Aku bukan gila, melainkan aku bahagia karena sebentar lagi akan memiliki anak dari Shafira!"Jawaban Yusuf berhasil membuat hati Almira dilanda kecemasan. Bagaimana mau meracuni pikiran Yusuf untuk mengusir Shafira, jika wanita itu kini tengah mengandung anaknya.Almira tidak diam. Wanita itu tetap memikirkan cara untuk bisa menyingkirkan Shafira dari sisi Yusuf. Jika anak Shafira sampai lahir, maka dia dan anaknya nanti tidak akan bisa menguasai hartanya Yusuf.Tiba-tiba Almira memiliki ide cemerlang. Wanita itu mengambil ponsel dari atas nakas, lalu menelepon ibu mertuanya."Ada apa, Almira?""Shafira hamil, Bunda!""Shafira hamil?" Terdengar keterkejutan sang mertua dari seberang telepon."Jangan senang dulu, Bunda. Bisa jadi setelah anaknya nanti lahir, wanita itu akan semena-mena pada kita. Terutama pada Bunda.""Kok bisa dia semena-mena pada Bunda?""Iya, karena selama ini Bunda yang sering mengata-ngatai dia mandul. Makanya, Bun. Kita harus secepatnya cari cara untuk menggugur
Almira menyambut kedatangan sang ibu mertua dengan raut wajah penuh bahagia. Bagaimana tidak, bila kehadirannya akan sedikit membantu melancarkan rencananya untuk menggugurkan kandungan Shafira."Pagi ini Bunda cantik sekali!" sapa Almira yang berhasil membuat hati Nita berbunga-bunga. Wanita itu dengan gaya anggunnya berlenggak-lenggok memasuki rumah. "Apa rencanamu?" tanya Nita pada sang menantu."Sssst ... jangan kencang-kencang, Bunda. Nanti wanita itu mendengarnya," lirih Almira."Oke, apa rencanamu? Aku tidak ingin kehamilan si Shafira membuat Yusuf lupa dan jauh dariku!""Iya, Almira paham, Bun! Maka dari itu, Mira memberi peringatan pada Bunda untuk berhati-hati." Almira pun mendekat pada sang mertua, lalu membisikkan sesuatu kepadanya. Nita yanh dibisiki mengangguk-angguk tanda paham."Bagaimana? Rencana Almira bagus kan, Bun?""Bagus banget! Kapan kita akan mulai bereaksi? Bunda sudah tidak sabar membuat Yusuf kecewa pada wanita itu," ucap Nita."Sekarang juga boleh!" jawa
Yusuf menoleh sekilas pada sang ibu, lalu kembali fokus berbicara dengan dokter. Di pikiran lelaki itu penuh dengan teka-teki. Ramuan apa yang sudah istrinya minum? Mengapa Sha ingin menggugurkan janin yang selama ini mereka nanti?Setelah dokter pergi, dengan lemas Yusuf kembali duduk di kursi tunggu. Lelaki itu tak habis pikir dengan yang apa yang dilakukan Shafira. Tega, satu kata yang tepat untuk wanitanya itu. Lima belas tahun menanti, kini setelah Allah memercayai akan dibuang begitu saja. Bukankah anak itu anugerah? Yusuf mengusap gusar wajahnya. Ia ingin marah, tetapi kepada siapa? Tidak mungkin, bila saat ini ia harus memarahi Shafira. Walau bagaimanapun, keselamatan ibu dan janin lebih utama."Makanya, Yusuf! Ibu sudah sering bilang kepadamu. Shafira itu bukan wanita yang baik. Masa ada seorang ibu ingin menggugurkan janinnya sendiri. Kalau ibu, sih, mending pilih wanita seperti Almira. Walaupun rada-rada, tapi pintar menjaga cucuku dalam kandungannya!" Nita kembali memanas-
