***"Ih ya ampun dingin!"Arka yang baru saja selesai sholat subuh menoleh ketika ucapan itu dilontarkan Aludra sesaat setelah dirinya keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Hanya memakai handuk yang melingkar di dada, Aludra membiarkan rambut coklatnya tergerai begitu saja tanpa digulung dengan handuk."Kenapa, Lu?" tanya Arka."Dingin, Mas," kata Aludra sambil menggigil—memeluk kedua tangannya di dada. "Udah sebulan lebih di sini, tetap aja rasanya dingin setiap kali harus mandi shubuh."Arka tersenyum. Selesai melipat sejadah, dia berjalan menghampiri Aludra lalu merentangkan kedua tangannya—berniat untuk memeluk. Namun, yang dilakukan Aludra justru mundur sambil berteriak."Jangan sentuh aku!" ujar Aludra."Kenapa? Kan katanya dingin. Sini biar aku peluk, supaya hangat," ucap Arka."Aku udah wudhu, Mas. Diam ah," ujar Aludra.Arka terkekeh. "Oh, udah wudhu," ucapnya."Iya," jawab Aludra. "Sana jauh-jauh, jangan sentuh aku. Aku mau pake baju dulu.""Oh, oke."Arka mundur
***"Capek!"Untuk yang kesekian kalinya, Aludra berjongkok ketika rasa lelah mendera. Entah sudah berapa kali dia berhenti. Namun, yang jelas Arka hanya bisa mengukir senyum karena mereka bahkan baru berlari belasan meter saja menyusuri komplek perumahan."Kenapa?" tanya Arka yang berhenti beberapa meter di depan Aludra."Capek," rengek Aludra sambil menyeka keringat—lebih tepatnya menyeka kening, karena keringat pun bahkan belum ada.Memakai celana training dan kaos berwarna biru, Aludra ikut jogging bersama Arka yang memakai setelan sama, tapi dengan warna kaos yang berbeda.Arka terkekeh. "Kita bahkan belum ada setengah jam lari, masa udah capek?" tanyanya."Ya, capek," jawab Aludra. "Pokoknya aku capek."Arka menghela napas lalu melangkahkan kakinya mendekat. Tepat berada di depan Aludra yang masih berjongkok, dia membungkukan badan sambil menumpukan kedua tangannya pada lutut."Jadi mau gimana? Pulang aja?" tanya Arka.Aludra menggeleng. "Jangan," larangnya. "Aku masih pengen me
***"Ya udah kamu mandi dulu aja, habis itu kita sarapan. Nanti perginya jam sembilan atau sepuluh aja.""Siap, Ma.""Mama mau pindahin dulu pancakenya ke dapur ya.""Iya, Ma. Alula ke kamar dulu ya.""Sip."Pukul tujuh pagi, Amanda datang sesuai rencana. Bertemu di depan komplek, Aludra dan Arka langsung pulang ketika mobil yang ditumpangi Amanda memasuki perumahan dan tentunya kini—seperti biasa, Amanda datang membawa sarapan untuk anak dan menantunya."Malas mandi," keluh Aludra yang kini merebahkan tubuhnya di atas kasur, sementara Arka duduk di depan monitor."Kok malas? Kan mau jalan sama Mama, masa enggak mau mandi?" tanya Arka. Untuk sejenak, dia yang sedang mengawasi Rania juga sang Mama di dapur, menoleh— memandang Aludra gang berada di sampingnya. "Sana mandi. Kasian Mama.""Kenapa?" tanya Aludra."Ya kasian kalau kamu enggak mandi, pasti bau," ujar Arka."Enak aja," protes Aludra. "Enggak mandi seminggu pun, aku tetap wangi tau.""Mana ada," kata Arka. Kali ini dia menjawa
***"Gimana, Mas. Cantik enggak?"Arka yang sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk, menoleh ketika Aludra melayangkan pertanyaan tersebut. Saat ini, Aludra sudah rapi dengan penampilannya.Mengenakan dress putih bunga-bunga berlengan pendek, Arka mengukir senyum karena jujur Aludra terlihat cantik."Cantik," jawab Arka. "Udah cantik kok.""Beneran?" tanya Aludra—sekali lagi meyakinkan.Jalan berdua bersama Amanda untuk pertama kalinya membuat Aludra mempersiapkan penampilannya serapi mungkin agar tak membuat mertuanya itu malu bersamanya. Aludra juga sudah berjanji untuk bersikap seanggun mungkin nanti."Iya beneran, Sayang," ucap Arka. Berjalan mendekat, dia menyelipkan bagian rambut Aludra ke belekang telinga. "Lagipula enggak usah dandan cantik banget, nanti kamu jadi bahan tontonan cowok nakal. Aku enggak suka.""Hm, iya deh. Gini aja cukup.""Nah."Selesai bersiap-siap, Aludra keluar dari kamar bersama Arka yang terlihat segar setelah mandi. Berbeda dengan Aludra yang suda
***"Lu, kartu kredit yang dikasih Arka, kamu simpan aja ya. Hari ini Mama yang belanjain kamu. Semenjak kalian nikah, kayanya Mama belum pernah belanjain kamu."Aludra yang sedang sibuk melihat-lihat dress yang digantung rapi berjejer lalu menoleh ketika ucapan itu dilontarkan Amanda."Tapi, Ma. Yang seharunya bayarin itu kan, aku. Masa Mama?" tanyanya."Ya enggak apa-apa," jawab Amanda. "Udah, kamu pilih aja mau yang mana, nanti tanyain sizenya ada enggak buat kamu.""Oh ya udah, Ma.""Ini butik langganan Mama, jadi untuk kualitas, kamu tenang aja."Aludra tersenyum. "Iya, Ma," jawab Aludra."Mama mau ke sana dulu ya, kalau ada apa-apa, panggil aja."Dijawab anggukkan pelan dari Aludra, Amanda melangkahkan kakinya ke sudut lain butik, sementara Aludra kembali melanjutkan kegiatannya.Namun, tiba-tiba saja Aludra terdiam ketika dia teringat Arka. Terhitung sudah setengah jam lebih dia pergi dari rumah, Arka sedang apa?"Mas Arka lagi apa ya?" gumam Aludra pelan. Penasaran, dia kemudi
***"Ini seriusan mau pulang aja, Lu?"Lagi, pertanyaan tersebut dilontarkan Amanda ketika mobil yang dia dan Aludra tumpangi melaju menuju jalan pulang.Perasaannya tiba-tiba saja tak enak, Aludra memang segera mengajak Amanda pulang setelah memilih tiga setelan dengan alasan tiba-tiba rindu Arka.Mungkin alasan yang dilontarkannya terkesan lebay, tapi nyatanya Aludra tak peduli karena yang dia inginkan sekarang adalah benar-benar pulang dan memastikan jika semuanya baik-baik saja, tanpa ada sesuatu yang terjadi."Iya, Ma. Pulang aja," kata Aludra. Dia yang semula memandangi jalanan langsung menoleh pada Amanda. "Enggak apa-apa, kan?""Enggak apa-apa," jawab Amanda. "Cuman itu kenapa wajah kamu kok kaya gelisah gitu, ada apa? Enggak ada sesuatu terjadi, kan? Kamu ... enggak berantem sama Arka, kan?"Aludra menggeleng. "Enggak, Ma," jawabnya. "Lulu sama Mas Arka enggak berantem kok, ini gelisah karena nahan pipis."Aludra berbohong. Feelingnya belum tentu benar, dia memilih untuk berb
***"Agh!"Arka menghempaskan tubuhnya di samping Aludra, setelah kurang lebih sepuluh menit penyatuan mereka berlangsung.Tak lama memang. Namun, nyatanya apa yang dilakukan Arka pada Aludra mampu menghentikan hasrat dan gairah gila yang sejak tadi menyiksanya, karena memang setelah meminum obat perangsang, yang dibutuhkan adalah pelampiasan.Meskipun, sekarang Arka dihadapkan dengan masalah besar karena harus menjelaskan semuanya pada Amanda, Dewa, juga Aurora. Setidaknya, dia bersyukur karena tak jadi melakukan sesuatu yang macam-macam dengan Rania.Sungguh, tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau Amanda tak datang. Setelah meminum minuman itu Arka memang sadar, tapi kesadarannya hampir kalah dengan gairah yang benar-benar memuncak."Mas." Aludra yang masih tidur di sisi Arka—dengan selimut yang menutupi tubuhnya, memandang Arka yang sontak menoleh ketika dia memanggil."Lu," kata Arka. Perlahan—masih dengan kondisi yang telanjang, Arka mengubah posisi tidurnya jadi menyamping
***"Seharusnya aku lebih waspada."Arka menyandarkan tubuhnya pada jok mobil yang dikendarai langsung oleh Aksa. Datang ke rumah di saat yang tepat, Aksa langsung menyanggupi dengan senang hati ketika Amanda meminta dia mengantar Arka pergi ke rumah sakit.Hasrat gila sialan itu datang setelah Arka meminum minuman pemberian Rania ditambah pengakuan perempuan itu yang samar-samar dia ingat, Arka akhirnya menelepon dokter Giza dan meminta tolong. Cukup akrab, pada akhirnya Arka dipersilakan datang ke rumah sakit untuk melakukan pengetesan di lab tentang kandungan pada minuman tersebut dan ternyata benar.Minuman yang diminum Arka mengandung obat perangsang dari jenis yang cukup berbahaya karena memiliki dosis yang tinggi."Udahlah, semua udah terjadi. Yang terpenting sekarang kita ada bukti buat keluarin Rania dari rumah," ujar Aksa. "Kalau perlu laporin sekalian dia ke kantor polisi.""Enggak usah," ujar Arka.Aksa mengerutkan keningnya lalu menoleh sekilas pada sang adik. "Kenapa eng