Lulu mendengar ketukan pintu dan segera menoleh. Perlahan ia berjalan, tangannya meraih gagang pintu. Matanya membulat ketika melihat dua sosok yang membuatnya terluka.
Dua sosok itu tak lain adalah Jovan dan Aini. Mereka berpenampilan segar dan rapi dalam balutan busana kerja. Sama halnya dengan Lulu yang terkejut, Jovan juga memiliki tatapan terperangah di matanya. Lelaki itu tak biasa melihat penampilan Lulu yang lebih modis daripada biasanya. Mulut Jovan terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi, Jovan menelan kata-katanya karena sadar ada Aini di sampingnya. “Jovan? Aini? Ada perlu apa sampai kalian repot-repot datang ke kamarku?” tanya Lulu dengan nada datar. Jovan menekuk alis. Terlihat tak senang mendengar nada datar Lulu. “Kamu menjual semua hadiah yang aku berikan supaya bisa menginap di hotel ini?” Sudut bibir Lulu terangkat memperlihatkan seringai mencibir. Lulu memang membawa hadiah ulang tahun dari Jovan—sebuah perhiasan. Lulu sama sekali tak menjual perhiasan itu. Ia membawa benda itu agar Felia kelabakan dan lagi pula semua itu adalah hadiah yang sudah menjadi milik Lulu. “Aku belum menjual semua benda itu. Tanpa menjual hadiah dari kamu pun, aku masih bisa menginap di hotel ini selama beberapa hari,” balas Lulu. “Karena sekarang kamu sudah berpegangan pada orang yang memiliki posisi tinggi di hotel ini. Makanya kamu nggak perlu membayar, kan? Cara apa yang kamu gunakan sampai membuat Pak Gilang membantu kamu?” Aini menyemburkan pertanyaan dengan ekspresi mencibir. Matanya yang cantik memperlihatkan kilatan kemarahan dan kedengkian. Mendengar hal itu Lulu menebak kalau kedua orang ini sempat melihatnya bersama Gilang. Oleh karena itu mereka datang padanya. Dengan santai Lulu menjawab, “Aku rasa nggak ada hubungannya dengan kamu. Dan jangan mencemari nama baik Pak Gilang hanya karena kamu berpikir yang nggak-nggak.” Dari cara bicara Aini yang memojokkannya, Lulu bisa menebak benak wanita itu. Akan tetapi, apakah mungkin mereka berani menyebarkan rumor buruk tentang tangan kanan Pak GM? Kening Jovan berkerut dalam. Tatapannya pun semakin menusuk, sehingga membuat Lulu tak nyaman. “Jangan bicara keterlaluan, Lulu,” kata Jovan tegas. Lelaki itu melanjutkan, “Aini bahkan belum bilang apa-apa tentang Pak Gilang. Sebaliknya karena kamu, nama Pak Gilang jadi tercemar. Pantas saja aku mendengar rekan-rekanku membicarakan Pak Gilang sejak tadi pagi. Jadi perempuan yang mereka bicarakan adalah kamu. Dan bukan hanya itu saja, kamu juga sampai membuat Pak GM mentraktir makan malam. Hebat sekali kamu, Lulu.” Tatapan marah Jovan sama sekali tak ditutupi beserta ekspresi kecewanya. Lulu di mata Jovan merupakan gadis polos yang akan tersenyum ketika diberikan hadiah sekecil apa pun olehnya. Namun, Lulu yang berdiri di hadapannya saat ini, tengah memperlihatkan seringai seperti Nenek Sihir. Apakah betul orang bisa berubah dalam semalam jika mereka tersakiti? “Jovan, karena kamu sendiri setuju untuk mengusirku dari rumah dan memutuskan hubungan denganku, maka semua urusanku sudah bukan urusan kamu lagi. Kamu nggak ada hak untuk mempertanyakan