Kedatangan Maddox pagi itu sudah bisa ditebak dengan mudah oleh Jean. “Aku lupa jika masih menyimpan USB ini. Dari kantor pertambangan Josh.” Maddox mengulurkan benda kecil itu padanya. Jean menerima dan menatap dengan heran. “Kapan kau mendapatkannya?” tanya Jean sembari memasukkan ke dalam portal laptop. “Waktu mengalami ledakan dengan Foxy,” sahut Maddox sembari menyeret satu bangku mendekat. Jean mengernyitkan dahinya. “Dan kau melupakan ini? Sangat bodoh!” sindir Jean. “Terlalu banyak hal yang terjadi. Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana, Jean.” Wajah Maddox tampak muram. “Apakah kau berhasil menemui JB?” Jean tampak membuka file tersebut dengan lincah dan cepat. “JB?” Kening Maddox berkerut. “Joe Black, Mad! Astaga, apakah kau baik-baik saja?” Sahabatnya menoleh dan menatap Maddox dengan khawatir. “Ya … ya, aku berhasil menemuinya dan sukses membujuk JB menjadi sekutuku,” jawab Maddox dengan menekankan kata ‘JB’ untuk meyakinkan Jean, bahwa dia baik-baik saja
Kabar berita dari Raymond benar-benar membuat Russel gembira. Tawa yang tergelak terdengar dari ruang tengahnya. Kepala pelayannya, Arthur, menuangkan anggur merah dengan anggun. “Aku merasakan dorongan yang begitu besar untuk kembali bermain-main, Arthur!” gelak Russel. “Ya, Tuan Brown.” Arthur menanggapi seadanya. Majikannya tidak membutuhkan komentar panjang dari seorang pelayan seperti dia. Meski sudah mengabdi selama puluhan tahun, Arthur tetap memposisikan diri hanya sebagai pelayan yang tidak akan melanggar batasan. Namun, Russel selalu mempercayakan semua rahasianya pada pria berkebangsaan Inggris tersebut. Mungkin karena hanya berbeda beberapa tahun saja, Russel menganggap Arthur jauh lebih matang dan bijak dalam menyimpan rahasia tergelapnya. “Tapi masih ada satu hal yang menggangguku, Arthur.” Russel berhenti tertawa. Dahinya berkerut seperti sedang berpikir keras. “Kau tahu, aku paling tidak menyukai kutu kecil yang membuatku gatal dan tidak nyaman, kau paham b
Maddox mengunjungi Apple pagi itu di rumah sakit. Kondisi remaja enam belas tahun tersebut sudah cukup membaik, walau sesekali rewel. Berkali-kali ia mengeluh gatal di bagian pundak dan perutnya. “Luka bekas operasimu akan cepat sembuh. Bersabarlah dan berhenti menggaruk, Ape.” Ibunya dengan sabar mengelus bekas luka yang masih menyisakan warna merah. “Tim sudah mengatur tempat tinggal kalian sementara waktu. Aku akan bertemu kalian cukup lama ke depannya,” cetus Maddox pada mereka berdua. Apple menatap pria yang menjadi panutannya itu dengan sedih. “Aku berharap semua keadaan akan membaik, Mad. Aku merindukan kehidupan kita yang dulu,” ujar Apple dengan pelan. Maddox mendekat dan menyingkirkan poni Apple yang menutupi dahinya. “Begitu ini semua selesai, kita akan berlibur ke Bermuda,” janji Maddox padanya. Apple tersenyum dan mengangguk. “Semoga bisa terjadi secepatnya. Aku tidak sabar ingin menikmati matahari dengan perasaan tenang,” timpal Apple. “Sepasang bikini seksi ak
