Clara memandang ponselnya saat mendapati nomor tidak di kenal masuk ke dalam ponselnya. Ia sedikit takut saat melihat teks yang dikirimkan oleh pengirim. Clara penasaran, siapa orang ini? Apakah teman lamanya? Jika iya, siapa? Ini bukan April, seharusnya mereka tidak mengerjainya seperti ini.
Clara menatap Nathan yang masih memfokuskan pandangannya ke depan. Bukan Nathan pelakunya. Ia tidak memegang ponsel sama sekali. Ia menoleh ke belakang, semakin aneh jika Clara menuduh Drvan yang melakukannya.
"Kak Nathan, tahu nomor ini?" Tanya Clara sembari menyodorkan ponselnya.
"Tidak tahu. Lagipula saya tidak terlalu hafal dengan nomor lain. Saya hanya hafal dengan nomor saya sendiri." Jawab Nathan jelas.
"Yah... Sipaa tahu Kak Nathan memiliki nomor yang sama di ponsel Kakak. Jadi saya bisa mengetahui siapa pemilik nomor ini. Sayang sekali."
Nathan mengusak rambutnya kasar. Sebentar lagi, Alvin akan kembali ke Indonesia. Ia belum siap jika harus segera berpisah dengan Clara. Ia terlanjur terbiasa bersama dengan gadis itu. Nathan tidak bisa membayang lagi bagaimana jika ia telah berpisah dengannya. Walaupun ia masih bisa bertamu, tetap saja Clara tidak tinggal satu atap denganny. Nathan tidak tahu bagaimana cara menyampaikan ini pada Clara. Ia masih tidak rela. Apakah ia harus bisa menahan Clara agar tetap bersamanya? Namun, ia tidak bisa egois. Clara memiliki kehidupan sendiri sebelum bersamanya. Kenapa Alvin menyelesaikannya terlalu cepat? Jika seperti ini, ia yang repot. Nathan juga harus memeberikan pengertian pada Devan. Anak itu pasti tidak akan tela jika Clara perg dari rumahnya. Baru saja Nathan melihat Devan begitu bahagia. Sekarang anak itu harus menanggung kesedihan kembali. Semoga
Clara mengetuk-ngetuk dagunya pelan. Hidupnya terasa berbeda setelah ia mengenal Nathan. Ia jadu faham, kenapa orang tuanya memiliki banyak musuh. Padahal mereka berdua merupakan orang yang bisa di bilang baik. Bahkan sangat baik. Apakah ini hal gelap dalam dunia bisnis? Ada saja yang membenci seseorang hanya karena ia kalah saing. Clara menghela nafas pelan. Kali ini ia harus berhati-hati seperti yang Nathan katakan. Bisa saja nyawanya melayang begitu saja hanya karena ia dekat dengan Nathan. Tapi, ia tuh bisa menyalahkan Nathan begitu saja. Sebelumnya, ia pernah mengalami hal serupa saat kedua orang tuanya masih hidup. Tiba-tiba saja, ponsel Clara berbunyi. Ia mengernyitkqn alisnya saat membaca deretan huruf yang tertera pada ponselnya. Rafa? Tumben sekali ia menelfonnya. Apa ada hal penting."Halo." Ucap Clara.
Audrey sudah menyiapkan berbagai keperluannya. Ia tidak sabar ingin segera kembali ke tanah air. Ia ingin melihat kondisi Clara sekarang, bagaimana kondisi anak itu? Jarai kepulangannya masih satu minggu lagi. Namun, Audrey sudah menyiapkannya dari sekarang. Bukankah lebih cepat lebih baik? Alvin menggelengkan kepalanya heran melihat tingkah sang istri. Apakah tidak sesabar itu sampai ia berkemas mulai hari ini? Padahal, beberapa jam saja mereka sudah bisa selesai berkemas. Mungkin sang istri begitu merindukan Clara."Semangat sekali. Apakah tidak terlalu cepat kamu menyiapkan semua ini? Aku kira kita hanya membutuhkan waktu satu dua jam untuk berkemas. Ayolah, masih satu minggu lagi. Jika seperti ini, aku malas membantumu." Ucap Alvin disertai dengan candaan."Biarkan saja. Jika sudah selesai semuanya bukankah kita tinggal berangkat saja? Tidak perlu berkemas atau be
Clara berdiri di depan gerbang kampusnya. Ia sedang menunggu kedatangan Rafa. Ia tidak sabar ingin memukul kepala pemuda bodoh itu. Ia beberapa kali melirik arlojinya. Sudah lima belaz menit ia menunggu kedatangan pemuda itu. Namun, ia sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Ia yakin, bahwa pemuda itu takut untuk menemuinya. Biasanya Rafa berangkat pagi sekali. Sekarang? Jejaknya pun bahkan tidak terlihat. Clara memutuskan untuk pergi ke kelasnya. Ia tidak mau menunggu Rafa sampai berdebu. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat. Padahal, tangannya suatu gatal sekali untuk memukul anak itu. Jika sudah memukup Kepala itu, mungkin perasaan Clara akan lega saat itu juga. Cla menghembuskan nafas kasar saat mengetahui Rafa sudah berada di dalam kelasnya. Pemuda itu tertidur lelap dengan menelungkupkan wajahnya pada meja miliknya. Clara mendekati pemuda itu. Kemudian..
