Di kamar yang terpisah dari rumah utama, Adrian duduk termenung di pinggir ranjangnya, ruangannya dipenuhi keheningan. Jemarinya tak henti-hentinya memainkan cincin kecil yang ia ambil dari meja samping tempat tidur—tanda gelisah yang kerap muncul saat pikirannya kalut.
Langit sore yang mendung memayungi kamarnya, menambah kesuraman suasana dengan bayangan-bayangan yang semakin pekat di dinding.
Ketukan lembut di pintu menghentikan roda pikirannya yang menerawang. "Adrian?" suara itu halus, namun cukup untuk membuatnya tersadar. Itu suara Ayla.
Adrian bergegas membuka pintu, hatinya berdebar saat mendapati Ayla berdiri di ambang pintu dengan mantel tipis yang mulai basah kuyup oleh gerimis. "Ayla? Kamu tidak seharusnya ada di sini," kata Adrian, matanya segera menyisir koridor, pastikan tidak ada yang melihat.
"Aku tahu," jawab Ayla cepat, suaranya serak oleh kekhawatiran. "Tapi Ibu Bram—dia mulai curiga. Aku bingung harus bagaimana."
D
Di kediaman utama, Ibu Bram tengah bersemayam di sudut ruang tamu, berdampingan dengan segelas anggur merah yang mewarnai jemarinya. Matanya tidak lepas dari pintu yang sebentar lagi akan membawa kembali anak lelakinya ke pelukannya.Detak jam dinding berpadu dengan ketenangan yang mengitari ruangan, menciptakan simfoni hening yang semakin pekat.Saat pintu depan itu akhirnya terbuka, Ibu Bram perlahan menaruh gelas anggurnya di atas meja kaca, menatap Bram yang langkahnya berat, memasuki rumah. Jas yang sudah tak lagi teratur menandai hari yang panjang telah ia jalani. "Ibu," sapa Bram dengan nada lelah, melepas dasi yang segera ia lempar ke atas sofa.Kita perlu bicara," ucap Ibu Bram, langsung ke pokok pembicaraan. Suaranya tenang, tetapi matanya tidak menyembunyikan urgensi. Bram menghela napas, matanya sejenak bertemu dengan tatapan ibunya, "Ada apa lagi kali ini, Bu? Tubuhku lelah.""Ini tentang Ayla dan Adrian." Kata-kata itu cukup untuk membuat Br
Dengan getaran emosional yang jelas dalam suaranya, Bram memulai percakapan yang penuh ketegangan itu. "Aku menunggu, Adrian," ucapnya, suara bergetar tidak hanya karena marah tetapi juga karena kekecewaan yang mendalam.Adrian menghela napas berat, mencoba meredam api amarah yang mulai berkobar di dalam dada. Ia berusaha keras untuk menjernihkan pikiran sebelum menjawab dengan nada yang berusaha mengusahakan kedamaian."Bram, ini tidak seperti yang kau pikir. Ada lebih banyak yang terjadi di balik semua ini."Tawa yang penuh sindiran terlontar dari Bram, menambah ketegangan yang sudah terasa menyengat. "Oh, tidak seperti yang kupikir? Kau kira aku tidak tahu? Kau kira aku buta terhadap permainanmu, Adrian?" ketusnya, suaranya penuh tuduhan.Adrian, menatap Bram dengan pandangan yang tetap dan teguh, jawabannya tegas namun diucapkan dengan kelembutan. "Jika ada yang harus kau salahkan atau marahi, biarlah itu aku. Jangan tarik Ayla ke dalam ini. Dia tidak
Keesokan harinya, suasana hati Adrian terasa seperti mendung yang menggelayut di langit, saat ia mengantar Ayla kembali ke pelukan rumahnya yang sunyi.Mobilnya berhenti lembut, beberapa langkah dari gerbang utama—tempat yang biasanya Ayla lalui tanpa sorot mata yang mempertanyakan. Namun pagi itu, ragu menyelimuti langkahnya."Kamu yakin kamu siap menghadapi ini sendiri?" tanya Adrian, tangannya masih berteman dengan setir, matanya tak lepas dari wajah Ayla yang termenung.Ayla mengangguk pelan, suaranya bergetar tipis, "Aku harus. Kalau tidak, mereka akan mulai bertanya-tanya."Dengan tatapan yang berat, Adrian meraih tangan Ayla, menyentuhnya lembut, "Jika ada apa-apa, langsung hubungi aku. Apa pun masalahnya, aku akan datang membantumu."Senyum kecil mengambang di bibir Ayla, senyum yang tercampur dengan kekhawatiran, "Terima kasih, Adrian. Atas segalanya."Dengan hati yang berat, ia akhirnya melangkah turun, menghampiri gerbang ya
