Tubuh Zafran menggigil hebat. Matanya masih terpejam ketika keringat dingin mengucur deras dari pelipis. Bibir bocah lima tahun itu memutih.
“Ibu,” rintihnya. “Aku mau pulang.”
Seorang wanita asisten rumah tangga yang bertugas menjaga Zafran di kamarnya, tergopoh mendekat. Ia panik. Berjalan ke sana kemari tanpa tahu apa yang harus dilakukan.
“Ibu.” Untuk kesekian kalinya rintihan lolos dari mulut Zafran kecil.
Rindu, benci dan amarah bercampur dalam dadanya yang berdebar kencang menunggu untuk segera diledakkan. Membuatnya terlihat sangat kesakitan.
Tiba-tiba saja, Zafran terbangun dari tidurnya. Tubuh kurus itu menegang sejenak lalu memuntahkan seluruh isi perutnya di sisi kanan ranjang.
“Den Zafran!” Si ART berteriak ketakutan melihat majikan kecilnya muntah tanpa henti. Terakhir, bukan makanan yang keluar, melainkan darah segar melalui mulut dan hidungnya.
Bukannya mengurusi Zafran, si Mbak ART malah berlari keluar kamar. “Tu—Tuan!” Panik wanita itu menuruni tangga seraya berteriak memanggil Sanjaya.
“Sialan!” Sanjaya menghentikan gerakan menampar pipi Mbak Puji yang sudah membiru dengan darah mengalir di sudut bibirnya yang pecah. Lelaki itu membiarkan tangan kanannya melayang di udara lalu mengepal geram. “Suara siapa itu?!”
Tiba-tiba saja wanita ART penjaga Zafran tergopoh masuk tanpa izin, mendekati Sanjaya. Ditundukkannya kepala karena sang nyali mendadak ciut melihat sepasang mata lelaki tua itu melotot seakan hendak keluar dari cangkangnya.
“Siapa kamu berani masuk ke sini tanpa ijin, hah?!” hardik Sanjaya telak. “Mengganggu saja!”
“M—maaf, Tu—Tuan. D—Den Zaf—ran, T—Tuan.”
“Kenapa sama anak itu?”
“D—Den Zafran ….”
“Ck! Jay! Lihat Zafran di kamarnya!” Gelegar perintah Sanjaya penuh amarah memaksa Jay setengah berlari menuju kamar si tuan muda.
Sanjaya meneguk segelas air putih hingga tandas untuk menetralkan debar jantungnya yang tidak beraturan karena amarah merasuki hati lelaki tua itu. Sementara Mbak Puji bisa bernapas sedikit lega karena tamparan yang diterimanya bertubi-tubi dari tangan kasar Sanjaya terhenti untuk sesaat.
Tidak lama, Jay tampak berlari ke arah taman belakang tempat Sanjaya menghukum Puji. “Bos, Den Zafran pingsan!”
“Pingsan?”
“Iya, Bos. Mukanya berlumur darah.”
“Puji!” panggilnya tanpa menoleh. “Ikut aku!”
Puji menggangguk lemah. Tangannya memperbaiki gelungan rambut yang berantakan lalu menyeka jejak darah di sudut bibir. Wanita itu tidak ingin si bocah kesayangan melihatnya dalam keadaan yang menyedihkan.
“Zafran!” murka Sanjaya ketika membuka pintu kamar Zafran dan mendapati cucunya bergelimang darah. Ada Gio di sisi ranjang yang hanya terdiam memperhatikan.
“Jay! Panggil Dokter Ryan, sekarang!”
Gegas Sanjaya membopong tubuh lemas Zafran. “Ganti seprainya!”
Beberapa asisten rumah tangga yang ada di sana panik. Aura kemarahan menyelimuti kamar. Kesalahan kecil saja bisa membuat mereka kehilangan nyawa.
Usai seprai diganti, Sanjaya membaringkan Zafran perlahan di ranjang. Diselimutinya tubuh menggigil itu dengan selimut tebal.
Mata lelaki tua itu nyalang menatap Gio yang masih berdiri di tempatnya semula. “Apa yang kamu lakukan sama Zafran, Gio?!”
