Maddox menelusuri semua bukti dan dokumen yang ada di dalam file dan mempelajari satu persatu. Papan tulis putih telah penuh dengan coretan yang merupakan petunjuk dan peta yang hanya Maddox sendiri mengerti. Tim melihat dari kursinya dan tidak berniat mengganggu. Baginya menemani Maddox hanyalah untuk menghindari kecaman kedua putrinya mengenai perdebatan mereka tadi sore. Wanita tomboi dengan tindikan di bibir dan hidungnya muncul dan membawa tiga gelas kopi untuk kedua rekannya. “Itu yang tidak dilakukan oleh Chris! Semua tercatat dalam otak dungunya, sementara kapasitas otaknya tidak memadai!” Komentar Jean ditanggapi oleh Tim dengan tawa kecil. Tidak sedikit pun Maddox terusik untuk menimpali. Ia terus merangkai semua bukti dengan coretan di papan tulis. Konsentrasinya penuh tertuju pada kasus pembunuhan berantai yang telah menelan korban tujuh wanita muda. “Pembunuh ini benar-benar biadab. Tidak akan ada ampun baginya kali ini!” gumam Maddox ketika melihat foto-foto korban
Kepulan asap itu berkumpul, sementara akses udara satu-satunya hanya terdapat jendela yang tidak begitu lebar. Dua manusia duduk dengan sikap berlawanan. Tim dengan bahasa tubuh kebapakan, sementara Maddox sibuk menikmati kopi dinginnya dengan nikotin di jarinya. Mendengar Tim berbicara padanya di ruang makan apartemen kecilnya yang sempit, membuat perasaan Maddox menjadi kebas. Perasaan kecewa yang bergejolak di dalamnya ternyata justru berdampak lain saat ini. Maddox kehilangan minat untuk melawan, apalagi membantah. Kali ini, pria itu tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Sikapnya tampak tenang dan muncul keinginan untuk menghindar, mungkin menyendiri sementara waktu. Menghela napas panjang, Maddox mematikan rokok di asbak dan berjalan santai ke arah pintu lalu membukanya. “Pergilah, Tim. Akan kuikuti semua perkataanmu tapi tinggalkan aku sendiri.” Wajahnya melukiskan sebuah ekspresi yang sulit untuk dipahami. Tim tampak terkejut hingga lupa bicara selama beberapa detik. Dia ti
Maddox mengangsurkan gelas berisi mojito pada Foxy. Keduanya mengunjungi bar kecil, tempat dirinya biasa menghabiskan waktu menyendiri. “Mojito ini rasanya parah sekali,” keluh Foxy dengan wajah muram. “Setidaknya tempatnya lumayan sepi dan tidak ada gangguan yang menjengkelkan kita!” sahut Maddox terlihat tidak masalah dengan whiskey murahannya. Foxy terpaksa menyesap minuman yang memang ia butuhkan untuk menenangkan diri dari tragedi yang baru saja ia lama beberapa jam yang lalu. “Bagaimana dengan kondisimu? Kau cukup mencurigakan dengan tetap hidup dan tidak terluka, Nona Dawson! Empat manusia mati menggenaskan dan yang tersisa dari korban yang hidup adalah kau. Utuh, tanpa tergores sedikit pun!” Foxy mengerling padanya dan menatap tajam Maddox. Rasanya sulit dipercaya jika kalimat itu terlontar dari mulut detektif yang beberapa detik lalu menunjukkan perhatian padanya. “Kau menuduhku terlibat, Detektif Maddox?” Mata Foxy tampak berkaca-kaca dan bibirnya gemetar. Kilatan emosi
