***"Mama. Kenapa di saat kaya gini harus ada mama?"Arka memilih untuk tak mengejar Aludra ketika gadis itu pergi. Khawatir pada kedua keponakanya, dia memilih untuk pulang mengantar Danial dan Azura dulu sebelum mencari Aludra nanti yang sekarang entah ke mana, karena memang tadi ketika Aludra masih di pinggir jalan, Arka pergi begitu saja.Ini Bandung dan Aludra sudah dewasa, jadi Arka tak terlalu dilanda kekhawatiran yang berlebihan dia akan hilang. Setelah memastikan kedua keponakannya aman, Arka nanti bisa mengirim pesan atau menelepon Aludra untuk menanyakan keberadaan perempuan itu di mana.Mungkin saat ini Aludra masih kesal karena kejadian tadi di mall, tapi nanti Arka yakin Aludra akan melunak. Aludra pasti tidak akan terlalu lama marah padanya. Kalaupun masih marah, Arka bisa memutari Bandung untuk mencari istrinya itu.Namun, sekarang yang jadi masalah adalah kehadiran Amanda yang sepertinya datang juga bersama Dirga. Meskipun keberadaan Amanda di rumah Aksa, tetap saja na
***"Minum dulu Mbak Lula."Aludra yang baru saja menolak panggilan dari Arka langsung mendongak ketika seorang perempuan datang dari dapur sambil membawa secangkir minuman."Ya ampun makasih Mbak, ngerepotin banget," ucap Aludra tak enak.Perempuan tersebut mengukir senyum lalu menyimpan teh di meja dan dirinya duduk di depan Aludra. "Enggak apa-apa, Mbak," ucapnya. Kan tamu emang harus dijamu.""Tamu enggak diundang ya?" tanya Aludra sambil terkekeh dan perempuan di depannya ikut tertawa pelan.Rania. Dari sekian banyak orang, Aludra kembali bertemu dengan Rania di pinggir jalan tepat setelah Arka pergi.Kebetulan? Tentu saja tidak, karena dari mall, Rania sudah mengikuti mobil Arka—berharap punya momen yang bisa membuatnya semakin membuat Aludra ingin menjadikan dia sebagai pekerja dan ternyata nasib baik memihak Rania.Dia melihat Aludra turun dari mobil Arka dengan raut wajah yang marah. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Rania langsung menghampiri Aludra dan tentu saja dia tak m
***Aludra sudah baik-baik saja.Setelah kemarin Arka akhirnya mengizinkan Rania bekerja menjadi asisten rumah tangga, Aludra kembali bersikap baik seperti biasanya, bahkan dia berusaha melupakan kejadian di mall.Aludra tidak sadar jika apa yang dia lakukan nyatanya seperti memasukkan racun ke dalam makanan sendiri, karena kehadiran Rania nanti tentu saja akan mengancam rumah tangganya dengan Arka.Entah terlalu baik atau bahkan bodoh, dengan mudahnya Aludra percaya jika Rania orang yang baik, hanya karena perempuan itu beberapa kali menolongnya.Benar kata pepatah, terlalu baik dan bodoh itu bersinggungan dan mungkin itulah yang terjadi pada Aludra sekarang. Mempunyai sifat yang baik, membuatnya begitu mudah dimanfaatkan orang lain, bahkan kakaknya sendiri."Mana dia? Katanya mau datang pagi, jam segini belum datang," tanya Arka ketika pagi ini—seperti biasa, Aludra memasangkan dasi untuknya. "Hari pertama masuk udah terlambat, gimana nanti? Jangan-jangan cuman nyusahin aja.""Kamu
***"Makan yang banyak Lu, mama sengaja lho masak sayuran yang hijau-hijau."Aludra hanya mengangguk pelan saat ucapan itu dilontarkan Amanda ketika kini mereka sedang makan malam di meja yang sama.Setiap dua minggu sekali—seperti biasa, setiap weekend Amanda memang selalu mengunjungi anak-anaknya, bahkan sengaja menginap, dan kebetulan untuk malam ini dia ingin menginap di rumah Arka agar bisa beristirahat dengan tenang, karena kondisi kesehatannya sedang kurang baik.Di rumah Aksa tak bisa tenang karena anak-anak yang sedang aktif."Udah kaya ngasih makan kambing, sayuran hijau semua," celetuk Arka yang membuat Aludra juga Amanda terkekeh.Hanya bertiga, sabtu sore ini Amanda datang sendiri tanpa sang suami yang kebetulan harus menghadiri acara penting bersama klien."Ini bukan sayuran hijau sembarangan Ar, ada khasiatnya," kata Amanda."Khasiatnya apa, Ma?" tanya Aludra penasaran, karena dari beberapa jenis makanan yang dibawa sang mertua, terdapat beberapa jenis sayuran hijau mul
