Maddox kembali menuang whiskey dengan meminta pada Foxy untuk melakukan untuknya. “Aku bukan bartendermu!” dengus Foxy dengan ekspresi jengkel. “Kau tidak akan banyak membantu, Foxy. Jadi lakukan hal yang berguna,” tukas Maddox. Wanita itu sangat merasa terhina. Namun apa daya? Maddox sepertinya sedang mencoba mendapatkan informasi dari Jimmy dan dia tidak memiliki kontribusi apa pun. Dengan sikap bersungut-sungut, Foxy melakukan apa yang Maddox minta. Jimmy menumpangkan kaki ke kaki sebelahnya, setelah menyalakan cerutu. “Sejak dulu kau selalu mempermainkan aku, Mad. Kenapa tidak kau habisi saja aku dan selesaikan langsung? Aku seperti tikus mainanmu. Apakah kau kehabisan ide hingga kembali ke mainan lamamu?” tanya Jimmy, sinis dan menyindir pedas. Maddox menggelengkan kepala. “Kau mengecewakan aku, Jim. Jangan mengingat hal buruk saja, aku juga pernah menyelamatkan pantatmu dari serangan Black Domino! Jangan melupakan jasa-jasaku! Kupikir kita berteman?” goda Maddox dengan ga
Jimmy dan Foxy menatap Maddox yang mulai gelisah dengan pandangan tidak mengerti penyebab reaksi aneh detektif tersebut. “Durcho Voller … Merelyn Voller,” gumam Maddox dengan ekspresi wajah masih tertegun. Emosi dalam dirinya menggelegak dengan cara yang tidak disadari oleh kedua manusia di hadapannya. Sekian lama ia buta akan masa lalu dan asal usulnya, Maddox kini menemukan jika Russel-lah yang membunuh kedua orang tuanya! Takdir menuntun mereka ke dalam lingkaran yang sama, seiring selubung misteri itu terkuak. Kepala Maddox penuh dengan dugaan liar, hingga tebakan itu mengarah ke motivasi Russel mengirim Joe untuk memburu dia. Bisa jadi itu bukan karena Foxy semata, melainkan atas sebab dendam yang tertinggal atas kesalahan ayah juga ibunya dulu. ‘Mungkinkah Russel tahu siapa aku?’ batin Maddox dengan resah. Kian lama, pikirannya semakin membayangkan hal-hal mengerikan. Kemungkinan kedua kakaknya telah mati dibunuh lebih dulu juga melintas. “Kau baik-baik saja, Mad? Aku ti
Foxy, yang mulai bosan karena terus menunggu sementara Maddox sibuk mencari informasi dari Jimmy, akhirnya nekat keluar untuk minum di bar. Sudah empat gelas martini ia habiskan dan itu belum cukup memuaskan dirinya. “Seseorang mengirim ini untukmu,” ucap sang bartender padanya. Foxy menoleh ke arah bartender memberikan isyarat, siapa pengirim minumn tersebut. Ia melihat pria menarik dengan pakaian rapi dan tampak mahal. Jam rolex dengan berlian tiga karat melingkar di pergelangan tangannya. Dengan anggun dan elegan, Foxy mengangkat gelas martininya, sebagai ucapan terima kasih sekaligus undangan untuk mendekat. Sikapnya tampak tenang saat pria itu berjalan ke arahnya. “Kau terlalu banyak menghabiskan waktu di sini sia-sia,” ucap pria tersebut dengan merapatkan diri ke telinganya. Aroma parfum tercium dengan esens sangat menggoda. Sensasi itu membuat Foxy ingin melepaskan ketegangannya selama beberapa saat. Bersenang-senang dengan pria yang tahu menghargai dirinya mungkin solu
