Dengan lincah Jean mengetik laporan dari tiap polisi dan detektif yang baru menyerahkan kasus yang sudah selesai. Wanita itu berperan cukup penting dalam departemen kepolisian yang Tim pimpin.
Selain memasukkan setiap dokumen dan arsip, Jean juga sangat mahir dalam melacak lokasi dan bisa meretas jaringan rahasia.
Untunglah manusia seperti Jean bekerja di bidang hukum. Jika seseorang menemukan bakatnya untuk menggunakan dalam kejahatan, mungkin banyak pihak yang akan mengalami kerugian.
Maddox muncul dan meletakkan setumpuk dokumen Jimmy di mejanya.
“Case closed?” tanya Jean dengan wajah mengernyit. Kacamatanya membuat Jean semakin menarik. Meski lelaki bukan orientasi seksnya, namun banyak pria yang ingin mengajaknya berkencan.
“Terpaksa case closed! Aku menyesal tidak membunuhnya!” sahut Maddox geram.
Pria itu menyambar gelas cappuccino yang ada di atas meja dan sementara meneguk serta tolak pinggang, matanya menatapa ke arah layar televisi yang tertempel di dinding kantor Jean.
“Wanita ini semakin berkibar! Aku heran, kenapa pengacara seperti dia sangat laku!” ucap Maddox masih melekatkan pandangannya pada layar televisi.
Foxire Dawson sedang memberi keterangan pers mengenai rencana kampanye pamannya pada beberapa wartawan. Jean menoleh sekilas dan tersenyum nakal.
“Aku bersumpah ingin menidurinya dan menjadi lesbian paling bahagia!” timpalnya.
Maddox tertawa kecil, seperti mengejek.
“Aku ragu kau masuk dalam kategorinya! Dia pasti memiliki standar yang sangat tinggi! Kau bukan dalam hitungannya!” tukas Maddox.
Jean mengedikkan bahu.
“Siapa tahu? Aku butuh mencobanya, bukan?”
“Kau butuh pria seperti Chris yang bisa membuatmu kembali pada kodrat, Lockey!” seru Maddox menggodanya sembari melenggang keluar dari kantor tersebut.
“Jangan membuatku mual, Maddox!” bantah Jean kesal.
Maddox sudah menjauh dan Jean mendengus makin jengkel.
**
“Semua rencana dan detail telah terkirim. Aku akan mengganti tim dan menyingkirkan beberapa manusia yang tidak berguna!” ucap Foxy pada pamannya.
Keduanya berdiri di jembatan buatan dalam area resort salah satu hotel termahal di Las Vegas dan Josh terlihat serius menikmati aliran sungai yang tenang.
“Tahukah kamu? Kasino pertama yang didirikan di Highway 91 adalah Pair-o-Dice Club pada tahun 1931; kontruksi pertama yang sekarang menjadi El Rancho Vegas, dibuka pertama kali pada tanggal tiga April 1941 dengan enam puluh tiga kamar dan berdiri selama 20 tahun sebelum dihanguskan kebakaran tahun 1960. Kakek kitalah yang mendirikan dan memiliki ide tersebut,” balas Josh sementara matanya memandang ke arah aliran air yang begitu tenang.
“Sulit dipercaya tempat itu kini berkembang menjadi Las Vegas Strip yang kini terkenal. Wilayah bisnis emas di Las Vegas Boulevard South sepanjang empat mil di Paradise dan Winchester. Sukses yang tidak sedikit pun keluarga kita nikmati!” cibir Foxy dengan sengit.
Josh tersenyum lalu menoleh ke arah keponakannya.
“Sekarang kau tahu apa maksud dari tujuanku menjadi gubernur, bukan? Aku akan merengkuh hak kita dan itu tergantung andilmu, Fox! Berusahalah yang terbaik dan kita akan menikmati bersama,” pinta Josh dengan serius.