***"Lu, sesek.""Biarin, aku lagi pengen tidur sambil meluk kamu. Kenapa, enggak mau?""Mau sih.""Ya udah diem."Aludra kembali mengeratkan kedua tangannya untuk memeluk Arka yang tidur terlentang. Tak hanya menggunakan tangan, dia juga menggunakan kedua kakinya untuk mendekap tubuh pria itu agar tak bergeser sedikit pun, karena malam ini cuaca malam di kota Bandung memang terasa lebih dingin dari biasanya.Dan guling yang paling bisa membuat Aludra hangat adalah Arka—si guling hidup yang kini pasrah tak bisa bergerak ketika perlahan Aludra mulai tidur."Alula, ngambeknya kaya nenek lampir, manjanya kaya anak bayi," gumam Arka sambil menatap langit-langit kamar."Aku dengar Mas," gumam Aludra di ambang kesadarannya."Bagus kalau dengar, orang aku ngomongin fakta," jawab Arka."Ya udah terserah, aku ngantuk."Setelah itu, tak terdengar lagi suara Aludra karena memang dia benar-benar pergi tidur, sementara Arka justru terlihat masih segar. Rasa kantuk belum datang menghampirinya.Dan
***"Ini susunya Mbak.""Oke, makasih ya Mbak Rania.""Sama-sama, saya ke depan dulu ya.""Siap."Minggu pagi Aludra sudah duduk manis di kursi yang berada persis di pinggir kolam renang setelah sebelumnya selesai membereskn kamar juga mandi.Aludra siap sarapan. Namun, dia harus menunggu Arka yang beberapa menit lalu pergi ke rumah Aksa untuk menemui Amanda karena memang pagi sekali, Amanda berpamitan untuk sarapan di rumah si anak sulung."Mas," panggil Aludra ketika melihat Arka menghampirinya."Lu."Arka menarik kursi lalu duduk di depan Aludra dengan wajah yang sedikit murung dan tentunya semua itu cukup disadari oleh Aludra."Kamu kenapa?""Enggak apa-apa," ucap Arka."Bohong banget," celetuk Aludra tak percaya. "Enggak kenapa-kenapa, tapi mukanya ditekuk gitu."Arka menghela napas pelan lalu meneguk susu miliknya sebelum akhirnya memandang Aludra. Haruskah dia katakan semuanya pada Aludra? Haruskah dia bilang jika sampai saat ini Amanda masih marah setelah tahu dia dan sang istr
***"Mas Arka kenapa belum pulang ya."Aludra yang tiduran di sofa ruang tengah sambil menonton televisi, beberapa kali mengalihkan pandangannya ke arah ruang tamu ketika kini—tepat ketika jam dinding yang berada di ruanh tengah sudah menunjukkan pukul tujuh malam.Hari minggu yang seharusnya dihabiskan bersama, kacau. Setelah debat tadi pagi saat sarapan lalu pergi, Arka belum kembali sampai sekarang dan tentu saja semua itu membuat Aludra khawatir.Dia tak tahu Arka di mana sekarang, karena setiap kali dihubungi, Arka menolak panggilannya.Semarah itu Arka pada Aludra sampai menolak panggilan? Tentu saja. Bagi laki-laki setia seperi Arka, diminta menikah lagi memang seperti sebuah penghinaan, terlebih lagi tadi pagi Aludra mengucapkannya dengan santai—seolah menikah lagi bukanlah perkara yang sulit."Mbak Lula belum makan malam? Saya udah masak lho."Alula menoleh ketika suara Rania terdengar dari arah dapur. "Eh Mbak Rania," ucapnya. "Belum Mbak, belum lapar. Mau nunggu Mas Arka pu
***Pagi ini Arka bangun tanpa membangunkan Aludra, karena memang sejak semalam dia sudah berniat untuk mendiamkan Aludra untuk beberapa saat.Bukan apa-apa, Arka hanya ingin Aludra merenungi kesalahannya. Dia hanya ingin Aludra menyadari jika ucapannya kemarin sudah sangat keterlaluan dan membuatnya marah—bahkan sangat marah."Lho, Pak Arka udah siap?" tanya Rania ketika dia bertemu Arka—tepat saat Arka baru saja keluar dari kamar dengan setelan kantornya yang rapi.Ini baru pukul enam pagi, tapi Arka sudah siap ke kantor karena memang dia akan pergi sebelum Aludra bangun dan Aludra biasanya bangun pukul enam lebih sepuluh. Sebenarnya Aludra sudah bangun pukul setengah lima pagi tadi untuk menunaikan kewajibannya. Namun, setelah itu Aludra selalu tidur lagi."Udah," jawab Arka singkat.Dua minggu lebih Rania bekerja menjadi asisten rumah tangga, sikap Arka masih tetap sama—dingin. Terlebih lagi itu di belakang Aludra, karena memang sampai detik ini dia belum bisa percaya jika Rania a
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu