Malam semakin larut dan sunyi, namun rasa kantuk tak kunjung menghampiri Adrian. Ia terduduk lelah di kursi yang berada tepat di samping tempat tidur, matanya tak pernah lepas dari sosok Ayla yang terbaring lemah.
Sesekali, Ayla terlelap sebentar, hanya untuk terbangun lagi dengan ekspresi yang tegang ketika gelombang rasa sakit menyapanya.
Adrian segera beranjak, mengambil sebuah kompres hangat dari kamar mandi dan bergegas kembali ke sisi Ayla. Dengan penuh kelembutan, ia menempatkan kompres tersebut di punggung Ayla, berharap dapat sedikit mengurangi ketidaknyamanan yang ia rasakan.
“Terima kasih,” bisik Ayla dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Jangan berterima kasih, Ay. Kamu adalah segalanya bagi aku. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan,” jawab Adrian sambil tersenyum pahit.
Di balik ketenangan wajahnya, hatinya bergetar hebat, merasa seolah-olah apa yang telah dilakukannya masih jauh dari cukup unt
Malam itu, hujan turun dengan lembut, seolah-olah langit juga ingin turut merayakan momen penting ini. Tetesan air di jendela rumah sakit menciptakan melodi yang tenang, mengiringi detik-detik yang menegangkan di ruang persalinan.Ayla terbaring lemah di ranjang, kulitnya memucat namun sorot matanya menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan. Di sampingnya, Adrian duduk setia, menggenggam tangan Ayla dengan penuh kasih, berusaha meneruskan kekuatan melalui sentuhan hangatnya."Kamu sungguh kuat, Ay," bisik Adrian dengan suara yang bergetar lembut. Meskipun ia mencoba untuk terdengar tenang, rasa khawatirnya tak bisa ia sembunyikan. "Aku di sini bersamamu. Kita akan melewati semua ini bersama."Ayla mengambil napas dalam, berusaha keras mengatasi rasa sakit yang menghantamnya tanpa henti. Pandangannya bertemu dengan mata Adrian yang penuh kehangatan dan dukungan, memberikannya kekuatan."Aku tahu. Selama kamu di sampingku, aku yakin aku bisa," jawabnya de
Malam itu, setelah gelak tawa tamu telah surut dan kedamaian kembali merajai, Adrian menemukan ketenangan di atas kursi, menggendong Aruna yang terhanyut dalam mimpi. Dari sudut ranjang, Ayla mengamatinya, senyum hangat menghiasi wajahnya yang damai.“Tahukah kamu, Ay,” bisik Adrian lembut sambil membelai pipi mungil Aruna, “rasanya aku baru benar-benar mengenal makna hidup sekarang. Keberadaan kalian berdua... kalian adalah nafas dan langkahku di dunia ini.”Ayla merentangkan tangan, sementara Adrian menyambutnya dengan genggaman yang penuh kekuatan dan kelembutan. “Sekarang kita memiliki segalanya, Adrian,” ujarnya dengan suara yang bergetar lembut. “Cinta yang telah membawa kita sejauh ini, dan sekarang hadir pula sinar baru yang menyempurnakan hari-hari kita.”Adrian menatap dalam ke arah Ayla, matanya berkilauan. “Aku berjanji, Ay. Akan ku lindungi kalian selalu. Kamu dan Aruna adalah segalaku.”