Sudah lima pesan terkirim, tapi tidak ada balasan sedikit pun dari Foxy. Maddox menilai jika wanita itu benar-benar ingin lepas darinya dengan cara sendiri. Usai mendapatkan data dari Jean mengenai tempat tinggal Russel, wajah Maddox masih belum bersemangat. Semua tempat yang tertulis dalam daftar alamat yang tertera di SIM atas nama Russel tersebut tidak lagi berlaku. Rumah, apartemen dan condonium itu telah berganti pemilik dan Russel seperti raib begitu saja. “Bisakah kau mengakses kamera lalu lintas di Las Vegas Strip seminggu terakhir? Tepatnya di dekat kasino Jimmy. Pastikan kau melihat limosin hitam milik Russel!” Jean mengetikkan jari-jarinya, tanpa menjawab pertanyaan Maddox. “Tidak ada kendaraan yang terdaftar atas nama Russel. Nihil!” Detektif itu meremas rambutnya dan tampak jengkel. Ia kemudian menyalakan sebatang rokok dan mencoba mencairkan otaknya yang membeku. Inspirasinya saat ini benar-benar tidak tergali! “Hei, Mad! Cek yang satu ini!” seru Jean dengan wajah
Berbagai rutuk dan umpatan terlontar untuk Maddox dalam hatinya. Namun, ketika menyadari bahwa ini adalah kesalahannya, Foxy berakhir dengan penyesalan. Seharusnya dia tidak pernah meninggalkan Maddox untuk bersenang-senang sendiri. Mustahil dia semudah itu memberikan tubuhnya pada pria asing. Semakin sadar ada yang tidak beres, Foxy mencoba mengingat kondisinya setelah minum gelas traktiran pria yang ia tiduri tersebut. Dirinya tidak akan pernah meniduri pria sembarangan tanpa pertimbangan. Foxy juga belum pernah melakukan hubungan seks dengan seseorang yang tidak ia kenal sebelumnya. ‘Pasti pria itu menaruh sesuatu dalam gelasku!’ pekik Foxy makin merasakan dendam membara. Seandainya ia berhasil keluar dengan selamat, Foxy bersumpah akan mencari pria itu dan melakukan perhitungan. Kembali terdengar suara langkah kaki mendekat dan kali ini bukan satu, melainkan beberapa pasang kaki. Foxy menajamkan pendengarannya dan ia mulai sadar jika bagasi itu sedang mencoba dibuka oleh ses
Entah kenapa, segala rasa kesal dan jengkel seketika menguap saat melihat Foxy dalam keadaan tidak berdaya. Perempuan yang membelakanginya sedang menghantamkan palu bertubi-tubi pada kedua tangan Foxy, yang menyebabkan wanita pengacara itu menjerit histeris. Maddox tidak lagi berpikir, langsung menembakkan senjata dan tepat menembus tengkorak Ruby! Dor! Foxy menjerit ketakutan begitu cipratan darah seperti meledak dari kening wanita penyiksanya. Tubuh Ruby ambruk menindihnya dan Foxy semakin menggigil ketakutan. “Diam, Foxy!” bentak Maddox. Wajah Foxy tampak kacau dan kedua tangannya terlihat hancur. Maddox tidak bisa membayangkan kerusakan yang Ruby sebabkan pada kedua tangan kliennya. Dengan hati-hati, Maddox melepaskan tali pada pergelangan tangan juga kaki, lalu menopang tubuh wanita itu. “Kau tidak apa-apa?” tanya detektif itu kemudian. Foxy mengangguk sementara air matanya kembali berlinang. Dia tidak menyangka akan selamat dan Maddoxlah yang menyelamatkan dirinya. “Aku
Pagi itu Jean melihat wajah Maddox yang terlihat kusut dan muram. Saat ini Foxy masih mendapat perawatan, sementara Maddox memilih untuk diam di kantornya. Seharusnya Maddox menunggu Foxy untuk mendapatkan cerita yang benar dari mulut pengacara tersebut. “Apa yang telah kalian lalui, Mad? Bajingan yang menculik Foxy sudah tertangkap, tapi seperti ada sesuatu yang terjadi di luar peristiwa penculikan.” Insting Jean begitu tajam dan pengamatannya sangat jeli. Maddox menghabiskan kopi dan meraba-raba saku jaketnya. Mulut si detektif mulai mengeluarkan makian karena tidak menemukan bungkus rokok tersebut. Jean menarik laci dan melemparkan sebungkus rokok baru padanya disertai tatapan kesal. Dengan sigap Maddox menangkap. “Joe Black mendatangi kami.” Kalimat itu membuat Jean tersentak, ia mengurungkan ketikannya. “Maksudmu, pembunuh bayaran yang diutus Russel?” Detektif itu mengangguk sementara mulutnya mengisap batang nikotin dalam-dalam. “Ada sesuatu yang disembunyikan Foxy dan
Permintaan Tim untuk mengawasi Foxy sempat membuat Maddox merasa enggan. Banyak ganjalan yang mengisi hatinya. Akan tetapi, baru kali ini pria itu tidak mampu menguak semua sekaligus. Bahkan menghadapi Foxy untuk mencari penjelasan saja, membuat Maddox begitu muak. Entah kenapa, tapi jika ia mau jujur, rasa muak yang ia rasakan saat ini lebih condong pada kecewa. Sedari awal Maddox yakin, jika Foxy tidak menyimpan apa pun dari dia. Tidak biasanya ia begitu naif dan ceroboh, hingga melupakan detail kecil yang mungkin terlewatkan darinya. Kenapa dirinya begitu mudah percaya dan tidak mencari tahu lebih dulu? Dari kaca yang memiliki tirai lipat sedikit terbuka, Maddox melihat Foxy terbaring dengan kedua tangan dan kaki kiri terbalut gips. Dari keterangan polisi yang berjaga, Maddox mendapatkan informasi jika wanita itu menjalani operasi yang tidak sebentar. Kedua tangannya harus dibenahi total dikarenakan ada sebagian tulang yang retak parah. Jari-jari Foxy harus kembali disusun se
Suara tangis bayi terdengar menambah kemeriahan pesta di halaman belakang kediaman Maddox. Apple dan April sibuk bergantian menggendong bayi mungil yang terbalut kain lampin ungu. Dia sangat cantik, mewarisi kejelitaan Shelby. “Jadi kau benar-benar pensiun dari semuanya?” tanya Tim Muller, sembari membalik steak di panggangan. Shelby tertawa tanpa suara, mengerling pada Joe yang tak berhenti menatapnya dengan mesra. Dia menjadi ayah yang bahagia, saat Shelby memberikan bayi mungil cantik dalam pernikahan mereka. “Entahlah, tawaran Nick sangat menggiurkan. Tapi, kupikir aku akan sedikit rehat untuk sementara waktu, sampai Bow besar nanti.” Wanita itu mengarahkan pandangan pada putrinya yang berada dalam dekapan Apple. “Aku bisa menjaganya, Shelby! Jangan khawatir, aku adalah pengasuh terhebat di kompleks rumahku!” tawar Apple dengan cepat. “Kuliahmu, Ape! Kau pikir bisa sekolah sambil mengasuh bayi?!” tukas April. “Aku kandidat yang sempurna, karena sebentar lagi akan lulus dan pu
Chapter 109. End of the Game Seiring matahari tenggelam, keesokan harinya, semua yang Jimmy kumpulkan merapat di pulau tersebut. Joe dan Shelby tampak kaget, sebab dia juga melihat Maddox serta Foxy. Satu sama lain saling menyapa, sementara Joe menggelengkan kepala tidak percaya. “Apa-apaan ini, Jim?!” Jimmy tertawa, merapatkan kapal dan melompat turun dengan gesit. Gibs di belakangnya tampak tidak kalah tangkas. Sepertinya Jimmy-Gibs telah menjadi sahabat dekat yang tak terpisahkan. “Kita akan menyudahi dengan pertempuran terepik, Joe!” Jimmy mengatakan bagaimana rencana ini telah dia rancang sedemikian rupa. “Memancing dalang sesungguhnya?” ulang Shelby kaget. “Apa maksudnya?” Maddox dan Foxy mendekat, mereka menambahkan apa yang telah didapatkan sejauh ini. Mendengar bagaimana semua sudah diperhitungkan, benar-benar mengejutkan Joe dan Shelby. “Aku menembak Josh sendiri dan itu bukan hanya sekali. Analisa kalian yang mencurigai dia masih hidup rasanya mustahil,” tangkis Joe.
Shelby mencapai pulau dengan kapal sewa yang dia kemudikan sendiri. Tidak segera menuju kediaman Russel yang masih berjarak setengah jam lagi, wanita itu justru menghabiskan beberapa saat di dermaga hingga helikopter Joe Black mendarat di sana. Terkejut melihat pria yang dia cintai menyusul, Shelby menolak permintaan Joe yang meminta untuk mengurungkan niatnya. “Aku harus menanyakan, kenapa Russel membiarkan aku dan mama seperti manusia sampah selama ini!” Joe menghela napas berat, merebut botol minuman yang ada di tangan wanita itu. “Kita tidak akan datang tanpa persiapan, Shelby!” cetusnya. “Tunggu sampai bantuan datang!” Akhirnya, wanita itu mengalah. Mereka menanti di kapal, yang sebenarnya bisa saja terdeteksi oleh Russel. “Mustahil dia mengetahui kedatangan kita. Pelayan setianya sudah mati, ayahmu bisa jadi ada di rumahnya tanpa siapa pun.” Analisa Joe sepertinya benar, sebab selama mereka menunggu di kapal hingga menjelang tengah malam, tak ada satu pun yang datang mengus
Joe terhenyak, panggilan baru saja berakhir dan adiknya mengatakan jika Shelby adalah putri dari Russel Brown! Bagaimana mereka baru mengetahuinya sekarang? Jika rencana membunuh anak mafia itu masih dia dan Maddox lanjutkan, itu berarti dirinya akan siap kehilangan wanita yang sudah menjadi teman kencan tersebut. Sanggupkah dia berhadapan dengan Shelby, jika benar itu terjadi? Entahlah, Joe benar-benar kebingungan, terlalu syok dengan fakta yang terkuak beberapa menit lalu. Masih meraba-raba dengan situasi saat ini, Joe harus menenggak minuman yang dia beli di minimarket pom bensin lebih dulu untuk kembali menguasai diri. Dia duduk selama beberapa belas menit, mengatakan pada diri sendiri untuk cepat berpikir dan mengambil keputusan. Dirinya butuh menempuh tiga jam lebih untuk mencapai kediaman Russel, dan itu pun jika ada transportasi yang bisa membawanya lewat udara. Melalui jalan darat akan sangat panjang dan mustahil bisa mengejar Shelby. Tempat Russel tinggal adalah sebu
Maddox menegakkan tubuh, melatih pelan-pelan fisiknya yang terhajar selama lima hari terakhir dengan vonis keracunan makanan. Foxy membantunya, memastikan dia tidak terlalu lemah melanjutkan proses tersebut. Bagaimanapun juga, Maddox perlu diingatkan untuk istirahat yang banyak demi pemulihan diri. Bobotnya tampak berkurang, walau baru lima hari dia terkapar. “Jangan terlalu memaksakan, kau masih butuh untuk mengembalikan energi,” ucap Foxy, penuh kelembutan mengingatkan. Maddox mengatur napas, meletakkan tubuhnya di salah satu kursi tanpa bantahan. Wanita yang saat ini mendampinginya mendekat, memberikan botol minuman untuk dia. Sambil meneguk, Maddox membiarkan Foxy mengusap keringat di leher juga pundaknya. Ia melirik pada wanita yang begitu setia berada di sisi, tak peduli akan urusannya sendiri. “Aku bisa keluar besok, bisakah kau mencari hotel untuk kita? Aku tidak mau kembali ke rumah yang Titus sediakan,” pinta Maddox. Foxy mengangguk. “Jangan khawatir,” sahutnya pelan.
Joe melangkah dengan cepat, mendatangi kendaraan yang berhasil mereka catat plat dan lokasinya. Mobil yang dipakai oleh pria yang memalsukan diri menjadi tukang masak restoran itu diselubungi terpal dan Joe terpaksa menyingkap semuanya. SUV keluaran lama itu terparkir di depan apartemen kumuh di pinggir kota. Begitu berada di sisi kaca pengemudi, Joe mulai mengayunkan linggis yang ada di tangannya. Praang! Kaca itu hancur dalam sekejap. Ia membuka pintu dari dalam, memeriksa dashboard dan setiap sudut kendaraan. Selama lima belas menit, dirinya mengacak-ngacak isi mobil tersebut hingga gerakannya terhenti. Di bawah jok belakang, Joe menemukan topeng beserta pakaian chef serta sepatu! Dia segera menarik keluar plastik dari saku celana, lalu memasukkan satu persatu ke dalam. Usai mendapatkan semua, Joe meninggalkan mobil dengan santai. Sebentar lagi, sidik jari itu akan menjelaskan, siapa pelaku yang telah membuat Maddox terkapar tak berdaya! ** Jimmy dan Gibs menunggu dengan tid
‘Bangunlah, Mad.’ Foxy memandang pria yang terbaring dengan wajah pucat. Kondisi detektif itu lumayan membaik, akan tetapi masa kritisnya belum berlalu. Menguras lambung yang menyebabkan muntah berkepanjangan terjadi dalam beberapa jam. Foxy harus menyaksikan pria tersebut merintih, meratap dengan tubuh menggigil gemetar karena sakit juga lelah. Tak pernah sedetik pun ia meninggalkan sang detektif. Foxy mendampingi setiap saat, meski ada waktu di mana dia sendiri menangis sambil berharap Maddox tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Tersudut dalam situasi yang tidak menyenangkan, Foxy sedang berjuang untuk melupakan duka yang bertubi-tubi menimpa. Belum mampu mengenyahkan kepedihan atas kematian Peter, Arthur menyusul dengan kondisi kematian tidak kalah menggenaskan. Setiap mengingat kilasan masa lalu, Foxy menyalahkan semua atas kiprahnya. Jika dua pria tersebut tidak terlalu peduli terhadap dirinya, mungkin mereka masih hidup dan baik-baik saja. Jauh di lubuk hati Foxy mey
Mereka tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Para dokter dan perawat yang bertugas mengikuti protokol yang Nick tetapkan dengan disiplin. Joe baru selesai melakukan panggilan dengan Titus. Baru saja ia menutup ponsel, dari jauh Raymond Gibs datang bersama Jimmy dengan tergopoh-gopoh. Jean dan Foxy masih berbicara di lorong, sementara Jimmy dan Gibs berlari menuju ke arah Joe. “Dia sudah stabil, tapi hingga sekarang belum sadar. Entah kenapa, tapi Maddox masih belum bisa diajak komunikasi.” Wajah Joe tampak kalut dan gusar. “Sial! Keparat!” Jimmy melontarkan kata umpatan yang ia teriakan dengan keras. “Jika aku tahu bedebah yang melakukannya, jangan harap dia masih bernyawa!” pekik Jimmy. Bekas kepala FBI, Raymond Gibs mencoba meminta Jimmy untuk bertenang. Semua orang kini menatap mereka. “Wah, wah! Maddox tidak hanya mengundang penegak hukum negara untuk turun tangan! Tapi kumpulan manusia dalam bayang-bayang juga keluar dari persembunyiannya!” seru Nick dari ujung lorong. Se
Di sebuah bunker tersembunyi seorang pria bangkit dari kursi makannya dan berjalan menuju ke arah ruangan yang terdapat berbagai monitor dalam jumlah banyak. Ruangan yang didesain dengan sangat canggih tersebut dikendalikan oleh dua orang ahli teknologi yang usianya masih sangat muda. Sembari memegang gelas wine, pria itu mengamati satu persatu layar yang menunjukkan grafik saham. Senyumnya tersungging penuh kepuasan. “Mereka pikir akan bisa melenggang bebas dan melebarkan kekayaan setelah kematianku! Cih! Manusia-manusia itu terlalu merasa diri pintar!” Tidak lama, muncul pria satunya lagi dan berdiri di sebelahnya. “Hingga detik ini kau belum membuat perhitungan dengan pengacara wanita tersebut, Master.” Pria yang dipanggil ‘Master’ kembali tersenyum licik. “Tenang. Dia akan menerima pembalasan yang jauh lebih menyakitkan, Troy. Pembalasan yang paling menyakitkan!” desis Master dengan sinis. “Bagaimana jika CIA mengetahui keberadaanmu? FBI mungkin dengan mudah bisa kau tipu.