Mentari mulai menampakkan sinarnya.
Ares berhenti berlari, membungkuk menormalkan detak jantungnya yang tidak teratur. Ia yang masih ngos-ngosan habis lari pagi melangkah mendekati toko kelontong tak jauh darinya. Toko yang merangkap rental motor itu toko tempat Ares biasa menyewa sepeda. Sebenarnya tidak ada rental sepeda, tapi karena waktu itu ada dua sepeda bertengger di depan toko, Ares berkata pada pemiliknya agar boleh menyewa sepeda itu juga.
Ares memang bisa memakai motor, tapi harga sewanya pasti lebih mahal. Ia tidak ingin membuang uang. Lagi pula mengayuh sepeda lebih sehat mengingat ia jarang olahraga akhir-akhir ini. Hanya lari setiap pagi.
"Pak, saya sewa sepeda kayak biasa, ya."
"Oh ya, ambil aja, Mas." Bapak-bapak pemilik toko berkata.
"Ini KTP-nya," ujarnya.
Setelah memberi KTP dan uang, Ares langsung mengayuh sepedanya ke jalanan yang biasa ia lewati.
"Ares!" Mama yang baru saja turun dari mobil langsung berlari memeluk anaknya. Beberapa detik setelahnya Mama melepaskan pelukan, gantian menatap Lisa lalu memeluknya erat. Wanita yang berstatus mertuanya itu berkata, "Lisa, kamu nggak papa kan? Kalian berdua nggak ada yang luka?"Lisa tersenyum, menggeleng. "Kita berdua baik-baik aja, Ma," jawabnya. Ia tahu selama ini Mama pasti sangat mengkhawatirkan mereka berdua. Pasalnya, tidak seperti Oma yang tahu keadaan mereka sebelum pergi, Mama sama sekali tidak tahu dan tidak dikabari. Hanya lewat Oma yang dititipi pesan oleh Ares sebelum pergi melarikan diri.Mama meregangkan pelukan, menatap Ares dan Lisa bergantian. Wanita di depan Lisa kini menitikkan air mata, lalu cepat-cepat mengusap air bening itu. Kini Lisa semakin tahu Mama khawatir sungguhan pada mereka. "Semua udah selesai. Kamu udah aman, Lisa. Kalian berdua nggak perlu pergi jauh lagi."Lisa mengangguk. Kejadian-kejadian be
Jam dua siang lebih, mobil yang Lisa tumpangi mulai memasuki pekarangan rumah. Bukan rumah Mama Papa, Oma, atau Ayah Bunda, tetapi rumahnya sendiri. Rumahnya bersama Ares.Saat itu juga sebuah panggilan masuk ke nomor Mama. Mama mengambil handphone di tasnya, berkata bahwa Arvin lah yang menelepon. Lisa langsung melebarkan mata, menatap antusias.Tadi Mama sudah bercerita bahwa Arvin sudah dikabari dua hari yang lalu. Awalnya nomornya tidak bisa dihubungi. Tetapi Papa Ares berinisiatif menghubungi kampus kakaknya, University of Sydney. Mungkin pihak kampus memberi kabar entah ke siapa dan akhirnya Arvin tahu sehingga menelepon balik Papa Ares.Lisa yang mendengarnya hanya bisa bernapas lega. Kakaknya baik-baik saja, masih hidup. Sesungguhnya hanya itu kabar paling penting yang Lisa butuhkan selama ini.Mama akan menjawab panggilan sebelum akhirnya melihat seseorang yang berdiri di depan pintu rumahnya.