Bantahan dari Peter yang mengatakan, jika tidak seharusnya mereka mengugat FBI yang telah mengambil kasus mereka begitu saja, membuat Mark berang. “Kau tahu jika Raymond tidak pernah menghormati kita dari dulu hingga sekarang?! Tidak kuduga kau menyatakan pengkhianatan dengan kalimatmu barusan, Pete!” kecam Mark tanpa menyembunyikan kekecewaannya. “Aku tidak berkhianat! Aku mengorbankan semua demi kesatuan kita, Parker! Tapi mencari masalah dengan Gibs, sama saja menggorok leher sendiri!” tangkis Peter, memberikan pembelaan atas tindakannya. Tim membisu, sementara kedua atasannya saling baku mulut. Ada lima orang yang saat itu ada dalam ruangan rapat. Komisaris kepolisian pusat-Dean Jackson, Kepala Sheriff- Mark Parker, Undersheriff-Peter Williams, Komisaris CIA-Nick Lang dan Tim Muller. Mereka sedang membicarakan mengenai FBI yang melangkahi otoritas pusat dengan tidak hormat. Selama hampir satu jam lebih, masing-masing pro dan kontra menyatakan pendapat mereka. Ada yang mengan
Maddox masih menunggu dengan sabar tanggapan darinya. Foxy terlihat putus asa saat ini. Wajah itu terlihat tirus dan tubuhnya menyusut. Wanita yang mengutamakan penampilan untuk selalu menawan, kini tidak lagi ada dalam diri Foxire Dawson. Perempuan tersebut tidak lebih seperti wanita kebanyakan dengan rambut diikat tinggi dan wajah tanpa riasan sedikit pun. “Aku tidak akan tahu, apa yang kau inginkan jika terus bungkam,” keluh Maddox lesu. Dalam hati, pria itu mengutuk diri habis-habisan. ‘Kenapa aku jadi melemah? Perempuan yang menjengkelkan ini seharusnya membuatku naik pitam karena teka teki memuakkan!’ pekik Maddox membatin. “Mengejutkan sekali, jika Joe merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi sekutumu.” Bibir kering Foxy tampak menyiratkan kejiwaannya yang tertekan. “Tapi aku lelah mengikuti semua permainan hanya sebagai pion semata.” “Itulah alasanku meminta Joe bergabung. Dia akan memastikan kau selamat dan tidak akan terjangkau oleh Russel!” tandas Maddox, kembali
Rasanya perasaan yang mengganjal ini membuat Maddox tidak bisa begitu saja melupakan kejadian di taman. Setelah Foxy menyatakan isi hati lalu meninggalkan dirinya, Maddox merasakan keresahan yang luar biasa. Ia tidak menyangka, jika wanita yang begitu menjengkelkan ternyata menyimpan perasaan khusus untuk dia. Lebih mengejutkan lagi, ia baru sadar kalo dirinya juga menyimpan perasaan yang sama! Pagi ini, Maddox sudah berada di rumah Jimmy dan Joe baru saja tiba dua menit yang lalu. Mereka duduk di teras belakang, sembari menghadap meja yang penuh dengan pilihan minuman . “Selama bertahun-tahun kita berdiri di dua sisi berbeda, tapi hari ini kalian datang sebagai tamuku. Dunia sudah gila!” cemooh Jimmy. Ia masih tidak senang dengan keputusan Maddox, yang seenaknya menjadikan tempat itu sebagai pertemuan. “Jangan mengeluh seperti perempuan, Jim! Kau beruntung kami ada di sini sebagai sekutumu!” tukas Maddox sembari menuangkan whiskey untuknya. “Aku bisa mengembalikan apa yang tel
Claire kembali mendesah. Sikapnya tampak gelisah dan gusar. Dia tidak mengerti jalan pemikiran Foxy sama sekali. Bosnya mendadak membuat keputusan besar, yang menurut Claire cukup bodoh. “Menyerahkan diri pada Russel Brown? Kau sudah tidak waras, Foxy!” Claire mengendarai mobil Juke putihnya menuju ke luar kota, meninggalkan Las Vegas jauh di belakang. Foxy yang duduk di sebelah terlihat termenung. Matanya menerawang jauh, sementara raut wajah rupawan itu terlihat muram. “Aku telah mengakui semuanya pada Maddox, Claire. Aku mencintainya.” Mendadak Claire tertawa sumbang saat mendengar pengakuan tersebut. Ia melirik kembali ke arah Foxy. “Kau sangat kacau! Begitu kau mengatakan jatuh cinta pada Joe dulu, kau mengikuti semua permintaan pria tersebut! Kau membiarkan dirimu liar dan sanggup melakukan berbagai hal menjijikkan demi Joe!” cibir Claire dengan sinis. “Karena Josh dan Russel memiliki kesepakatan, yang kemudian menjadi tugasku untuk menyelesaikan! Dan itu bukan cinta! Aku
Pintu masuk kantor Tim terkuak dengan kasar dan Peter masuk dengan langkah tergesa. Semua melihat bagaimana, Peter mengumpat dan mengeluarkan kata-kata penuh makian. “Tim, katakan padaku, kenapa Foxy tidak dalam pengawasan Chris?!” teriak Peter, bahkan sebelum memasuki ruangan Tim. Tim, yang baru menanda-tangani dokumen dari Jean, terhenyak lalu bangkit berdiri. “Chris memang melaporkan padaku, jika Foxy melarikan diri darinya dan pergi bersama Maddox. Seharusnya kau menemui Maddox atau Foxy sendiri, dari pada datang dan berteriak padaku, Tuan William,” jawab Tim tegas. Ia yang memang sudah muak dengan sikap Peter yang akhir-akhir ini menjengkelkan. “Aku tidak bisa menemukan dia, Tim,” ucap Peter, akhirnya duduk dengan tubuh lunglai. Jean tahu situasinya akan memburuk. Dengan tahu diri, wanita itu segera berpamitan dan menutup pintu rapat-rapat. “Maksudmu? Apakah kau yakin?” tanya si kapten kaget. Peter mengangguk sambil memijit dahinya. Tim segera menelepon Maddox, sementara
Suara tangis bayi terdengar menambah kemeriahan pesta di halaman belakang kediaman Maddox. Apple dan April sibuk bergantian menggendong bayi mungil yang terbalut kain lampin ungu. Dia sangat cantik, mewarisi kejelitaan Shelby. “Jadi kau benar-benar pensiun dari semuanya?” tanya Tim Muller, sembari membalik steak di panggangan. Shelby tertawa tanpa suara, mengerling pada Joe yang tak berhenti menatapnya dengan mesra. Dia menjadi ayah yang bahagia, saat Shelby memberikan bayi mungil cantik dalam pernikahan mereka. “Entahlah, tawaran Nick sangat menggiurkan. Tapi, kupikir aku akan sedikit rehat untuk sementara waktu, sampai Bow besar nanti.” Wanita itu mengarahkan pandangan pada putrinya yang berada dalam dekapan Apple. “Aku bisa menjaganya, Shelby! Jangan khawatir, aku adalah pengasuh terhebat di kompleks rumahku!” tawar Apple dengan cepat. “Kuliahmu, Ape! Kau pikir bisa sekolah sambil mengasuh bayi?!” tukas April. “Aku kandidat yang sempurna, karena sebentar lagi akan lulus dan pu
Chapter 109. End of the Game Seiring matahari tenggelam, keesokan harinya, semua yang Jimmy kumpulkan merapat di pulau tersebut. Joe dan Shelby tampak kaget, sebab dia juga melihat Maddox serta Foxy. Satu sama lain saling menyapa, sementara Joe menggelengkan kepala tidak percaya. “Apa-apaan ini, Jim?!” Jimmy tertawa, merapatkan kapal dan melompat turun dengan gesit. Gibs di belakangnya tampak tidak kalah tangkas. Sepertinya Jimmy-Gibs telah menjadi sahabat dekat yang tak terpisahkan. “Kita akan menyudahi dengan pertempuran terepik, Joe!” Jimmy mengatakan bagaimana rencana ini telah dia rancang sedemikian rupa. “Memancing dalang sesungguhnya?” ulang Shelby kaget. “Apa maksudnya?” Maddox dan Foxy mendekat, mereka menambahkan apa yang telah didapatkan sejauh ini. Mendengar bagaimana semua sudah diperhitungkan, benar-benar mengejutkan Joe dan Shelby. “Aku menembak Josh sendiri dan itu bukan hanya sekali. Analisa kalian yang mencurigai dia masih hidup rasanya mustahil,” tangkis Joe.