Foxy mengabaikan perkataan itu dan siap menuju mobilnya kembali. Namun sebelum membuka pintu, dia kembali menoleh.
“Aku tidak pernah berminat menjadi pendampingmu dalam sukses politik, Josh! Aku menyukai duniaku sendiri!”
Wanita itu melangkah menjauh dan Josh tertawa kecil. Suaranya terdengar sumbang.
**
Claire membereskan semua dokumen yang akan dikirimkan ke kantor Josh atas permintaan Foxy, atasannya.
“Kupikir kita tidak terlibat dalam bisnis pamanmu, Bos!” sindir Claire.
Foxy yang baru masuk mendengus kesal.
“Demi ketenangan hidup aku harus melakukan ini!” sahutnya seraya menghempaskan diri di kursi.
“Kau menjilat ludahmu sendiri!” lanjut Claire masih belum puas.
Sekretarisnya memang memiliki lidah yang tajam, tapi Foxy menyukai kinerjanya. Dalam hal ketangkasan, kesetiaan juga menjaga rahasia, Claire bisa diandalkan.
“Aku melihat banyak sekali hal-hal bodoh dalam dokumen ini! Apakah tuan Harten akan menggunakan sebagai senjata pamungkas untuk lawan politiknya?” tanya Claire ingin tahu lebih dalam.
Foxy yang masih belum berminat untuk bergerak, terpaku dengan mata menerawang. Detik berikutnya ia kembali fokus dan melirik ke arah Claire sekilas.
“Jangan terlalu dangkal, Claire! Itu semua hanya gertakan ringan! Kau sudah bekerja untukku cukup lama dan gayaku jauh lebih berkelas dari yang kau pikirkan saat ini!” tukas Foxy seraya mengeluarkan laptopnya.
“Politik dan dunia pengacara memang sama-sama kotor dan kita semua tahu trik-triknya. Tapi, apakah menurutmu tidak terlalu riskan menerapkan ini dalam strategimu? Maksudku, terlalu banyak pemain yang mengaplikasikan hal serupa dan kita butuh taktik yang baru, Bos!”
“Aku tahu, Claire! Itulah sebabnya aku menyebutmu dangkal!”
Claire mengedikkan bahu dan mulai melanjutkan pekerjaannya memasukkan lembaran kertas ke dalam amplop.
“Kau pernah dengar Maddox?” Tiba-tiba Claire menyebut nama asing yang Foxy kurang sukai.
“Xander Maddox, maksudmu?” Foxy menyebut nama lengkap detektif yang ia ketahui dari namanya saja.
“Ya. Detektif yang terkenal dengan sepak terjangnya di Las Vegas ini.”
“Kenapa dengan manusia itu?” Foxy menghentikan ketikannya dan mulai penasaran. Jika Claire menyebut sesuatu, maka itu adalah informasi penting. Claire bukanlah wanita penggosip yang suka bicara hal-hal omong kosong dan tidak suka mengobrol topik sepele.
Itulah sebabnya Foxy sangat menyukainya.
“Berhati-hatilah dengannya! Jimmy sudah mendapat masalah serius dan tidak menutup kemungkinan, dia akan mengusikmu atau tuan Harten!”
Usai mengucapkan kalimat terakhirnya, Claire melenggang keluar dan tidak lagi menyambung pembahasan mengenai detektif Maddox.
Foxy membeku dan mulai berpikir untuk waspada.
“Sudahkah kau lindungi arsip kita?!” teriak Foxy.
“Sudah kulakukan sejak zaman batu!” balas Claire sembari menutup pintu.
Foxy menghela napas lega dan bersandar.
Haruskah dia mulai mengambil langkah untuk menyelidiki seberapa jauh Maddox bisa menjangkau dirinya? Terlalu banyak rahasia busuk yang tersimpan dalam arsipnya. Jika terkuak, ia akan menyeret ratusan pejabat dan orang penting ke dalam penjara!
