang. Termangu. Satu kakinya menggantung. Ia mendongak, menatap langit malam yang tak lagi gelap. Di atas sana, bulan sabit berpendar tanpa penghalang. Ratusan bintang seakan menjelma menjadi serbuk cahaya yang menaburi kegelapan. Para anggota penghias langit malam telah lengkap. Semua serasa sempurna, namun tidak untuk Marca. Suasana hatinya masih sama. Mendung di hidupnya masih setia. Mendekam beberapa waktu di Ruang Pengobatan membuat Marca tak bisa lagi membedakan mana realitas, dan mana yang dinamakan mimpi buruk. Semua tampak saru dan ambigu. Sampai ia keluar dari sana, menanyakan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Jawaban serupa dan berulang selalu ia terima. Di saat yang sama, bibirnya tetap kelu, kedua kakinya tak henti gemetaran, dan kedua matanya masih saja basah. Tersadar, sepertinya ia tak akan pernah bisa menerima kenyataan. Satu hal yang saat ini ia
Suara kersuk dari arah belakang menyadarkan Marca dari lamunan. Seketika ia kembali dibawa kepada realita yang sebenarnya. Meski pahit, tetapi ia harus tetap terima. Soma nyatanya memang telah tiada. Marca sadar, sudah sejak lama dirinya diamati oleh seseorang yang begitu ia kenal. Namun belum ada niatan untuk mengusik penguntit itu. Ini bukan kali pertama. Sudah berkali-kali orang itu melakukan hal yang sama. “Sampai kapan kau akan bersembunyi di balik pohon?” tak lagi tahan, Marca akhirnya memilih membuka suara. Tak ada jawaban. Suasana tetap hening. Di balik sebuah batang pohon, seseorang yang sadar kalau tindakannya telah diketahui mulai terlihat kebingungan. Ia terus mengumpat dalam hati. Mencaci maki kebodohannya sendiri. “Apa yang sebenarnya kau inginkan. Aku tahu kau di situ,” seru Marca lagi. Mulai merasa jengkel. Suasana tetap sunyi. Masih tak ada jawaban. Merasa tak dihiraukan, Marca membuang napas. Kedua matan
Wajah mungil itu tak pernah ahli dalam menyembunyikan kesedihan. Sudah ratusan kali ia berharap agar satu-satunya saudara yang ia miliki tak akan pergi meninggalkannya. Tapi harapannya selalu menjadi imaji di pagi hari. Tak kan pernah terjadi. Hingga pada hari ini, ia benar-benar harus menelan pahitnya kenyataan, harapannya akan berganti dengan kesedihan. Darangga memilih berlutut agar dapat sejajar dengan anak perempuan berumur enam tahun di depannya. “Kenapa kau menangis, Hestia?” tanyanya lembut, sembari mengusap buliran air mata yang menghiasi pipi adiknya. “Mana? Aku tidak menangis,” balas Hestia. Wajahnya yang memerah, dan pipinya yang sudah terlanjur basah, membuat pembelaannya terdengar lucu. Seutas senyum tersembul di wajah Darangga. “Apa kau pernah berhasil membohongiku?” Sekilas, sorot mata perempuan mungil itu menyisir ke arah samping. Hestia tahu, tak sekalipun ia dapat berbohong kepada satu-satunya saudara yang ia punya. “Tidak,” jawabny
Ada rasa tak percaya yang membayanginya sejak kali pertama ia melangkah masuk melewati pintu gerbang. Tak sedetik pun Marca terbayang akan berada di dalam Istana. Semua ini jelas bukanlah impiannya. Akan tetapi, menampakkan kaki di antah berantah yang disebut banyak orang sebagai tempat paling mewah, membuatnya serasa memeluk impiannya sendiri. Soma, kau lihat ini, aku berhasil sampai di Istana. Seutas senyum samar bersarang malu-malu di wajah Marca. Ia melihat persis segala hal yang dulu pernah dikatakan oleh Soma. Di tempat itu, segala hal memang tampak terbuat dari emas. Di area lapang beralaskan ribuan batu yang tak beraturan namun disusun sedemikian rupa sehingga nyaman untuk dipijak, Marca membaur bersama segerombolan lelaki berwajah lelah lainnya. Setelah sekilas menyapukan pandangan, Marca pun menyadari, bahwa dirinya, dan semua lelaki yang baru tiba di Istana, tengah ditontoni oleh ratusan manusia yang tersebar di segala penjuru. Wajah-wajah itu ter
Buda menelengkan kepala ke arah belakang. Pandangannya sesaat mengamati sekitar.“Apa mereka masih mengejar kita?” tanya Marca. Perhatiannya ikut teralih.“Kurasa tidak. Tetapi kita tak boleh berhenti. Kita harus terus lari. Matahari sudah hampir tenggelam.”∆“Kenapa kalian kembali?” kedua mata Wakaru membundar lebar ketika melihat Muriel dan Mormo berjalan ke arah berlawanan. “Apa semua orang sudah kalian bunuh?”“Tinggal tersisa lima,” jawab Mormo.“Dua,” sela Muriel.“Iya. Dua maksudku. Dua orang.”“Lalu kenapa tak kalian habisi mereka sekalian?”“Kami tak mau Ayah marah. Tadi kami sudah terlalu dekat ke pintu gerbang.”“Paman tidak akan marah.”“Siapa yang bilang?” potong Mormo. “Jelas-jelas Ayah sudah melarang kami untuk tidak mendekati pintu Gerbang I
Napas Darangga kian memburu tatkala ia kembali harus mengelak dari sebuah sabetan pedang yang menyasar tepat ke bagian leher. Sebelum lawan di hadapannya kembali melancarkan serangan, ia memanfaatkan celah waktu sempit itu untuk menghirup napas dalam-dalam. Ia harus terus bertahan, walau tak tahu akan sampai kapan. Saat ini situasi jelas tak berpihak kepada dirinya. Satu-satunya senjata yang Darangga bawa dari desa Sikmatu sudah tak mungkin dipergunakan karena bilah pedangnya telah patah menjadi dua. Kini, yang bisa ia lakukan hannyalah terus menghindar dari serangan bertubi yang dilancarkan oleh seorang lelaki berkulit hitam di depannya. Sembari menarik napas panjang, pandangan Darangga sekilas beredar. Dari ujung penglihatannya, area di sekitar tempatnya berdiri tampak begitu sunyi. Sepi. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda akan datangnya pertolongan. Belum genap ia mengambil napas, sebuah serangan kembali menghampiri. Kaweni tak henti-hentinya terkikik ge
Darangga mesti memosisikan diri untuk berjalan merangkak jika tak ingin berpapasan dengan salah seorang Penjaga desa Dansu. Sekumpulan ilalang setinggi lutut sudah cukup menyamarkan tubuhnya agar dapat menyaru dengan alam sekitar.Beberapa kali suara riuh menghampiri pendengaran, tetapi Darangga sama sekali tak mengidahkan. Untuk mengisi kembali tenaga, Darangga pun menghentikan sejenak pergerakannya. Sekilas, kepalanya mendongak. Di atas langit sana, matahari sudah mulai turun ke arah barat. Hari beranjak gelap.Waktuku hampir habis, batin Darangga. Aku harus bergegas. Ia kembali melanjutkan pergerakan. Sekumpulan kerikil kecil yang menyebar hampir di setiap bagian sabana membuatnya meringis tatkala tubuhnya mesti tergores berulang kali oleh bebatuan mungil yang runcingnya bukan main.Akan tetapi, mendadak pergerakan Darangga kembali terhenti. Ekor matanya langsung mendarat ke sepasang kaki yang jaraknya kin
Menjadi seorang Muka Panto bukan berarti tak memiliki konsekuensi. Sedari kecil, hampir setiap kali terjadi gerhana bulan, ia akan selalu diasingkan jauh ke dalam hutan. Seorang diri. Menyepi.Di dalam ruangan sempit berbentuk kerucut dengan alas segi lima, kedua kaki dan tangannya akan selalu diikat kuat-kuat. Kepalanya akan selalu terbungkus rapat oleh kain hitam. Di dalam sana, ia akan mengerang kesakitan. Menjerit, lalu kemudian menangis histeris.Hawa panas yang teramat akan menjalar ke sekujur tubuhnya. Mengeluarkan seluruh peluh dari setiap sel-sel kulitnya. Berbarengan dengan itu, seluruh bagian tubuhnya akan terasa seperti tercabik-cabik. Dingin yang begitu dingin selalu datang sesudahnya. Dalam sekejap, tubuh kurusnya akan terasa beku bagai batu. Diselimuti rasa sakit yang tak mungkin terjabarkan, kesadarannya pun akan setia menghilang hingga pagi datang.Akan tetapi, semua penderitaan yang kerap ia rasakan, katanya belum seberapa jika dibandingkan den
