“Pendatang baru lagi? Ini yang kedua kalinya sejak aku datang ke sini,” kata Baskara.
“Tidak, dia bukan pendatang baru. Dia penghuni lama,” tanggap Tono.
“Maksudmu, dia penghuni Scylaac tapi dia tidak tinggal menetap di Scylaac?” tanya Baskara.
“Begitulah. Dia senang berkelana keliling dunia. Dia tidak suka tinggal menetap di suatu tempat. Tapi dia adalah penghuni Scylaac yang sah. Salah satu penghuni tertua di Scylaac.”
“Bukan salah satu. Memang dialah penghuni tertua di Scylaac. Usianya sudah 66 tahun,” sambung Baskoro, salah satu penduduk asli Scylaac.
“66 tahun? Dia penghuni pertama Scylaac?” tanya Baskara dengan nada sedikit terkejut.
“Mana mungkin, bodoh. Penghuni pertama itu Schoistuedie, Yuhita, Lala, dan Acsac. Mereka yang menciptakan Scylaac. Nama Scylaac saja diambil dari
“Gila. Dia benar-benar gila. Dan Vith pun juga ternyata tak kalah gilanya,” kata Baskara yang sedang bersembunyi di kejauhan. “Ya. Setidaknya kesan pertamaku tidak mengecawakan,” tanggap Ayu. “Lalu bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Baskara. “Kepala siapa yang dia pegang itu?” tanya Ayu balik. Ayu tidak menjawab pertanyaan Baskara. Ia mendengar suara Baskara, tapi pikirannya tidak fokus kepadanya. “Hmm ... aku tidak yakin, tapi sepertinya itu Chris,” kata Baskara menjawab pertanyaan Ayu. “Chris? Chris yang itu?” tanya Ayu dengan sedikit terkejut. “Ya, Chris yang itu. Orang aneh itu.” “Begitu. Jadi dia membunuh Chris, tapi dia tampak tidak tertarik untuk melakukan hal yang sama kepada Vith,” gumam Ayu. “Apa kesimpulanmu dari hal itu?” tanya Baskara. “Bagaimana
Mereka berdua bertemu di tempat itu; tempat yang sejak tadi mengunci segenap perhatian mereka. “Loh, Kam? Kau Kam, kan?” “Siapa kau?” “Aku Winatra. Baru beberapa bulan yang lalu kita bertemu lagi setelah sekian lama.” “Hm. Aku tidak ingat.” Winatra hanya tersenyum. “Aku tak tahu orang sepertimu bisa tertarik juga pada Ruka,” kata Winatra. “Sudah sewajarnya, kan? Aku belum pernah bertemu atau melihat Ruka sebelumnya. Kalau aku sampai melewatkan kesempatan langka ini, percuma aku datang jauh-jauh ke Scylaac,” ujar Kam. “Kupikir kau hanya tertarik pada orang-orang yang cerdas,” tanggap Winatra. “Tidak juga. Manusia itu makhluk yang rumit. Sampai mati pun kita tak akan pernah bisa memahami semuanya tentang manusia. Orang-orang seperti Ruka pun juga begitu. Kau tak akan pernah tahu ha
Ruka menghilang dari Scylaac. Lagi. Ia kembali pergi meninggalkan Scylaac untuk berkelana keliling dunia. Sejak awal memang itulah yang selalu ia lakukan. Berkelana keliling dunia untuk memuaskan hasrat gilanya menyiksa dan membunuh manusia.Ruka sudah melanggar janjinya di Scylaac. Saat pertama kali bergabung dengan Scylaac, ia berjanji untuk tidak akan pernah membunuh penghuni Scylaac. Ia berjanji kepada dirinya sendiri atas dasar kecintaannya terhadap Scylaac dan seluruh penghuninya. Baginya penghuni Scylaac berbeda dengan manusia lainnya. Ia tidak melihat penghuni Scylaac sebagai sesamanya manusia. Penghuni Scylaac adalah makhluk yang berbeda. Sesuatu yang lain.Kini, setelah akhirnya pulang lagi ke Scylaac setelah sekian lama, ia pun melanggar janjinya yang pernah dibuatnya dulu. Ia membunuh penghuni Scylaac; tiga orang sekaligus. Itu memberinya kepuasan yang berbeda dengan yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tak dapat menahannya. Ia
“Kalian ini tidak ada kerjaan lain ya selain mendatangi penduduk asli dan menodong kami dengan berbagai pertanyaan? Pasti kakakmu itu sekarang sedang melakukan hal yang sama kan di tempat lain?” sambar Steffan, salah satu penduduk asli Scylaac.“Jawab saja pertanyaanku. Di mana aku bisa menemukan orang asing lainnya?” tanggap Ayu dengan gelagat malas seperti biasa.“Memangnya kau mau apa dengan orang-orang seperti itu?” tanya Steffan lagi.“Kalian semua sudah tahu apa yang kuinginkan. Aku hanya ingin menghancurkan Scylaac,” jawab Ayu lagi.“Lalu untuk apa kau mencari mereka? Mereka itu orang asing. Mereka bukan representasi dari Scylaac. Melakukan apa pun terhadap orang-orang itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada Scylaac.”“Aku sudah tahu garis besarnya mengenai kalian para penduduk asli. Dan seharusnya para kaum
“Namanya Surendra. Dia sudah lama berada di Scylaac. Biasanya dia ada di kaki gunung Tanah Langit. Kau cari saja sendiri di sana.” “Seperti apa ciri-ciri orang itu?” “Dia lelaki perokok berat berusia sekitar 50 tahunan; menurut perhitungan waktu yang berlaku di luar sana. Rambutnya selalu ditata rapi dengan model belah samping sederhana. Dia senang memancing ikan di salah satu cabang sungai Tanah Langit. Kalau kau ingin bertemu dengannya, tanya saja kepada orang-orang yang ada di sekitar situ. Mereka semua pasti tahu tentang dia.” “Bagaimana dengan kepribadiannya? Apa yang membuat kalian menganggapnya sebagai orang asing?” “Awalnya dia bukan orang asing. Dia datang ke Scylaac untuk mempelajari Scylaac, sama seperti kebanyakan orang lainnya. Dia ingin tahu, apakah Scylaac dapat dia terima sebagai kenyataan atau tidak. Awalnya dia cukup puas dengan keberadaan Scylaac. Para pendahuluku pun mener
“Wah, tumben. Kita kembali di saat yang bersamaan,” kata Baskara.“Iya ya. Kita memang sepakat akan kembali setelah matahari tenggelam. Tapi ini benar-benar bersamaan,” tanggap Ayu.“Jadi, apa yang kamu dapatkan?” tanya Baskara.“Sesuatu yang sudah kuduga tapi tidak kuharapkan,” ucap Ayu lugas. Ia menghapus senyumannya dari wajahnya. Baskara pun melakukan hal yang sama.“Berarti sekarang kamu sudah bisa menjelaskannya kepadaku?” tanya Baskara dengan sedikit berhati-hati.“Sebenarnya aku belum cukup yakin untuk mengambil kesimpulan pasti,” jawab Ayu yang kemudian sedikit mengambil waktu untuk berpikir. “Tapi tak apa-apa. Aku akan menjelaskannya sekarang.”“Bagus. Akhirnya aku tak perlu penasaran lagi,” kata Baskara. Ayu tersenyum simpul menanggapi.
Ayu terus melanjutkan uraian pendapatnya.“Mereka itu aneh,” katanya. “Ekspresi-ekspresi sederhana yang selalu ada pada diri manusia, hal-hal yang secara standar kita lakukan, itu tidak ada dalam diri mereka. Para penduduk asli itu tidak pernah menutup mulut ketika mereka tertawa, batuk, bersin, ataupun menguap. Mereka tidak pernah menggeleng untuk menyampaikan maksud benar, mengangguk untuk menyampaikan maksud salah, atau mengangkat bahu untuk menyatakan tidak tahu. Mereka bahkan tidak mengangkat alis, menghela napas, memutar bola mata, atau tersenyum singkat ketika biasanya orang lain akan melakukannya untuk menanggapi hal-hal yang terkait dengan emosi-emosi tersebut. Semua itu tidak ada dalam diri mereka.”Baskara terus berusaha mencerna perkataan Ayu.“Yang ada pada mereka hanyalah ekspresi-ekspresi dasar yang memang pasti akan muncul dengan sendirinya tanpa bisa dikendalikan. Ekspresi-e
“Dan, yang ke-3, area yang ditutupi pepohonan rindang yang ada di sana itu,” kata Baskara sambil menunjuk ke arah tempat yang ia maksud.“Di situ? Di tempat yang tak pernah bisa ditembus sinar matahari itu?” tanya Ayu tak percaya.“Ya. Aku pun juga awalnya kaget. Sebab dari tempat itu ke kaki gunung Tanah Langit terdapat salah satu cabang sungai yang cukup lebar. Ternyata, begitu aku selidiki, di cabang sungai itu sama sekali tidak ada ikan seekor pun. Tanaman yang tumbuh di jalur itu pun juga sedikit banyak adalah tanaman yang beracun. Para penghuni sudah mengetahui hal itu sejak awal. Itulah mengapa tak ada seorang pun dari mereka yang mau tinggal menetap di jalur tersebut,” jawab Baskara.“Begitu, ya. Jadi tak hanya area pepohonan rindangnya saja, jalur dari tempat itu menuju kaki gunung Tanah Langit pun juga dihindari oleh para penghuni,” kata Ayu seraya kembali menyant
Semua penghuni Scylaac menjalani hidup tanpa mengenal kewajiban. Mereka semua tidak pernah membebani diri dengan pekerjaan. Itu tidak diperlukan. Hal itu bukan berarti penghuni Scylaac tidak bekerja sama sekali. Sebagian kaum campuran masih memiliki pekerjaan tetap di dunia luar. Mereka memang hidup berpindah-pindah dari Scylaac ke dunia luar dan sebaliknya hingga seterusnya. Tapi mereka tidak terikat pada pekerjaan mereka. Jika mereka mau, mereka dapat melepaskan status mereka di dunia luar dan hidup nyaman di alam Scylaac kapan pun mereka mau.Untuk orang asing, sebagian dari mereka bekerja dengan menjalankan apa yang mereka yakini. Ayu adalah contoh yang paling gamblang. Mungkin misinya di Scylaac tidak berorientasi kepada hasil berupa upah pekerjaan. Tetapi baginya apa yang dilakukannya itu tetaplah sebuah pekerjaan. Kebanyakan orang asing yang bekerja melakukan hal yang berbeda dengan dasar yang serupa. Mereka yakin dan percaya pada kebenaran diri sendiri.