Tapi di balik hangatnya hari itu, ada rasa gelisah yang tak kunjung pergi. Setiap tawa dan senyum yang terbagi, seolah adalah perjuangan melawan gelombang besar yang tak pernah surut.Ayla sering terbangun tengah malam, pikirannya kalut mempertanyakan nasib yang mungkin menimpa mereka jika Bram memutuskan untuk bertindak.Sementara Adrian, walau terlihat tenang, sesungguhnya ia berada dalam belenggu pikiran sendiri, mengatur strategi demi melindungi Ayla dari segala ancaman yang mungkin menghadang.Suatu pagi, dengan tekad yang membara, Ayla mengunjungi Rita. Dia merasa perlu bertukar pikiran dengan seseorang yang bisa memberikan pandangan yang lebih jernih.Ketika tiba di kafe favorit mereka, Rita telah menunggu di sudut ruangan, wajahnya berseri-seri seperti mentari pagi. Namun, ketika Ayla duduk, senyuman Rita perlahan memudar, digantikan oleh raut khawatir.“Kau terlihat lelah sekali. Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Rita deng
Ayla membuka pintu rumah dengan hati yang berat. Langkah kakinya terasa lamban, seolah seluruh beban hari itu masih mengikutinya. Percakapan terakhir dengan Adrian terus terngiang di telinganya, seperti gema yang tak kunjung hilang.Saat ia melangkah masuk, ada sesuatu yang langsung terasa ganjil—udara di rumah itu seperti berbeda, tidak seperti biasanya. Lampu ruang tamu menyala terang, menciptakan kontras dengan suasana yang selalu sepi setiap ia pulang. Lebih aneh lagi, suara tawa lembut terdengar dari arah dalam.Ayla berhenti di ambang pintu, mengerutkan kening. Siapa yang tertawa? Ia melangkah pelan, berhati-hati seolah mendekati sesuatu yang asing. Ketika tiba di ruang tamu, pandangannya langsung tertuju pada sosok Bram yang duduk di sofa.Namun, ia tidak sendirian. Di sebelahnya, seorang wanita dengan rambut panjang yang tergerai rapi duduk, mengenakan gaun merah yang terlalu mencolok untuk disebut kebetulan.Tawa wanita itu terdengar lagi,
Pagi itu, Ayla duduk di tepi ranjang penginapan, memandangi tirai yang setengah terbuka. Sinar matahari mengintip malu-malu di sela-sela lipatan kain, seolah-olah terlalu ragu untuk benar-benar menembus ruang itu.Namun, kehangatannya tidak cukup untuk mengusir dingin yang mengendap di dalam hatinya. Napas Ayla terdengar pendek-pendek, pikirannya terus berputar pada satu hal yang sama: pertemuan dengan keluarga Bram.Di sudut ruangan, Adrian duduk di kursi dekat meja kecil, wajahnya dipenuhi guratan khawatir. Setelah beberapa saat keheningan yang terasa begitu panjang, ia akhirnya angkat bicara, suaranya rendah tapi tegas.“Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian,” katanya, menatap Ayla dengan mata yang sarat tekad. “Aku akan ada di sisimu.”Ayla menoleh, menatapnya dengan mata yang sembab namun menyimpan kilatan rasa syukur. “Adrian,” katanya lirih, suaranya hampir pecah. “Ini bukan hanya tentang aku. Keluargamu
Setelah perdebatan panjang yang penuh emosi, Ayla dan Adrian meninggalkan rumah itu. Langkah mereka perlahan, seperti menanggung beban yang baru saja mereka lepaskan. Mereka berjalan menuju mobil dalam diam, tapi bukan diam yang canggung—melainkan diam yang sarat makna.Tanpa perlu kata-kata, mereka memahami satu hal: keputusan yang baru saja diambil adalah sesuatu yang tak bisa ditarik kembali.Di dalam mobil, Adrian memecah keheningan. “Kau luar biasa tadi,” katanya dengan nada lembut. Ia menatap Ayla, matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Ayla tersenyum kecil, meskipun matanya berkaca-kaca. “Aku tidak tahu dari mana keberanian itu datang. Tapi yang jelas, aku tahu aku tidak bisa kembali ke hidup yang dulu.”Adrian mengangguk pelan, lalu meraih tangan Ayla yang tergeletak di atas pangkuannya. “Kita akan melewati ini bersama. Apa pun yang terjadi.”Saat mobil mulai melaju meninggalkan rumah itu, Ayla m