semua yang kulakukan,” tandas Lulu. Aura dingin yang dipancarkan Lulu terasa menekan batin Jovan. Pancaran mata dingin seakan melihat orang asing yang menyebalkan di hadapannya. Sontak membuat Jovan terbungkus amarah. Aini segera menyelipkan tangan ke lengan Jovan begitu melihat wajah lelaki itu menghitam. “Meskipun dia benar, urusannya bukan lagi urusan kamu. Tapi, bukankah orang tuanya menitipkan dia di rumah keluarga kamu? Kalau sampai dia membuat masalah di luar, maka keluarga kamu juga yang akan kena masalah, Jovan.” Aini berkata dengan nada rendah di samping Jovan, seolah-olah dia takut Lulu akan melukai martabat keluarga Jovan. Jovan melirik Aini dan tatapannya perlahan melembut. “Lantas apa dia harus kembali ke rumahku? Mama nggak mungkin mengizinkan dia kembali.” Sebelum Aini mengutarakan opininya, Lulu berteriak pada mereka. “Kalian berdua. Jangan berbisik lagi karena aku bisa mendengar semuanya,” Lulu menjeda sesaat, lalu melanjutkan, “Kamu memohon pun agar aku balik ke rumahmu, aku nggak akan sudi, Jovan. Aku sudah bilang sama orang tuaku kalau aku ingin hidup mandiri dan mereka sudah setuju. Lebih baik, kamu dan Aini kembali bekerja. Jangan mengganggu tamu karena aku bisa memberikan ulasan buruk dengan mencantumkan nama kalian.” Mendengar hal tersebut Jovan dan Aini terbelalak. Agaknya mereka lupa, saat ini Lulu adalah tamu hotel. Mereka tak boleh membuat seorang tamu marah dan apalagi sampai mendapatkan ulasan buruk hanya karena seorang Lulu. “Van, tahan dulu amarah kamu. Kita bisa selesaikan masalah ini diluar hotel. Kesempatan itu pasti akan datang,” ucap Aini sembari menarik lengan Jovan. Lulu menutup pintu dengan kesal. Perlahan menghembuskan napas jengkel. Dia menyandarkan punggung di balik pintu. “Kesempatan untuk membalas pengkhianatan Jovan pasti akan tiba.”Hasil medical check up menunjukkan kesehatan Lulu sangat baik. Malam itu juga, Lulu tiba di rumah Daril. Pria yang kini hanya mengenakan kemeja putih dengan satu kancing terlepas dan dasi yang sengaja dilonggarkan, tengah duduk di sofa panjang berwarna hitam. Jarinya yang panjang dan ramping meletakkan sebuah berkas di meja, dan sorot matanya yang datar mengarah pada Lulu.“Itu kontrak kamu dan jumlah gaji kamu juga sudah tertera di sana. Kalau kamu merasa jumlahnya kurang, kita bisa bernegosiasi. Gilang akan menjelaskan lebih detail mengenai pekerjaan kamu.” Daril kemudian menenteng jas di tangan kanannya sambil berlalu ke lantai dua.Lulu membaca kontrak tersebut dengan saksama. Ia tak mau melewatkan detail sekecil apa pun yang bisa merugikan dirinya.“Gajinya beneran segini?” Lulu bertanya pada Gilang. Siapa tahu matanya salah membaca. “Sesuai yang tertera pada kertas itu. Kalau pekerjaan kamu bagus, gaji kamu akan naik dalam satu tahun.”“Di sini tertera, saya harus mengurus dua