Shelby mencapai pulau dengan kapal sewa yang dia kemudikan sendiri. Tidak segera menuju kediaman Russel yang masih berjarak setengah jam lagi, wanita itu justru menghabiskan beberapa saat di dermaga hingga helikopter Joe Black mendarat di sana. Terkejut melihat pria yang dia cintai menyusul, Shelby menolak permintaan Joe yang meminta untuk mengurungkan niatnya. “Aku harus menanyakan, kenapa Russel membiarkan aku dan mama seperti manusia sampah selama ini!” Joe menghela napas berat, merebut botol minuman yang ada di tangan wanita itu. “Kita tidak akan datang tanpa persiapan, Shelby!” cetusnya. “Tunggu sampai bantuan datang!” Akhirnya, wanita itu mengalah. Mereka menanti di kapal, yang sebenarnya bisa saja terdeteksi oleh Russel. “Mustahil dia mengetahui kedatangan kita. Pelayan setianya sudah mati, ayahmu bisa jadi ada di rumahnya tanpa siapa pun.” Analisa Joe sepertinya benar, sebab selama mereka menunggu di kapal hingga menjelang tengah malam, tak ada satu pun yang datang mengus
Joe terhenyak, panggilan baru saja berakhir dan adiknya mengatakan jika Shelby adalah putri dari Russel Brown! Bagaimana mereka baru mengetahuinya sekarang? Jika rencana membunuh anak mafia itu masih dia dan Maddox lanjutkan, itu berarti dirinya akan siap kehilangan wanita yang sudah menjadi teman kencan tersebut. Sanggupkah dia berhadapan dengan Shelby, jika benar itu terjadi? Entahlah, Joe benar-benar kebingungan, terlalu syok dengan fakta yang terkuak beberapa menit lalu. Masih meraba-raba dengan situasi saat ini, Joe harus menenggak minuman yang dia beli di minimarket pom bensin lebih dulu untuk kembali menguasai diri. Dia duduk selama beberapa belas menit, mengatakan pada diri sendiri untuk cepat berpikir dan mengambil keputusan. Dirinya butuh menempuh tiga jam lebih untuk mencapai kediaman Russel, dan itu pun jika ada transportasi yang bisa membawanya lewat udara. Melalui jalan darat akan sangat panjang dan mustahil bisa mengejar Shelby. Tempat Russel tinggal adalah sebu
Maddox menegakkan tubuh, melatih pelan-pelan fisiknya yang terhajar selama lima hari terakhir dengan vonis keracunan makanan. Foxy membantunya, memastikan dia tidak terlalu lemah melanjutkan proses tersebut. Bagaimanapun juga, Maddox perlu diingatkan untuk istirahat yang banyak demi pemulihan diri. Bobotnya tampak berkurang, walau baru lima hari dia terkapar. “Jangan terlalu memaksakan, kau masih butuh untuk mengembalikan energi,” ucap Foxy, penuh kelembutan mengingatkan. Maddox mengatur napas, meletakkan tubuhnya di salah satu kursi tanpa bantahan. Wanita yang saat ini mendampinginya mendekat, memberikan botol minuman untuk dia. Sambil meneguk, Maddox membiarkan Foxy mengusap keringat di leher juga pundaknya. Ia melirik pada wanita yang begitu setia berada di sisi, tak peduli akan urusannya sendiri. “Aku bisa keluar besok, bisakah kau mencari hotel untuk kita? Aku tidak mau kembali ke rumah yang Titus sediakan,” pinta Maddox. Foxy mengangguk. “Jangan khawatir,” sahutnya pelan.