Dimas sedang menikmati kopi hitamnya sembari menyimak berita di depan televisinya. Ia bisa melihat wajah anaknya terpampang nyata pada sebuah layar kaca. Nathan sukses besar atas bisnisnya hingga ia terlihat wara wiri di layar kaca. Memangnya siapa yang tidak kagum, melihat Nathan yang sukses besar di saat usianya bisa terbilang muda? Dimas jadi bangga sendiri. Tak sia-sia dia merawat Nathan seorang diri setelah istrinya meninggal. Nathan benar-benar anak yang begitu membanggakan. Ia jadi heran sendiri seberapa berkualitas spermanya saat membuat anak itu. Tiba-tiba saja bel pintu berbunyi. Tidak biasanya seseorang bertamu sepagi ini. Mungkin dia orang yang tidak memiliki pekerjaan seperti dirinya. Dimas bangkit dari tempat duduknya. Ia segera membukakan pintu yang terlalu cepat datang itu. Ia membelalakan matanya saat melihat kedatangan Bagas, Ayah
Clara baru saja pulang dari kampusnya. Ia terkejut bukan main saat Nathan sudah berada di rumahnya. Clara penasaran, kenapa Nathan pulang secepat ini? Ia juga bisa melihat tas Devan berada di samping Nathan. Clara yakin,bahwa Devan sudah kembali."Kak Nathan kok cepat sekali? Saya saja baru saja pulang. Apakah terjadi sesuatu?" Tanya Clara penasaran."Segera bersiap. Kita akan ke kantor polisi sekarang juga." Jawab Nathan."Kok? Ada apa? Saya tidak mengerti. Tolong katakan yang jelas. Kenapa kita harus ke kantor polisi? Duh, saya takut sekali.""Mengenai Paman dan Bibimu. Mereka sudah di amankan polisi.""Apa? Bagaimana bisa? Kenapa secepat itu? Padahal saya ingin melihat proses penangkapan mereka. Ah, tidak asyik. Seharusnya Kak Nathan memberitahu saya terlebih dahulu.""Sudahlah jangan terlalu banyak bicara. Kmau mau saya tinggal?
Clara kembali dengan wajah murung. Perkataan Lidya terus saja terngiang-ngiang dalam kepalanya. Apakah benar ia memang sejahat itu? Bukankah setiap kesalahan pasti ada hukumannya masing-masing? Jadi, itu murni kesalahan mereka bukan? Nathan yang melihatnya hanya bisa menghela nafas. Pasti anak itu merasa bersalah dengan paman dan bibinya. Seharusnya, Clara merasa senang karena bisa membalaskan dendamnya pada mereka. Akan tetapi, Clara malah di hantui oleh rasa bersalah."Sudahlah, jangan terlalu difikirkan. Mereka mendapatkan balasan sesuai apa yang telah mereka lakukan. Kamu tidak perlu memikirkannya lagi." Ucap Nathan."Tapi saya merasa bersalah,Kak. Saya merasa sebagai keponakan yang begitu jahat karena telah menjebloskan mereka ke dalam penjara. Apakah saya harus membebaskannya? Jujur, saya tidak tega melihat mereka seperti itu." Jawab Clara."Jika s
Alvin terus saja menggoda Nathan dan Clara. Sedangkan yang di goda hanya diam tak mengeluarkan suara sedikitpun. Terkadang Nathan akan berpura-pura mengerjakan pekerjaan kantornya. Padahal, itu hanya pengalaman supaya ia tidak terlihat gugup saat sedang di goda. Alvin membaringkan tubuhnya pada sofa milik Nathan. Merekam memutuskan untuk mampir ke kediamam Nathan sekaligus menginap untuk malam ini. Clara sudah kembali ke kamarnya. Ia tidak suka jika terus-menerus di goda oleh Alvin. Jantungnya bergemuruh saat Alvin menggumamkan kalimat-kalimat cinta untuknya dan Nathan. Alvin menatap Nathan yang masih sok sibuk memainkan ponselnya. Ia mengintip apa yang di kerjakan oleh Nathan. Ternyata benar, pekerjaan kantor yang tersimpan pada ponsel pintarnya. Alvin jadi merasa bersalah karena menuduh Nathan yang tidak-ti
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &