Wisnu masih bungkam, sementara Rosa terus menuntut agar suaminya itu mau berkata jujur. Wisnu menghembuskan napasnya, apa mungkin sekarang saatnya ia berkata jujur, tetapi ia takut jika Rosa akan marah padanya. "Ros." Wisnu meraih tangan istrinya uty, tetapi dengan kasar Rosa menepisnya."Jawab dulu pertanyaanku," ujar Rosa dengan tatapan mata yang tajam. Wisnu menghela napas. "Apa kamu akan percaya dan tidak akan marah dengan penjelasanku.""Lebih baik jujur, walaupun itu menyakitkan," sahut Rosa. "Baik, jika itu pilihan kamu. Aku akan mengatakan semuanya." Wisnu tidak ada pilihan lain lagi, selain berkata jujur. "Kami memang pernah menjalin hubungan yang cukup lama, dan Rafa adalah ... kami tidak sengaja melakukannya. Dan aku berniat untuk bertanggung jawab menikahinya, tapi Vina pergi entah ke mana. Dan setelah aku menikah dengan kamu, dia baru datang, itu sebabnya aku sempat syok saat melihatnya." Wisnu menghembuskan napasnya. "Untuk struk itu, memang aku yang memberikan uang
"Rosa kamu kenapa? Rosa bangun." Ratna menepuk-nepuk pipi menantunya itu. Seketika Rosa membuka mata dengan napas yang memburu."Rosa kamu baik-baik saja kan?" tanya Ratna dengan raut wajah khawatir. "Iya, Ma. Aku nggak apa-apa kok, cuma mimpi buruk aja," jawab Rosa. "Ya Allah ternyata aku hanya bermimpi, tapi kenapa seperti nyata," batin Rosa. "Makanya, ini tuh masih siang udah tidur," celetuknya. Seketika Rosa hanya diam. "Mama udah lama di sini?" tanya Rosa. "Lumayan, udah habis satu cangkir teh, eh kamu tidur nggak bangun-bangun," jawab Ratna. Yang seolah-olah tengah menyindirnya. "Maaf, Ma. Oya tumben, Mama ke sini ada apa." Rosa kembali bertanya. "Mama mau minta uang untuk beli perhiasan, temen-temen, mama pada mau beli perhiasan. Masa mama diem aja, malu dong sama mereka," jawab Ratna. Seketika Rosa menghela napas. "Perhiasan, Mama kan udah banyak, lagi pula untuk apa beli perhiasan .... ""Kamu tuh ya, bilang aja nggak mau ngasih. Tahu begini mending tadi mama langsung
"Hey, apa yang kalian lakukan di sini, kalau mau berbuat mesum jangan di sini," ujar seorang satpam yang mendobrak pintu toilet tersebut. "Enggak, Pak. Dia yang berusaha untuk .... ""Dia yang memaksaku, Pak. Aku sudah bilang untuk tidak melakukannya di sini, tapi dia terus memaksa." Wisnu memotong ucapan Astri. Ucapan dustanya itu, membuat Astri emosi. "Fitnah, kamu jangan sembarangan ngomong ya. Aku bukan perempuan murahan, aku masih punya harga diri," ujar Astri yang sudah tersulut emosi. "Sudah, sudah, sekarang kalian ikut saya." Pak satpam membawa Wisnu serta Astri menuju sebuah ruangan. Mereka akan dimintai keterangan oleh pemilik restoran tersebut. "Demi Allah, Pak. Dia yang mau berbuat kurang ajar terhadap saya." Astri terus membela diri. "Bohong, Pak. Saya tidak akan melakukan hal itu, tapi dia yang terus memaksa." Wisnu terus menyudutkan Astri. "Astaghfirullah, kenapa mas Wisnu jadi seperti ini," batin Astri. Selang beberapa menit Steven datang, Astri yang melihatnya
Satu jam kemudian, polisi sudah datang, serta wartawan berdatangan. Steven yang mendengar hal itu, langsung meluncur ke kantor Astri, begitu juga dengan Ferdy. Sementara itu jenazah Wisnu sudah dibawa ke rumah sakit, setelah kejadian itu, dengan terpaksa kantor ditutup untuk sementara waktu. "Sudah, Sayang. Ini bukan salah kamu kok." Steven terus menenangkan istrinya yang masih menangis."Aku takut, Mas." Astri semakin terisak, sementara Steven terus berusaha untuk menenangkan hati serta pikiran sang istri. "Dasar pembunuh." Ratna berlari menghampiri Astri dan hendak menamparnya. Dengan sigap Steven mencekal pergelangan tangan Ratna. "Tolong anda jaga sikap, semua ini terjadi atas kesalahan putra anda sendiri," ujar Steven. "Saya tidak percaya, wanita ini penyebabnya." Ratna menunjuk ke arah Astri, sorot matanya penuh dengan amarah. "Silahkan anda lihat rekaman CCTV yang ada di ruangan istri saya. Setelah itu anda baru tahu siapa yang salah," jelasnya. Seketika Ratna diam, tetapi
Astri berteriak begitu kencang membuat Steven yang berada di kamar mandi panik. Ia keluar dan melihat jika istrinya tengah berteriak dengan mata yang masih terpejam. Dengan rasa panik Steven naik ke atas ranjang dan mencoba membangunkan sang istri. Steven menepuk pelan pipi Astri, bahkan digoncangkan tubuh istrinya agar cepat bangun.Seketika Astri terbangun dan terduduk dengan napas yang memburu. Seketika ia menghambur ke pelukan suaminya dengan tangis yang pecah. Steven membalas pelukan istrinya dengan erat, ia merasa jika Astri dalam ketakutan, entah apa yang terjadi. Steven semakin mempererat pelukannya, ia terus berusaha memberi ketenangan pada sang istri.Setelah cukup lama, Steven melepas pelukannya dan menangkup wajah sang istri. "Ada apa, hem? Apa kamu mimpi buruk.""Bayi aku." Astri memegangi perutnya, dengan air mata yang terus mengalir. "Ada apa?" tanya Steven dengan raut wajah khawatir.Astri kembali menghambur ke pelukan suaminya. "Aku mimpi kalau ... aku takut, Mas. Ak
Pria itu tersenyum lalu melenggang masuk ke dalam, sementara itu. Astri masih diam mematung, rasanya ia tidak percaya dengan yang baru saja dilihatnya. Menyadari akan pria itu, mata Astri berkeliaran mencarinya. Namun sosok pria yang ia temui sudah pergi. "Ya Allah, ini tidak mungkin. Pasti aku hanya salah lihat. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal terus hidup lagi. Enggak mungkin, dia pasti hanya mirip saha." Astri terus beristighfar, ia berusaha untuk berpikir positif. "Tapi wajah dan senyumnya sangat mirip dengan, Mas Wisnu. Tapi ini tidak mungkin, aku hanya salah lihat." Astri melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut, rasanya ia ingin segera sampai ke rumah. "Jalan, Pak. Langsung pulang saja," titah Astri pada supir pribadinya. "Baik, Nyonya." Mang Ujang mengangguk. Setelahnya mobil melaju meninggalkan pelataran rumah sakit. Dalam perjalanan pulang, Astri tidak henti-hentinya memikirkan kejadian tadi saat di rumah sakit. Sangat sulit untuk dimengerti, dan rasanya tid
Astri memundurkan langkahnya saat pria itu bangkit, rasa takut serta khawatir berubah menjadi satu. Pria itu yang tak lain adalah Irvan, kini berjalan semakin mendekat. "Si-siapa kamu." Ucapan Astri terbata-bata. "Kamu pasti sudah tahu siapa aku bukan." Irvan menatap mata indah Astri. Astri menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin, tidak mungkin orang yang sudah meninggal terus hidup lagi. Kamu pasti hanya orang iseng iya kan.""Hahaha, apa aku terlihat seperti orang iseng? Lihat wajahku baik-baik," ujar Irvan. Mata hitamnya terus menatap wajah wanita yang ada di hadapannya itu. "Astri sangat cantik, pantas saja Wisnu sangat mencintainya," batin Irvan, jujur ia terpesona oleh kecantikan Astri. "Ya Allah, tolong selamatkan aku dari orang yang berniat jahat padaku," batin Astri. "Rasanya aku tidak tega kalau harus melukainya," batin Irvan. "Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan melukaimu, aku juga tidak akan menyakiti kamu. Justru aku akan melindungimu," ungkap Irvan. Detik it
Astri mengerjapkan matanya, perlahan ia membuka matanya, setelah kelopak matanya terbuka sempurna. Astri terkejut saat melihat ke sekelilingnya yang terlihat menyeramkan. "Ya Allah aku ada di mana," gumamnya. Mata Astri terus menyapu setiap sudut ruangan tersebut. Gelap dan juga pengap. "Mas tolong aku," batin Astri. Berharap semoga ada yang segera menolongnya. Tiba-tiba saja pintu terbuka, seorang wanita berjalan masuk ke dalam. Wanita itu tersenyum, lalu berjalan mendekat. "Siapa kamu, tolong lepaskan aku," ujar Astri yang memohon agar wanita itu mau melepaskan dirinya. Wanita itu menyunggingkan senyumnya. "Jangan harap, sebelum kamu mendapatkan balasan yang setimpal dariku. Gara-gara kamu ayah dari anakku tiada."Astri diam mendengar hal itu. "Maksud kamu apa, aku tidak mengerti.""Apa kamu lupa dengan mantan suamimu yang tiada karena ulahmu itu," ujar wanita tersebut. Detik itu juga Astri diam. Mantan suami itu artinya mas Wisnu. "Maksud kamu, Mas Wisnu," sahut Astri."Dia a