Joe melangkah dengan cepat, mendatangi kendaraan yang berhasil mereka catat plat dan lokasinya. Mobil yang dipakai oleh pria yang memalsukan diri menjadi tukang masak restoran itu diselubungi terpal dan Joe terpaksa menyingkap semuanya. SUV keluaran lama itu terparkir di depan apartemen kumuh di pinggir kota. Begitu berada di sisi kaca pengemudi, Joe mulai mengayunkan linggis yang ada di tangannya. Praang! Kaca itu hancur dalam sekejap. Ia membuka pintu dari dalam, memeriksa dashboard dan setiap sudut kendaraan. Selama lima belas menit, dirinya mengacak-ngacak isi mobil tersebut hingga gerakannya terhenti. Di bawah jok belakang, Joe menemukan topeng beserta pakaian chef serta sepatu! Dia segera menarik keluar plastik dari saku celana, lalu memasukkan satu persatu ke dalam. Usai mendapatkan semua, Joe meninggalkan mobil dengan santai. Sebentar lagi, sidik jari itu akan menjelaskan, siapa pelaku yang telah membuat Maddox terkapar tak berdaya! ** Jimmy dan Gibs menunggu dengan tid
‘Bangunlah, Mad.’ Foxy memandang pria yang terbaring dengan wajah pucat. Kondisi detektif itu lumayan membaik, akan tetapi masa kritisnya belum berlalu. Menguras lambung yang menyebabkan muntah berkepanjangan terjadi dalam beberapa jam. Foxy harus menyaksikan pria tersebut merintih, meratap dengan tubuh menggigil gemetar karena sakit juga lelah. Tak pernah sedetik pun ia meninggalkan sang detektif. Foxy mendampingi setiap saat, meski ada waktu di mana dia sendiri menangis sambil berharap Maddox tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Tersudut dalam situasi yang tidak menyenangkan, Foxy sedang berjuang untuk melupakan duka yang bertubi-tubi menimpa. Belum mampu mengenyahkan kepedihan atas kematian Peter, Arthur menyusul dengan kondisi kematian tidak kalah menggenaskan. Setiap mengingat kilasan masa lalu, Foxy menyalahkan semua atas kiprahnya. Jika dua pria tersebut tidak terlalu peduli terhadap dirinya, mungkin mereka masih hidup dan baik-baik saja. Jauh di lubuk hati Foxy mey
Mereka tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Para dokter dan perawat yang bertugas mengikuti protokol yang Nick tetapkan dengan disiplin. Joe baru selesai melakukan panggilan dengan Titus. Baru saja ia menutup ponsel, dari jauh Raymond Gibs datang bersama Jimmy dengan tergopoh-gopoh. Jean dan Foxy masih berbicara di lorong, sementara Jimmy dan Gibs berlari menuju ke arah Joe. “Dia sudah stabil, tapi hingga sekarang belum sadar. Entah kenapa, tapi Maddox masih belum bisa diajak komunikasi.” Wajah Joe tampak kalut dan gusar. “Sial! Keparat!” Jimmy melontarkan kata umpatan yang ia teriakan dengan keras. “Jika aku tahu bedebah yang melakukannya, jangan harap dia masih bernyawa!” pekik Jimmy. Bekas kepala FBI, Raymond Gibs mencoba meminta Jimmy untuk bertenang. Semua orang kini menatap mereka. “Wah, wah! Maddox tidak hanya mengundang penegak hukum negara untuk turun tangan! Tapi kumpulan manusia dalam bayang-bayang juga keluar dari persembunyiannya!” seru Nick dari ujung lorong. Se
Di sebuah bunker tersembunyi seorang pria bangkit dari kursi makannya dan berjalan menuju ke arah ruangan yang terdapat berbagai monitor dalam jumlah banyak. Ruangan yang didesain dengan sangat canggih tersebut dikendalikan oleh dua orang ahli teknologi yang usianya masih sangat muda. Sembari memegang gelas wine, pria itu mengamati satu persatu layar yang menunjukkan grafik saham. Senyumnya tersungging penuh kepuasan. “Mereka pikir akan bisa melenggang bebas dan melebarkan kekayaan setelah kematianku! Cih! Manusia-manusia itu terlalu merasa diri pintar!” Tidak lama, muncul pria satunya lagi dan berdiri di sebelahnya. “Hingga detik ini kau belum membuat perhitungan dengan pengacara wanita tersebut, Master.” Pria yang dipanggil ‘Master’ kembali tersenyum licik. “Tenang. Dia akan menerima pembalasan yang jauh lebih menyakitkan, Troy. Pembalasan yang paling menyakitkan!” desis Master dengan sinis. “Bagaimana jika CIA mengetahui keberadaanmu? FBI mungkin dengan mudah bisa kau tipu.