Melihat Gio tidak bereaksi, amarah Sanjaya kian memuncak. “Mau bunuh adikmu?”
“Dia bukan adikku! Dia pembunuh Ibu!” Usai berteriak, Gio berlari masuk ke kamarnya. Suara pintu yang berdebam menyatakan kalau anak lelaki itu juga marah.
“Gio!”
“Maaf, Tuan. Ijinkan saya membersihkan badan Den Zafran,” lirih Puji, kali ini tanpa gugup. Rasa ibanya jauh lebih besar dibanding ketakutan pada amarah rentenir di depannya.
Sanjaya tidak merespons. Sepasang mata tuanya menatap lekat wajah sang cucu yang terbaring tidak sadarkan diri di ranjang.
“Tuan?”
Helaan napas panjang Sanjaya menjadi jawaban untuk Puji. Segera diraihnya handuk kecil baskom berisi air bersih di atas nakas yang sudah tersedia di sana sejak pagi.
“Permisi, Tuan.” Puji menunduk takzim.
Setelah terdiam beberapa saat, Sanjaya bangkit dari duduknya di tepi ranjang, memberi ruang untuk Puji agar lebih leluasa membersihkan tubuh Zafran. Pria paruh baya itu mengawasi pekerjaan ART-nya tersebut dari sofa besar di sudut kamar.
Dengan telaten Puji mengusapkan handuk basah yang sudah diperas ke wajah Zafran setelah sebelumnya memeriksa denyut nadi anak itu.
Bersamaan dengan itu, seorang anak buah Sanjaya datang bersama seorang pria muda berpakaian dokter.
“Bos, Dokter Ryan sudah datang.”
Sanjaya menoleh. “Halo, Dok. Apa kabar?” sapanya ramah seraya mengulas senyum lebar. Dirangkulnya dokter muda itu untuk kemudian berjalan beriringan mendekati ranjang Zafran.
“Alhamdulillah saya sehat. Pak Sanjaya sendiri mudah-mudahan sehat juga, ya,” balas si dokter tak kalah ramah.
“Mari silakan, periksa keadaan cucu saya.”
“Gio sakit?” tanya dokter itu sembari menatap Sanjaya.
“Bukan. Ini adiknya Gio.”
Dokter Ryan hanya mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Di bukanya dua kancing bagian atas piyama Zafran setelah duduk di pinggir ranjang. Dokter muda itu melakukan serangkaian pemeriksaan pada tubuh kurus yang tengah terbaring lemah di hadapannya. Sesekali wajahnya tampak serius lalu mengulang gerakan yang sama, memastikan bahwa dirinya tidak salah diagnosa.
“Maaf, Pak. Apa sebelumnya anak ini pernah mengalami keadaan begini?”
“Keadaan ‘begini’, maksud Dokter?”
“Muntah darah dan pingsan seperti sekarang.”
Kening lelaki paruh baya itu mengerut, Sanjaya berpikir keras. “Sepertinya belum pernah.” Disentuhnya bahu kiri si dokter. “Memangnya cucuku sakit apa?”
“Boleh tau, apa sebenarnya yang terjadi sama cucu Bapak?”
“Nggak ada apa-apa, kok. Semuanya wajar-wajar saja,” sahut Sanjaya cepat. “Apa mungkin kelelahan? Sebab, dia baru pulang dari luar kota kemarin,” lanjutnya berusaha menepis kecurigaan si dokter yang memandangnya dengan tatapan menyelidik.
“Saya rasa anak ini bukan hanya kelelahan. Sebaiknya dia dibawa ke rumah sakit supaya bisa diperiksa secara menyeluruh, Pak.” Dokter Ryan meraih tas jinjingnya. “Saya buatkan surat pengantarnya, ya.”
“Apa nggak bisa diperiksa di sini saja?”
Dokter muda itu menggeleng.
“Soal uang gampanglah itu, Dokter atur aja gimana baiknya.”