Foxy memberikan keterangan yang cukup mencengangkan dengan ekspresi tampak gugup juga ketakutan. Saat Tim memberikan kesempatan untuk beberapa detektif membantunya menginterogasi, Maddox tidak begitu mengajukan banyak pertanyaan. Setiap mereka menyinggung mengenai tembakan pertama yang Foxy dengar, Maddox melihat jika wanita itu mulai cemas dan gelisah. “Kau ada di dalam kamar mandi, sementara penembakan pertama berlangsung. Dari arah manakah tembakan tadi?” Chris mengajukan pertanyaan itu pada Foxy. “Kalian selalu mengulang pertanyaan yang sama dan seperti tidak bisa mengingat dengan baik!” protes wanita itu dengan wajah tidak suka. “Ini adalah prosedur yang harus kami lakukan, Nona Dawson. Mohon bekerja samalah.” Tim meminta dengan pandangan yang juga kesal. Sebagai pengacara seharusnya Foxy tahu bagaimana proses ini akan berjalan. Dengan sikap yang sedikit malas, Foxy kembali mengungkapkan apa yang terjadi. “Boleh aku mengajukan pertanyaan juga?” tanya Maddox, akhirnya. Tim
[Maaf, Nona Dawson. Maddox adalah satu-satunya orang yang disahkan oleh pengadilan untuk melindungimu] Penolakan Tim membuat Foxy putus asa. “Tidak bisakah kalian mengirim detektif lain? Dia benar-benar menjengkelkan dan tidak sopan!” tegas Foxy, menjelaskan keberatannya. [Ya, dia memang kurang menyenangkan. Tapi percayalah, Maddox bisa menjaminmu untuk tetap bernapas] Kapten itu tidak memberikan pilihan lain, Foxy mengatakan terima kasih dan menutup panggilan dengan wajah merah padam. “Sial!!” pekiknya. Tangannya segera menekan nomor Peter. Aduan yang sama dia sampaikan pada wakil sherriff tersebut. Peter mengatakan akan menggantikan Maddox dengan petugas yang lain, detik itu juga Foxy mulai merasa lega. ** Penjemputan Daniel mendapat pengawalan ketat dan Maddox harus mengikuti mereka hingga menyerahkan tanggung jawab menjaga saksi pada petugas berikutnya. Dari jauh Maddox melihat jika Foxy tampak gugup saat bertemu dengan Daniel. Pemuda tampan yang tidak menyangka akan mendap
Sepagi ini Tim terbangun dengan mata mengantuk. Semalam ia harus begadang untuk mencari siapa orang yang cocok menangani kasus pembunuhan keluarga Harten. Pamela mengecup pipi Tim dan berpamitan untuk berangkat kerja. Dengan malas Tim meraih jam yang ada di nakas dan melihat angka digital yang sudah menunjukkan pukul enam lebih. Rasanya dia tidak sanggup untuk pergi ke kantor dan ingin memutuskan tinggal di rumah hari ini saja. Akan tetapi ketika setelah mencuci muka dan melangkah menuju ruang makan, Maddox sudah ada di sana sedang menyantap sereal dengan surat kabar di tangan. “Pagi, Muller! Untuk ukuran sebuah kasus yang kau tangani sendiri, penambangan yang jelas-jelas meracuni sungai dan merugikan warga mungkin jadi kerjaan menarik untuk mengisi waktu! Aku akan membantumu dengan senang hati!” Tim menuangkan kopi ke gelas lalu duduk sambil menguap berkali-kali. “Kupikir kau akan membahas mengenai kasus Harten,” balasnya dengan lirikan ke arah pria itu. Maddox menurunkan koran
Dengan wajah tidak menyenangkan, Peter meminta Maddox duduk dan Tim pun meninggalkan keduanya. “Prinsipmu sebagai penegak hukum aku hargai, Detektif Xander Maddox. Tapi tindakanmu yang semena-mena dan bertingkah seperti penjagal, membuatku tidak lagi memandangmu dari sisi positif. Kasus Harten akan kuserahkan padamu, dengan satu syarat!” Belum tuntas Peter bicara, Maddox sudah bangkit berdiri. “Tuan Williams, terima kasih atas pujian dan apreisasinya. Tapi aku tidak akan mengambil kasus itu. Tidak perlu bersusah payah memikirkan persyaratan yang akan mengekang dan membatasi gerakanku. Aku tahu apa yang kulakukan dan terima kasih atas waktunya. Selamat siang!” “Aku belum selesai, Maddox!” seru wakil sheriff itu dengan wajah merah padam. Maddox berhenti, namun masih dalam posisi membelakangi Peter. “Aku tidak akan mentolerir sikapmu, Maddox. Jika Tim selalu melindungimu karena unsur pribadi, tapi tidak denganku!” Detekif itu akhirnya berbalik, sementara tidak melepaskan pegangan
Wanita tua yang ramah itu mengatakan pada Maddox dia bisa menggunakan apartemen di sebelahnya kapan saja dia mau. Dengan senyum yang terus terukir di bibir keriputnya, wanita itu menyerahkan kunci pada Maddox. Pria itu mengecup pipi Daisy, nama wanita tua yang baik itu, dan meninggalkan panti jompo bersama Foxy dan Daniel. “Aku tidak tahu jika kau punya teman setua itu,” cetus Foxy, sementara pandangannya tentang Maddox perlahan berubah. Tidak disangka, jika pria angkuh dan selalu bermulut tajam itu bersedia mengurus wanita tua yang tidak memiliki siapa pun untuk memperdulikan dirinya. Daisy bahkan tidak ada hubungan darah dengan Maddox. Foxy juga berhasil mengulik informasi dari petugas yang berjaga di resepsionis. Petugas dengan tampilan kemayu bercerita padanya, bahwa Maddox yang membawa wanita tersebut ke panti jompo. Setiap seminggu sekali rajin mengunjungi Daisy Lambert pada akhir pekan. Inikah sisi lain yang tidak pernah orang ketahui dari seorang Maddox? Seorang pria yan
Suara tangis bayi terdengar menambah kemeriahan pesta di halaman belakang kediaman Maddox. Apple dan April sibuk bergantian menggendong bayi mungil yang terbalut kain lampin ungu. Dia sangat cantik, mewarisi kejelitaan Shelby. “Jadi kau benar-benar pensiun dari semuanya?” tanya Tim Muller, sembari membalik steak di panggangan. Shelby tertawa tanpa suara, mengerling pada Joe yang tak berhenti menatapnya dengan mesra. Dia menjadi ayah yang bahagia, saat Shelby memberikan bayi mungil cantik dalam pernikahan mereka. “Entahlah, tawaran Nick sangat menggiurkan. Tapi, kupikir aku akan sedikit rehat untuk sementara waktu, sampai Bow besar nanti.” Wanita itu mengarahkan pandangan pada putrinya yang berada dalam dekapan Apple. “Aku bisa menjaganya, Shelby! Jangan khawatir, aku adalah pengasuh terhebat di kompleks rumahku!” tawar Apple dengan cepat. “Kuliahmu, Ape! Kau pikir bisa sekolah sambil mengasuh bayi?!” tukas April. “Aku kandidat yang sempurna, karena sebentar lagi akan lulus dan pu
Chapter 109. End of the Game Seiring matahari tenggelam, keesokan harinya, semua yang Jimmy kumpulkan merapat di pulau tersebut. Joe dan Shelby tampak kaget, sebab dia juga melihat Maddox serta Foxy. Satu sama lain saling menyapa, sementara Joe menggelengkan kepala tidak percaya. “Apa-apaan ini, Jim?!” Jimmy tertawa, merapatkan kapal dan melompat turun dengan gesit. Gibs di belakangnya tampak tidak kalah tangkas. Sepertinya Jimmy-Gibs telah menjadi sahabat dekat yang tak terpisahkan. “Kita akan menyudahi dengan pertempuran terepik, Joe!” Jimmy mengatakan bagaimana rencana ini telah dia rancang sedemikian rupa. “Memancing dalang sesungguhnya?” ulang Shelby kaget. “Apa maksudnya?” Maddox dan Foxy mendekat, mereka menambahkan apa yang telah didapatkan sejauh ini. Mendengar bagaimana semua sudah diperhitungkan, benar-benar mengejutkan Joe dan Shelby. “Aku menembak Josh sendiri dan itu bukan hanya sekali. Analisa kalian yang mencurigai dia masih hidup rasanya mustahil,” tangkis Joe.
Shelby mencapai pulau dengan kapal sewa yang dia kemudikan sendiri. Tidak segera menuju kediaman Russel yang masih berjarak setengah jam lagi, wanita itu justru menghabiskan beberapa saat di dermaga hingga helikopter Joe Black mendarat di sana. Terkejut melihat pria yang dia cintai menyusul, Shelby menolak permintaan Joe yang meminta untuk mengurungkan niatnya. “Aku harus menanyakan, kenapa Russel membiarkan aku dan mama seperti manusia sampah selama ini!” Joe menghela napas berat, merebut botol minuman yang ada di tangan wanita itu. “Kita tidak akan datang tanpa persiapan, Shelby!” cetusnya. “Tunggu sampai bantuan datang!” Akhirnya, wanita itu mengalah. Mereka menanti di kapal, yang sebenarnya bisa saja terdeteksi oleh Russel. “Mustahil dia mengetahui kedatangan kita. Pelayan setianya sudah mati, ayahmu bisa jadi ada di rumahnya tanpa siapa pun.” Analisa Joe sepertinya benar, sebab selama mereka menunggu di kapal hingga menjelang tengah malam, tak ada satu pun yang datang mengus
Joe terhenyak, panggilan baru saja berakhir dan adiknya mengatakan jika Shelby adalah putri dari Russel Brown! Bagaimana mereka baru mengetahuinya sekarang? Jika rencana membunuh anak mafia itu masih dia dan Maddox lanjutkan, itu berarti dirinya akan siap kehilangan wanita yang sudah menjadi teman kencan tersebut. Sanggupkah dia berhadapan dengan Shelby, jika benar itu terjadi? Entahlah, Joe benar-benar kebingungan, terlalu syok dengan fakta yang terkuak beberapa menit lalu. Masih meraba-raba dengan situasi saat ini, Joe harus menenggak minuman yang dia beli di minimarket pom bensin lebih dulu untuk kembali menguasai diri. Dia duduk selama beberapa belas menit, mengatakan pada diri sendiri untuk cepat berpikir dan mengambil keputusan. Dirinya butuh menempuh tiga jam lebih untuk mencapai kediaman Russel, dan itu pun jika ada transportasi yang bisa membawanya lewat udara. Melalui jalan darat akan sangat panjang dan mustahil bisa mengejar Shelby. Tempat Russel tinggal adalah sebu
Maddox menegakkan tubuh, melatih pelan-pelan fisiknya yang terhajar selama lima hari terakhir dengan vonis keracunan makanan. Foxy membantunya, memastikan dia tidak terlalu lemah melanjutkan proses tersebut. Bagaimanapun juga, Maddox perlu diingatkan untuk istirahat yang banyak demi pemulihan diri. Bobotnya tampak berkurang, walau baru lima hari dia terkapar. “Jangan terlalu memaksakan, kau masih butuh untuk mengembalikan energi,” ucap Foxy, penuh kelembutan mengingatkan. Maddox mengatur napas, meletakkan tubuhnya di salah satu kursi tanpa bantahan. Wanita yang saat ini mendampinginya mendekat, memberikan botol minuman untuk dia. Sambil meneguk, Maddox membiarkan Foxy mengusap keringat di leher juga pundaknya. Ia melirik pada wanita yang begitu setia berada di sisi, tak peduli akan urusannya sendiri. “Aku bisa keluar besok, bisakah kau mencari hotel untuk kita? Aku tidak mau kembali ke rumah yang Titus sediakan,” pinta Maddox. Foxy mengangguk. “Jangan khawatir,” sahutnya pelan.
Joe melangkah dengan cepat, mendatangi kendaraan yang berhasil mereka catat plat dan lokasinya. Mobil yang dipakai oleh pria yang memalsukan diri menjadi tukang masak restoran itu diselubungi terpal dan Joe terpaksa menyingkap semuanya. SUV keluaran lama itu terparkir di depan apartemen kumuh di pinggir kota. Begitu berada di sisi kaca pengemudi, Joe mulai mengayunkan linggis yang ada di tangannya. Praang! Kaca itu hancur dalam sekejap. Ia membuka pintu dari dalam, memeriksa dashboard dan setiap sudut kendaraan. Selama lima belas menit, dirinya mengacak-ngacak isi mobil tersebut hingga gerakannya terhenti. Di bawah jok belakang, Joe menemukan topeng beserta pakaian chef serta sepatu! Dia segera menarik keluar plastik dari saku celana, lalu memasukkan satu persatu ke dalam. Usai mendapatkan semua, Joe meninggalkan mobil dengan santai. Sebentar lagi, sidik jari itu akan menjelaskan, siapa pelaku yang telah membuat Maddox terkapar tak berdaya! ** Jimmy dan Gibs menunggu dengan tid
‘Bangunlah, Mad.’ Foxy memandang pria yang terbaring dengan wajah pucat. Kondisi detektif itu lumayan membaik, akan tetapi masa kritisnya belum berlalu. Menguras lambung yang menyebabkan muntah berkepanjangan terjadi dalam beberapa jam. Foxy harus menyaksikan pria tersebut merintih, meratap dengan tubuh menggigil gemetar karena sakit juga lelah. Tak pernah sedetik pun ia meninggalkan sang detektif. Foxy mendampingi setiap saat, meski ada waktu di mana dia sendiri menangis sambil berharap Maddox tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Tersudut dalam situasi yang tidak menyenangkan, Foxy sedang berjuang untuk melupakan duka yang bertubi-tubi menimpa. Belum mampu mengenyahkan kepedihan atas kematian Peter, Arthur menyusul dengan kondisi kematian tidak kalah menggenaskan. Setiap mengingat kilasan masa lalu, Foxy menyalahkan semua atas kiprahnya. Jika dua pria tersebut tidak terlalu peduli terhadap dirinya, mungkin mereka masih hidup dan baik-baik saja. Jauh di lubuk hati Foxy mey
Mereka tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Para dokter dan perawat yang bertugas mengikuti protokol yang Nick tetapkan dengan disiplin. Joe baru selesai melakukan panggilan dengan Titus. Baru saja ia menutup ponsel, dari jauh Raymond Gibs datang bersama Jimmy dengan tergopoh-gopoh. Jean dan Foxy masih berbicara di lorong, sementara Jimmy dan Gibs berlari menuju ke arah Joe. “Dia sudah stabil, tapi hingga sekarang belum sadar. Entah kenapa, tapi Maddox masih belum bisa diajak komunikasi.” Wajah Joe tampak kalut dan gusar. “Sial! Keparat!” Jimmy melontarkan kata umpatan yang ia teriakan dengan keras. “Jika aku tahu bedebah yang melakukannya, jangan harap dia masih bernyawa!” pekik Jimmy. Bekas kepala FBI, Raymond Gibs mencoba meminta Jimmy untuk bertenang. Semua orang kini menatap mereka. “Wah, wah! Maddox tidak hanya mengundang penegak hukum negara untuk turun tangan! Tapi kumpulan manusia dalam bayang-bayang juga keluar dari persembunyiannya!” seru Nick dari ujung lorong. Se
Di sebuah bunker tersembunyi seorang pria bangkit dari kursi makannya dan berjalan menuju ke arah ruangan yang terdapat berbagai monitor dalam jumlah banyak. Ruangan yang didesain dengan sangat canggih tersebut dikendalikan oleh dua orang ahli teknologi yang usianya masih sangat muda. Sembari memegang gelas wine, pria itu mengamati satu persatu layar yang menunjukkan grafik saham. Senyumnya tersungging penuh kepuasan. “Mereka pikir akan bisa melenggang bebas dan melebarkan kekayaan setelah kematianku! Cih! Manusia-manusia itu terlalu merasa diri pintar!” Tidak lama, muncul pria satunya lagi dan berdiri di sebelahnya. “Hingga detik ini kau belum membuat perhitungan dengan pengacara wanita tersebut, Master.” Pria yang dipanggil ‘Master’ kembali tersenyum licik. “Tenang. Dia akan menerima pembalasan yang jauh lebih menyakitkan, Troy. Pembalasan yang paling menyakitkan!” desis Master dengan sinis. “Bagaimana jika CIA mengetahui keberadaanmu? FBI mungkin dengan mudah bisa kau tipu.