**
Dua tubuh tanpa busana itu saling mengayun dalam deru napas memburu. Josh menghentak si wanita berambut merah dari belakang, sementara meremas payudara silikon.
“Puaskan aku, Josh! Lebih keras!” pekik si rambut merah yang notabene bekas sekretaris yang sekarang menjadi direktur pertambangannya.
Untuk ukuran pria setengah baya lebih, Josh masih memiliki stamina kuat. Ayunan pinggulnya semakin cepat, menciptakan bunyi dua kelamin berpadu nyaring, hingga menimbulkan gema di kamar hotel.
Perempuan itu akhirnya mengerang, menjerit keras saat menggapai orgasmenya. Josh melambatkan hentakan, tersenyum dengan seringai beringas.
“Berbaliklah!” Belum sedikit pun mendekati akhir permainan, Josh masih tampak bernafsu meski peluh mengalir di tubuhnya.
Perutnya yang sedikit buncit tidak menghilangkan pesona laki-laki garis keturunan Harten yang perkasa. Ia memegang kejantanan yang selalu dia banggakan bisa membuat para wanita bertekuk lutut, melesakkan kembali dengan kasar.
Si rambut merah kembali menggelengkan kepala dan meracau liar. Dia sanggup menjadi budak cinta seorang Josh, karena kenikmatan bercinta tidak pernah mengecewakan sama sekali.
“Pastikan kau menyelesaikan penutupan tambang, sebelum …. Ah! Tubuhmu nikmat sekali!” ringis Josh mulai merasakan puncaknya segera tergapai. “Sebelum polisi menyelidiki untuk keperluan politik!” Pria itu menghunjamkan berkali-kali senjatanya, hingga si perempuan memekik histeris atas jalaran rasa paling memabukkan.
Terkulai dengan napas tersengal, Josh memejamkan mata. Di sampingnya wanita itu tersenyum puas, bahkan sanggup mengulangi lagi.
“Akan kulakukan, asalkan malam ini kau bersamaku,” bisik si rambut merah dengan lidah terjulur, untuk menjilat bibir Josh. “Semua akan kuamankan, pamanku pasti dengan senang hati memenuhi permintaan keponakannya.”
“Kau benar-benar gila, Gil! Kemarilah!” Josh menarik perempuan yang terkekeh geli, saat mulut lelaki itu mengecup lehernya.
Menindih tubuh sintal dengan tangan mulai meraba-raba, mulut Josh mengarah pada puncak benda kenyal buatan.
Desahan dan lenguh maksiat kembali terdengar. Josh memang pandai menempatkan diri dalam hal ini. Menggauli Gil dan memberikan posisi bagus dalam perusahaan adalah salah satu taktik cemerlang. Wanita yang masih notabene kerabat hakim agung wilayah mereka akan menjadi pendukung kuat untuk kiprah politiknya nanti.
Meski skandal itu menjadi konsumsi publik, tapi sejauh ini aman. Istri Josh tidak pernah menggugat, keluarga Gil juga memilih bungkam.
Politik memang sanggup mematikan segala insting manusia untuk lebih peka, sebuah jalur kesuksesan yang dipenuhi dengan gelimang intrik kotor!