Shafira membaringkan tubuhnya di ranjang. Batin dan pikirannya jauh dari kata tenang. Ia sendiri tidak merasa telah meminum ramuan penggugur kandungan. Berarti tak salah lagi, ada seseorang yang berniat untuk membunuh janinnya.Wanita itu kembali mengingat-ingat minuman apa saja yang telah diminumnya kemarin, tetapi nihil. Ia tidak mengingat meminum minuman apa pun, selain air putih biasa dan teh yang dibuat sang ibu mertua. "Jangan-jangan ...."Shafira menggeleng singkat. Mencoba mengenyahkan semua pikiran negatif dari otaknya. Walaupun hatinya membenarkan, tetapi wanita itu tak ingin terus-menerus larut dalam pemikiran buruk tentang ibu mertuanya."Bagaimana kalau hal itu terus berlanjut? Bagaimana kalau sang ibu mertua terus-menerus menjalankan aksinya untuk mengugurkan janin yang dikandungnya?" Tak dapat dipungkiri, pertanyaan itu kembali hadir memenuhi benaknya. Shafira beristigfar, tak seharusnya ia menduga-duga seperti itu. Jika pun benar, tugasnya cukup berhati-hati agar sem
Almira kembali ke kamar dengan membawa buah dan sayur pesanan Shafira. Wanita itu tersenyum penuh kemenangan kala melihat gelas susu yang tadi dibawanya telah kosong tak bersisa. "Perempuan bodoh!" batin Almira. "Lihat saja, Yusuf dan seluruh hartanya akan segera menjadi milikku."Almira berjalan mendekat ke arah Shafira. Kemudian, meletakkan buah dan sayur di meja yang berada di samping ranjang. "Istirahatlah, biarkan semua pekerjaan rumah hari ini, aku yang kerjakan. Jangan terlalu banyak pikiran, aku tak mau terjadi apa-apa lagi pada Mbak Shafira dan janin. Mulai sekarang, aku akan turut andil untul menjaga kalian.""Maaf, kalau hari ini aku banyak merepotkanmu!" ucap Shafira seraya melempar senyum termanisnya. "Santai saja, Mbak. Aku tahu bagaimana repotnya mengandung anak pertama.Ya sudah, aku tinggal dulu, ya." Almira berpura-pura peduli. Padahal dalam hatinya ia bersorak penuh kemenangan.Setelah Almira keluar dari kamar. Tanpa menunggu waktu lagi, Shafira langsung membuang
Keesokan harinya, Almira mondar-mandir tidak karuan di dalam kamar. Pikiran dan benaknya dipenuhi tanya, karena sampai pagi hari, tak ada tanda-tanda Shafira akan keguguran. "Aku sudah memasukkan ramuan itu sudah sesuai dosisnya. Mengapa tidak ada reaksi apa-apa padanya? Padahal kata penjualnya, ramuan itu ajaib dan tokcer, sehingga akan langsung bereaksi hanya dalam hitungan menit."Almira keluar kamar, lalu menghampiri Shafira yang tengah asyik menonton televisi. Wanita itu heran, ketika melihat kakak madunya tampak baik-baik saja."Mbak Shafira baik-baik saja?" tanya Almira seraya melihat ke arah perut Shafira.Shafira mengernyit. "Ya, kenapa denganku?"Almira langsung menyadari, pertanyaan yang dilontarkannya terlalu to the point. Wanita itu buru-buru menggeleng sebelum Shafira mencurigainya. "Tidak apa-apa, Mbak. Maksudku perutmu baik-baik saja, kan? Soalnya hamil muda itu sering sekali banyak keluhan? Dari semalam aku sangat mengkhawatirkanmu.""Alhamdulillah baik-baik saja, Al
Dengan sangat hati-hati, Shafira merekam semua adegan antara madu dan ibu mertua. Kali ini dia tidak mungkin akan berdiam diri saja. Yusuf harus tahu akan kebenarannya. Karena kalau dibiarkan, bisa-bisa dia sendiri yang akan ditendang dari rumah."Mbak Shafira! Tolong, Bunda jatuh. Aku tidak kuat memapah sendiri ke kamar!" teriak Almira dari dapur. Mendengar teriakan Almira, Shafira buru-buru menaruh ponselnya ke saku gamis. Wanita itu langsung menuruni tangga, dan langsung menghampiri Almira di dapur."Ada apa, Al?" tanya Shafira berpura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi pada mereka."Bunda jatuh, Mbak. Bantu aku membawanya ke kamar, ya!" jawab Almira."Kok bisa?" Shafira langsung menatap cukup lama ke arah lantai. "Ini apa di lantai?""Hmm ... anu ... itu ... tadi bunda tak sengaja menjatuhkan minyak di sana.""Minyak tumpah?""Iya, Mbak! Ayo bantu bawa bunda ke kamar."Shafira mengangguk, lalu membantu Almira membawa sang ibu mertua ke kamar."Aww, sakit banget!" jerit Nita
