Clara terbangun dari lelapnya saat mendengar suara mobil baru saja memasuki garasi. Clara penasaran, siapa yang malam-malam datang ke rumahnya? Atau salah satu keluarga Nathan? Seingatnya, seluruh anggota keluarga Nathan telah berada di kediamannya.
Clara memutuskan untuk segera bangkit. Ia takut jika itu adalah orang yang tidak diingkan. Siapa tahu dia adalah perampok. Namun, ia ragu untuk menemuinya. Bagaimana jika dugaannya benar? Persetan jika itu perampok, lagipula ia tidak memiliki siapa-siapa sekarang. Jika Clara mati, tidak akan ada seorang pun yang terlalu berduka bukan?
Clara melangkahkan kakinya pelan. Hatinya terus memanjatkan do'a. Semoga fikiran buruknya tidak akan terjadi. Walaupun tidak ada yang berduka akan kehilangannya, tetap saja Clara ingin menjalani hari tuanya.
Clara sege
Nathan menatap kepergian Clara. Ia telah sampai di depan Universitas Clara. Ia menatap Clara yang sudah berjalan menjauh. Gadis itu sempat melambaikan tangannya pada Nathan. Nathan membalas lambaian tangan Clara hanya dengan senyum tipis. Setelah itu, Nathan melihat Clara yang langsung di gandeng oleh Rafa. Melihat itu membuat Nathan langsung meradang. Haruskah ia mengurung Clara saja di rumahnya? Tapi, memangnya siapa dia, sampai ia harus melakukan hal itu? Nathan hanyalah pria pengecut yang tidak bisa mengungkapkan perasaannya sendiri. Nathan menghela nafas pelan. Jika bisa, ia ingin melepaskan kedua tangan itu agar tidak saling bertautan. Kenapa Clara tak peka sama sekali, bukankah ia telah menyatakan bahwa ia tidak menyukai kedekatan antara Clara dan Rafa. Tapi kenapa Clara tetap melakukannya? Apakah semua ucapannya kurang jelas kemarin? Atau, memang dia yang kurang jelas saat mengatakannya.&nbs
Devan memperhatikan guru dengan seksama. Ia harus faham dengan apa yang di jelaskan oleh sang guru. Ia harus mendapatkan nilai terbaik saat ujian nanti. Mungkin dengan memerhatikan sang guru dengan seksama, ia bisa mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun, di tengah pelajaran mata Devan seperti di tarik ke bawah. Ia mengantuk sekali, sesekali ia menguap kemudian ia tutup dengan kedua tangan kecilnya. Guru di depan menjelaskannya lembut sekali, sampai membuat Devan merasa mengantuk. Sesekali Devan menggelengkan kepalanya ribut guna mengusir rasa kantuk yang menyerangnya."Bu, maaf. Devan meminta izin untuk membasuh wajah. Devan mengantuk sekali." Ucap Devan dengan suara kecil, ia malu mengakui bahwa ia sedang mengantuk."Devan mengantuk? Baiklah. Tapi jangan terlalu lama ya. Ibu tunggu." Jawab sang guru."Baik, Bu." &nbs
Clara terkikik geli saat Wilda terus mengikutinya. Wilda terlihat kesusahan saat mengejarnya, salah sendiri memakai heels saat berlari. Berbeda dengan Clara, ia lebih menyukai sepatu sneakers daripada memakai sepatu yang bisa menyakiti kaki mungilnya. Clara melihat Nathan sedang menyantap makan siangnya di kantin perusahaan. Nathan sedang asyik memainkan ponselnya, terkadang ia menyupkan sesuatu ke dalam mulutnya sendiri. Sepertinya, Nathan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sedikitpun. Lihat saja, ia masih begitu fokus terhadap ponselnya. Ia seakan tidak perduli dengan apapun di sekelilingnya. Yang ia perdulikan hanyalah kerja,kerja, dan kerja. Clara berjalan mengendap-endap menuju Nathan. Ia berusaha tidak mengeluarkan bunyi apapun. Kemudian menutup kedua mata Nathan dengan tangan mungilnya. Nathan sedi
Edgar memijit pelipisnya yang terasa pening. Akhir-akhir ini bayangan Emilia selalu menghantuinya. Ia harus mencari tahu mengenai Emilia sekarang juga. Ia sudah tak tahan lagi untuk menahan rindu pada wanita itu. Edgar menatap Anton yang sedang bersantai. Mungkin meminta bantuan Anton merupakan pilihan yang bagus. Ia tidak mau bertindak sendiri. Ia yakin bahwa gerak geriknya masih di awasi oleh anak buah Nathan. Lebih baik, Edgar bermain aman saja."Anton. Saya memiliki tugas untukmu!" Ucap Edgar."Apa itu?" Tanya si lawan bicara."Tolong cari tahu tentang anak ini. Saya beri waktu kamu lima jam. Jika melebihi waktu itu, jangan harap kamu masih bisa menghirup udara segar setelah ini." Ucap Edgar sembari menunjukkan foto Clara saat bersama dengan Nathan."Apa? Apa tidak terlalu cepat bos? Bagaimana kalau sampai besok? Saya tidak mungkin bi