Takdir manusia seperti benang yang terentang tak terputus kecuali oleh kematian. Seperti sebuah sulur-sulur tipis yang teratur, meskipun milyaran benang yang ada mengarah pada ribuan kemungkinan bersinggungan dengan untaian yang lain. Anehnya, di antara serba kemungkinan tersebut terkadang muncul sesuatu yang dibutuhkan. Misteri dari sebuah kebetulan dan pertemuan memang tidak bisa dipecahkan oleh siapa pun juga. Pagi itu Jean sedang membenahi sebuah file imigran yang Tim ingin dapatkan statistiknya. Berdasarkan bantahan Maddox yang mengatakan jika Jimmy sudah sangat keterlaluan, Tim menjadi terusik dan bermaksud menyelidiki lebih jauh. Laporan imigran gelap yang pernah tertangkap mereka telisik lebih mendalam dan Tim mengandalkan Jean untuk mengakses jaringan departemen imigrasi secara diam-diam, untuk mendapatkan data rahasia mereka. Sejauh ini, Tim mendapatkan informasi jika Jimmy bukanlah nama asli dari pria tersebut. James Arthur Ficher adalah nama asli si tua brengsek ters
“Hal yang paling aku takutkan sepanjang hidupku adalah bertemu dengan keluarga besarku,” cetus Claire dengan putus ada menatap layar ponsel canggihnya. Pesan dari paman Claire yang mengatakan untuk kembali saat thanksgiving membuat wanita itu menciut dan kehilangan semangat. “Seharusnya kau berbahagia karena masih memiliki keluarga!” cetus Foxy tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang sedang ia tanda tangani. “Jadi kau berharap memiliki keluarga? Pamanmu Josh sudah memberimu keluarga bukan?” tanya Claire, seakan tidak terima jika dia berada di posisi yang salah sendirian. “Apa yang dia berikan lebih seperti sebuah lembaga yang membesarkan dan mengantarkan aku menuju kesuksesan. Tidak ada kehangatan atau kedekatan keluarga!” Foxy menekankan tiap kata dengan tajam. Claire mengedikkan bahu dan menerima dokumen yang telah Foxy tanda tangani. “Berarti kau sama kacaunya denganku!” simpul Claire seraya meninggalkan Foxy. Pengacara sukses itu menghela napas pendek dan memejamka
“Membeli properti? Menyedihkan sekali alasanmu!” Maddox menarik sudut bibirnya, hingga membentuk senyum menjengkelkan. Foxy mendelik dan membanting pintu mustang itu sekuatnya. Belum apa-apa, pria itu sudah menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan. “Hei! Jika mustangku terluka, aku akan menuntutmu!” teriak Maddox seraya mengacungkan jarinya. Wanita itu tidak peduli dan duduk dengan ekspresi mendongkol. Mobil Maddox meninggalkan parkiran gedung kantor Foxy dengan kecepatan sedang. Tanpa ada pembicaraan yang lain, laju mobil terus melewati jalan raya Las Vegas yang cukup padat di siang hari. Foxy tidak tahu tujuan mereka, hingga akhirnya Maddox melewati persimpangan utama di Las Vegas Strip. “Kita mau keluar kota?” tanya si pengacara dengan wajah kebingungan. Maddox tidak menjawab. Ia sibuk mencari rokok yang ada di dashboard mobilnya. Setelah mendapatkan sebungkus nikotin yang ia inginkan, Maddox menyalakan sebatang dan dengan ekspresi lega menghisap dalam-dalam. “Peter memi
Begitu melihat Maddox masuk ke ruangan, Jean yang sedang menagih laporan dari Chris segera menghampirinya. “Laporanmu!” tangannya teracung dengan telapak terbuka. “Kau masih belum menyerahkan laporan kasus terakhir!” tagih Jean dengan wajah judes. “Dan Tim menunggumu di kantor, karena sepertinya kau meninggalkan pengacara cantik di tengah gurun!” sambung Jean, setelah Maddox memberikan tumpukan dokumen padanya. Maddox tidak menjawab, namun segera melangkah menuju ke kantor kaptennya. Begitu melihat, Tim segera mengakhiri panggilan dan menutup ponsel buru-buru. “Kau benar-benar tidak bisa diandalkan! Kenapa kau perlakukan Nona Dawson begitu buruk, Mad?!” “Dia menghina dan mencemooh kemampuanku! Dia yang menolak untuk kubantu!” “Lalu kau meninggalkan dia di tengah padang gurun?!” “Padang gurun? Jangan berlebihan, Tim!” “Mr. Muller bukan Tim! Aku bukan rekanmu!” Maddox menatap Tim dengan tidak percaya. “Kau marah meskipun aku benar? Siapa yang keterlaluan sekarang?!” Maddox be
Maddox menelusuri semua bukti dan dokumen yang ada di dalam file dan mempelajari satu persatu. Papan tulis putih telah penuh dengan coretan yang merupakan petunjuk dan peta yang hanya Maddox sendiri mengerti. Tim melihat dari kursinya dan tidak berniat mengganggu. Baginya menemani Maddox hanyalah untuk menghindari kecaman kedua putrinya mengenai perdebatan mereka tadi sore. Wanita tomboi dengan tindikan di bibir dan hidungnya muncul dan membawa tiga gelas kopi untuk kedua rekannya. “Itu yang tidak dilakukan oleh Chris! Semua tercatat dalam otak dungunya, sementara kapasitas otaknya tidak memadai!” Komentar Jean ditanggapi oleh Tim dengan tawa kecil. Tidak sedikit pun Maddox terusik untuk menimpali. Ia terus merangkai semua bukti dengan coretan di papan tulis. Konsentrasinya penuh tertuju pada kasus pembunuhan berantai yang telah menelan korban tujuh wanita muda. “Pembunuh ini benar-benar biadab. Tidak akan ada ampun baginya kali ini!” gumam Maddox ketika melihat foto-foto korban
Kepulan asap itu berkumpul, sementara akses udara satu-satunya hanya terdapat jendela yang tidak begitu lebar. Dua manusia duduk dengan sikap berlawanan. Tim dengan bahasa tubuh kebapakan, sementara Maddox sibuk menikmati kopi dinginnya dengan nikotin di jarinya. Mendengar Tim berbicara padanya di ruang makan apartemen kecilnya yang sempit, membuat perasaan Maddox menjadi kebas. Perasaan kecewa yang bergejolak di dalamnya ternyata justru berdampak lain saat ini. Maddox kehilangan minat untuk melawan, apalagi membantah. Kali ini, pria itu tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Sikapnya tampak tenang dan muncul keinginan untuk menghindar, mungkin menyendiri sementara waktu. Menghela napas panjang, Maddox mematikan rokok di asbak dan berjalan santai ke arah pintu lalu membukanya. “Pergilah, Tim. Akan kuikuti semua perkataanmu tapi tinggalkan aku sendiri.” Wajahnya melukiskan sebuah ekspresi yang sulit untuk dipahami. Tim tampak terkejut hingga lupa bicara selama beberapa detik. Dia ti
Maddox mengangsurkan gelas berisi mojito pada Foxy. Keduanya mengunjungi bar kecil, tempat dirinya biasa menghabiskan waktu menyendiri. “Mojito ini rasanya parah sekali,” keluh Foxy dengan wajah muram. “Setidaknya tempatnya lumayan sepi dan tidak ada gangguan yang menjengkelkan kita!” sahut Maddox terlihat tidak masalah dengan whiskey murahannya. Foxy terpaksa menyesap minuman yang memang ia butuhkan untuk menenangkan diri dari tragedi yang baru saja ia lama beberapa jam yang lalu. “Bagaimana dengan kondisimu? Kau cukup mencurigakan dengan tetap hidup dan tidak terluka, Nona Dawson! Empat manusia mati menggenaskan dan yang tersisa dari korban yang hidup adalah kau. Utuh, tanpa tergores sedikit pun!” Foxy mengerling padanya dan menatap tajam Maddox. Rasanya sulit dipercaya jika kalimat itu terlontar dari mulut detektif yang beberapa detik lalu menunjukkan perhatian padanya. “Kau menuduhku terlibat, Detektif Maddox?” Mata Foxy tampak berkaca-kaca dan bibirnya gemetar. Kilatan emosi
