Silakan follow akun instagramku untuk mengetahui informasi seputar karya-karya terbaru yang aku kerjakan. IG: _azuretanaya
Bukannya menjadi lebih segar setelah bangun tidur dan mandi, Sandara malah merasakan kepalanya semakin pusing. Bahkan, kini disertai berdenyut nyeri. Karena tidak ingin mengacaukan rencana yang sudah mereka sepakati sebelum ujian akhir semester dimulai, Sandara pun lebih memilih untuk tidak mengatakan keadaannya kepada Ranty. Kini Sandara dan Ranty sudah berada di dalam mobil Barry yang sedang menuju rumah Angga. Seperti ucapan Barry sebelumnya yang disampaikan kepada Ranty melalui pesan singkat, laki-laki tersebut tepat jam empat sore sudah tiba di indekos Sandara. Bukan hal yang baru atau mengagetkan bagi Sandara dan Ranty, mengingat Barry memang orangnya sangat tepat waktu. Oleh karena itu, Sandara dan Ranty pun wajib tahu diri untuk sudah siap ketika Barry tiba agar mereka bisa langsung berangkat. “Kamu kenapa, San?” Barry bertanya saat melihat Sandara yang duduk di bangku penumpang belakang tengah memijat pelipisnya sambil memejamkan mata dari spion. “Kamu sakit?” tanyanya kemba
Merasa tubuh lelahnya kembali segar sehabis mandi, Levin pun memutuskan untuk turun ke lantai satu. Levin ingin mengobrol atau sekadar berbasa-basi dengan sang ibu yang selama beberapa hari terakhir tidak ditemuinya, apalagi tadi ia langsung menuju kamarnya setibanya di rumah. “Tumben Barry jam segini sudah tidur, Ma,” ucap Levin yang saat ini sudah bergabung di ruang keluarga bersama orang tuanya. Sejak tiba di rumah bersama sang papa, ia tidak melihat batang hidung adiknya tersebut. “Barry tidak ada di rumah, Vin. Adikmu itu sedang ada acara bersama teman-teman sekelasnya di rumah Angga. Paling sebentar lagi juga pulang,” beri tahu Dianti apa adanya. “Itu Barry pulang,” Gibran menimpali saat mendengar suara mobil Barry setelah ia menaruh cangkirnya yang berisi teh hangat di atas coffee table. “Panjang umur sekali anak itu,” Dianti menanggapi ucapan Gibran seraya terkekeh. “Mau ke mana, Vin?” tanyanya saat melihat Levin berdiri. “Dapur, Ma. Aku mau buat mi goreng,” jawab Levin ju
Levin spontan membuka mata ketika ada sesuatu yang dingin menyentuh rahangnya. Levin kembali memejamkan mata sejenak saat melihat pelakunya adalah Barry. Ternyata adiknya tersebut tengah mengompres rahangnya menggunakan es batu yang dibalut dengan handuk kecil. Levin mengambil alih kegiatan tangan sang adik setelah ia mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. “Aku juga membeli obat untuk luka di sudut bibir Kakak yang robek,” beri tahu Barry setelah berhenti mengompres rahang Levin yang bengkak. “Terima kasih,” Levin berkata singkat sambil menekan rahangnya dengan lembut menggunakan handuk dingin. Ia melihat di atas coffee table sudah ada sebuah salep, dompet, dan ponsel miliknya. “Kak, bisa ikut aku keluar sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Barry seraya menatap Levin. Levin mengangguk dan langsung berdiri. Ia menoleh saat mendengar pintu kamar mandi terbuka dan memperlihatkan sosok Ranty. “Ran, gunakan saja ranjang khusus penunggu pasien itu untukmu tidur. Saya dan Ba