Jika aku mengatakan bahwa para penduduk asli bisa dan biasa berinteraksi dengan hewan liar, mungkin itu sudah tidak lagi terdengar mengejutkan. Tetapi pengertian hubungan sosial bagi para penduduk asli jauh melebihi itu. Bagi mereka apa pun yang ada di alam Scylaac, hidup maupun mati, semua itu adalah sama. Semua itu adalah sesama mereka yang sama-sama hidup dan mati dalam satu kesatuan. Penduduk asli bisa menghabiskan waktu seharian penuh berinteraksi dengan pohon, air, bahkan batu. Itu sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa di alam Scylaac. Mereka berinteraksi dengan menggunakan pikiran dan batin mereka - sesekali dengan mulut. Mereka berbincang-bincang, mereka bermain bersama, mereka saling berbagi kesenangan dengan semua yang ada di alam Scylaac. Mereka melakukan itu semua secara alami tanpa pernah sekali pun mereka paksakan untuk mereka umbar kepada para penghuni lainnya. Penduduk asli hidup dengan menjadikan alam sebagai bagia
“Kak?”“Kamu sudah bangun?” kata Baskara sambil tersenyum.“Itu apa?”“Tanaman obat. Bunga-bunga di sini bisa menjadi obat yang baik untukmu.”Ayu memandangi ramuan yang sedang dibuat oleh Baskara. “Aku baru tahu Kakak mengerti tentang ilmu tanaman.”“Tidak, kok. Aku hanya kebetulan saja mendengarnya dari percakapan para penduduk asli saat sedang mencari tempat untuk kita tinggali.”Ayu bangun dan mengambil posisi duduk.“Kakak tak perlu terus menjagaku di sini. Aku baik-baik saja, kok. Kalau Kakak mau, Kakak boleh jalan-jalan.”“Tidak, aku tidak mau meninggalkanmu. Kamu sedang sakit. Kamu pasti perlu bantuan sewaktu-waktu.”“Tak usah khawatir. Aku baik-baik saja. Aku juga tak mau jadi beban buat
“Kompresnya sudah dingin?” tanya Baskara.“Sedikit lagi,” jawab Ayu.Baskara menghela napas jenuh.“Mengapa kamu belum juga tidur?” tanyanya khawatir. “Dengan kondisimu yang seperti ini, kamu juga tidak akan bisa berbuat apa-apa. Lebih baik kamu istirahat saja sekarang. Kamu kan belum tidur lagi sejak tumbang subuh tadi.”“Kakak malah sama sekali belum tidur sejak semalam.”“Jangan pikirkan orang lain.”Ayu membuka kedua matanya.“Tuh, kan. Matamu juga sudah sangat merah. Tidurlah. Kamu pasti sudah sangat mengantuk, kan?”“Seharusnya aku tetap memejamkan mata saja tadi.”Baskara tersenyum. Ayu pun ikut tersenyum.“Kakak benar tidak mau tidur? Kakak juga pasti mengantuk, kan?&r
Selama berada di Scylaac, tak pernah sekali pun Ayu dan Baskara bertemu dengan penghuni perempuan - setidaknya yang bernyawa. Padahal mereka telah beberapa kali mendengar cerita tentang penghuni-penghuni perempuan. Bahkan dua dari keempat pencetus Scylaac pun adalah perempuan. Selama ini Ayu tak pernah ambil pusing akan hal itu. Tapi begitu akhirnya ia benar-benar melihat seorang penghuni perempuan, seluruh perhatian dan pemikirannya langsung terfokus penuh kepadanya.“Ya, Kakak benar. Itu memang perempuan. Tidak salah lagi.”Baskara kembali memandang Ayu. “Mungkin dia Yuhita atau Lala.”Ayu tidak menjawab. Ia seperti tertegun oleh pemandangan yang seharusnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dari tadi disaksikannya.“Apa mungkin itu ... Zia.”Baskara sedikit mengerutkan dahinya. “Kamu percaya yang seperti itu?”