Foxy memberikan keterangan yang cukup mencengangkan dengan ekspresi tampak gugup juga ketakutan. Saat Tim memberikan kesempatan untuk beberapa detektif membantunya menginterogasi, Maddox tidak begitu mengajukan banyak pertanyaan. Setiap mereka menyinggung mengenai tembakan pertama yang Foxy dengar, Maddox melihat jika wanita itu mulai cemas dan gelisah. “Kau ada di dalam kamar mandi, sementara penembakan pertama berlangsung. Dari arah manakah tembakan tadi?” Chris mengajukan pertanyaan itu pada Foxy. “Kalian selalu mengulang pertanyaan yang sama dan seperti tidak bisa mengingat dengan baik!” protes wanita itu dengan wajah tidak suka. “Ini adalah prosedur yang harus kami lakukan, Nona Dawson. Mohon bekerja samalah.” Tim meminta dengan pandangan yang juga kesal. Sebagai pengacara seharusnya Foxy tahu bagaimana proses ini akan berjalan. Dengan sikap yang sedikit malas, Foxy kembali mengungkapkan apa yang terjadi. “Boleh aku mengajukan pertanyaan juga?” tanya Maddox, akhirnya. Tim
Suara tangis bayi terdengar menambah kemeriahan pesta di halaman belakang kediaman Maddox. Apple dan April sibuk bergantian menggendong bayi mungil yang terbalut kain lampin ungu. Dia sangat cantik, mewarisi kejelitaan Shelby. “Jadi kau benar-benar pensiun dari semuanya?” tanya Tim Muller, sembari membalik steak di panggangan. Shelby tertawa tanpa suara, mengerling pada Joe yang tak berhenti menatapnya dengan mesra. Dia menjadi ayah yang bahagia, saat Shelby memberikan bayi mungil cantik dalam pernikahan mereka. “Entahlah, tawaran Nick sangat menggiurkan. Tapi, kupikir aku akan sedikit rehat untuk sementara waktu, sampai Bow besar nanti.” Wanita itu mengarahkan pandangan pada putrinya yang berada dalam dekapan Apple. “Aku bisa menjaganya, Shelby! Jangan khawatir, aku adalah pengasuh terhebat di kompleks rumahku!” tawar Apple dengan cepat. “Kuliahmu, Ape! Kau pikir bisa sekolah sambil mengasuh bayi?!” tukas April. “Aku kandidat yang sempurna, karena sebentar lagi akan lulus dan pu
Chapter 109. End of the Game Seiring matahari tenggelam, keesokan harinya, semua yang Jimmy kumpulkan merapat di pulau tersebut. Joe dan Shelby tampak kaget, sebab dia juga melihat Maddox serta Foxy. Satu sama lain saling menyapa, sementara Joe menggelengkan kepala tidak percaya. “Apa-apaan ini, Jim?!” Jimmy tertawa, merapatkan kapal dan melompat turun dengan gesit. Gibs di belakangnya tampak tidak kalah tangkas. Sepertinya Jimmy-Gibs telah menjadi sahabat dekat yang tak terpisahkan. “Kita akan menyudahi dengan pertempuran terepik, Joe!” Jimmy mengatakan bagaimana rencana ini telah dia rancang sedemikian rupa. “Memancing dalang sesungguhnya?” ulang Shelby kaget. “Apa maksudnya?” Maddox dan Foxy mendekat, mereka menambahkan apa yang telah didapatkan sejauh ini. Mendengar bagaimana semua sudah diperhitungkan, benar-benar mengejutkan Joe dan Shelby. “Aku menembak Josh sendiri dan itu bukan hanya sekali. Analisa kalian yang mencurigai dia masih hidup rasanya mustahil,” tangkis Joe.
Shelby mencapai pulau dengan kapal sewa yang dia kemudikan sendiri. Tidak segera menuju kediaman Russel yang masih berjarak setengah jam lagi, wanita itu justru menghabiskan beberapa saat di dermaga hingga helikopter Joe Black mendarat di sana. Terkejut melihat pria yang dia cintai menyusul, Shelby menolak permintaan Joe yang meminta untuk mengurungkan niatnya. “Aku harus menanyakan, kenapa Russel membiarkan aku dan mama seperti manusia sampah selama ini!” Joe menghela napas berat, merebut botol minuman yang ada di tangan wanita itu. “Kita tidak akan datang tanpa persiapan, Shelby!” cetusnya. “Tunggu sampai bantuan datang!” Akhirnya, wanita itu mengalah. Mereka menanti di kapal, yang sebenarnya bisa saja terdeteksi oleh Russel. “Mustahil dia mengetahui kedatangan kita. Pelayan setianya sudah mati, ayahmu bisa jadi ada di rumahnya tanpa siapa pun.” Analisa Joe sepertinya benar, sebab selama mereka menunggu di kapal hingga menjelang tengah malam, tak ada satu pun yang datang mengus
Joe terhenyak, panggilan baru saja berakhir dan adiknya mengatakan jika Shelby adalah putri dari Russel Brown! Bagaimana mereka baru mengetahuinya sekarang? Jika rencana membunuh anak mafia itu masih dia dan Maddox lanjutkan, itu berarti dirinya akan siap kehilangan wanita yang sudah menjadi teman kencan tersebut. Sanggupkah dia berhadapan dengan Shelby, jika benar itu terjadi? Entahlah, Joe benar-benar kebingungan, terlalu syok dengan fakta yang terkuak beberapa menit lalu. Masih meraba-raba dengan situasi saat ini, Joe harus menenggak minuman yang dia beli di minimarket pom bensin lebih dulu untuk kembali menguasai diri. Dia duduk selama beberapa belas menit, mengatakan pada diri sendiri untuk cepat berpikir dan mengambil keputusan. Dirinya butuh menempuh tiga jam lebih untuk mencapai kediaman Russel, dan itu pun jika ada transportasi yang bisa membawanya lewat udara. Melalui jalan darat akan sangat panjang dan mustahil bisa mengejar Shelby. Tempat Russel tinggal adalah sebu
Maddox menegakkan tubuh, melatih pelan-pelan fisiknya yang terhajar selama lima hari terakhir dengan vonis keracunan makanan. Foxy membantunya, memastikan dia tidak terlalu lemah melanjutkan proses tersebut. Bagaimanapun juga, Maddox perlu diingatkan untuk istirahat yang banyak demi pemulihan diri. Bobotnya tampak berkurang, walau baru lima hari dia terkapar. “Jangan terlalu memaksakan, kau masih butuh untuk mengembalikan energi,” ucap Foxy, penuh kelembutan mengingatkan. Maddox mengatur napas, meletakkan tubuhnya di salah satu kursi tanpa bantahan. Wanita yang saat ini mendampinginya mendekat, memberikan botol minuman untuk dia. Sambil meneguk, Maddox membiarkan Foxy mengusap keringat di leher juga pundaknya. Ia melirik pada wanita yang begitu setia berada di sisi, tak peduli akan urusannya sendiri. “Aku bisa keluar besok, bisakah kau mencari hotel untuk kita? Aku tidak mau kembali ke rumah yang Titus sediakan,” pinta Maddox. Foxy mengangguk. “Jangan khawatir,” sahutnya pelan.