Dokter Ryan tersenyum. “Bukan soal uang, Pak. Tapi saya khawatir kalau cucu Bapak mengidap penyakit lain. Sedangkan peralatan untuk memeriksanya nggak bisa dibawa ke sini.”
“Halah, semua masalah pasti bisa diberesin pake duit, Dok. Jangan sok jual mahal.” Sanjaya mencibir. Kedua lengannya dilipat di dada.
Dokter Ryan menulis beberapa kata dan angka di selembar kertas resep, kemudian menyerahkannya ke tangan Sanjaya seraya berdiri. “Pak, ini saya buatkan surat pengantar untuk medical check up sama sekalian resep vitamin untuk si kecil. Semoga lekas sembuh.”
“Hem.” Diterimanya dua lembar kertas dari Dokter Ryan.
“Saya tunggu di rumah sakit, Pak Sanjaya.”
“Jay! Antar dokter ini keluar!” Dengan muka masam Sanjaya memanggil ceteng kesayangannya. "Nih, tebus obatnya!"
“Siap, Bos.”
Sanjaya mendekati ranjang Zafran yang tertidur pulas. Napas bocah itu sangat pelan dan teratur. Sementara Puji sudah beranjak ke dapur, menyiapkan bubur untuk Zafran ketika anak itu terbangun nanti.
“Apa yang terjadi padamu, Zafran?” Sanjaya menyentuh jemari kecil cucunya yang terasa sedingin es. “Ibumu harus membayar mahal untuk ini.”
***
Jantung Zafran berdenyut jauh lebih kencang. Di balik kemudi, pria 25 tahun itu mengerang kesakitan. Seluruh kenangan pahit yang menari di kepala membuatnya kembali terluka.“Aaargh!”Di luar, Erin mengetuk-ngetuk kaca pintu di sebelah Zafran seraya berusaha melongok ke dalam. Pandangannya terhalang kaca mobil yang gelap.Zafran yang memang membutuhkan bantuan, melirik ke Erin. Jemarinya berusaha menekan tombol pembuka pintu otomatis. Namun, yang diterkan malah tombol menurunkan kaca pintu.“Kamu ….” Erin mengerjap mendapati Zafran tengah kesakitan. “Kenap—pa?”Kalimat Erin terbata akibat Zafran menarik bagian leher kausnya hingga wajah gadis itu nyaris menempel pada Zafran.“Eh, apa ini?”“T—tolong.”Erin menarik tubuhnya dengan kasar. “Jangan kurang ajar kamu! Urusan kita yang tadi aja belum selesai, udah mau cari gara-gara lagi!”
“Hei, Pemalas! Bangun udah siang.”Zafran masuk ke mobil sembari membawa dua botol air mineral dan dua bungkus roti sobek isi coklat. Sementara Erin mengerjap dengan wajah polosnya.Beruntung tangan Zafran sigap membekap mulut garis itu yang rupanya tengah bersiap untuk berteriak. Sepasang mata bulat Erin melotot sempurna, sedangkan kedua tangannya sibuk berusaha melepas cengkeraman tangan Zafran di mulutnya.Zafran tak kuasa melihat polah lucu Erin yang memaksanya untuk tertawa lebar, memamerkan deretan gigi putih yang tersusun rapi. Bukannya terus meronta, Erin malah melongo terpesona. Sungguh tampan makhluk yang tengah tertawa lepas di hadapannya itu.“Kamu mau aku lepasin?” tanya Zafran masih dengan sisa-sisa tawa.Erin mengangguk.“Tapi janji jangan teriak?”Lagi-lagi Erin hanya menjawab dengan anggukan.Perlahan Zafran melepas bekapan tangannya sembari memastikan bahwa gadis cerewet itu