"Kakimu masih sakit?" tanya Arvin, membuat Lisa menghela napas karena sudah ditanyai hal itu berkali-kaki oleh orang yang berbeda—Mama, Ares, dan sekarang, Arvin."Udah enakan. Nggak sakit lagi. Sebelum balik ke sini udah ku kompres es batu di kontrakan," terangnya.Lisa sudah bercerita panjang lebar pada Arvin sejak yang terjadi malam itu sampai sekarang saat ia dan Ares sudah kembali ke rumah. Tinggal Arvin yang belum bercerita pengalamannya menjadi penyintas di negeri orang. Hal itu membuat Lisa buru-buru bertanya karena penasaran."Ada satu orang yang bantuin aku di sana," jawab kakak Lisa itu."Ada satu orang yang bantuin? Siapa gitu?" tanya Lisa pada Arvin yang duduk di sebelahnya. Mereka—termasuk Ares—sedang beristirahat di ruang keluarga. Lisa sendiri bahkan belum sempat masuk ke kamarnya.Arvin mengangguk. "Temen, tapi beda kampus. Dia lagi belajar di Queensland University."
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Lisa sedang menyandar di meja belajar sembari menatap kamarnya yang lama tidak ia tempati ketika Ares tiba-tiba datang, bersandar di pintu kamarnya yang terbuka entah sejak kapan."Kamu bisa pindah ke kamarku," tawar pemuda itu, kemudian melangkah mendekat."Buat?""Mungkin aja kamu masih keinget kejadian yang kemarin. Malem itu." Ares berkata hati-hati.Lisa tersenyum tipis, mengangguk mengerti. Tentu saja ia masih ingat Bi Inah menghembuskan napas terakhir di kamarnya ini. Meskipun bekas hal itu tidak ada di sini. Kamarnya bersih. Sprainya sudah diganti. Bahkan debu tidak ada meskipun sudah ia tinggal sepekan lamanya.Lisa menggeleng. "Nggak perlu. Aku nggak kenapa-napa. Lagian aku nggak liat kejadiannya. Aku juga nggak percaya arwah gentayangan. Bi Inah terlalu baik buat ngelakuin hal itu ke aku."Ares tersenyum mendengarnya. "Bi Inah nggak me
Parkir sekolah lumayan ramai saat waktu menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Lisa dan Ares yang baru saja datang segera turun dari motor, melepas helm. Ini perdana mereka masuk sekolah setelah hampir sepekan lebih meliburkan diri.Tidak ada yang berbeda. Sekolah masih tampak sama. Yang berbeda hanyalah beberapa murid yang tiba-tiba mengalihkan pandang pada Lisa dan Ares yang sedang berjalan beriringan menuju kelas. Lisa hanya balas tersenyum singkat. Ia tidak punya ide mengapa mereka menatap mereka berdua seperti itu.Ares sendiri tampak tak acuh, tetap berjalan santai. Hal itu juga yang membuat Lisa ikut tidak memedulikan sekitar. Ia lebih memilih menatap bangunan sekolahnya yang sudah sepekan lebih tidak ia kunjungi.Sesampainya di kelas, sosok pertama yang ada di penglihatan Lisa adalah Dilla. Gadis itu duduk di depan kelas seperti biasa, langsung berseru heboh ketika melihat Lisa berdiri di gawang pintu.
Motor Ares melesat keluar dari gerbang sekolah ketika waktu menunjukkan pukul dua lebih lima menit. Lisa dan Ares langsung keluar kelas dan menuju parkiran, berencana pergi jalan-jalan. Entah ke mana, yang pasti Ares tidak ingin memberi tahu tujuan mereka pergi. Lisa sih sempat ditanyai ingin pergi ke mana dan menjawab alam. Mungkin di antara tempat rekreasi alam.Mereka pulang sebentar, berganti baju. Beruntung kebiasaan Ares yang mengajaknya pergi tanpa mengganti seragam tidak lagi dilanjutkan. Of course, tidak enak sekali jalan-jalan masih memakai seragam.Beberapa menit kemudian, motor Ares keluar dari gerbang rumah, menuju entah ke arah mana. Lisa yang sedang asyik melihat jalanan terganggu ketika handphone-nya berdering kencang di dalam tas."Iya, Vin? Kamu di mana? Kok nggak ada di rumah? Kita lagi mau pergi. Nggak tahu pulang kapan. Kamu mau titip sesuatu?" Lisa bertanya pada seseorang di telepon. Itu Arvin. Kakaknya itu tib