Levin memasuki ruang perawatan Sandara setelah selesai mengurus administrasi kepulangan perempuan tersebut. Sesuai ucapannya tadi dengan Barry, Levin memang pulang untuk mandi sekaligus berganti pakaian, sehingga dalam waktu yang tergolong cepat ia bisa kembali ke rumah sakit. Levin juga sudah memberi tahu mengenai kepulangan Sandara hari ini kepada Dianti dan Gibran, tapi ia melarang orang tuanya tersebut untuk datang. Saat Gibran dan Dianti menanyakan tentang jawaban Sandara, dengan jujur Levin mengatakan bahwa perempuan tersebut belum mengambil keputusan yang pasti. Levin meminta kepada Dianti dan Gibran untuk tidak khawatir karena apa pun yang diputuskan Sandara adalah demi kebaikan bersama serta sudah dipikirkan dengan sangat matang oleh perempuan tersebut. Levin juga meminta kepada orang tuanya agar tidak menekan Sandara yang nantinya bisa membuat kandungannya bermasalah karena perempuan tersebut banyak pikiran. Levin sengaja tidak menyampaikan kepada orang tuanya tentang usul y
Walau sudah lebih dari setengah jam terjaga, tapi Sandara belum juga berniat menuruni ranjang. Sandara masih betah menatap langit-langit kamarnya dalam keremangan sambil mendengarkan suara ayam berkokok milik sang ayah. Sandara tidak bisa tidur nyenyak karena otaknya sibuk bekerja memikirkan reaksi orang tuanya terhadap keadaannya kini yang tengah berbadan dua. Hampir setiap beberapa jam ia tiba-tiba terbangun dari tidurnya karena saking gelisahnya. Sandara menghela napas ketika menyadari bahwa kemarin malam ia lupa menyeduh susu. Saking larutnya saling berbalas pesan dengan Ranty dan Barry, ia sampai melupakan minuman yang mulai sekarang akan wajib dikonsumsinya sebelum tidur. Ia langsung mengambil ponselnya di atas nakas untuk melihat jam, ketika mendengar pintu kamarnya beberapa kali diketuk dari luar. Sambil mengikat asal rambut panjangnya, ia menuruni ranjang dan berjalan menuju pintu. “Pagi, Ma,” Sandara langsung menyapa sang ibu setelah membuka pintu kamarnya. “Pagi,” Wulan m
Sandara melihat mobil sang ayah sudah terparkir rapi di carport saat ia tiba di rumah. Sandara sangat berharap orang tuanya tengah beristirahat karena ia sedang malas berbicara dengan siapa pun. Yang paling diinginkannya saat ini hanyalah segera merebahkan tubuhnya dan secepat mungkin tidur. Saat dalam perjalanan pulang tadi, tiba-tiba saja Sandara sangat ingin mengisi perutnya dengan ayam bakar kesukaannya di warung makan langganannya. Walau pengunjung warung makan yang didatanginya tersebut ramai, tapi ia rela mengantri demi terpenuhinya keinginannya tersebut. “Sore, Pa, Ma. Aku kira kalian sedang beristirahat,” sapa Sandara saat memasuki rumah dan melihat orang tuanya sedang duduk di ruang keluarga. Ia berjalan sambil mengusap perutnya yang sudah kenyang. Melihat kedatangan Sandara dan menangkap bahasa tubuh yang diperlihatkan sang anak, seketika membuat emosi Reyhan menggebu-gebu. Tanpa memberikan tanggapan atas sapaan Sandara, Reyhan berdiri dan langsung menghampiri anaknya ter
Levin manggut-manggut. Ia mengerti arah pembicaraan Reyhan. Tentu saja ia sangat memaklumi kekhawatiran seorang ayah terhadap kelangsungan hidup buah hatinya, terlebih jika anak tersebut adalah putri tunggalnya. Ia mengetahui bahwa Sandara merupakan anak tunggal di keluarganya dari Barry. “Jika hanya menggunakan gaji dosen saya saja tentu tidaklah cukup, Pak. Selain sebagai dosen saya juga merupakan karyawan tetap di sebuah hotel bintang lima di Jakarta dengan jabatan manajer keuangan. Untuk biaya kebutuhan hidup dan pendidikan Sandara, saya berani menjaminnya dengan tabungan yang saya miliki, Pak,” ucap Levin dengan penuh percaya diri dan keseriusan. “Rasanya sungguh sangat aneh membanggakan sebuah jabatan dan nominal yang dimiliki. Baru pertama kalinya aku melakukannya hal senarsis ini,” komentarnya dalam hati. Melihat ketenangan Levin dan merasa laki-laki tersebut tidak mudah diintimidasi, Reyhan pun memutuskan tidak memberikan tanggapan. “Saya tidak ingin membahas masalah ini ber
Lutut Sandara seketika lemas mendengar jawaban Asti. Untung saja saat ini Sandara masih dalam keadaan duduk, jika tidak, bisa-bisa ia langsung meluruh ke lantai. “Tidak. Tidak mungkin itu Pak Levin,” batinnya dengan tegas menyanggah dugaannya. “Non,” panggil Asti khawatir saat melihat wajah Sandara yang tiba-tiba pucat pasi. “Non Sandara,” panggilnya kembali seraya menyentuh pundak Sandara. Mendengar nada khawatir Asti, Bibi Puspa yang tadinya sedang mencuci piring Sandara pun menoleh. Ia terkejut saat melihat wajah pucat Sandara. Tidak hanya itu, wajah Sandara pun kini mulai berkeringat, padahal udara cukup dingin karena hujan di luar belum juga berhenti. “Ada apa dengan Non Sandara, As?” tanyanya pada Asti. Dengan cepat Asti menggeleng. “Saya juga tidak tahu, Bi. Wajah Non Sandara tiba-tiba saja pucat,” jawabnya jujur. “Kalau begitu Bibi panggilkan Ibu dan Bapak saja ya,” ucap Bi Puspa khawatir. Ia takut terjadi sesuatu terhadap Sandara, apalagi perempuan muda tersebut saat ini s
Sudah sebulan hubungan Sandara dan Levin tidak lagi sebatas menjadi orang tua untuk Stella. Sejak Levin mengatakan bersedia membuka hati untuk Sandara, kini hubungan suami istri yang mereka jalani sudah melibatkan hati. Walau Levin masih berusaha menerima sepenuhnya cinta yang diberikan oleh Sandara, tapi laki-laki tersebut sudah tidak terlalu canggung atau kaku ketika berinteraksi dengan sang istri yang kini juga sebagai kekasihnya. Rumah tangga mereka pun kini terasa lebih hidup dan berwarna dibandingkan sebelumnya, apalagi dengan perkembangan Stella yang sungguh mengagumkan. Di usia Stella yang kini telah menginjak tujuh bulan, batita mungil tersebut sudah mulai belajar berdiri. Selain itu, Stella juga sudah bisa memanggil orang tuanya walau hanya sebatas sebutan singkat. Sandara membawa beberapa potong cake yang dibeli setelah makan malam oleh Barry ke ruang keluarga untuk mereka nikmati bersama. Hari ini sahabat sekaligus adik iparnya tersebut ikut makan malam bersamanya dan Levi
Memenuhi permintaan Dianti, akhirnya Levin mengajak Sandara dan Stella menginap di kediaman orang tuanya. Usai membicarakan urusan bisnis dengan Gibran di ruang kerja sang papa setelah mereka makan malam bersama yang lainnya, Levin memasuki kamarnya untuk beristirahat menyusul istri dan anaknya. Saat membuka pintu, Levin langsung disambut oleh keadaan kamar yang pencahayaannya sudah tidak terlalu terang karena lampu utama telah dipadamkan. Setelah berada di dalam kamar, Levin tidak melihat Sandara berbaring di atas ranjang mereka seperti dugaannya. Ketika Levin menoleh ke arah balkon, ia melihat Sandara tengah berdiri di sana seraya memeluk tubuhnya sendiri melalui pintu penghubung yang tirainya tidak tertutup sempurna. Sebelum menghampiri Sandara, terlebih dulu Levin melihat sekaligus memastikan Stella yang masih terlelap di dalam box bayinya. Sandara langsung menoleh ketika mendengar suara pintu di belakangnya terbuka. “Stella bangun, Kak?” tanyanya saat melihat Levin berjalan ke ar
Walau sudah dua hari berlalu, tapi Levin masih bersikap tak acuh kepada Sandara. Interaksi keduanya pun kini tidak seakrab dulu dan hal tersebut membuat Sandara semakin merasa bersalah. Sandara mengerti jika Levin masih kesal sekaligus kecewa terhadapnya karena tindakan lancangnya, ia pun mencoba menerima konsekuensinya dengan lapang dada. Sejak pulang dari kantor tadi, Levin mengabaikan Sandara. Jika pun Sandara bertanya, Levin hanya menanggapi seadanya dengan nada datar. Makan malam yang biasanya mereka selingi dengan obrolan ringan pun menjadi hening. Ketika tadi Sandara mencoba membuka obrolan basa-basi dengan menceritakan tingkah Stella hari ini, Levin terlihat tidak tertarik. Suaminya tersebut hanya menanggapi ucapannya dengan tak acuh. Sandara juga sempat beranggapan bahwa Levin sengaja makan sedikit supaya suaminya tersebut tidak perlu berlama-lama berada di dekatnya. Bukan hanya itu, Sandara juga menduga jika Levin tidak mau memakan masakan yang sudah dibuatnya. Sandara kelu
Setibanya di dalam rumah Levin langsung mencari Sandara di kamar mereka seperti yang tadi diberitahukan oleh Mirna yang sedang menyiram tanaman di halaman depan. Ketika membuka pintu kamar, Levin langsung disambut oleh suara Sandara yang sedang mengajak Stella bercengkerama dari arah kamar mandi. Biasanya ucapan Sandara hanya ditanggapi dengan gumaman tak jelas oleh putri semata wayang mereka. Tanpa membuang waktu lagi, Levin bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi karena ia tidak mau melewatkan ekspresi menggemaskan wajah Stella ketika sedang mendengarkan orang mengajaknya berinteraksi. Terlebih ketika Stella tersenyum manis dan tertawa renyah saat merespons perkataan yang ditujukan padanya. “Ternyata anaknya Papa yang paling cantik ini masih mandi,” Levin berkata setelah berdiri di depan kamar mandi yang pintunya sengaja tidak ditutup oleh Sandara. Levin menggulung lengan kemejanya sebatas siku sambil berjalan menghampiri Sandara yang masih memandikan Stella. Walau cukup t
Sandara menyelesaikan makan siangnya terlebih dulu daripada Dianti dan Barry, sebab Stella yang tadi ia letakkan pada baby bouncer sudah mulai menangis karena haus. Sandara juga meminta izin kepada ibu mertua dan adik iparnya tersebut untuk ke kamar karena ia ingin menyusui sekaligus menidurkan Stella. Sandara yang tengah duduk di atas ranjang sambil menyusui Stella dan bersenandung kecil, menoleh ketika mendengar ponselnya di permukaan nakas berbunyi. Sandara mengangsurkan sebelah tangan yang tadi digunakan menepuk lembut paha Stella untuk mengambil benda pipih tersebut. “Ternyata Papamu yang menelpon, Nak. Pasti Papamu sudah merindukanmu,” ucap Sandara kepada Stella yang masih terjaga, seolah putrinya tersebut mengerti yang ia katakan. “Halo, Kak,” Sandara menjawab panggilan Levin sambil tetap menatap wajah putrinya. “Sudah makan siang?” Levin bertanya sambil memainkan pena di tangannya. “Sudah, Kak. Kebetulan hari ini Mama dan Barry berkunjung, jadi kita makan siang bersama. Kak
Di tengah-tengah kebahagiaan Sandara atas kelahiran putrinya, di sudut hatinya yang lain ia merasakan kesedihan karena pesan singkat yang sengaja dirinya kirimkan kepada orang tuanya hingga kini belum juga mendapat tanggapan. Setelah menghadiri acara pernikahannya dan Levin, Sandara memang sudah tidak ada komunikasi lagi dengan orang tuanya. Bukan Sandara yang tidak mau berinteraksi, melainkan orang tuanya sendiri yang memutuskan untuk tidak menjalin komunikasi lagi dengannya. Beberapa bulan setelah berstatus sebagai seorang istri dan menjadi bagian dari keluarga Adyatama, Sandara pernah menghubungi orang tuanya, sayangnya pasangan Baskara tersebut mengabaikannya. Setiap kali Sandara menghubungi telepon rumah orang tuanya, yang menjawab selalu Bibi Puspa atau Asti. Walau Sandara kecewa, tapi ia tetap menanyakan kabar orang tuanya tersebut kepada Bibi Puspa atau Asti. Sandara bisa menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya dari kedua mertua dan adik iparnya, tapi ia tidak perlu melakuka
Perjuangan panjang sekaligus melelahkan Sandara melahirkan sang anak membuat Levin sangat terharu. Bahkan, Levin sampai menitikkan air mata karena saking terharunya. Tepat jam dua pagi Sandara telah melahirkan anaknya yang berjenis kelamin perempuan melalui proses persalinan normal. Sejak membawa Sandara ke rumah sakit kemarin sore karena kontraksi yang dialaminya berkelanjutan, Levin sedikit pun tidak pernah meninggalkan istrinya tersebut. Levin selalu setia ada di dekat Sandara. Bahkan, Levin seperti ikut merasakan kesakitan Sandara setiap kali kontraksi menghampiri istrinya tersebut. Saat Sandara dipindahkan ke ruang bersalin, Levin juga meminta kepada Dokter Fitri untuk diizinkan ikut masuk agar ia bisa menemani sekaligus menyaksikan langsung kelahiran anaknya. Saat ini Sandara sedang duduk setengah bersandar di atas ranjang pasien. “Kakak tidak ke kantor?” tanyanya kepada Levin yang tengah menimang putri mereka. “Saya tidak apa-apa ditinggal, Kak. Sebentar lagi juga Mama datang d
Bukan tindakan yang mudah bagi Levin dalam membujuk dan meyakinkan Dianti mengenai kepindahannya bersama Sandara ke apartemen. Tentu saja Levin mengetahui jelas alasan utama Dianti sulit mengizinkannya membawa Sandara pindah ke apartemen. Setelah Sandara turun tangan ikut membujuk dan meyakinkan Dianti, akhirnya keinginan Levin pun dikabulkan oleh wanita paruh baya yang sangat dihormati sekaligus disayanginya tersebut. Kini sudah dua bulan Levin dan Sandara tinggal hanya berdua di apartemen. Walau sudah tinggal terpisah, tapi Dianti sering datang ke apartemen Levin terutama ketika jam makan siang tiba. Kadang Dianti juga menyuruh sopir menjemput Sandara ke apartemen untuk datang ke kafenya dan mengajak menantunya tersebut makan siang bersamanya. Bukan hanya Dianti, Barry juga sering datang ke apartemen Levin bersama Ranty jika mereka sedang tidak ada jam kuliah. Tentu saja sebelumnya Barry sudah meminta izin dulu kepada Levin, mengingat saat ini status Sandara tidak hanya menjadi saha
Sepulangnya keluarga Saguna dari kediaman Adyatama, Sandara langsung meminta maaf kepada mertuanya atas kelancangannya tadi. Sebelum meninggalkan kediaman Adyatama, Firman dan Jihan juga sempat meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Sandara atas perbuatan tidak terpuji yang telah dilakukan oleh Dinda selaku keponakan mereka. Sandara tidak memberikan maaf karena bukan Firman dan Jihan yang berbuat jahat padanya, meski Dinda adalah anggota keluarga mereka juga. Bagi Sandara, siapa yang telah berani melakukan perbuatan jahat, maka orang tersebutlah yang harus bertanggung jawab dan meminta maaf. Apalagi jika tindak kejahatan tersebut sudah direncanakan dan dilakukan secara sengaja. Setelah Levin memberikan penegasan kepada Sava tentang statusnya kini, perempuan tersebut tidak ada bersuara lagi. Sandara juga telah melupakan dimsum yang dipesannya. Malam ini Sandara tidur tidak menempel dengan Levin seperti biasanya. Posisi tidur Sandara saat ini berbaring menyamping dan memunggungi Levin. Ba