“Kamar kamu di sebelah sana,” ucap Daril seraya menunjuk sebuah pintu melalui isyarat mata.Lulu menatap ke arah pintu tersebut lalu berkata sedikit terbata, “Kalau begitu, saya akan merapikan pakaian saya, Pak.”Daril mengangguk santai. “Hm, kamu sudah bisa istirahat. Kalau kamu lapar, di kulkas ada bahan makanan yang bisa kamu masak,” katanya.Pria bertubuh jangkung itu bangkit dari sofa menuju dapur.Sementara Lulu yang beranjak menarik kopernya, memberanikan diri untuk mengintip. Bola matanya yang jernih melihat Daril tengah menuangkan air ke dalam gelas. Tubuh Lulu pun mematung kala Daril meneguk air dalam gelas bening. Entah kenapa perhatian Lulu mengarah pada bibir tipis pria itu.“Ini nggak benar,” gumam Lulu. Segera ia mengalihkan perhatian dan menarik kopernya.Dia baru saja mengalami patah hati karena hubungan yang bertahun-tahun dijalin dengan Jovan kandas dalam semalam. Meskipun perasaan Lulu berubah menjadi rasa kecewa dan benci terhadap Jovan, tapi tak mungkin seorang
Lulu menarik pintu kulkas. Ia mengambil sebotol air mineral. Saat itu dia sadar sebuah tatapan sedang mengawasinya.Lulu memutar wajahnya. Mendapati Daril tengah berdiri, bukannya pergi ke lantai atas.Senyum canggung pun terbentuk di wajah Lulu. “Pak Bos butuh sesuatu?”Daril menjawab setelah melirik ke meja makan. “Saya mau coba itu,” jawabnya.“O, oh, Pak Bos mau saya bikinin telur dadar,” balas Lulu canggung. “Bapak mau nunggu di sini atau saya antar ke atas?”“Di sini saja,” jawabnya sambil berjalan lalu menarik kursi. Sementara Lulu kembali membuka kulkas setelah menaruh botol air mineral di meja makan.Ia merasa sedikit gugup memasak langsung di depan Bos-nya.Biasanya Felia sering mengawasinya memasak dan Lulu sama sekali tak merasa gugup. Meskipun wanita itu berhati busuk, tapi dia juga mengajarkan Lulu cara memasak. Lulu menahan dirinya untuk melirik ke belakang dan fokus membuatkan telur dadar untuk Daril. Selang beberapa menit, Lulu menyajikan telur dadar buatannya pada
Lulu tak tahu menu sarapan apa yang biasanya disukai Kaivan. Jadi, pagi-pagi sekali dia menghubungi Gilang dan menanyakan menu sarapan.Dia juga membuatkan sarapan untuk Daril, meski lelaki itu berkata jarang makan di rumah. Tetapi siapa tahu, kalau tiba-tiba Daril ingin sarapan di rumah.Seperti hal tak terduga tadi malam.Setelah menata meja makan. Lulu beralih memberikan makan pada dua kucing milik Daril. Selanjutnya ia pergi ke teras belakang untuk menyiram tanaman hias. Selesai dengan aktivitasnya, Lulu mendapati Daril dan Kaivan menuju ke meja makan. “Selamat pagi, Pak Bos dan Kaivan,” sapanya.“Pagi, Kak Lulu,” balas Kaivan, sedangkan Daril hanya mengangguk ringan. Bersamaan dengan itu, Gilang pun tiba. “Selamat pagi.” Pria itu menyapa semua orang.“Pagi, Pak Gilang,” Lulu balik menyapa Gilang.Kaivan melambaikan tangan, bersemangat memanggil Gilang. “Kak Gilang buruan ikut sarapan,” katanya. Dia menunggu sampai Gilang mengambil tempat duduknya dan berkata lagi, “nanti tolon
Lulu bersemangat akan menemani Kaivan jalan-jalan. Ia mengenakan pakaian paling bagus yang ia miliki dan tiba-tiba kembali menyesali dirinya yang dulu. “Empat tahun aku menghabiskan waktu di rumah Tante Felia. Bahkan untuk keluar kencan sama Jovan juga dibatasi sama Tante Felia.”Lulu menepuk kepalanya tiga kali. Untuk apa juga ia mengingat-ingat pria brengsek yang mencampakkannya itu?Hati Lulu menjadi kesal dan ingin sekali menampar wajah Jovan dengan lumpur.Ia kemudian keluar dari kamar, sedangkan Kaivan sudah menunggu di ruang tamu.“Yuk berangkat sekarang,” kata Lulu.Kaivan dengan wajah sumringah bergegas bangkit. “Nah, aku udah menunggu Kakak dari tadi.”“Kita mau ke mana, Pak Bos muda?”Kaivan langsung cemberut mendengar panggilan Lulu untuknya. “Kakak panggil aku Kaivan aja. Nggak usah pakai embel-embel segala. Aku nggak suka.”Lulu tersenyum tipis. “Oke, oke, Kaivan. Kita mau ke mana?”“Shopping! Kita ke mall. Aku cuma bawa sedikit pakaian ganti. Nggak mungkin aku pakai ba
Semua orang yang berada dalam toko, memutar pandangan ke arah Felia dan Lulu. Felia tak segan mengatakan Lulu seorang pencuri, sehingga orang-orang mulai berbisik membicarakan Lulu.“Aku pencuri? Tante ingat dengan betul kalau Jovan ngasih aku kalung itu di hari ulang tahun aku,” balas Lulu membela diri.Ia tahu Felia sengaja menuduh untuk menghancurkan nama baik Lulu. Lulu hanya ingin Felia kelabakan, tapi tak menyangka akan bertemu Felia secepat ini dan membuat dirinya kena tuduhan.“Kalian sudah putus! Jadi kembalikan kalung itu. Kamu nggak berhak untuk menyimpannya. Itu namanya mencuri!”Lulu tertawa pahit. Ternyata sebuah kalung bisa menyebabkan Felia sampai murka di depan banyak orang. Pandangan orang-orang pun berubah. Dari yang tadinya mencemooh Lulu kini berbalik mencebik Felia. “Nyonya, sebaiknya Anda menyelesaikan masalah ini di rumah. Anda mengganggu pelanggan lainnya,” kata staf perempuan itu. Sebagai seorang perempuan ia merasa iba pada Lulu.Felia mendelik ke arah pere
Lulu mendongak, mata jernihnya menatap pria tinggi di depannya. Wajah tampan Daril terpahat di kedua bola matanya. Aroma parfum yang tiba-tiba familier menguarkan kesegaran di udara.“Saya sedang mencoba menghubungi orang tua saya, Pak Bos,” jawab Lulu sambil menurunkan wajahnya.“Oh.”Daril tak beranjak dari tempatnya berdiri. Begitupun dengan Lulu yang masih berdiri di depan pintu.“Bisa minggir?” tanya Daril. “Saya mau melihat kucing saya,” lanjutnya.Karena panik Lulu jadi bingung harus minggir ke kanan atau ke kiri. Kemudian ia melangkah ke kanan. “Silakan, Pak Bos. Saya baru saja memberikan mereka makan.”“Hm.”Daril mendorong pintu. Kedua kucing itu langsung menghampirinya. Mereka terlihat begitu manja saat Daril mengelus punggung mereka.“Catty, Lion,” ucap Daril bernada lembut, memanggil kedua nama kucing itu.Kadang-kadang Daril acuh tak acuh. Kadang juga sedikit perhatian. Lulu mengamati interaksi Daril dengan kedua kucingnya. Sikapnya menjadi hangat dan lembut.Daril menu
Wajah Lulu tampak muram. Ia masih belum bisa menghubungi orang tuanya. Bahkan, chat yang ia kirim pun belum mereka baca. ‘Mereka bikin aku khawatir aja.’Dia duduk sendirian di sofa. Sesekali Lulu mendongak ke lantai atas. Suara Kaivan yang bersemangat bermain game dengan Daril, terdengar jelas.Kemudian ia bangkit dan mengetik pesan dikirim pada orang tuanya.Tak lama kemudian, sinar di mata Lulu kembali melihat pesan tersebut sudah dibaca oleh ibunya.Ia menunggu ibunya yang masih mengetik pesan.‘Sayang, Mama dan Papa sangat sibuk di sini. Jangan khawatirkan kami kalau kami nggak bisa dihubungi.’‘Mama berdoa kamu baik-baik saja di sana. Kami akan segera menjemput kamu.’‘Maafkan Mama dan Papa yang belum bisa menjaga kamu.’Tanpa sadar cairan hangat luruh ke pipi Lulu. Ia kembali duduk di sofa dan melanjutkan membaca pesan ibunya setelah mengusap matanya yang berkabut.‘Hari-hari kamu pasti berat karena harus bekerja di rumah orang lain. Jangan sering-sering keluar rumah, apalagi