Kehadiran Aruna telah membawa kisah Ayla dan Adrian ke sebuah lorong cinta yang lebih dalam dan hangat. Mereka berdua belajar menganyam kebersamaan, bertukar dukungan dalam setiap hela napas kehidupan mereka.Pada suatu pagi yang cerah, setelah malam yang penuh percakapan dan tawa, Adrian terlihat sibuk di dapur. Dengan gerak yang ringan, ia menata sarapan yang sederhana: dua piring berisi roti panggang hangat dan telur ceplok yang kuningnya masih meleleh, di atas meja makan.Lalu, dengan sebuah senyum yang menenangkan, ia duduk di hadapan Ayla yang sedang menggendong Aruna dalam pelukannya."Memang bukan sarapan mewah, tapi semoga bisa memberi kita energi sampai tiba waktu makan siang nanti," canda Adrian dengan tawa renyah yang menular.Ayla menatap piring di depannya, matanya berbinar karena rasa syukur. "Ini sudah lebih dari cukup, Adrian. Kamu memang selalu tahu bagaimana cara menjaga kami dengan baik."Sambil meraih tangan Ayla yang lem
Adrian semakin terbenam dalam kerja kerasnya sehari-hari. Kebutuhan keluarga kecilnya yang terus berkembang mendorongnya untuk mengambil proyek tambahan di kantor. Ia sering pulang larut malam, dan tak jarang, tugas-tugas kantor terpaksa ia bawa pulang ke rumah.Pada suatu malam yang lembut, saat Adrian melangkah masuk ke rumah, ia mendapati Ayla sudah terlelap di sofa, dengan Aruna yang masih bayi terbungkus hangat dalam pelukannya. Di samping mereka, terdapat tumpukan pakaian bayi yang telah terlipat dengan rapi atas meja kecil.Adrian menarik napas dalam, mencium lembut puncak kepala Ayla sebelum ia dengan hati-hati mengangkat Aruna untuk menidurkannya di boks bayinya. Kemudian, kembali ke sofa, ia menutupi Ayla dengan selimut tipis."Kamu juga terlalu memaksakan diri, Ay," bisik Adrian pelan, seolah-olah Ayla dapat mendengarnya dalam tidurnya.Namun, beban pekerjaan mulai meninggalkan bekasnya pada Adrian. Ia menjadi lebih tertutup, walaupun ia berusa
Hujan rintik-rintik turun lembut di luar jendela rumah kecil Ayla dan Adrian, menambah kedamaian yang menyelimuti suasana. Aruna, bocah kecil mereka, tengah terlelap di dalam boksnya, meninggalkan Ayla dan Adrian menikmati kehangatan secangkir teh di ruang tamu mereka.“Kamu perhatikan Aruna tadi?” ucap Ayla dengan senyum yang mengembang perlahan. “Dia mulai mencoba berguling sendiri, lho.”Adrian terkekeh, matanya bersinar menunjukkan rasa bangga yang tak tersembunyi. “Anak kita tumbuh begitu cepat ya. Kayaknya baru kemarin dia lahir.”Ayla mengangguk, pandangannya lembut tertuju ke arah boks bayi di sudut ruangan. “Setiap detik bersamanya itu berharga, Adrian. Aku bersyukur kita bisa menikmati momen-momen ini bersama-sama.”Adrian meraih tangan Ayla, menggenggamnya dengan erat. “Aku juga, Ay. Bersamamu dan Aruna, rasanya aku sudah memiliki segalanya.”Tiba-tiba, suara ketukan pintu memec
Malam itu, ketika Bram berpamitan untuk pulang, Ayla dan Adrian berdiri di ambang pintu, melepas kepergiannya dengan senyuman yang hangat."Terima kasih ya, sudah mampir," ucap Ayla dengan nada yang penuh ketulusan.Bram memandang mereka berdua, kemudian memberikan senyum kecil yang mengandung makna dalam. "Terima kasih kalian sudah memberiku kesempatan untuk datang. Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian berdua," katanya lembut.Setelah Bram melangkah menjauh, Adrian menutup pintu dan menghela napas dalam-dalam. Dia menoleh ke arah Ayla, yang masih menggendong Aruna dengan penuh kasih."Kamu baik-baik saja?" tanya Adrian, suaranya penuh kepedulian.Ayla mengangguk, lalu menatap Adrian dengan senyuman yang merekah manis. "Aku merasa lega sekarang. Rasanya seperti beban yang selama ini menekan kita, akhirnya terangkat," ungkapnya.Adrian mengangguk paham, lalu menggenggam tangan Ayla erat. "Aku juga merasakan hal yang sama, Ay. Mungkin in
Hari itu, dengan keputusan yang telah dipadu-padankan sejak semalam, mereka bertiga memilih untuk menyerahkan diri pada keindahan taman kota. Adrian, dengan gitarnya yang setia, memainkan beberapa melodi sederhana yang melengkapi tawa Aruna.Gadis kecil itu menari-nari, lincah dan riang, membuat Ayla sejenak melupakan segala kekhawatiran yang seringkali mengusik hatinya."Ah, inilah hidup yang selalu kubayangkan," gumam Ayla, hampir tidak terdengar, saat pemandangan itu memenuhi penglihatannya. Kata-kata yang meluncur begitu saja dari bibirnya itu ternyata cukup untuk membuat Adrian menghentikan petikan gitarnya.Ia menoleh, mata mereka bertemu, dan dengan penuh kelembutan ia berkata, "Dan aku akan berjuang, agar mimpi ini tidak pernah berakhir."Ayla hanya bisa terpaku, matanya berkaca-kaca, tanda pengertian dan juga rasa takut akan masa depan yang tidak mungkin lepas dari cobaan dan gangguan, khususnya yang mungkin datang dari Bram. Malam itu, setelah A