Malam itu di apartemen Adrian, Ayla duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel yang terus bergetar. Pesan-pesan berdatangan tanpa henti—beberapa dari teman lama, sebagian besar dari kerabat Bram. Semua mengandung kata-kata tajam, tuduhan, dan penghinaan yang membakar.“Kenapa kau tidak memblokir saja mereka?” tanya Adrian. Ia duduk di lantai dekat meja kecil, sibuk memperbaiki sesuatu, tapi jelas perhatiannya tidak teralihkan dari Ayla.Ayla menggeleng pelan, pandangannya tetap tertuju pada layar. “Aku tidak tahu. Mungkin aku berharap ada seseorang yang akhirnya mau mengerti. Tapi... sepertinya itu hanya angan-angan.”Adrian meletakkan alat di tangannya, menatap Ayla dengan serius. Ia bangkit, lalu duduk di sampingnya. “Ayla, kau tidak perlu pembuktian dari mereka. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Kau sudah cukup kuat untuk melewati semua ini.”Ayla menoleh, menatap mata Adrian yang penuh ketulus
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s
Adrian terdiam. Tatapannya mengabur, diselimuti emosi yang terus ia tahan agar tak tumpah. "Ay, aku nggak mau membicarakan itu sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik."Tapi aku perlu kamu dengar, Din," balas Ayla, suaranya tegas namun tetap lembut, seperti angin sore yang menyentuh kulit tanpa melukai. "Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu kamu rela melakukan apa saja untukku. Tapi, Din, aku juga ingin kamu tahu… kebahagiaanmu penting buatku. Sama pentingnya."Adrian menatap Ayla lama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam matanya—sebuah harapan, mungkin. Matanya, yang biasa penuh dengan ketenangan, kini berkilat, dihiasi air mata yang menunggu untuk jatuh."Aku nggak bisa bayangkan hidup tanpa kamu, Ay," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris pecah.Ayla tersenyum, walaupun air mata mulai menitik di pipinya. "Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, Din. Aku akan selalu ada di sini." Jemarinya perlahan menyent
Sesampainya di rumah, Adrian langsung mengantar Ayla ke kamar. Dengan penuh perhatian, ia merapikan bantal dan menyelimuti tubuh istrinya yang tampak kelelahan. Ayla hanya bisa tertawa kecil, senyumnya menghangatkan suasana."Din, aku bukan anak kecil," ucap Ayla lembut, tangannya menyentuh pipi Adrian dengan kehangatan yang membuatnya sejenak terhenti.Adrian mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya penuh kasih. "Aku tahu kamu bukan anak kecil. Tapi kamu istriku, Ay, dan aku akan selalu memastikan kamu baik-baik saja."Nada suaranya—tenang namun tegas—membuat Ayla terdiam. Ia meraih tangan Adrian, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, Din? Aku nggak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Terima kasih karena selalu ada untukku."Adrian tersenyum lembut. Ia membawa tangan Ayla ke bibirnya, mengecupnya dengan perlahan. "Aku nggak akan pernah pergi, Ay. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Nggak ada yang bisa mem
Hari itu berlalu dalam kehangatan yang sederhana, namun begitu membekas di hati. Setelah sarapan bersama—ritual pagi yang selalu mereka nikmati dengan tawa kecil dan obrolan ringan—Ayla mengusulkan ide untuk mencoba resep baru yang ia temukan di buku masak lamanya.Adrian, yang awalnya ragu, akhirnya setuju untuk ikut terjun ke dapur.“Duh, ini kayaknya kebanyakan gula, deh,” keluh Adrian sambil mengaduk adonan kue dengan raut penuh keraguan.Ayla tertawa kecil, melirik suaminya dengan tatapan geli sembari tangannya cekatan memotong cokelat hitam. “Nggak apa-apa, kalau terlalu manis, kita kasih aja ke anak-anak tetangga. Mereka pasti suka.”Adrian mengangguk pelan, meski garis ragu di keningnya belum juga sirna. Ia mencuri pandang ke arah Ayla, yang tengah sibuk bekerja dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu nggak, Ay? Ada satu hal lagi yang bikin aku bangga selain Aruna."Ayla berhenti sejenak, alisn