"Akhirnya kita berhasil mengusir perempuan ini secara halus dari rumah ini! Tidak ada lagi penghalang untuk memiliki Mas Yusuf seutuhnya.""Dia minggat, Al?""Iya, dia sudah pergi dari rumah ini, Bun. Rencana berhasil tanpa harus mengotori tangan kita dengan membunuh janinnya!" jawab Almira bahagia."Bagus, kamu harus pintar-pintar ambil hatinya Yusuf! Karena putraku itu sangat mencintai Shafira. Bukan perkara mudah membuatnya berpaling dari wanita itu.""Kalau untuk masalah itu, Bunda tenang saja. Percayakan semua pada Almira. Huuuh, senangnya!"Yusuf yang kebetulan tak sengaja mendengar percakapan itu langsung mengepalkan tangan. Bodoh! Di dunia ini mungkin hanya dia yang pantas dicap sebagai lelaki paling bodoh. Allah sudah memberinya bidadari salihah, tetapi dia malah memilih wanita buruk untuk hadir di tengah-tengah kebahagiaannya bersama sang istri. Berharap akan membawa bahagia, ternyata malah membawa petaka.Yusuf berniat untuk memaki Almira dan bundanya, tetapi niat itu kemba
Yusuf diselimuti kekhawatiran. Pasalnya, Shafira langsung tak sadarkan diri. Wanita itu juga sempat kejang-kejang, sehingga untuk satu minggu ke depan dokter tidak mengizinkan Shafira pulang."Apa yang menyebabkan istri saya kejang-kejang seperti tadi, Dok?" tanya Yusuf saat dipanggil ke ruangan dokter."Ada banyak kondisi yang bisa berbahaya bagi ibu pasca melahirkan. Salah satunya preeklamsia atau tekanan darah tinggi pasca melahirkan. Hal ini bisa terjadi ketika ibu memiliki kelebihan protein dalam urine!" jawab dokter seraya membenarkan letak kaca mata yang dipakainya!" jawab dokter seraya membetulkan letak kaca mata yang dipakainya. "Preklamsia juga kondisi serupa yang terjadi pada kehamilan dan biasanya sembuh dengan kelahiran bayi. Sebagian besar kasus preeklamsia terjadu dalam waktu 48 jam setelah melahirkan. Saat tekanan darah begitu tinggi, ibu bisa mengalami kejang yang bisa berdampak buruk pada kondisi kesehatan secara keseluruhan. Kejang yang muncul berulang jika tak dita
Galang menarik-narik tangan Bimo. Lelaki itu tak bisa menolak ajakan Galang. Semenjak mengambilnya dari kampung. Galang memang paling akrab dengannya."Om Bimo mau diajak ke mana, Lang? Ajak yang jauh, ya, soalnya kasihan dia sendiri gak punya pasangan!" goda Aldo.Galang tak memedulikan teriakan Aldo. Ia terus menarik tangan Bimo menuju kamarnya."Katanya mau ajak Om ke taman belakang. Kenapa menarik ke kamar?" tanya Bimo."Temeni Galang main mobil-mobilan saja, Om!" balas Galang seraya menurunkan beberapa mobil-mobilan kecil dari lemari mainan.Tanpa sengaja, Bimo melirik ke luar kamar. Pandangannya jatuh tepat pada sosok gadis yang tengah asyik mengobrol dengan Shafira. Beberapa detik, tatapannya tak beralih. Sepertinya lelaki itu tak berniat sedikit pun untuk mengalihkan pandangannya dari sana.Berulang kali, Galang memanggil dan mengajak ngobrol Bimo. Akan tetapi, tak ada tanggapan sama sekali dari sosok lelaki di depannya.Galang menatap mata Bimo. Lalu, mengikuti pandangan lela
