"Direktur, jangan pergi kemana-mana." Anna merentangkan tangannya di depan pintu untuk menahan Elsie tetap ada di sana. Namun dengan gesit Elsie menggunakan seluruh kelenturan tubuhnya untuk menembus pertahanan Anna.
"Ayolah, Direktur. Kenapa Anda terus datang ke kampus sepanjang hari. Anda bahkan bukan mahasiswa lagi." Dengan sangat keras kepala, Anna memeluk tubuh Elsie dan menahannya untuk berjalan maju.
Namun dengan tenaga yang muncul entah dari mana, Elsie bisa berjalan maju dengan menyeret tubuh Anna sebagai gantinya.
"Oh." Direktur Eizel langsung dibuat terkejut dengan pemandangan tak biasa tersebut, "Ada apa ini?"
Dengan menarik tubuh Elsie, Anna meminta pertolongan Eizel. Benar-benar tidak adil.
"Direktur Eizel, tolong hentikan Direktur Elsie sekarang juga." mintanya dengan terengah-engah.
Meskipun begitu, Eizel tetap santai, bahkan dia masih sempat bersandar pada tembok. "Bukankah sebentar lagi kita akan berdiskus
Dengan senyum yang sangat mengerikan, Anna mentertawakan kondisi kantor direktur utama yang pemiliknya entah pergi ke mana."Kenapa Anda menghentikanku tadi? Padahal aku sudah menahannya sekuat tenaga, tetapi Anda melepaskanku darinya." ujar Anna dengan wajah yang dingin, meminta pertanggungan jawab Direktur Eizel atas keputusannya yang salah.Rupanya keterlambatan Direktur Elsie yang lebih dari tiga puluh menit itu, membuat Direktur Eizel juga menjadi menggila. Sambil mencoret-coret kertas kosong yang seharusnya ia gunakan untuk mencatat rapat ini, dia tertawa getir, "Maafkan aku, sepertinya tadi pagi aku menjadi hilang akal sejenak. Aku ingin menghadapinya dan meninggalkan rasa lukaku, tapi aku lupa kalau dia akan menjadi banteng gila jika menyukai seseorang. Dia menanduk ke arah manapun dan berlari dengan begitu antusias. Maafkan aku, aku sangat teledor.""Tidak apa-apa." jawab Anna singkat sambil menyandarkan kepalanya pada bantal sofa. "Namun ak
Nia hanya dapat terdiam, ketika Elsie duduk di pinggir mejanya dan menunggu kedatangan Riri dengan gayanya yang seperti preman.Ketika datang, Elsie tidak berbicara banyak, dia hanya masuk lalu duduk di pinggir mejanya sambil berkata kalau dia sedang menunggu Riri.Meskipun tidak di suruh, secara otomatis, Nia mencoba untuk menghindarkan masalah yang lebih besar jadi dengan caranya dia membuat Alvan sibuk di luar kampus dan tidak datang ke kantor sementara waktu. Karena seperti katanya dulu, akan terjadi pertarungan besar di dalam kantornya. Sambil menunggu kedatangan Riri, Nia mengemas sedikit barang berharganya dan pot-pot bunga. Karena prinsipnya, pertama jangan ada yang terluka dan yang kedua jangan sampai ia merugi dengan kantornya dijadikan tempat peperangan seperti itu. Meskipun rasanya mustahil kalau Elsie akan menggunakan benda untuk bertarung, Nia tetap ingin berjaga-jaga.Sampai jam menunjukkan seharusnya para asisten itu mulai datang.&nbs
"Kau akan membawaku kemana?" tanya Elsie dengan nada datar penuh kemarahan.Meskipun begitu Alvan tetap menariknya selagi mencari tempat yang sepi, yang dapat digunakan mereka untuk berbicara empat mata.Namun di pertengahan jalan, Elsie mengentakkan tangannya dan melepaskan genggamannya. "Apa yang kau lakukan?"Alvan mengulurkan tangannya lagi dan hendak menarik Elsie ke tempat yang sepi. Namun Elsie menjauhkan tangannya dan berseru padanya, "Jika ada yang ingin kau katakan, katakan di sini."Alvan menatap sekitar dan melihat orang sesekali berjalan lewat dan melihat aktivitas keduanya. "Ayo kita mencari tempat lain untuk berbicara.""Apa bedanya tempat ini dan tempat lain?" Elsie tersenyum getir. "Semuanya sama sama tempat. Jadi katakan di sini saja."Karena wanita itu berkata ingin berbicara di sana, Alvan kini menghadapkan tubuhnya ke tubuh Elsie dan menatap mata wanita itu, "Apa yang kau lakukan di sini? Apa yang kau lakukan tadi? Kau b
Begitu Eizel membuka mata, ia melihat bahwa dirinya, Anna dan Via sudah seperti ikan kering yang dijajar di kursi. Setelah sampai di ruangannya, mereka secara berurutan duduk bertiga dan tertidur di kursi dengan posisi duduk. Sontak karena posisi tidurnya yang salah itu, lehernya langsung terasa sakit ketika ia menggerakkan tubuhnya dan ia merasakan rasa lelah di setiap senti badannya. Lalu ia pun menaruh pandangannya pada Anna serta Via yang masih tertidur pulas, sambil tersenyum lebar.Tidak ingin membangunkan dua orang itu, Eizel bangkit berdiri dengan hati-hati dan mengendap-endap berjalan keluar.Hingga tibalah ia pada mesin kopi yang ada di dapur mini, yang terletak di antara kantornya dan kantor direktur utama, lalu melihat-lihat.Selama ini Eizel tidak pernah membuat kopinya sendiri. Ia selalu membelinya di kafe dan selama di kantor, Via-lah yang membuatkan untuknya. Jika membuat sendiri maka kopi yang bisa dibuatnya adalah kopi instan. Jadi bila s
Saat Anna membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah kursi Elsie yang sudah kosong. Dengan panik, ia membangunkan Nia yang masih tertidur nyenyak dan bergumam."Di mana Direktur Elsie? Di mana Direktur Elsie?"Dengan sangat bingung, lantaran masih setengah terbangun. Nia menjawab, "Bukankah dia sedang tidur?""Tidak. Dia tidak ada di kursinya." ujarnya yang membuat mata Nia sontak terbuka lebar dan dengan tubuh yang belum siap, dia berjalan dengan gontai dan terjatuh."Di mana Elsie? Di mana Elsie?" Nia menggumamkan hal yang sama dengannya.Masih dengan bertelanjang kaki, Anna mendatangi ruangan Direktur Eizel. Ia kira Direktur Eizel masih tidur sehingga dirinya harus menyampaikan kabar menghilangnya Elsie dengan membangunkannya, tapi Direktur Eizel ternyata ada di kursi kerjanya sambil melihat ke arah komputer dengan wajah serius."Direktur." panggilnya dengan terengah-engah. "Direktur Elsie menghilang."Anehnya, tidak
~Empat jam sebelum perpisahan Selagi menunggu pagi terbit, Eizel bekerja semalaman. Dengan ditemani lampu meja yang menjadi satu-satunya lampu paling terang di ruangannya, ia meninjau dokumen yang harus diperiksa olehnya baik dalam bentuk kertas maupun dalam bentuk file di komputernya. Hingga matanya yang tadinya tidak mengantuk, kini mulai merasa lelah, dan demi untuk menyegarkan diri, ia keluar dari ruangannya untuk membuat secangkir kopi. Entah ikatan batin atau hanya kebetulan, ia bertemu dengan Elsie ketika ia membuka pintu kantornya. Sama seperti dirinya, wanita itu juga sedang keluar dari ruang kantornya, entah apa yang akan dia lakukan. "Kau sudah bangun?" tanyanya pada wanita yang sudah membuat semua orang merasa khawatir dengan tangisannya. Dengan senyum lemah, wanita itu mengangguk, "Ya." "Mau minum kopi bersama?" tawar Eizel pada Elsie yang dijawab dengan anggukan setuju wanita itu. Seperti yang di ajark
Alvan masuk ke dalam rumahnya dengan langkah yang terasa kosong dan menutup pintu secara perlahan.Seperti biasa, semua orang sudah tertidur dan ketika ia memasuki ruang tengah rumahnya, ia hanya bisa merasakan rasa sepi yang tersisa di sana.Perlahan ia menanggalkan tas ringannya, yang terasa berat. Lalu ia melemparkan tubuhnya ke atas sofa sambil mendesah samar di tengah ke pencahayaan ruang yang redup. Apa yang baru saja tadi terjadi di kehidupannya? Ini mimpi, kan?Berulang kali ia menanyakan hal yang sama dalam satu hari ini, tapi air matanya hanya dapat menitik dan seperti terjebak dalam mimpi buruk, ia merasa sangat putus asa.Dengan menutup mukanya dengan kedua tangannya, ia sedang berusaha untuk menutupi luka yang ada di hatinya. Namun dengan ia menutupinya seperti ini, akankah luka itu tetap tertutupi. Dapatkah lukanya sembuh dan berapa lama luka hatinya akan mengering. Karena yang dirasakannya saat ini hanyalah sakit, sakit dan sakit. Mul
Tidak seperti biasanya yang selalu berjalan bolak-balik ke ruangan direktur utama. Kali ini Anna dengan kedua kakinya, melangkah masuk ke ruangan lain yang ada di lantai itu, yang adalah ruangan Direktur Eizel. Bukan karena ia salah masuk ruang atau bagaimana, ia hanya ingin menyandarkan kepalanya di sofa dengan tenang sambil bernapas lega.Pria yang empunya ruang, kini menaikkan alis ketika melihat kedatangannya dan meletakkan dokumen yang diperiksanya."Ada apa?" tanya Direktur Eizel sambil meninggalkan kursi kerjanya dan meniru gaya Anna yang menyandarkan kepala ke sandaran sofa. "Tidak biasanya kau kemari.""Maafkan aku, tapi bisakah aku di sini sebentar? Aku juga manusia, aku perlu istirahat jadi biarkan aku menyandarkan kepalaku sejenak." ujar Anna dengan nada datar bak mayat hidup.Direktur Eizel mendengus geli dan memberikan persetujuannya dengan nada ringan. "Tentu tidak apa-apa. Kau bisa masuk dan memakai ruangan ini jika kau mau."
Nia, Elsie dan Alvan naik ke panggung untuk foto bersama kedua mempelai.Namun entah hanya perasaanya saja atau memang seperti itu adanya, Nia merasakan ada yang ganjal dengan hubungan Nia dan Alvan. Memang ia tahu kalau mereka berdua berpandangan dengan tidak ramah di ruang pengantin, tapi ia tidak menyangka kalau masalah itu akan bertahan hingga acara pernikahan hampir selesai.Kini acara yang tersisa adalah pelemparan bunga.Semua orang bersiap di posisi dan Nia pun sedikit menyingkir ke sisi panggung untuk memberi Elsie ruang untuk dapat menangkap bunga.Satu. Dua. Tiga.Bunga pun terlempar dengan sangat anggun, tapi semakin dilihat, ada yang aneh dengan arah pelemparan bunga. Hingga tiba-tiba bunga itu mendekatinya dan jatuh di tangannya.Sontak hal tidak terduga itu membuat semua orang gempar dan bingung.Merasa dia bukan seharusnya yang berhak menerima bunga itu, Nia menatap Elsie yang seharusnya m
Ketika matahari mulai bergerak turun dan perlahan berjalan meninggalkan langit yang terang. Elsie duduk seorang diri di salah satu bangku rumah makan yang dibawah naungan perusahaannya, sambil menatap semburat warna jingga yang memenuhi langit. Sudah beberapa hari ia menetapkan untuk lembur beberapa hari di kantornya dan kini ia akhirnya keluar dari persembunyian setelah ia mengurung diri di dalam tembok kantornya. Semua ini karena bunga itu. Sungguh bunga yang sial. Bersamaan dengan kemarahannya yang kembali bangkit dari dalam hatinya, seorang pria yang ia benci selama beberapa hari ini malah muncul di depan wajahnya. Tidak perlu ditanya, Elsie pasti merasa marah. Dia sangat kesal hingga ketika Alvan mengambil duduk di depannya, ia berpaling ke arah lain seperti anak kecil. Namun masalahnya, ia tidak bisa menerima kekalahannya. Terlebih itu lantaran sebuah bunga sial yang malah terbang ke tempat yang salah. "Kenapa tidak pulang se