Ares menutup buku tulis kosongnya ketika guru di depan kelas mulai mengakhiri kelas. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih sedikit. Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu.Kelas mulai ramai ketiga guru keluar kelas. Ares menatap Lisa yang duduk tak jauh di depannya. Gadis itu tampak mengambil kotak makan dari tas, tersenyum melihat isinya. Ares tebak ada empat roti panggang buatan Mama di sana. Tentu saja untuk Lisa dan dirinya. Mama sepertinya berniat tetap tinggal bersama dirinya dan Lisa setelah semua yang telah terjadi. Urusannya di luar negeri bisa dilakukan secara daring katanya. Kalaupun ada keperluan mendesak, Mama akan datang ke Amerika lalu kembali.Omong-omong Ares belum pernah bercerita pekerjaan Mama. Kedua orang tua Ares itu sama-sama sibuk. Ayah mengurus perusahaan, Mama mengurus bisnis restorannya. Dan pekerjaan mereka berdua itu ada di Amerika. Ares jadi berpikir, alih-alih jadi WNI, kedua orangtuanya itu cocok sekal
Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Kamar Lisa terasa senyap di sore hari. Tidak ada suara apa pun. Hanya ada suara jarum jam dinding yang bergerak memutar.Arvin sedang pergi keluar, mungkin bertemu kawan lamanya. Kakak laki-lakinya itu sepertinya belum berniat kembali ke Australia dalam waktu dekat ini. Mama dan Ares juga sedang pergi keluar, membeli barang-barang di swalayan. Lisa tidak ikut karena tadi kedatangan tamu—Dilla tiba-tiba sekali ingin main ke rumah barunya. Hanya saja sudah pergi pulang setengah jam yang lalu.Teringat Ares, Lisa yang sedang rebahan di ranjangnya langsung menutup wajah dengan bantal. Kejadian saat istirahat tadi pagi berputar kembali di otaknya.Serius, Lisa benci dirinya yang tidak bisa mengendalikan diri.Tadi pagi itu... Ia tidak tahu mengapa ia bisa dengan beraninya mengecup pipi Ares. Imbasnya sekarang, ia malu setengah mati meskipun kejadian itu sudah berlalu beberapa jam yang lalu
Hari ini hari keberangkatan Ares ke Madrid. Hari yang ditunggu-tunggu, tetapi tidak juga terasa menyenangkan karena Ares akan pergi jauh dari Lisa. Sudah hampir dua tahun mereka selalu bersama. Kali ini mereka berdua harus terpisahkan oleh jarak dan waktu. Indonesia dan Spanyol itu sangat jauh. Lebih jauh dari Indonesia-Australia tempat Arvin berada.Lisa, Mama, dan Oma berangkat bersama-sama untuk mengantar Ares ke bandara. Sebelumnya berhenti di lapas terlebih dahulu untuk berpamitan pada papa untuk terakhir kali sebelum berangkat ke Spanyol. Bagaimana pun juga, Ares perlu doa dan restu kedua orang tuanya untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Setengah jam lagi pesawat Ares akan berangkat."Mama mau anter Oma dulu ke toilet. Kalian berdua ngomong berdua dulu aja. Setelah ini bakal nggak ketemu lama kan?" kata Mama, seolah berniat memberi waktu bagi Lisa dan Ares untuk berbincan
"Gimana, Res? Ini aku mau berangkat. Mau bantuin pak-pakin barang." Lisa berkata pada seseorang di seberang sana. Ia mengambil sneaker di rak sepatu, berniat memakainya. Tapi baru memakai sebelah ia urung melanjutkan ketika mendengar jawaban lelaki yang ia ajak bicara."Aku udah di deket apartemenmu. Lagi pencet password mau buka pintu," katanya. Suaranya terdengar ganda. Satu di telepon, satu asli di depan pintu dekat tempat Lisa berdiri.Lisa mengernyitkan dahi. "Kok malah ke sini? Emang udah selesai siap-siap?"Bunyi pintu terbuka terdengar. Di gawang pintu Ares berdiri sembari membawa handphone di tangan. Pemuda itu membawa kresek yang Lisa yakini berisi makanan-sesuai kebiasaan lelaki itu yang selalu datang ke rumahnya sembari membawa camilan.Lisa mematikan sambungan telepon. "Udah selesai beres-beres?"Ares menggeleng. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak. "Belum. Sumpek
Satu tahun terlewati begitu cepat.Sudah hampir sebulan yang lalu Lisa melaksanakan ujian kelulusan. Dan hari ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kelas 12 yang baru saja merasakan hari kelulusan beberapa waktu yang lalu; hari wisuda.Lisa tersenyum cerah di hadapan banyak orang. Tadi pagi ia sudah didandani, lalu memakai baju toga untuk acara kelulusannya. Setelah acara selesai, ia segera menghampiri beberapa temannya lalu memeluk mereka senang. Ada Dilla teman terdekatnya di kelas. Tidak lupa menghampiri Arvin, Oma, dan Mama yang juga datang di acara wisudanya dan juga Ares.Pemuda itu tampak bahagia, menenteng seikat bunga besar yang entah diberi oleh siapa. Lisa dan Ares lulus dengan nilai memuaskan. Lebih-lebih Lisa; baginya itu sudah sangat memuaskan. Tapi tetap saja, setelah itu ia akan berjuang kembali untuk masuk ke perguruan tinggi. Melakukan seleksi masuk ke universitas kota yang ia impikan.
"Makasih, ya, Dilla. Udah bantuin pindahan sejak tadi pagi. Capek banget pasti kalau nggak ada kamu. Mana sekarang Ares ngilang katanya mau beli makanan." Lisa berterima kasih pada Dilla di depannya.Teman Lisa itu membantu perpindahan Lisa ke apartemen hari ini. Sebenarnya tidak banyak barang yang dipindahkan. Tapi tetap saja terasa banyak karena yang ikut membantunya hanya dua orang—Ares dan Dilla.Tadi Arvin bilang ingin membantu. Tapi gila saja kakaknya itu pulang ke Indonesia hanya untuk membantunya pindahan. Lebih-lebih Arvin pasti pening karena sudah beberapa kali bolak-balik Indonesia untuk urusan pekerjaan.Lisa sekarang mengerti betapa lelahnya Ayah meskipun terkadang pekerjaannya hanya duduk di depan laptop dan memimpin rapat. Arvin yang sebelumnya sudah stres karena kuliah pasti lebih stres setelah menjabat CEO di usia muda. Mengurusi bisnis, membuat keputusan besar, berpikir rencana yang akan diambil perusahaan.&n
"Ma, Lisa pamit dulu, ya." Lisa tersenyum sebaik mungkin di hadapan mama mertuanya yang sedang sakit, menyimpan luka di hatinya.Sudah sepekan lebih mama tinggal di rumah sakit jiwa. Lisa baru sempat menjenguknya sekarang. Dan kondisi mama sekarang benar-benar menyayat hatinya.Mama masih mengenal Lisa, masih menganggapnya menantu seperti hal aslinya. Yang berbeda hanyalah keberadaan ayah bunda yang masih dianggap hidup. Juga teror-teror yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap hal yang mengancam nyawa.Mama mengangguk. "Kamu hati-hati, ya, Sa. Jaga diri. Banyak orang jahat di sekitar kita. Kamu tahu kan keluarga Mama masih diancem terus buat dibunuh? Kamu pokoknya harus jaga diri. Bilang ke ayah sama bundamu juga biar waspada."Lisa mengangguk, mengiyakan perkataan mamanya. Ia langsung pergi ke luar terlebih dahulu, meninggalkan Ares yang gantian berpamitan pada mamanya. Sampai luar kamar, matanya langsung menetes
Dua pekan berlalu dengan cepat.Lisa duduk di kursinya, menatap langit di luar jendela yang tampak cerah. Angin pagi yang menyegarkan berhembus, menyapu daun-daun kering yang membuatnya jatuh berguguran dari pohon. Waktu di jam dindingnya kelas menunjukkan pukul 9. Tapi cuaca masih sesegar pukul tujuh, tidak terlalu terik.Hidup Lisa kembali seperti biasa. Meskipun dengan kenyataan menyakitkan yang seharusnya dipeluk alih-alih dihindari.Sepekan ini ia masih tinggal bersama Ares di rumah lama. Bertiga bahkan bersama Arvin. Tetapi kakaknya sebentar lagi akan kembali ke Australia. Tentu saja untuk melanjutkan studinya.Dan satu hal yang mungkin akan jadi beban berat kakaknya setelah ini, Arvin resmi menjadi direktur menggantikan Ayah dua hari yang lalu. Ia jadi CEO perusahaan properti milik Ayah yang sudah membuka cabang di berbagai kota di umur yang masih menginjak 20 tahun.Itu gila. Lisa tahu.
