Motor Ares melesat keluar dari gerbang sekolah ketika waktu menunjukkan pukul dua lebih lima menit. Lisa dan Ares langsung keluar kelas dan menuju parkiran, berencana pergi jalan-jalan. Entah ke mana, yang pasti Ares tidak ingin memberi tahu tujuan mereka pergi. Lisa sih sempat ditanyai ingin pergi ke mana dan menjawab alam. Mungkin di antara tempat rekreasi alam.
Mereka pulang sebentar, berganti baju. Beruntung kebiasaan Ares yang mengajaknya pergi tanpa mengganti seragam tidak lagi dilanjutkan. Of course, tidak enak sekali jalan-jalan masih memakai seragam.
Beberapa menit kemudian, motor Ares keluar dari gerbang rumah, menuju entah ke arah mana. Lisa yang sedang asyik melihat jalanan terganggu ketika handphone-nya berdering kencang di dalam tas.
"Iya, Vin? Kamu di mana? Kok nggak ada di rumah? Kita lagi mau pergi. Nggak tahu pulang kapan. Kamu mau titip sesuatu?" Lisa bertanya pada seseorang di telepon. Itu Arvin. Kakaknya itu tib
Ares menutup buku tulis kosongnya ketika guru di depan kelas mulai mengakhiri kelas. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit. Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu.Kelas mulai ramai ketiga guru keluar kelas. Ares menatap Lisa yang duduk tak jauh di depannya. Gadis itu tampak mengambil kotak makan dari tas, tersenyum melihat isinya. Ares tebak ada empat roti panggang buatan Mama di sana. Tentu saja untuk Lisa dan dirinya. Mama sepertinya berniat tetap tinggal bersama dirinya dan Lisa setelah semua yang telah terjadi. Urusannya di luar negeri bisa dilakukan secara daring katanya. Kalaupun ada keperluan mendesak, Mama akan datang ke Amerika lalu kembali.Omong-omong Ares belum pernah bercerita pekerjaan Mama. Kedua orang tua Ares itu sama-sama sibuk. Ayah mengurus perusahaan, Mama mengurus bisnis restorannya. Dan pekerjaan mereka berdua itu ada di Amerika. Ares jadi berpikir, alih-alih jadi WNI, kedua orangtuanya itu cocok sekal
Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Kamar Lisa terasa senyap di sore hari. Tidak ada suara apa pun. Hanya ada suara jarum jam dinding yang bergerak memutar.Arvin sedang pergi keluar, mungkin bertemu kawan lamanya. Kakak laki-lakinya itu sepertinya belum berniat kembali ke Australia dalam waktu dekat ini. Mama dan Ares juga sedang pergi keluar, membeli barang-barang di swalayan. Lisa tidak ikut karena tadi kedatangan tamu—Dilla tiba-tiba sekali ingin main ke rumah barunya. Hanya saja sudah pergi pulang setengah jam yang lalu.Teringat Ares, Lisa yang sedang rebahan di ranjangnya langsung menutup wajah dengan bantal. Kejadian saat istirahat tadi pagi berputar kembali di otaknya.Serius, Lisa benci dirinya yang tidak bisa mengendalikan diri.Tadi pagi itu... Ia tidak tahu mengapa ia bisa dengan beraninya mengecup pipi Ares. Imbasnya sekarang, ia malu setengah mati meskipun kejadian itu sudah berlalu beberapa jam yang lalu
"Res, lo ngerasa ada sesuatu yang mencurigakan nggak sih?" Arvin yang sedang bermain handphone di ruang keluarga tiba-tiba berucap.Ares terdiam mendengar perkataan kakak iparnya. Ia melepas satu earphone wireless yang terpasang di telinganya, menyahut, "Mencurigakan gimana?""Tentang Pak Hendra."Ares tambah terdiam mendengar nama itu. Pak Hendra adalah pelaku yang telah membunuh Ayah, Bunda, Pak Udin, juga istrinya. Tapi, apa yang mencurigakan tentang Pak Hendra? Bukannya semua telah usai? Pria itu sudah mengaku, begitu juga dengan bawahannya."Gue kemaren nggak sengaja liat data diri Pak Hendra di kantor polisi. Gue inget-inget alamatnya terus kemaren gue datengin rumahnya."Ares kali ini sempurna melepas kedua earphone wireless di telinganya. Ia menatap Arvin tak percaya. "Lo dateng ke rumah Pak Hendra, Vin?""Hm. Gue sempet ketemu dan ngobrol sama istrinya. Istrinya bilan