Di tengah hiruk pikuk pernikahan yang meriah, Alvan dan Elsie duduk berdampingan dengan suasana kesenyapan yang mencekam layaknya yang terjadi pada pasangan yang sedang bertengkar.Hal ini dimulai lantaran Elsie melihat bagaimana Eizel sangat menyukai Anna dan tidak ragu-ragu dalam melangsungkan pernikahannya. Perasaan irinya itu pun ia sampaikan kepada Alvan, yang meskipun tampak tidak tergerak sedikitpun setelah mendengarkannya, tapi sejak mendengar Elsie menceritakannya, perlahan ia mulai mempertimbangkannya hal disebut dengan pernikahan.Namun Elsie yang tidak sabaran, merasa kode halusnya itu tidak akan mempan untu Alvan yang pada pandangannya tidak sensitif, sehingga Elsie dengan memberanikan diri mengatakan secara gamblang pada Alvan tentang keinginannya untuk menikah.Apakah itu salah? Tentu tidak. Terlebih Alvan tahu seberapa sulitnya bagi Elsie untuk memulai pembicaraan tentang pernikahan lebih dulu, dengan posisinya sebagai wanita. Itu adalah ke
Alih-alih menunggu Anna di pelaminan dan melihat dari kejauhan calon istrinya yang berjalan seorang diri menghampirinya, Eizel memilih untuk berjalan bersama istrinya menuju ke pelaminan.Dengan menggandeng wanita yang dicintainya, ia mengumbar senyum yang sangat lebar nan bahagia. Lalu dengan mata yang saling berkaitan dengan Anna, ia menunjukkan kepada semua orang kalau dirinya sangat beruntung memiliki wanita ini sebagai teman hidupnya.Hingga setiba mereka di pelaminan, mereka menjalani seluruh prosesi pernikahan dan dipenghujung acara, sang pembawa acara menyatakan bahwa mereka sudah resmi menjadi suami istri.Seketika ruang pernikahan itu menjadi amat riuh. Para tamu bertepuk tangan dan tak sedikit yang memberi sorakan atas status baru mereka.Di tengah kebahagiaan yang bertaburan seperti confetti, Eizel menatap langit-langit dengan tercengang.Hidup itu sebuah misteri...****************...~Du
Dengan gaun yang indah yang Nia kenakan di acara pernikahan, ia berjalan tergopoh-gopoh menuju ruang tunggu pengantin. Semua ini adalah salah dari dirinya yang bangun terlambat.Kemarin malam, usai mengatakan salam tidurnya, Nia lupa menyalakan alarm. Hingga, akibat dari perbuatannya, mereka pun jadi bangun terlambat. Hanya untung saja, pengantin wanita sudah bangun lebih dulu dan langsung pergi ke tempat di mana dia akan di rias.Namun di mana kawannya yang satu lagi, kalau tidak salah dia yang bertanggung jawwab dengan bunga buketnya. Lantaran dia menyekap bunga itu sejak pagi, yang katanya itu dia lakukan untuk dapat terhubung dengan bunga. Sehingga ketika pengantin wanita melemparkan bunganya nanti, dia dapat menangkapnya dan segera menikah.Baru dia pikirkan, suara temannya itu sudah terdengar dari kejauhan, meskipun di lobi itu sudah dipenuhi oleh tamu yang berbicara sendiri layaknya suara lebah."Nia."Dengan gaun merah men