“Kakak? Kakak tak apa-apa?” tanya Ayu khawatir.“I-iya. Aku baik-baik saja,” jawab Baskara, mencoba bersikap tenang. Tak lama kemudian, ia pun mengoreksi, “Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Aku mual.”Baskara pun akhirnya kembali muntah untuk yang kedua kalinya – sebelumnya ia juga telah muntah.“Sebaiknya Kakak tak usah melihatnya lagi. Awasi saja keadaan di sekeliling kita ini. Aku masih membutuhkan bantuan Kakak untuk itu,” kata Ayu lagi, sambil memegang pundak pacarnya itu.“Ya, kamu benar. Mungkin itulah yang terbaik untukku,” jawab Baskara sambil menyeka air matanya yang keluar secara natural oleh karena dirinya muntah.Baskara terguncang melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Wajar saja. Aku tak menyalahkannya. Aku pun juga akan mengalami hal yang sama jika menjadi dirinya. Itu bukan sesuatu yang dapat
“Apa itu?”Baskara menengok ke arah Ayu. “Ada apa?”Ayu tidak menjawab. Ia tidak memerhatikan pertanyaan Baskara. Tidak begitu pun, Ayu tetap tidak akan bisa menjawab pertanyaan Baskara. Yang ada di sana itu bukan sesuatu yang pernah dilihatnya sebelumnya. Scylaac tak pernah memperlihatkan yang seperti itu sebelumnya. Itu adalah sesuatu yang baru.“Aku tidak mengerti. Apa maksud semua ini? Mengapa seperti ini?” kata Ayu lagi. Perkataannya kali ini mengindikasikan bahwa ia sudah mulai bisa mencerna apa yang ada di pandangan matanya itu. Walaupun pada akhirnya itu hanya memunculkan tanda tanya baru.Baskara sangat ingin melihat apa yang disaksikan oleh Ayu. Tapi ia takut fokusnya teralihkan dari tugasnya untuk mengawasi sekeliling. Ayu terlihat begitu terkejut. Ia tahu bahwa apa yang disaksikan pacarnya itu bukanlah sesuatu yang normal. Ia yakin dirinya pun juga akan
“Kakak sudah siap?”“Ya.”“Baik. Ayo kita lakukan.”Ayu dan Baskara pun berjalan menuju kaki gunung Tanah Langit.Ayu dan Baskara berjalan berdua di tengah terpaan salju tebal. Mereka hanya mengandalkan cahaya bulan, bintang, dan aurora untuk menerangi jalan mereka. Selama mereka berjalan, Ayu bertugas mengawasi area di depan dan di sebelah kiri mereka. Sementara itu Baskara bertugas mengawasi area di belakang dan di sebelah kanan. Mereka tidak boleh sampai ketahuan oleh penghuni Scylaac lainnya. Ayu tak percaya pada seorang pun penghuni Scylaac selain Baskara. Ia tak ingin ada seorang pun mengetahui apa yang mereka lakukan, sekalipun itu hanyalah seorang pecundang.Perjalanan yang memang sudah semestinya memakan waktu cukup lama itu, semakin terasa lebih lama karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Salju lebat turun semakin hebat. Ayu dan
“Sudah kuduga. Ternyata memang akan seperti ini jadinya.”Baskara menoleh ke arah Ayu. “Apa maksudmu?” tanyanya.“Para penduduk asli itu. Aku memang sudah menduganya dari awal. Ternyata aku memang mendapatkannya. Kepura-puraan pada mereka.”Baskara terkejut mendengarnya.“Jadi mereka memang bersandiwara?”“Tidak semuanya. Hanya beberapa yang sudah bisa kupastikan begitu. Sisanya, mereka tetap belum bisa kupastikan.”Baskara mengerutkan dahi.“Aku memang sempat ragu awalnya. Sebab ternyata di antara mereka yang sudah kueliminasi pun, banyak juga yang tampil dengan tidak terlihat bersandiwara. Itu benar-benar nyata dan meyakinkan. Aku jadi bingung karenanya. Untungnya, setelah mencari lebih jauh lagi, pada akhirnya aku dapat menemukan juga orang-orang bodoh yang memang jelas-