Hanso dan Ringga tampak terkejut ketika melihat dua orang yang tak mereka kenal berlari terbirit-birit. Melintas cepat di hadapan mereka. Tak lama kemudian, kini giliran dua orang yang mereka kenal, Arin dan Saga, juga terlihat tengah berlari mengejar dua orang sebelumnya.“Kalian urus tiga orang di belakang, kami akan mengejar mereka,” seru Arin kepada Hanso dan Ringga. Ia memberikan perintah tanpa menolehkan kepala.Sesaat setelah saling tatap, Hanso dan Ringga akhirnya mengerti dengan maksud dari perintah Arin. Tiga orang lelaki lainnya mendekat. Tak dikenal. Terlihat asing.Hanso lekas-lekas membentangkan kedua tangan. “Tunggu,” sergahnya.Mendadak, pergerakan Wrahaspati, Tumpak, dan Sukra kembali terhenti. Di tempatnya berdiri, Wrahaspati menelan ludah. Di hadapannya, kini telah berdiri dua orang lelaki berkulit hitam legam yang masing-masing terlihat membawa satu kepala manusia.“Siapa kalian?” tanya Ringga
Bodoh! Kenapa mereka bisa sebegitu nekatnya. Satu tangan Sukra meremas kuat-kuat daun kering yang tanpa sadar ia pungut. Sambil terus mengawasi pertarungan Marca dan Buda—melawan tiga orang yang diduga sebagai para Penjaga desa Dansu—kekesalannya kian membeludak seiring dengan detik yang terus berlalu.Dalam lamunan, Sukra teringat akan pesan kakeknya dulu, “Kau harus menjaga anak itu, Sukra. Apa pun taruhannya.”“Tapi itu tak adil, Kek,” protes Sukra. “Derajatku ini lebih tinggi. Tidak sepantasnya aku menjaga manusia yang derajatnya berada di bawahku.”“Ini bukan lagi soal derajat. Ini tentang misi penting yang harus kita jalankan. Misi ini sama sekali tidak boleh gagal. Kau harus ingat itu,” cetus kakeknya.Sambil termenung dengan kepala tertunduk dan mulut manyun, Sukra mengurut pelipisnya. Entah bagaimana bisa, namun mendadak kepalanya terasa begitu pusing.“Lag
Mengikuti pergerakan Darangga, Marca kembali mengintip dari balik batang pohon. Dari ekor matanya, walau hanya terlihat menghadapi satu orang lelaki berkulit hitam legam, sekelompok orang berpakaian serba hitam tampak kewalahan. Di sana, situasi mereka bagai sedang berada di ujung tanduk.“Kita harus menolong mereka,” gumam Marca, pandangannya terpaku ke arah pertarungan di depan.Sontak, perhatian semua orang tertuju ke arah yang sama. Marcapada tengah diamati lekat-lekat. Wajah-wajah itu tampak tak sependapat.“Untuk apa?” sahut Darangga. “Tujuan kita pergi ke Istana, bukan membantu mereka.”Marca mengedarkan pandangan. Mencari dukungan lain. Dalam sekelebat, tak ia jumpai satu pun orang yang memiliki pemikiran serupa, kecuali Buda. Meski samar, Buda terlihat menganggukkan kepala.∆Bertopang pada bilah pedang yang telah menancap kuat-kuat di tanah, Kausiki terus berusaha agar tubuhnya tak
Langkahnya mendadak gontai setelah sabetan pedang menyayat tepat di bagian pundak, sekepalan tangan lagi menuju leher. Darah bercucuran. Napasnya kian tersengal. Di ujung penglihatan yang mulai berbayang, Wipasa hanya dapat menyaksikan teman-temannya, masih terus berjuang melawan satu orang Penjaga desa Dansu.“Apa kubilang, Saga sudah pasti tak akan mau berlama-lama membiarkan mereka hidup,” kata Arin, tenang. Kedua tangannya masih terlipat di depan dada.“Itu tidak bisa dihitung sebagai serangan balik,” balas Rangjasa.“Bagaimana bisa tidak dihitung? Jelas-jelas tadi itu Saga melakukan serangan.”Terbungkam. Rangjasa tak lagi memiliki alibi kuat untuk membantah segala ucapan. Rahangnya mengencang. Ia tengah berusaha keras memendam kekesalan.Di tempatnya berdiri, Arin tersenyum penuh kemenangan. “Persiapkan senjatamu, kau tak ingin jika Saga memenggal semua kepala musuhnya, kan?”Rangjasa ter