Clara mengerucutkan bibirnya kesak saat mendengar jawaban Nathan yang kelewat singkat. Memang apa sulitnya menjawab pertanyaan dengan jawaban lebih dari satu kata. Clara tidak menyangka, jika Nathan sekaku ini saat bersama dengan orang yang tak cukup akrab dengannya."Kak Nathan kenapa cuek sekali saat menjawab pertanyaan Kak Audrey. Ah.. Payah. Seharusnya Kak Nathan bisa sedikit lebih ramah padanya. Apakah sulit sekali mengatakan lebih dari satu kata?" Ucap Clara kesal."Daripada tidak menjawab sama sekali? Bukankah itu lebih baik? Saya sulit untuk mengeluarkan banyak kata saat berbicara dengan seseorang yang bisa dibilang kurang akrab dengan saya. Jadi seperti yang kamu lihat, saya cukup menjawab seperlunya saja." Jawab Nathan."Hah... Baiklah. Untuk kali ini saya maklumi. Jika seperti tadi, saya takut jika Kak Audrey memberikan prasangka yang buruk pada Kak Nathan. Siapa tahu, jika Kak Audrey mengira bahw
Edgar menyambut kedatangan Anton dengan lebar. Wajah Anton cukup meyakinkan bahwa ia membawa kabar baik. Ia bisa melihat wajah Anton yang tampak sumringah. Hal itu semakin meyakinkan Edgar bahwa Anton benar-benar bisa di andalkan. Namun, ia harus urung untuk segera bertanya pada Anton saat Wilda telah kembali ke ruangannya. Ia memberikan gestur pada Anton agar cepat pergi dari ruangannya terlebih dahulu. Anton mengangguk, kemudian meninggalkan Edgar begitu saja. Edgar menatap Anton tidak rela. Pasalnya, ia telah menunggu kedatangan Anton sejak tadi. Karena Wilda, ia harus menguntungkan niatnya begitu saja."Lama sekali. Kemana saja kamu?" Tanya Edgar. Sebenarnya, Edgar lebih suka jika Wilda memakan waktu yang lebih lama. Dengan begitu ia tidak perlu pusing-pusing bersandiwara pada Wilda, bahwa ia benar-benar jengah melihat wajahnya. Hah... Demi s
Clara memandang ponselnya saat mendapati nomor tidak di kenal masuk ke dalam ponselnya. Ia sedikit takut saat melihat teks yang dikirimkan oleh pengirim. Clara penasaran, siapa orang ini? Apakah teman lamanya? Jika iya, siapa? Ini bukan April, seharusnya mereka tidak mengerjainya seperti ini. Clara menatap Nathan yang masih memfokuskan pandangannya ke depan. Bukan Nathan pelakunya. Ia tidak memegang ponsel sama sekali. Ia menoleh ke belakang, semakin aneh jika Clara menuduh Drvan yang melakukannya."Kak Nathan, tahu nomor ini?" Tanya Clara sembari menyodorkan ponselnya."Tidak tahu. Lagipula saya tidak terlalu hafal dengan nomor lain. Saya hanya hafal dengan nomor saya sendiri." Jawab Nathan jelas."Yah... Sipaa tahu Kak Nathan memiliki nomor yang sama di ponsel Kakak. Jadi saya bisa mengetahui siapa pemilik nomor ini. Sayang sekali."
Nathan mengusak rambutnya kasar. Sebentar lagi, Alvin akan kembali ke Indonesia. Ia belum siap jika harus segera berpisah dengan Clara. Ia terlanjur terbiasa bersama dengan gadis itu. Nathan tidak bisa membayang lagi bagaimana jika ia telah berpisah dengannya. Walaupun ia masih bisa bertamu, tetap saja Clara tidak tinggal satu atap denganny. Nathan tidak tahu bagaimana cara menyampaikan ini pada Clara. Ia masih tidak rela. Apakah ia harus bisa menahan Clara agar tetap bersamanya? Namun, ia tidak bisa egois. Clara memiliki kehidupan sendiri sebelum bersamanya. Kenapa Alvin menyelesaikannya terlalu cepat? Jika seperti ini, ia yang repot. Nathan juga harus memeberikan pengertian pada Devan. Anak itu pasti tidak akan tela jika Clara perg dari rumahnya. Baru saja Nathan melihat Devan begitu bahagia. Sekarang anak itu harus menanggung kesedihan kembali. Semoga
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &