"Pergi ke kampus bareng gue aja," kata Serafin dari balkon kamarnya.
Seperti biasa dia tidak suka menggunakan ponsel. Dia lebih suka teriak-teriak dari balkon kamarnya."Sekalian gue, juga berangkat kerja. Kita searah kok," kata Serafin lagi.Dia sedang memasang dasinya sekarang. Rambutnya juga sudah disisir rapi.Aroma parfumnya sama-sama dapat kucium dari balkon kamarku. Aku sudah selesai mandi dan siap-siap dari tadi.Sementara Serafin yang bangun kesiangan. Terus keluar masuk dari kamarnya dan berteriak. Agar aku tidak pergi duluan ke kampus."Iya makannya cepatan," kataku yang gerah melihat dia yang terus keluar masuk dari tadi."Bentar. Dasi aku belum rapi. Nanti ada rapat. Calon istri gak pasangin sih," katanya meledekku.Aku memutar bola mataku dan memperhatikan jari jemari lentik milik Serafin.Dia dengan cekatan memasang dasinya. Setelah sSebelum aku pergi. Aku mengambil ponselku dan mengambil foto Selin dan orang itu. Wajahnya meteak terlihat jelas. Kemudian sebelum mereka melihatku. Aku langsung berlari dan menghilangkan di kerumunan mahasiswa lainnya. Aku menghembuskan nafasku lega saat berhasil sampai di mobil Serafin. Laki-laki itu melihatku dengan heran."Lunar lo kenapa?" Tanyanya membuka pintu mobilnya. Setelah aku masuk ke dalam mobilnya. Serafin langsung mengambil tisu dan menyerahnya padaku. Aku mengelap wajahku yang berkeringat. Kemudian membuang tisu yang diberikan Serafin pada tempat sampah kecil yang ada di mobilnya."Serafin aku tau siapa yang sudah menerorku. Dia suruhan Selin," kataku dengan berkaca-kaca.Mengingat kembali betapa takutnya aku dulu. Menderitanya dalam kesendirian dan tidak bisa mengatakan pada siapapun. Untung Serafin mengetahui keadaanku. Sehingga membantumu untuk ban
Alaska dan Serafin sedang berdebat sekarang. Sementara aku sedang memperhatikan dari luar ruangan kerja Alaska. Setelah Serafin menjemputku dari kampus. Dia mengajak aku ke kantornya. Katanya dia ada hal yang harus dibicarakan dengan Alaska. Walaupun aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka. Dari raut wajah mereka berduaan. Aku yakin jika Serafin dan Alaska sedang berdebat sengit. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. Serafin melirik tajam ke arah Alaska. Laki-laki itu langsung mengangguk dan diam."Ayo," kata Serafi membuka pintu kaca ruangan milik Alaska. Tidak ada lagi tatapan tajam. Serafin tersenyum lembut dan jenaka seperti biasanya. Raut wajah dingin dan tatapan dingin itu. Seakan-akan tidak pernah ada sama sekali. Padahal jelas-jelas aku melihatnya. Raut wajah tidak bisanya yang langsung membuat Alaska tidak melanjutkan perdebatan. "Udah seles
"Boleh aku bergabung dengan kalian," kata Selin mengulang ucapannya. Dia tanpa menunggu persetujuan dari kami langsung duduk di bangku sebelah Serafin. Selin juga dengan seenaknya memakan, makanan yang dipesan untukku. "Kita pernah bertemu kan," kata Selin ramah. Wajahku sebenarnya sudah tidak enak untuk dipandang. Namun Selin sama sekali tidak peduli. Dia terus mencari topik pembicaraan dengan Serafin."Gue gak kenal lo. Jadi bisa pergi dari meja, kami," kata Serafin dingin. Selin tidak menanggapi ucapan Serafin. Dia malah memakan cake yang ada di atas meja. Seenaknya mengacak-acak makanan dan meminggirkan piring."Kamu lucu deh. Jelas-jelas kita ketemu beberapa kali kok. Kamu rekan bisnis mama juga. Aku melihat kamu beberapa kali ketemu mama kok," kata Selin tidak tau malu. Dia dengan seenaknya menyentuh lengan Serafin mesra. Membuat aku ingin sekali mematahkan tan
Selin terus menganggu aku di kampus. Dia mencoba menindasku dengan segala cara. Tentu saja aku tidak tinggal diam. Aku sebisa mungkin melawan kelompok Selin. Walaupun aku hanya sendirian. Aku sama sekali tidak takut pada mereka. Mereka pikir aku bisa diintimidasi. Tentu saja mereka salah. Aku ini bukan tuan putri yang baik hati dan membiarkan orang lain menyiksaku. "Siapa yang melakukan ini?" tanyaku dengan marah. Aku mengepalkan tangan saat melihat tasku. Secara sengaja seseorang menumpahkan cat ke tasku. Buku-buku langsung berwarna merah karena tumpahan cat. Aku mengeluarkan buku itu dengan marah. Mengambil tasku, tanpa peduli jika bajuku juga berwarna merah. "Siapa yang melakukan hal ini?" kataku lagi dengan dingin. Orang-orang mulai berbisik-bisik dan melihat ke arahku. Namun tidak ada satupun yang bersuara. Mereka menunduk saat aku menatap ke a
Serafin langsung datang saat aku mengatakan aku terluka. Dia masuk ke dalam klinik kampus seperti beruang lapar mencari madu. Beberapa kali aku melihat dia menabrak bangkar orang lain. Matanya mencari-cari keberadaanku. Saat melihat aku yang ditemani Naral. Serafin langsung menatap Naral dengan tidak suka. "Jelek banget baju yang lo pakek," katanya langsung melepaskan baju Naral dari tubuhku. Dia melepaskan kemejanya dan memakaikannya padaku. Serafin melempar baju Naral langsung ke lantai."Udah jauh lebih baik," katanya tanpa memperdulikan Naral yang kesal pada Serafin."Terima kasih sudah membantu kekasih saya," katanya menekankan kata kekasih dikalimatnya. "Gue bantu Lunar karena gue suka sama dia. Jadi lo gak perlu berterima kasih," kata Naral ketus. "Gue cuman mau berterima kasih aja. Karena lo udah bantu pacar gue," kata Serafin tidak mau kalah. "Tapi gue gak suka lo dekat-dekat sama Lunar. Kasihan hati lo, sakit melihat orang yang udah pu
Aku tau masalah yang aku buat akan berbuntut panjang. Aku mendapat panggilan untuk menghadapi rektor secara langsung. Anjing-anjing gila yang dibicarakan oleh Serafin juga datang. Mereka dengan sombongnya duduk dan menatapku remeh. Tentu saja Selin juga ada disana. Mereka mungkin mengira jika aku akan kalah. Apalagi mereka mendapatkan dukungan Selin. Walaupun aku pewaris tunggal Aryanta, tapi aku tidak punya dukungan. Sekarang mama Selin lah yang mengambil kekuasaan di perusahaan. Mereka mungkin berpikir, aku tidak ada apa-apa. Sehingga berani untuk menekanku. "Silahkan duduk Lunar," kata rektor yang duduk di kursi kebesarannya. Aku memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam keluarga Aryanta, namun aku yakin jika rektor pasti tau kalau aku adalah keluarga Aryanta. Papa dulu sering menyumbang untuk kampus ini. Walaupun aku tidak diperkenankan secara resmi saat itu. Aku yakin petinggi kampus tau
Aku baru sampai ke rumah pukul tiga sore. Hari ini jadwal kuliahku cukup padat. Sehingga sore baru selesai. Apalagi hari ini hujan. Sehingga jalan cukup macet. Rasanya sangat lelah sekali, dan aku rindu Serafi.Sehingga aku ingin buru-buru pulang dan bertemu dengannya. Aku ingin melihat senyumannya yang sangat ceria. Ingin rasanya aku datang ke rumahnya untuk bertemu, tapi tetap saja. Walaupun aku sudah menjadi kekasihnya. Serafin masih tidak mengizinkan aku masuk ke rumahnya. Namun anehnya dia suka sekali ke rumahku dan menemui aku. Kalau ke rumahnya tidak boleh katanya. Harus menjadi istri dulu. Baru aku boleh leluasa masuk ke rumahnya. "Mau mama siapkan makan?" kata mama saat aku memasuki dapur untuk mengambil minum."Gak usah ma. Nanti Lunar ambil sendiri aja.""Biar mama siapakan saja buat Lunar. Gak apa-apa kok sayang."Mama kemudian memanaskan beberapa makanan d
Aku semakin manahan nafasku saat langkah kaki itu semakin dekat. Ternyata mama yang datang, tapi mama berhenti tepat di perbatasan ruang tengah. "Sepertinya hanya perasaanku saja," kata mama dan berjalan menuju dapur.Setelah dari dapur mama kembali lagi ke kamarnya. Barulah kami bernafas dengan lega. Tadi benar-benar momen menegangkan. Aku tidak bisa membayangkan jika ketahuan oleh mama. Kalau aku dan Serafin menyelinap di tengah malam berduaan. "Akhirnya aman juga," kataku dengan nafas lega. "Kenapa sih gak ketahuan aja. Gak seru banget, kalau kita ketahuan. Lo pasti bakal jadi istri gue segera," kata Serafin mendesah kecewa. Pemikiran orang gila memang tidak bisa dimengerti. Bisa-bisa otaknya berpikir untukmu ketahuan. Padahal aku sudah deg-degan setengah mati. Setelah keluar dari rumah diam. Aku dan Serafin segera masuk mobil. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi. Karena jalan
Sebenarnya aku ingin bertanya ke mana Serafin akan membawaku. Namun aku mencoba untuk menahan diri dan menantikan kejutan dari dirinya. aku sangat yakin kali ini pun kejutannya pasti sangat istimewa. Serafin memang tidak pernah gagal memberikan sesuatu untukku. Dia selalu bisa memikirkan hal yang sebelumnya tidak pernah ada di benakku. "Lunar, sepertinya kita akan pulang telat malam ini. Lo nggak papa kan?""Nggak apa-apa kok kalau kita pulang telat. Tapi kayaknya gue mau minta izin ke mama dulu. Biar mama nggak khawatir nantinya," kataku sambil mengambil ponsel dari dalam tasku. Ingin menghubungi Mama agar dia tahu kalau aku pulang telat. "Gue udah minta izin ke mama, lo, kok. Mama, lo, juga udah ngijin kita pulang telat." Kalau Serafin yang meminta izin kepada Mama pasti diizinkan. Karena serafin adalah salah satu orang yang paling dipercayai Mama di dunia ini. Serafin juga adalah calon mantu idaman mama. Jadi meminta izin dari mama bukanlah hal yang sulit untuknya. Apalagi Seraf
Pagi-pagi sekali aku langsung ke kantor. Tentu saja untuk melaksanakan proses pemecatan pada direktur keuangan yang bekerja di perusahaan cabang.Suat aku memasuki ruangan, aku melihat jika tante wenda, melempar asbak ke kepala Lea. Sehingga darah langsung mengucur kewajah cantiknya. "Tante apa-apaan ini?" Kataku dengan nada marah yang tidak bisa disembunyikan. Aku langsung menghampiri Lea dan menekan kepalanya yang terluka. Sehingga darahnya juga membasahi tanganku. "Kamu tidak apa-apa Lea?" tanyaku dengan khawatir. Tentu saja itu pertanyaan yang sangat bodoh. Saya sedang terluka sekarang dan tentunya dia tidak baik-baik saja. "Jangan ikut campur urusan tante," katakan Wenda dengan nada yang arogan. "Kamu sudah lancang! Bisa-bisanya kamu melakukan proses pengecatan tanpa membicarakan yang terlebih dulu dengan tante," katanya marah dengan wajah yang memerah. Aku juga menatap tante wenda dengan tajam."Aku tidak lancang. Itu memang seharusnya aku lakukan," kataku menantang tante
Ternyata cepat sekali kabar sampai ke telinga tante Wenda. Dia langsung mengirimi aku pesan. Namun aku abaikan.[Kenapa kamu bertindak tanpa sepengetahuan tante? kamu sudah berani lancang ternyata!]Aku tidak ambil pusing. Aku juga sengaja tidak mengatakan masalah pemecatan pada tante Wenda. Kalau aku mengatakan. Dia pasti akan mencari cara untuk menyingkirkan bukti. Dia pastinya akan mempersulit aku. Biarkan saja dia mengamuk sesuka hatinya. Aku tidak peduli, bagiku sekarang yang paling penting adalah perusahaan cabang selamat. Yah, walaupun aku belum tau bagaimana cara menyelamatkan perusahaan cabang. "Lunar, mau pergi denganku malam ini?" kata Serafin berteriak dari balkon kamarnya. Aku keluar dari kamarku dan berjalan menuju balkon."Mau kemana?""Pasar malam. Di daerah sini ada pasar malam. Mau pergi?" katanya lagi. Serafin berdiri bersandar di pagar balkon. Rambutnya yang berantakan telihat indah kerena pantulan lampu balkonnya. "Gue mau ganti baju dulu.""Oke. Gue tunggu
Karena suara itu sangat keras. Kami langsung keluar dan melihat apa yang terjadi. Ternyata Selin melempar batu yang sangat besar pada jendela kaca rumah. Sehingga pecah berkeping-keping. Apalagi masalahnya kali ini."Lunar keluar lo!" teriaknya tidak tau malu. Untung saja komplek perumahan ini perumahan elit. Sehingga tidak banyak orang berada di rumah pada jam segini. Orang-orang juga tidak terlalu kepo, karena mereka sangat sibuk. "Lo gila ya. Kenapa juga lo bisa masuk ke sini?" kataku kesal melihat ulahnya yang sudah sangat keterlaluan. "Itu gak penting. Yang penting, kenapa lo nyuruh Naral buat menjauhi gue," katanya dengan amarah yang menggebu-gebu. Dia langsung maju ke depan dan mencoba menamparku. Untung saja Serafin dengan sigap menahan tangannya. "Jangan coba-coba untuk kasar pada Lunar," kata Serafin memperingatinya. Namun sepertinya Selin tidak peduli. Dia langsung menepis tangan Serafin dengan kasar. "Lo gak perlu ikut campur. Ini urusan gue sama wanita jalang itu,"
Kepalaku benar-benar sakit saat menerima laporan dari Lea. Penggelapan keuangan sangat parah. Jam kerja yang tidak beraturan dan beberapa masalah dari bagian pemasaran. Aku yang belum pernah menangani masalah seperti ini. Benar-benar kebingungan bagaimana cara mengatasi semua ini. Terlebih lagi ada laporan keuangan ganda yang ditemukan oleh Lea. Juga beberapa masalah dari mitra kerja yang dibiarkan berlarut-larut. Walaupun aku tidak banyak tahu. Tapi aku yakin, jika perusahan cabang ini. Sedang berada di ambang kebangkrutan. "Kenapa bisa separah ini?" kataku saat membolak-balik kertas dokumen. Benar-benar membuatku ingin muntah saja. Sudah pasti ada campur tangan oleh Tante Wenda. Dalam masalah ini. Tidak mungkin, dia tidak tahu semua ini. Apalagi laporan keuangan ganda yang sangat rapi. Seakan-akan semuanya sudah dipersiapkan. Untung saja aku menyusupkan Lea ke perusahaan cabang. Jika tidak aku tidak akan punya bukti dalam kasus ini. Perusahaan juga akan bangkrut dan tenggelam
Aku gugup sekali, karena baru kali ini. Aku masuk ke kamar Serafin. Biasanya dia tidak pernah mengizinkan aku masuk ke dalam kamarnya. Baru kali ini aku bisa melihat kamar Serafin. Ternyata kamarnya sangat rapi. Hampir semua perabotan di kamarnya dari kayu dan berwarna coklat. Ranjangnya terlihat sangat besar. Terlihat nyaman dan mewah. Gulingku sepertinya punya perlakuan khusus. Dia ditempatkan begitu mencolok. Dia berada di atas bantal. "Jangan coba-coba. Itu udah jadi punya gue," katanya memperingati aku. Sepertinya dia tau apa yang aku pikirkan. Aku ingin mengambil kembali gulingku. "Itu punya gue. Lo yang nyuri dari gue." "Gak gue curi. Mama lo bilang gue bisa ambil yang gue butuhin. Makanya gue ambil guling dan bantal lo, soalnya itu yang paling gue butuhin," katanya tanpa merasa bersalah sama sekali."Mana mungkin mama gue nyangka kalo lo bakal ngambil guling dan bantal gue.""Karena itu gue ambil. Sekarang bantal dan gulingnya udah jadi punya gue."Walaupun aku mengatakan
Tanteku menatapku tajam, tapi sedetik kemudian dia tersenyum ramah padaku. Aku yakin sekali tadi jika tanteku menatapku dengan tajam.Tante Wenda berjalan ke arah kami dan menyapaku dengan ramah. Dia juga memberikan satu buah dalam keranjang padaku. "Ini ada sedikit buah tante bawa buat Serafin," kata tante Wenda dengan ramah. Walaupun dia punya alasan untuk menjenguk Serafin. Tapi aku sangat curiga padanya. Dia pasti punya motif tersembunyi.Aku yakin sekali tanteku pasti sedang merencanakan sesuatu. Namun apapun rencananya kali ini. Aku tidak akan pernah membiarkannya berhasil. "Terima kasih tante," kataku dengan ramah juga.Aku ingin mengikuti permainan. Tanteku mungkin, sehingga dia tidak sadar. Jika akulah yang akan menikamnya dari belakang. Tante Wenda duduk di sofa. Posisinya berhadapan denganku. Sementara Serafin berada di samping ku. "Syukurlah, kalau kecelakaannya tidak parah," katanya melirik Serafin. "Syukurlah, bu Wenda, saya tidak mengalami cidera apapun.""Panggi
Serafin harus dirawat untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dokter khawatir kalau serafin ada luka dalam dan gegar otak.Aku juga setuju dengan dokter. Melihat mobilnya yang sangat hancur. Seperti keajaiban saat Serafin tidak terluka sama sekali. Dia hanya memar-memar saja. Aku sampai memaksanya membuka baju. Untuk memeriksa tubuhnya. Apakah benar tidak ada luka. Airbag Serafin mengembang sangat tepat. Sehingga dia tidak luka sama sekali. Satu lagi, mobilnya adalah mobil mahal. Dengan sistem keselamatan yang tidak ada duanya. Walaupun bodi luar mobilnya hancur. Bagian dalamnya ternyata sangat terjaga. Sehingga dia bisa selamat dari kecelakaan itu. "Lunar, kayaknya kita harus beli mobil yang itu dua lagi. Satu buat lo, satu buat gue. Bagus banget," katanya sambil menunjukan gambar mobil itu melalui ponselnya.Membayangkan harga mobilnya. Membuatku merinding. Walaupun papa ada orang yang kaya. Aku tidak perna
Di bangkar itu tertulis nama serafin. Tapi aku tidak ingin percaya. Serafin ku pasti baik-baik saja. Bukan dia yang berbaring kaku dan tidak bernafas disana. Itu pasti bukan dia. Pasti ada kesalahan di rumah sakit ini! Aku mendekati bangkar dan terduduk lesu di lantai rumah sakit. Aku tidak peduli jika di lantai ada beberapa bercak darah. Aku menatap sedih pada orang yang ditutup kain putih keseluruhan badannya. "Ini pasti bukan lo, kan, Serafin. Lo pasti lagi becanda sama gue. Udah dong bercandanya. Kali ini gak lucu, gue gak suka," kataku putus asa. Rasanya sakit sekali. Aku bahkan tidak bisa mengatakan rasa sakit yang kurasakan. Aku ingin membuka kain yang menutupinya. Namun aku tidak punya keberanian.Belum membuka kainnya saja. Aku sudah gemetaran setengah mati. "Serafin, tolong bangun. Harusnya gue bilang ini dari dulu. Serafin gue cinta lo. Lo laki-laki pertama yang buat gue jatuh cinta.