Usai menyantap dessert, Lulu pergi ke kamar kecil. Ia memeriksa riasan wajahnya dan perlu memoles bibirnya dengan lip gloss agar tidak kering.Dua karyawan yang membicarakannya tadi tak lain adalah Mela dan Rasti. Mereka sengaja mencari Lulu sampai ke toilet."Sebagus apa pun baju yang kamu pakai. Aura pembantu tetap kelihatan," ucap Mela.Lulu tampak bingung mendengar ucapan wanita itu. Hanya ada mereka bertiga di toilet. Kalau tidak berbicara dengan wanita berambut pendek di sebelahnya, berarti wanita itu sedang berbicara padanya."Pembantu yang ingin naik status dengan mendekati pria mapan," sahut Rasti, wanita berambut pendek.Lulu terdiam lantaran menyadari kalau mereka sedang berbicara dengannya. Ia memutar badannya untuk bertanya pada mereka. "Maaf, kalian berbicara dengan saya?"Mela mengulas senyum mencibir. Wanita itu melirik Lulu melalui cermin di depannya. "Nggak tuh. Kami sedang membicarakan perempuan nggak tahu diri yang menggoda anak majikan dan bersikap kurang ajar sam
Keesokan harinya, Jovan berencana mencari kesempatan untuk berbicara dengan Gilang.Kebetulan, siang ini mereka satu lift. Tampaknya Gilang juga baru selesai makan siang. “Selamat siang, Pak Gilang,” sapa Jovan. “Siang,” sahut Gilang bernada datar.“Para karyawan sedari kemarin membicarakan Anda,” tutur Jovan memulai, “apa Pak Gilang sudah dengar?”Dengan nada dingin Gilang menjawab, “Saya sudah dengar dan saya tidak ingin peduli.”Jovan menelan saliva. Nada dingin Gilang membuatnya menggigil. Seorang tangan kanan saja memiliki aura yang membuatnya ciut, bagaimana jika yang dia ajak berbicara santai itu adalah GM?Tidak. Tidak. Jovan mungkin tidak akan berani membicarakan urusan pribadi Daril.“Ah, begitu ya. Gadis yang dibicarakan dengan Pak Gilang kebetulan adalah orang yang saya kenal. Jadi, saya sedikit penasaran. Bagaimana Anda mengenal Lulu?”Gilang sekilas melirik Jovan yang berdiri di sebelahnya. “Waktu itu saya hampir menabraknya. Karena merasa bersalah, jadi saya antar dia
‘Sangat dekat sampai aku bisa merasakan napasnya.’ Lulu membatin.Begitu pria itu menjauh, Lulu menghirup oksigen dalam-dalam. Barusan ia menahan napas saking gugupnya.Apakah wajar bila jantungnya berdebar kencang?Padahal belum lama ia dikhianati oleh kekasihnya.Lulu tak ingin memikirkan momen tadi. Ia segera mengambil bahan masakan dan mulai memasak. Setiap kali ia melirik kulkas, muncul sebuah khayalan di mana Daril mengungkungnya dengan kedua tangan. Lalu pria itu berbisik di wajah Lulu.Lulu merasakan wajahnya mendadak panas. Rona merah muncul di kedua pipinya. Ia menggeleng kuat-kuat.‘Apa yang aku pikirkan! Ini salah! Sangat salah!’🍀Di kamarnya, Daril memegang segelas minuman. Postur tubuhnya yang tinggi dan ramping sedang menghadap jendela yang sengaja ia buka. Tatapannya jauh ke depan sana. Ia menggoyangkan gelas di tangannya dengan lembut. Sementara pikirannya kembali pada saat ia di taman.Sebelumnya ia mana pernah memedulikan urusan orang lain. Bahkan, urusan Gilang