"Tangan kamu dingin." Ares menarik tangan Lisa, menggenggam erat menyalurkan kehangatan.Lisa tersenyum kecil, menatap tangannya yang digenggam oleh pemuda di sebelahnya. Mereka berdua sedang duduk di bangku koridor dekat kantin rumah sakit, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Kilat berkali-kali muncul. Disusul dengan suara gemuruh dari langit."Harusnya aku yang bilang gitu. Kamu yang basah kuyup, Res," ujar Lisa menatap rambut dan pakaian pemuda di sebelahnya. Lisa sih hanya basah celana saja. Bajunya tidak terlalu basah karena tertutup oleh jaket dan tubuh Ares yang memeluknya tadi.Lisa masih tidak tahu keputusan apa yang Ares ambil. Tapi melihat pemuda itu memeluknya di tengah hujan deras, entah mengapa ia jadi sedikit lega. Terlebih tangan Ares yang kali ini mengenggam erat. Demi apa Lisa tidak ingin melepaskannya."Kertasnya basah. Bagusnya sekalian disobek aja kan?"
Waktu di jam tangan Ares menunjukkan pukul sepuluh. Langit mendung di atas sana. Sinkron sekali dengan hati Ares yang mendung dan berkabut sejak beberapa hari yang lalu. Mengetahui kejahatan papanya selama ini membuat hatinya hancur berkeping-keping, menjatuhkan mentalnya sampai ujung sumur tak berdasar. Terlebih setelah itu kabar tentang mama yang menderita skizofrenia masuk ke telinganya.Awalnya Ares menggila sendirian di kamar apartemen miliknya. Menelan rasa sakit dan malu atas tindakan papa yang benar-benar mengerikan. Tapi demi mendengar mamanya yang sedang sakit, ia perlahan mulai bangkit. Ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat untuk mamanya.Ares tidak pernah merasakan sakit bertubi-tubi seperti ini. Dan ya... Apakah ini yang Lisa Lisa rasakan ketika kehilangan kedua orang tuanya? Terlebih sekarang, kebenaran terungkap. Mertuanya sendiri yang membunuh ayah dan bunda.Untuk ke sekian kali, ia merasa berdosa sekali pada ga
"Res..." Lisa menatap pemuda di depannya tak percaya. "Tapi kenapa?""Aku cuma mau ngehapus semua rasa sakit. Kayak yang aku bilang, kita nggak seharusnya ada, Sa." Jawaban Ares terdengar klise. Lalu apa? Apakah rasa sakit mereka akan menghilang setelah berpisah? Apakah itu mengembalikan ayah bunda yang telah tiada?Lisa masih memandangi Ares tidak percaya. Apa pemuda di depannya sungguhan Ares? Setelah berbagai macam hal terlewati bersama, mengapa pemuda itu begitu mudah melepaskannya?Ah, Lisa mendadak teringat pria dan segala macam mulut buayanya. Bukannya Ares pernah berjanji dua kali padanya? We'll together forever? Apakah itu hanya ucapan tanpa makna saja? Bualan semata?"Kenapa harus kayak gini kalau kita udah saling cinta? Aku nggak keberatan kalau itu pernikahan buatan. Aku nggak masalah kalau pernikahan itu cuma balas dendam. Apa penting masa lalu? Bukannya yang terpenting kita saling cinta dan—"