“Bos, silakan pilih. Mereka stok terbaru di sini.” Yuan—wanita paruh baya bertubuh gembrot dibalut pakaian seksi nan ketat— bergelayut manja di lengan Zafran. Gerakan tersebut mau tidak mau membuat sepasang bukit kembarnya yang hanya tertutup separuh, menempel lekat di lengan kekar itu.“Ayolah, Bos. Duduk dulu sebentar, nikmati ‘hidangannya’,” bisik Yuan lagi dengan suara mendesah seraya mengedipkan sebelah matanya.Seorang pelayan wanita yang tidak kalah seksi, masuk ke ruang privat tersebut. Tanpa bersuara, si pelayan meletakkan sebotol red wine di dalam sebuah ember berisi pecahan es batu lengkap dengan dua sloki kosong ke atas meja bundar yang terbuat dari marmer itu. Ia langsung pergi setelah si nyonya mengusirnya keluar.Setengah memaksa, Yuan menarik lengan Zafran untuk mendekati meja. Dengan malas lelaki muda itu duduk di pinggir meja tersebut kemudian menenggak sesloki red wine yang diangsurkan Yuan ke ar
“Aaargh!” Zafran mengerang di dalam mobil yang terparkir di bibir pantai kala Erin membuka balutan kaos putih yang dibebat seadanya di telapak tangan terluka milik lelaki itu.“Makanya kalau masih bisa ngerasain sakit jangan sok jagoan, deh,” cerocos Erin tanpa henti sejak mereka meninggalkan parkiran Rumah Bordil Yuan.Dengan telaten dan sangat hati-hati, gadis itu memeriksa kalau-kalau ada pecahan kaca yang masih menancap di telapak tangan Zafran seperti yang ia temukan sebelumnya. Kemudian membalurkan beberapa tetes obat luka berwarna merah yang disambut rintihan Zafran ketika cairan itu menyentuh kulitnya yang menganga. Erin mengabaikan rintihan itu. Ia memilih untuk terus melanjutkan pekerjaannya.“Lagian ngapain sih pecicilan main ke tempat begituan? Apa jangan-jangan kamu memang suka nongkrong di sana? Hayo ngaku!” Tanpa sadar gadis itu menarik perban terlalu kuat hingga membuat Zafran meringis.“Ah! Kamu i
“Tunggu!” Zafran menyantuh lembut lengan kanan Erin ketika dilihatnya gadis itu bersiap turun dari mobil. “Kamu yakin mau pulang sendiri?”Zafran menatap sekeliling tempat dirinya menghentikan mobil. Sebuah gapura kecil dengan jalan setapak—yang hanya cukup untuk berjalan kaki dua orang berjajar ke samping—terlihat di sana. Gelap, seiring malam yang kian larut. Pun tanpa penerangan cukup. Bangunan rumah semi permanen saling berdesakan di kiri kanan jalan setapak tersebut.Beberapa pemuda bermain gitar tidak jauh dari tempat Zafran dan Erin berada sekarang. Suara nanyian mereka yang terdengar sumbang ditingkahi gelak tawa mengisi malam.Zafran mematikan mesin mobil. “Aku antar aja.”“Nggak perlu, Zafran. Aku baik-baik aja.”“Tempat ini terlalu gelap.”“Ini rumahku. Percayalah aku nggak akan kenapa-kenapa.” Erin tersenyum mendapati semburat kekhawatiran di mata
“Selamat pagi, Tuan Zafran.”Seorang ART mengangguk penuh hormat pada tuan muda yang tengah menuruni anak tangga dengan malas. Penampilan Zafran pagi ini terlihat tak seperti biasa; rambut acak-acakan dengan lingkar mata panda tipis menghiasi wajah tampan itu. Meski begitu, satu hal yang masih tetap sama; tubuhnya wangi maskulin.“Hem,” jawab Zafran singkat. Kepalanya masih terasa berat akibat hanya terlelap tidak lebih dari dua jam.Sepasang kaki pria itu melangkah santai menuju ruang makan di mana kakek dan abangnya sudah menunggu.“Morning, Zaf,” sapa Gio sinis, seperti biasa. “Kupikir udah nggak ingat rumah lagi,” sindirnya. “Rupanya wanita-wanita malam itu masih membiarkanmu pulang.”“Hus! Masih pagi, jangan ribut-ribut.” Sanjaya menegur cucu sulu ngnya dengan suara serak khas lelaki tua itu. "Kalau mau bikin keributan, di pasar aja sana!""Bikin keributan di pasar
Zafran meremas kemudi mobil kuat-kuat hingga kedua telapak tangannya memutih. Sementara sepasang kaki pria itu memainkan pedal gas dan kopling secara bersamaan hingga menimbulkan suara deru mesin yang memekakkan telinga. Wajah tampannya membeku dengan tatapan tajam lurus ke depan.Pemandangan tak biasa yang tersaji di hadapannya membuat amarah pria 25 tahun itu tersulut. Tanpa pikir panjang, dilepasnya pedal kopling hingga membuat mobil semi-sport metalik itu meluncur deras tepat ke arah Xpander yang berhenti sekitar dua puluh meter di depannya. Hasilnya, sebuah tubrukan dahsyat dua mobil bertenaga besar itu tidak bisa dihindari.Zafran keluar dari mobilnya yang ringsek di bagian depan kemudian mengayun langkah panjang mendekati si Xpander. Empat orang pria berbadan besar layaknya tukang pukul, keluar dari mobil seraya membawa batangan besi sepanjang setengah meter di tangan mereka. Kening Zafran mengernyit. Belum pernah ia melihat orang-orang itu berkeliaran di wilaya
“Seingatku jalan ke rumah kamu tempo hari bukan lewat sini, Rin.” Zafran melongok ke luar, memindai lingkungan sekitar malam itu ketika mengantar Erin pulang. Tidak ada gapura serta jalan setapak kecil nan gelap seperti sebelumnya. Dilajukannya mobil perlahan di atas jalan rusak menuju ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu.“Aku sama ibu pindah rumah, Zaf.” Erin menunduk, memainkan jari-jemari kurusnya.“Sepertinya kamu suka banget mainin jari tangan,” ucap Zafran lirih seraya menggenggam kedua tangan gadis muda di sampingnya. “Kenapa nggak telpon aku, hem?” tanya pria itu lembut. “Tenagaku cukup kuat kalau cuma buat angkat-angkat barang.”“Ih, dasar! Apaan, sih? Nggak jelas,” celoteh Erin menahan senyum malu-malu seraya mencubit lengan kiri Zafran pelan yang dibalas tawa kecil lelaki itu.“Jadi?”“Jadi apa?”“Kamu belum jawab pertanyaanku
Dengan pakaian compang camping, basah, serta penuh darah Zafran berdiri di tengah jalan raya perbatasan antarkota yang berada tepat di atas sungai tempat anak buah bos kasino membuang tubuhnya. Pria itu tidak peduli meski wajahnya kian pucat dan melemah, ia tetap berusaha berdiri tegak hingga sebuah sedan hitam mendekat.Zafran masih berdiri di tempatnya ketika sedan itu melaju kencang seraya membunyikan klakson.“Hei sudah bosan hidup, hah?!” hardik pengemudi sedan dari balik pintu mobil setelah sebelumnya menginjak pedal rem dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdecit.Zafran mendekat dengan langkah tertatih membuat si pengemudi bergidik ngeri. Penampilan pria tampan itu layaknya zombie yang tengah menyerang penduduk lokal. Hampir saja pengemudi sedan melarikan diri seandainya Zafran tidak lebih dulu limbung serta kehilangan kesadaran tepat di depan moncong mobil.Pria muda itu meletakkan tangan kanannya di kaca pintu samping kemudi, menj
“Selamat pagi.”Gio tersenyum manis ke arah Erin yang tengah berjalan terseok karena kesulitan membawa puluhan bungkus rempeyek kacang di tangan dan punggungnya. Gegas pria 29 tahun itu meraih bakul yang terisi penuh di punggung Erin tanpa menunggu persetujuan gadis tersebut.“Hei … hei … apa-apaan ini? Kamu siapa?” Erin kelabakan mempertahankan bakul. “Enak aja main ambil tanpa permisi dulu. Nggak bisakah bilang baik-baik?”Lagi-lagi Gio tersenyum. “Permisi. Aku mau bantu kamu bawain barang-barang ini, boleh?” godanya seraya mengedipkan sebelah mata.Erin terpaku. Tanpa sadar mulutnya melongo, terpesona dengan pemandangan indah di hadapannya. Sampai sebuah kibasan tangan Gio mengembalikan khayalnya ke dunia nyata.“Gio.”“Hah? Apa?” Erin gelagapan bergantian menatap wajah lelaki yang sedang tersenyum itu dan tangannya yang terulur.“Tadi kamu
“Seingatku jalan ke rumah kamu tempo hari bukan lewat sini, Rin.” Zafran melongok ke luar, memindai lingkungan sekitar malam itu ketika mengantar Erin pulang. Tidak ada gapura serta jalan setapak kecil nan gelap seperti sebelumnya. Dilajukannya mobil perlahan di atas jalan rusak menuju ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu.“Aku sama ibu pindah rumah, Zaf.” Erin menunduk, memainkan jari-jemari kurusnya.“Sepertinya kamu suka banget mainin jari tangan,” ucap Zafran lirih seraya menggenggam kedua tangan gadis muda di sampingnya. “Kenapa nggak telpon aku, hem?” tanya pria itu lembut. “Tenagaku cukup kuat kalau cuma buat angkat-angkat barang.”“Ih, dasar! Apaan, sih? Nggak jelas,” celoteh Erin menahan senyum malu-malu seraya mencubit lengan kiri Zafran pelan yang dibalas tawa kecil lelaki itu.“Jadi?”“Jadi apa?”“Kamu belum jawab pertanyaanku
Zafran meremas kemudi mobil kuat-kuat hingga kedua telapak tangannya memutih. Sementara sepasang kaki pria itu memainkan pedal gas dan kopling secara bersamaan hingga menimbulkan suara deru mesin yang memekakkan telinga. Wajah tampannya membeku dengan tatapan tajam lurus ke depan.Pemandangan tak biasa yang tersaji di hadapannya membuat amarah pria 25 tahun itu tersulut. Tanpa pikir panjang, dilepasnya pedal kopling hingga membuat mobil semi-sport metalik itu meluncur deras tepat ke arah Xpander yang berhenti sekitar dua puluh meter di depannya. Hasilnya, sebuah tubrukan dahsyat dua mobil bertenaga besar itu tidak bisa dihindari.Zafran keluar dari mobilnya yang ringsek di bagian depan kemudian mengayun langkah panjang mendekati si Xpander. Empat orang pria berbadan besar layaknya tukang pukul, keluar dari mobil seraya membawa batangan besi sepanjang setengah meter di tangan mereka. Kening Zafran mengernyit. Belum pernah ia melihat orang-orang itu berkeliaran di wilaya
“Selamat pagi, Tuan Zafran.”Seorang ART mengangguk penuh hormat pada tuan muda yang tengah menuruni anak tangga dengan malas. Penampilan Zafran pagi ini terlihat tak seperti biasa; rambut acak-acakan dengan lingkar mata panda tipis menghiasi wajah tampan itu. Meski begitu, satu hal yang masih tetap sama; tubuhnya wangi maskulin.“Hem,” jawab Zafran singkat. Kepalanya masih terasa berat akibat hanya terlelap tidak lebih dari dua jam.Sepasang kaki pria itu melangkah santai menuju ruang makan di mana kakek dan abangnya sudah menunggu.“Morning, Zaf,” sapa Gio sinis, seperti biasa. “Kupikir udah nggak ingat rumah lagi,” sindirnya. “Rupanya wanita-wanita malam itu masih membiarkanmu pulang.”“Hus! Masih pagi, jangan ribut-ribut.” Sanjaya menegur cucu sulu ngnya dengan suara serak khas lelaki tua itu. "Kalau mau bikin keributan, di pasar aja sana!""Bikin keributan di pasar