Pria itu bersandar pada tembok bangunan, tak jauh dari area toilet. Bibirnya yang tipis menyunggingkan seringai. Daril mendengar semua pembicaraan ketiga orang itu. Entah kenapa dia merasa bangga dengan setiap kata yang diucapkan Lulu.Meskipun ada satu kalimat yang mengganggunya. Gadis itu terlalu berani, pikirnya.Daril awalnya mencari Lulu karena gadis itu terlalu lama pergi ke toilet. Sementara Kaivan sengaja pulang lebih dulu membawa Catty dan Lion.Jovan mengejar Lulu yang sudah melangkah. Mencekal tangan Lulu, hingga gadis itu mengernyit kesakitan.“Apalagi yang mau kamu bicarakan, Jovan?” Nada Lulu terdengar marah.“Apa benar kamu meminta uang pembelian rumah dari Mamaku?” Jovan menancapkan tatapan tajam pada Lulu. Di belakangnya, Aini tersentak mendengar pertanyaan Jovan. Wanita itu merasa, Jovan masih merahasiakan sesuatu darinya.“Kenapa? Papaku yang melunasi rumah kalian. Jadi nggak salah kalau aku minta uang itu. Lagipula Tante Felia terlalu ngotot meminta aku mengembali
Kening Jovan mengernyit kala netranya tak sengaja melihat Lulu. Jovan segera turun dari mobilnya dan melangkah mengejar Lulu.“Van, kamu mau ke mana?”Jovan mengabaikan pertanyaan Aini. Wanita itu berjalan cepat untuk mengejar Jovan dengan perasaan kesal.Sepulang kerja, mereka sepakat untuk pergi ke taman untuk bersantai. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.“Van! Kamu nggak dengar aku manggil kamu?” teriak Aini.Jovan menghentikan langkahnya begitu mendengar teriakan Aini. Dia berbalik untuk melihat wajah kesal kekasihnya itu.“Kamu mau ke mana?” tanya Aini sekali lagi seraya menyilangkan tangannya di depan dada.“Tadi aku melihat Lulu,” jawab Jovan.Kening Aini seketika berkerut. “Lulu di sini? Kamu yakin yang kamu lihat itu Lulu?”Jovan menjawab dengan suara pasti, “Aku yakin. Aku mau bicara sama dia.”Aini lekas mencengkram lengan Jovan, kala lelaki itu bersiap untuk mencari Lulu. Tatapan Jovan jatuh pada wajah cantik Aini yang tengah cemberut. Tatapan dan ekspresinya pun mele
Lulu dan Kaivan membawa Catty serta Lion ke taman yang ada sebuah sungai. Belakangan ini Kaivan menyukai fotografi. Dia meminta Lulu untuk menjadi modelnya. Lulu sempat menolak dengan berbagai alasan, tapi akhirnya tak bisa menentang keinginan Kaivan. Sapuan riasan tipis di wajah Lulu tampak segar. Ia terlihat bak remaja yang masih bersekolah. Rambutnya diikat dengan model kuncir kuda, menyisakan layer tipis menjuntai sampai ke dagunya.“Kakak kelihatan cantik banget. Sekarang pangku Catty sambil elus dia,” kata Kaivan. “Jangan lupa senyum, Kak.”“Oke. Masih lama nggak?”“Baru juga mulai.”‘Apanya yang baru mulai?’ gerutu Lulu dalam hati.Bocah itu sibuk memotret dan mengarahkan Lulu untuk berpose. Demi menjaga suasana hati Kaivan, Lulu hanya menurut.‘Tahu begini aku minta gaji dua kali lipat. Bukan cuma jadi asisten rumah, tapi juga jadi nanny.’Ia menggerutu lagi dalam benaknya.‘Semoga dia nggak asal-asalan mengambil gambarku. Aku kan nggak fotogenik.’Lulu meringis. Membayangkan