~Lima bulan Kemudian."Untuk pernikahan besok. Bersulang.""Bersulang.""Bersulang."Tiga wanita itu pun saling menyatukan kaleng soda mereka, hingga berbunyi suara 'ting' dari permukaan kaleng mereka yang saling bersentuhan.Namun ketika mereka hendak meminumnya bersama, Elsie langsung mengurungkan niatnya dan meletakkan soda itu dengan tatapan sia-sia."Kenapa?" tanya Nia pada Elsie yang tampak kesal lantaran tidak dapat meminum sodanya.Selagi melihat tubuhnya, ia pun mengeluhkan lemaknya yang bertumbuh pesat. "Akhir-akhir ini berat badanku banyak naik. Jadi aku tidak bisa meminum ini dan membuat gaunku kekecilan."Mendengar alasan Elsie, membuat Anna dan Nia menghentikan aktivitas mereka. Hingga satu per satu mulai meletakkan kaleng sodanya."Benar juga." gumam Anna dengan menatap sedih minuman soda itu.Seusai kaleng soda, kini mata mereka tertuju pada makanan melimpah yang ditaruh di
"Kau sudah sampai kantor?" tanya Eizel pada Anna, setelah mereka berhasil masuk ke dalam kantor Direktur Eizel yang berdekatan dengan kantor direktur utama. "Kapan? Aku tidak melihat tasmu ketika datang ke kantor Elsie?""Sudah dari tadi." Anna tersenyum getir dan dia mengungkapkan fakta yang terjadi tadi pagi saat ia datang ke kantor. "Sebenarnya aku sudah sampai di kantor satu jam yang lalu."Mendengar kata satu jam, membuat Direktur Eizel mendelik tidak percaya. Namun memang begitulah faktanya, ia sama sekali tidak mengubah kebenaran yang ada. "Jika memang satu jam yang lalu, kenapa aku tidak melihatmu saat datang tadi? Bahkan aku tidak melihat tasmu di meja.""Itu, itu." Dengan terbata-bata Anna mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya tadi terjadi. "Saat aku datang, ternyata di dalam sudah ada Direktur Elsie dan Alvan di ruangan. Lalu karena tak ingin aku mengganggu mereka, Direktur Elsie menyuruhku untuk pergi berjalan-jalan selama beberapa menit. Jadi itul
Kenapa dari semua hal, peribahasa menggambarkan keterkejutan dengan 'sambaran petir'? Dulu Eizel sering mempertanyakannya. Namun pagi ini akhirnya ia pun tahu dengan sendirinya, betapa sangat mengejutkannya petir.Dari awal ke kantor, Eizel tidak mendapatkan firasat apapun. Hingga ketika ia hendak menyerahkan beberapa dokumen untuk di tinjau ulang oleh Elsie, ia merasa baru saja melihat adegan yang tidak pantas di ruangan wanita itu.Eizel melihat sepasang kekasih yang sedang menjalin asmara dengan berbicara manja satu sama lain. Ada kalanya Elsie mendadak mejaruk dan bersikap seolah akan mengakhiri hubungan, tapi dengan sikap yang sama kekanak-kanakannya, Alvan meredakan kekesalannya dan dua orang yang sedang kasmaran itu kembali mesra dengan berpelukan satu sama lain.Hingga karena ia berdiri mematung di depan pintu dalam jangka waktu yang cukup lama, pria dan wanita itu pun menyadari kehadirannya dan tersenyum lebar."Selamat pagi."
Sesuai janjinya, Alvan akan mendatangi Elsie untuk menyatakan perasaannya untuk terakhir kalinya. Namun lantaran selama beberapa hari ini Elsie tidak datang ke kantornya, Eizel —selaku orang yang membantunya—, dia memberikan alamat rumah Elsie padanya.Ternyata lokasi rumah Elsie tidak jauh dari kantor, dan begitu sampai di sana, Alvan tidak melihat tempat tinggal Elsie sebagai sebuah rumah, melainkan sebuah istana. Sangat besar dan megah. Namun apakah wanita itu tidak kesepian, tinggal di rumah sebesar itu untuk dirinya.Setelah membunyikan bel berkali-kali dan tidak mendapat tanggapan, serta menyadari tidak adanya satu mobil kesukaan wanita itu di halaman parkirannya. Alvan pun mengerti kalau wanita itu kini sedang tidak ada di rumah.Jadi dengan sabar dan jantung berdebar, Alvan menunggu wanita itu di depan rumahnya yang ternyata memakan waktu yang cukup lama.Hingga perlahan hari menjadi semakin malam, dan ketika jam menunjukkan bahwa hari