Matahari hampir tergelincir ke barat di luar sana. Lisa yang sedang duduk di ruang keluarga menatap beberapa kali IPhone Ares yang sedang di-charger, berpikir keras. IPhone pemuda itu dalam kondisi non-aktiv, membuat Lisa belum sempat membaca pesan antara Ares dengan Arvin jikalau menemukan petunjuk.Ada yang aneh dari gelagat Ares. Terlebih pemuda itu bertanya di mana Arvin sebelum pergi. Lisa tahu sesuatu sedang terjadi. Tapi ia tidak mengerti mengapa Ares harus pergi diam-diam dan tidak memberi tahu apa pun padanya. Apa karena tidak ingin ia khawatir? Sayangnya, hal itu malah membuat Lisa tambah cemas dengan kondisi Ares dan kakaknya sekarang.Baru ingin bangkit untuk menghidupkan IPhone Ares, Mama tiba-tiba muncul dari dapur. Wanita paruh baya kemudian bertanya, "Ares pergi ke mana, Sa? Sampai titip pesen ke Mama nggak bolehin kamu keluar?"Lisa mengernyitkan dahi. Ares sungguhan tidak membolehkannya keluar rumah? Padahal ia ber
Beberapa menit sebelumnya.Ares berjalan cepat mengikuti dua pria yang membawa Arvin masuk ke dalam bangunan dengan beton-beton tinggi. Meskipun tampak seperti bangunan belum selesai, ada beberapa ruangan tertutup di dalamnya.Arvin di bawa masuk ke sebuah ruangan, diikat di sana. Ia masih sadar. Tapi mulutnya tertutup lakban beberapa lapis sehingga tidak bisa bersuara.Ares mengintip agak jauh, lalu berjalan mendekat penuh dengan waspada. Dari jumlah mereka yang hanya berdua, Ares tidak terlalu khawatir ke depannya. Yang ia pikirkan hanya satu; mereka membawa senjata atau tidak?Beberapa meter dari ruangan itu, suara perbincangan dua pria itu terdengar. Meskipun sedikit samar karena jarak."Kita bunuh sekarang?"Ares melotot kaget di tempat. Begitu juga dengan Arvin yang kembali berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakinya. Mereka berdua sungguhan berencana me
Lisa tidak tahu sudah berapa kali ia menangis dalam sehari ini. Yang pasti, hatinya tetap sakit melihat Arvin tergeletak lemah di ranjang rumah sakit, belum sadarkan diri.Kakaknya itu baru saja dioperasi satu jam yang lalu. Tentu saja untuk mengambil peluru yang bersarang di perutnya. Lisa sungguh bersyukur Tuhan masih memberi kakaknya nyawa. Peluru itu tidak mengenai organ penting, hanya hampir. Kata dokter, sedikit saja peluru itu bergeser, nyawa Arvin bisa saja tidak tertolong.Dan sekarang di sinilah Lisa, duduk di sebelah ranjang Arvin, mengenggam tangan kakaknya berharap agar ia cepat bangun. Arvin itu satu-satunya keluarga sedarah yang Lisa punya. Lisa tidak tahu bagaimana jadinya jika Arvin ikut pergi menyusul Ayah dan Bunda.Ia bahkan terisak kencang ketika Arvin mengatakan hal mengerikan beberapa saat sebelum ia tak sadarkan diri."Kalau aku nggak ada, kamu harus kuat, ya, Sa. Jangan patah sem
"Kamu mau tahu apa yang Ayah ceritain ke aku tiga tahun yang lalu?"Lisa menatap Arvin. Apa itu rahasia yang sama yang Arvin tidak ingin ceritakan di kantor polisi saat itu?"Apa?"Arvin bangkit duduk, lalu mendesis sakit detik selanjutnya. Lisa berdecak. "Nggak usah duduk dulu. Kamu bisa cerita sambil tiduran.""Paling males rebahan lama-lama.""Anak jaman sekarang yang nggak suka rebahan kayaknya kamu, Vin.""Emang kamu suka rebahan?"Lisa menggeleng. "Maksudnya mukamu keliatan kayak anak malesan," ujarnya, terdiam sejenak ketika mengingat sesuatu. "Aduh lupa kalau Arvin dah rajin. Sejak kapan Arvin malesan?""Jadi mau denger nggak?"Lisa mengangguk, menghapus sisa air mata di pelupuk matanya. Melihat Arvin tampak baik-baik saja meskipun terluka efektif sekali menyumbat air matanya."Kamu percaya nggak
Sudah tiga hari sejak kejadian penculikan Arvin dan terkuaknya rahasia Pak Reigara.Parahnya, Ares belum juga menemui Lisa sampai detik ini, bahkan sama sekali tidak menghubunginya. Ponselnya mati. Pemuda itu seolah lenyap ditelan bumi tanpa kabar apa pun. Bahkan Oma dan Pak Wang sama sekali tidak tahu keberadaan pemuda Reigara itu.Dan hal itu satu-satunya yang Lisa khawatirkan sekarang. Tiga hari bukanlah waktu yang singkat. Terlebih Ares masih belum diketahui di mana keberadaannya. Apakah selalu menjadi kebiasaan pemuda itu untuk menghilang jika masalah datang?Lisa mengerti bagaimana perasaan Ares sekarang. Tapi menghilang tanpa kabar benar-benar membuatnya cemas. Bagaimana jika keadaan Ares tidak sedang baik-baik saja sekarang?"Makan dulu, Sa. Kamu belum makan sejak kemarin." Arvin yang duduk di atas ranjang rumah sakitnya berkata. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Kakaknya itu sedang sarapan dengan makana
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"