“Tunggu!” Zafran menyantuh lembut lengan kanan Erin ketika dilihatnya gadis itu bersiap turun dari mobil. “Kamu yakin mau pulang sendiri?”Zafran menatap sekeliling tempat dirinya menghentikan mobil. Sebuah gapura kecil dengan jalan setapak—yang hanya cukup untuk berjalan kaki dua orang berjajar ke samping—terlihat di sana. Gelap, seiring malam yang kian larut. Pun tanpa penerangan cukup. Bangunan rumah semi permanen saling berdesakan di kiri kanan jalan setapak tersebut.Beberapa pemuda bermain gitar tidak jauh dari tempat Zafran dan Erin berada sekarang. Suara nanyian mereka yang terdengar sumbang ditingkahi gelak tawa mengisi malam.Zafran mematikan mesin mobil. “Aku antar aja.”“Nggak perlu, Zafran. Aku baik-baik aja.”“Tempat ini terlalu gelap.”“Ini rumahku. Percayalah aku nggak akan kenapa-kenapa.” Erin tersenyum mendapati semburat kekhawatiran di mata
“Aaargh!” Zafran mengerang di dalam mobil yang terparkir di bibir pantai kala Erin membuka balutan kaos putih yang dibebat seadanya di telapak tangan terluka milik lelaki itu.“Makanya kalau masih bisa ngerasain sakit jangan sok jagoan, deh,” cerocos Erin tanpa henti sejak mereka meninggalkan parkiran Rumah Bordil Yuan.Dengan telaten dan sangat hati-hati, gadis itu memeriksa kalau-kalau ada pecahan kaca yang masih menancap di telapak tangan Zafran seperti yang ia temukan sebelumnya. Kemudian membalurkan beberapa tetes obat luka berwarna merah yang disambut rintihan Zafran ketika cairan itu menyentuh kulitnya yang menganga. Erin mengabaikan rintihan itu. Ia memilih untuk terus melanjutkan pekerjaannya.“Lagian ngapain sih pecicilan main ke tempat begituan? Apa jangan-jangan kamu memang suka nongkrong di sana? Hayo ngaku!” Tanpa sadar gadis itu menarik perban terlalu kuat hingga membuat Zafran meringis.“Ah! Kamu i
“Bos, silakan pilih. Mereka stok terbaru di sini.” Yuan—wanita paruh baya bertubuh gembrot dibalut pakaian seksi nan ketat— bergelayut manja di lengan Zafran. Gerakan tersebut mau tidak mau membuat sepasang bukit kembarnya yang hanya tertutup separuh, menempel lekat di lengan kekar itu.“Ayolah, Bos. Duduk dulu sebentar, nikmati ‘hidangannya’,” bisik Yuan lagi dengan suara mendesah seraya mengedipkan sebelah matanya.Seorang pelayan wanita yang tidak kalah seksi, masuk ke ruang privat tersebut. Tanpa bersuara, si pelayan meletakkan sebotol red wine di dalam sebuah ember berisi pecahan es batu lengkap dengan dua sloki kosong ke atas meja bundar yang terbuat dari marmer itu. Ia langsung pergi setelah si nyonya mengusirnya keluar.Setengah memaksa, Yuan menarik lengan Zafran untuk mendekati meja. Dengan malas lelaki muda itu duduk di pinggir meja tersebut kemudian menenggak sesloki red wine yang diangsurkan Yuan ke ar
“Hei, Pemalas! Bangun udah siang.”Zafran masuk ke mobil sembari membawa dua botol air mineral dan dua bungkus roti sobek isi coklat. Sementara Erin mengerjap dengan wajah polosnya.Beruntung tangan Zafran sigap membekap mulut garis itu yang rupanya tengah bersiap untuk berteriak. Sepasang mata bulat Erin melotot sempurna, sedangkan kedua tangannya sibuk berusaha melepas cengkeraman tangan Zafran di mulutnya.Zafran tak kuasa melihat polah lucu Erin yang memaksanya untuk tertawa lebar, memamerkan deretan gigi putih yang tersusun rapi. Bukannya terus meronta, Erin malah melongo terpesona. Sungguh tampan makhluk yang tengah tertawa lepas di hadapannya itu.“Kamu mau aku lepasin?” tanya Zafran masih dengan sisa-sisa tawa.Erin mengangguk.“Tapi janji jangan teriak?”Lagi-lagi Erin hanya menjawab dengan anggukan.Perlahan Zafran melepas bekapan tangannya sembari memastikan bahwa gadis cerewet itu