Rini keluar dari kafe dengan perasaan penuh kecewa. Seharusnya kalau memang tidak suka, katakan saja dengan jujur. Jangan malah menganggap perasaannya hanya sebuah lelucon semata.Rini pun mengakui, kalau dirinya memang bodoh dan terkesan mengejar-ngejar. Seharusnya, dia bisa menahan diri untuk tidak terlalu to the point."Dulu, banyak pria yang mengejar-ngejar cintaku! Baru kali ini, aku benar-benar merasa menjadi wanita paling bodoh dan tidak punya harga diri sama sekali. Baru saja kenal, sudah mengatakan cinta terlebih dulu. Aku memang bodoh! Bahkan mungkin, wanita terbodoh di bumi!" gerutu Rini kesal.Sepanjang jalan, Rini tak henti merutuki kebodohannya. Sampai-sampai tak menyadari kalau dirinya hampir saja tertabrak sepeda motor saat akan menyeberang."Aaaaa ... tidak ingin mati! Aku belum nikah!""Makanya kalau jalan jangan melamun. Nanti kalau ditabrak, tetap saja pengendara sepeda motor yang disalahkan."Rini melirik pada sosok lelaki yang hampir saja menabraknya. Wanita itu
"Umi menyindir Abi?"Shafira menggeleng. "Itu namanya bukan nyindir, Bi.""Terus!""Sesuai fakta!" "Abi kan sudah meminta maaf, Um. Jangan menyimpan dendam seperti itu, tidak baik!"Shafira mengembuskan napas kasar. "Bukan menyimpan rasa dendam! Pada dasarnya wanita itu memang makhluk yang ingatannya paling kuat kalau mengingat tentang kesalahan yang dilakukan lelakinya.""Hmm, iya, deh. Wanita maha benar!""Pokoknya Abi harus bisa menyatukan Bimo sama Rini.""Kok jadi ke Abi? Terserah Bimo dong, dia mau pilih dan nikah dengan siapa!""Iya, setidaknya Abi kasih tahu dululah sama Bimo. Bagaimana karakter dan sikap Rini. Sedikit banyaknya, kan, Abi sudah tahu perempuan seperti apa dia. Umi setuju banget kalau seandainya Bimo berjodoh sama Rini.""Um, jodoh itu ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Kalau menurut kita mereka cocok, belum tentu menurut Allah itu baik. Sebaiknya kita tidak perlu ikut campur dengan perasaan mereka. Kalau memang Rini serius, sampaikan padanya untuk t
"Umi tidak salah? Masa Umi yang ngidam, Abi yang harus minum jusnya.""Ya, gimana lagi, Bi! Itu kan bukan keinginan Umi. Dedek Utun yang minta kok, tetapi itu semua terserah Abi. Kalau ingin anaknya ngileran, ya, tidak usah dituruti."Yusuf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak apa-apa, sih! Hanya saja kalau bisa menawar, boleh tidak kalau pare pahitnya diganti sama buah mangga?""Yee, Abi tawar menawar kayak di pasar. Ngidam itu tidak bisa diganggu gugat Abi. Ya sudah kalau tidak mau, tidur lagi saja!" ucap Shafira seraya membaringkan tubuhnya membelakangi Yusuf."Iya, Abi buat sekarang. Apa, sih, yang enggak untuk anak Abi!" ucap Yusuf seraya mengelus perut buncit Shafira.Yusuf melangkah ke luar dari kamar. Sementara Shafira, tersenyum penuh kemenangan. Pelan-pelan, wanita itu mengikuti langkah sang suami menuju dapur."Jangan pakai gula, Bi! Soalnya kan Umi sudah manis. Nanti minum jusnya sambil ngeliatin Umi saja."Yusuf melirik ke arah Shafira, lalu melempar senyum yang
Shafira mengernyit. Siapa yang di maksud oleh wanita itu? Sementara lelaki yang selalu bersamanya setiap hari itu tak lain suaminya sendiri. Apakah memang Yusuf, lelaki yang di maksud oleh wanita di depannya."Siapa lelaki yang Anda maksud? Apakah beliau?" tanya Shafira seraya menunjuk pada Yusuf yang baru saja keluar dari garasi.Wanita di depannya terkekeh. Lalu, membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. "Jika lelaki itu yang saya minta, apakah boleh?""Rini!" ucap Shafira terkejut. "Dari kapan kamu memakai hijab?""Alhamdulillah baru sebulan, Sha. Jawab pertanyaanku, Ibu Shafira. Apakah boleh aku taaruf dengan suamimu?""Tentu saja tidak boleh! Sekalipun istriku memintanya, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya.""Kamu serius, Rin?" tanya Shafira tanpa menghiraukan ucapan Yusuf. "Kamu serius ingin menjadi maduku?""Kalau iya, apakah kamu mau menerimaku menjadi madumu?" tanya Rini kembali."Kalau yang memintanya kamu, mana bisa aku menolaknya!" jaw
Bu Almira, ada yang ingin menjenguk!" kata salah petugas yang berjaga di sana. Almira langsung berjalan menuju tempat penerima tamu. Ada kaca penyekat yang menghalangi antara penjenguk dan tahanan. Shafira masuk ke ruangan. Melempar senyum, lalu duduk berhadapan dengan Almira. Shafira maupun Almira sama-sama mendekatkan telepon ke telinga mereka."Hai, Almira! Bagaimana kabarmu?" tanya Shafira."Jangan basa-basi denganku! Apa maksudmu datang kemari?""Tentu saja karena aku merindukanmu!"Almira tersenyum kecut. "Aku tahu maksud kedatanganmu ke sini. Pasti ingin menertawakanku, kan? Tertawalah sepuasmu! Sebelum nanti, tawamu itu menjadi sebuah tangis yang mungkin saja akan menjadi akhir hidupmu. Ingat, aku tidak akan pernah menyerah, apalagi sampai berhenti untuk menghancurkan hidupmu.""Jangan suuzan seperti itu, Almira! Aku datang ke sini semata-mata hanya untuk menjengukmu. Bertaubatlah, Al. Meminta ampun pada Allah dengan apa yang telah kamu perbuat selama ini. Jadilah wanita sek
Shafira keluar dari ruangan. Entah siapa seseorang yang tengah menunggunya di luar sana. Perasaan dia tidak ada janji dengan siapa pun hari ini. "Rini! Dari mana kamu tahu, kalau aku ada di sini?" tanya Shafira saat melihat sosok Rini yang tengah duduk di kursi tunggu.Rini tak menjawab pertanyaan Shafira. Wanita itu langsung berjalan menghampiri sahabatnya itu, lalu memeluknya dengan erat."Kamu baik-baik saja, kan? Apakah kamu terluka?" tanya Rini seraya memeriksa tubuh Shafira dari ujung kaki sampai ujung kepala."Aku baik-baik saja, Rin. Hanya saja Mas Yusuf ....""Aku tidak peduli dengan dia! Biar saja dia mati. Toh, semua ini dia sendiri yang memulai. Berani memulai, harus berani juga bertanggung jawab. Kesakitan yang dia rasakan sekarang, tidak setimpal dengan rasa sakit yang ditorehkannya padamu!""Rini ...."Rini kembali duduk. Tak dimungkiri, wanita itu sangat kesal pada Yusuf. Andai saja, lelaki itu tidak memutuskan untuk menikahi Almira. Tentu, semua ini tidak akan terjad
"Kenapa dengan Mas Yusuf, Dok?" tanya Shafira panik."Maaf, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pak Yusuf, tetapi takdir ....""Dokter! Pak Yusuf ...." teriak salah satu perawat dari dalam ruangan. Tanpa menunggu waktu lagi, dokter langsung masuk ke ruangan. Shafira semakin panik, entah apa yang sedang terjadi pada suaminya di dalam sana."Ya Rabb, tolong selamatkan Mas Yusuf. Aku mohon!"Hampir setengah jam, Shafira menunggu dengan penuh kecemasan. Tak ada satu pun dokter atau perawat yang keluar dari ruangan. Hanya bait-bait doa yang tak henti Shafira panjatkan pada Sang Pencipta."Tenanglah, Bu! Jangan stress! Lebih baik Ibu pulang dulu. Biar kami yang akan menjaga Pak Yusuf.""Tidak, Aldo! Aku harus terus stay di sini. Mas Yusuf sedang kritis, aku tidak akan mungkin meninggalkannya."Aldo dan Bimo saling bersitatap. Mereka cukup tahu dan mengerti dengan apa yang tengah dirasakan Shafira. Mereka juga sama merasakan sedih dan khawatir dengan keadaan Yusuf saat ini. Aka