Hari demi hari mengalir dengan ritme yang serupa, diwarnai oleh pagi yang sibuk, siang yang dipenuhi dengan pekerjaan, dan malam yang selalu berakhir dengan kelelahan. Di antara keramaian itu, hubungan Ayla dan Adrian mulai terasa seperti sebuah mesin yang tak kenal lelah.Meskipun cinta masih bersemayam di antara mereka, rutinitas sehari-hari mulai memudarkan kilau kisah mereka.Suatu malam, setelah keheningan menyelimuti Aruna dalam tidurnya, Ayla menemukan dirinya tenggelam dalam kesunyian di atas sofa, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Di sudut lain ruangan, Adrian terpaku pada layar laptopnya, alisnya mengerut dalam tumpukan pekerjaan yang tak pernah berakhir.Ayla menatapnya sejenak, memperhatikan betapa lelahnya garis-garis di wajah Adrian."Sudah lama sekali kamu terlihat sangat sibuk," ujar Ayla dengan suara yang lebih halus dari biasanya, memecah keheningan yang telah lama terbentuk.Adrian menoleh, tersenyum pahit. "Iya, maaf ya. Ada b
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s
Adrian terdiam. Tatapannya mengabur, diselimuti emosi yang terus ia tahan agar tak tumpah. "Ay, aku nggak mau membicarakan itu sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik."Tapi aku perlu kamu dengar, Din," balas Ayla, suaranya tegas namun tetap lembut, seperti angin sore yang menyentuh kulit tanpa melukai. "Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu kamu rela melakukan apa saja untukku. Tapi, Din, aku juga ingin kamu tahu… kebahagiaanmu penting buatku. Sama pentingnya."Adrian menatap Ayla lama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam matanya—sebuah harapan, mungkin. Matanya, yang biasa penuh dengan ketenangan, kini berkilat, dihiasi air mata yang menunggu untuk jatuh."Aku nggak bisa bayangkan hidup tanpa kamu, Ay," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris pecah.Ayla tersenyum, walaupun air mata mulai menitik di pipinya. "Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, Din. Aku akan selalu ada di sini." Jemarinya perlahan menyent
Sesampainya di rumah, Adrian langsung mengantar Ayla ke kamar. Dengan penuh perhatian, ia merapikan bantal dan menyelimuti tubuh istrinya yang tampak kelelahan. Ayla hanya bisa tertawa kecil, senyumnya menghangatkan suasana."Din, aku bukan anak kecil," ucap Ayla lembut, tangannya menyentuh pipi Adrian dengan kehangatan yang membuatnya sejenak terhenti.Adrian mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya penuh kasih. "Aku tahu kamu bukan anak kecil. Tapi kamu istriku, Ay, dan aku akan selalu memastikan kamu baik-baik saja."Nada suaranya—tenang namun tegas—membuat Ayla terdiam. Ia meraih tangan Adrian, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, Din? Aku nggak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Terima kasih karena selalu ada untukku."Adrian tersenyum lembut. Ia membawa tangan Ayla ke bibirnya, mengecupnya dengan perlahan. "Aku nggak akan pernah pergi, Ay. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Nggak ada yang bisa mem
Hari itu berlalu dalam kehangatan yang sederhana, namun begitu membekas di hati. Setelah sarapan bersama—ritual pagi yang selalu mereka nikmati dengan tawa kecil dan obrolan ringan—Ayla mengusulkan ide untuk mencoba resep baru yang ia temukan di buku masak lamanya.Adrian, yang awalnya ragu, akhirnya setuju untuk ikut terjun ke dapur.“Duh, ini kayaknya kebanyakan gula, deh,” keluh Adrian sambil mengaduk adonan kue dengan raut penuh keraguan.Ayla tertawa kecil, melirik suaminya dengan tatapan geli sembari tangannya cekatan memotong cokelat hitam. “Nggak apa-apa, kalau terlalu manis, kita kasih aja ke anak-anak tetangga. Mereka pasti suka.”Adrian mengangguk pelan, meski garis ragu di keningnya belum juga sirna. Ia mencuri pandang ke arah Ayla, yang tengah sibuk bekerja dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu nggak, Ay? Ada satu hal lagi yang bikin aku bangga selain Aruna."Ayla berhenti sejenak, alisn