Joe melangkah dengan cepat, mendatangi kendaraan yang berhasil mereka catat plat dan lokasinya. Mobil yang dipakai oleh pria yang memalsukan diri menjadi tukang masak restoran itu diselubungi terpal dan Joe terpaksa menyingkap semuanya. SUV keluaran lama itu terparkir di depan apartemen kumuh di pinggir kota. Begitu berada di sisi kaca pengemudi, Joe mulai mengayunkan linggis yang ada di tangannya. Praang! Kaca itu hancur dalam sekejap. Ia membuka pintu dari dalam, memeriksa dashboard dan setiap sudut kendaraan. Selama lima belas menit, dirinya mengacak-ngacak isi mobil tersebut hingga gerakannya terhenti. Di bawah jok belakang, Joe menemukan topeng beserta pakaian chef serta sepatu! Dia segera menarik keluar plastik dari saku celana, lalu memasukkan satu persatu ke dalam. Usai mendapatkan semua, Joe meninggalkan mobil dengan santai. Sebentar lagi, sidik jari itu akan menjelaskan, siapa pelaku yang telah membuat Maddox terkapar tak berdaya! ** Jimmy dan Gibs menunggu dengan tid
‘Bangunlah, Mad.’ Foxy memandang pria yang terbaring dengan wajah pucat. Kondisi detektif itu lumayan membaik, akan tetapi masa kritisnya belum berlalu. Menguras lambung yang menyebabkan muntah berkepanjangan terjadi dalam beberapa jam. Foxy harus menyaksikan pria tersebut merintih, meratap dengan tubuh menggigil gemetar karena sakit juga lelah. Tak pernah sedetik pun ia meninggalkan sang detektif. Foxy mendampingi setiap saat, meski ada waktu di mana dia sendiri menangis sambil berharap Maddox tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Tersudut dalam situasi yang tidak menyenangkan, Foxy sedang berjuang untuk melupakan duka yang bertubi-tubi menimpa. Belum mampu mengenyahkan kepedihan atas kematian Peter, Arthur menyusul dengan kondisi kematian tidak kalah menggenaskan. Setiap mengingat kilasan masa lalu, Foxy menyalahkan semua atas kiprahnya. Jika dua pria tersebut tidak terlalu peduli terhadap dirinya, mungkin mereka masih hidup dan baik-baik saja. Jauh di lubuk hati Foxy mey
Mereka tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Para dokter dan perawat yang bertugas mengikuti protokol yang Nick tetapkan dengan disiplin. Joe baru selesai melakukan panggilan dengan Titus. Baru saja ia menutup ponsel, dari jauh Raymond Gibs datang bersama Jimmy dengan tergopoh-gopoh. Jean dan Foxy masih berbicara di lorong, sementara Jimmy dan Gibs berlari menuju ke arah Joe. “Dia sudah stabil, tapi hingga sekarang belum sadar. Entah kenapa, tapi Maddox masih belum bisa diajak komunikasi.” Wajah Joe tampak kalut dan gusar. “Sial! Keparat!” Jimmy melontarkan kata umpatan yang ia teriakan dengan keras. “Jika aku tahu bedebah yang melakukannya, jangan harap dia masih bernyawa!” pekik Jimmy. Bekas kepala FBI, Raymond Gibs mencoba meminta Jimmy untuk bertenang. Semua orang kini menatap mereka. “Wah, wah! Maddox tidak hanya mengundang penegak hukum negara untuk turun tangan! Tapi kumpulan manusia dalam bayang-bayang juga keluar dari persembunyiannya!” seru Nick dari ujung lorong. Se
Di sebuah bunker tersembunyi seorang pria bangkit dari kursi makannya dan berjalan menuju ke arah ruangan yang terdapat berbagai monitor dalam jumlah banyak. Ruangan yang didesain dengan sangat canggih tersebut dikendalikan oleh dua orang ahli teknologi yang usianya masih sangat muda. Sembari memegang gelas wine, pria itu mengamati satu persatu layar yang menunjukkan grafik saham. Senyumnya tersungging penuh kepuasan. “Mereka pikir akan bisa melenggang bebas dan melebarkan kekayaan setelah kematianku! Cih! Manusia-manusia itu terlalu merasa diri pintar!” Tidak lama, muncul pria satunya lagi dan berdiri di sebelahnya. “Hingga detik ini kau belum membuat perhitungan dengan pengacara wanita tersebut, Master.” Pria yang dipanggil ‘Master’ kembali tersenyum licik. “Tenang. Dia akan menerima pembalasan yang jauh lebih menyakitkan, Troy. Pembalasan yang paling menyakitkan!” desis Master dengan sinis. “Bagaimana jika CIA mengetahui keberadaanmu? FBI mungkin dengan mudah bisa kau tipu.