Wajah Lulu tampak muram. Ia masih belum bisa menghubungi orang tuanya. Bahkan, chat yang ia kirim pun belum mereka baca. ‘Mereka bikin aku khawatir aja.’Dia duduk sendirian di sofa. Sesekali Lulu mendongak ke lantai atas. Suara Kaivan yang bersemangat bermain game dengan Daril, terdengar jelas.Kemudian ia bangkit dan mengetik pesan dikirim pada orang tuanya.Tak lama kemudian, sinar di mata Lulu kembali melihat pesan tersebut sudah dibaca oleh ibunya.Ia menunggu ibunya yang masih mengetik pesan.‘Sayang, Mama dan Papa sangat sibuk di sini. Jangan khawatirkan kami kalau kami nggak bisa dihubungi.’‘Mama berdoa kamu baik-baik saja di sana. Kami akan segera menjemput kamu.’‘Maafkan Mama dan Papa yang belum bisa menjaga kamu.’Tanpa sadar cairan hangat luruh ke pipi Lulu. Ia kembali duduk di sofa dan melanjutkan membaca pesan ibunya setelah mengusap matanya yang berkabut.‘Hari-hari kamu pasti berat karena harus bekerja di rumah orang lain. Jangan sering-sering keluar rumah, apalagi
Lulu mendongak, mata jernihnya menatap pria tinggi di depannya. Wajah tampan Daril terpahat di kedua bola matanya. Aroma parfum yang tiba-tiba familier menguarkan kesegaran di udara.“Saya sedang mencoba menghubungi orang tua saya, Pak Bos,” jawab Lulu sambil menurunkan wajahnya.“Oh.”Daril tak beranjak dari tempatnya berdiri. Begitupun dengan Lulu yang masih berdiri di depan pintu.“Bisa minggir?” tanya Daril. “Saya mau melihat kucing saya,” lanjutnya.Karena panik Lulu jadi bingung harus minggir ke kanan atau ke kiri. Kemudian ia melangkah ke kanan. “Silakan, Pak Bos. Saya baru saja memberikan mereka makan.”“Hm.”Daril mendorong pintu. Kedua kucing itu langsung menghampirinya. Mereka terlihat begitu manja saat Daril mengelus punggung mereka.“Catty, Lion,” ucap Daril bernada lembut, memanggil kedua nama kucing itu.Kadang-kadang Daril acuh tak acuh. Kadang juga sedikit perhatian. Lulu mengamati interaksi Daril dengan kedua kucingnya. Sikapnya menjadi hangat dan lembut.Daril menu
Semua orang yang berada dalam toko, memutar pandangan ke arah Felia dan Lulu. Felia tak segan mengatakan Lulu seorang pencuri, sehingga orang-orang mulai berbisik membicarakan Lulu.“Aku pencuri? Tante ingat dengan betul kalau Jovan ngasih aku kalung itu di hari ulang tahun aku,” balas Lulu membela diri.Ia tahu Felia sengaja menuduh untuk menghancurkan nama baik Lulu. Lulu hanya ingin Felia kelabakan, tapi tak menyangka akan bertemu Felia secepat ini dan membuat dirinya kena tuduhan.“Kalian sudah putus! Jadi kembalikan kalung itu. Kamu nggak berhak untuk menyimpannya. Itu namanya mencuri!”Lulu tertawa pahit. Ternyata sebuah kalung bisa menyebabkan Felia sampai murka di depan banyak orang. Pandangan orang-orang pun berubah. Dari yang tadinya mencemooh Lulu kini berbalik mencebik Felia. “Nyonya, sebaiknya Anda menyelesaikan masalah ini di rumah. Anda mengganggu pelanggan lainnya,” kata staf perempuan itu. Sebagai seorang perempuan ia merasa iba pada Lulu.Felia mendelik ke arah pere