"Syaratnya apa, Kak?" Tiara menatapku dengan penasaran.Aku menyeringai, sepertinya kesempatan ini harus kujadikan ajang balas dendam pada si gundik sekaligus pada anaknya yang tak kalah rese itu.Kalian berfikir aku jahat? silakan, tapi Tante Miranda jauh lebih jahat dari yang kulakukan."Syaratnya lu harus pokus kerja sama gue, ga boleh sekolah dan ga boleh ke mana-mana, gimana?" tanyaku dengan tatapan remeh.Tiara melongo terkejut, tentu saja ia akan keberatan dengan syarat yang kuajukan, tapi itu bukan suatu masalah, mau dia menerima atau tidak ya terserah."Ya ampun, Kak, masa ke sekolah ga boleh 'kan sayang sebentar lagi aku lulus. Aku tuh kerja sama Kakak buat biaya kuliah, nanti aku ambil kuliah kelas karyawan deh," jawabnya.Aku tersenyum kecut, bilang saja mau dibiayai kuliah oleh ayah, secara tak langsung memang begitulah tujuannya."Iya, Zara, peraturannya terlalu kejam, Tiara itu masih punya masa depan, jangan gitu-gitu amat lah kasihan." Terdengar ayah membela.Kutatap w
"Ini anak saya dari istri pertama, Bu," ucap ayah, obrolan dua insan itu terhenti karena kehadiranku."Oh iya." Perempuan bergamis coklat itu tersenyum ramah, aku pun bersalaman dengannya."Ini ibunya Tante Miranda, Ra, kalian baru ketemu ya," Aku pun tersenyum lalu duduk di samping ayah karena penasaran dengan obrolan mereka."Jadi itu semua bukan fitnah, Bu, bahkan ada saksi yang mengatakan kalau Miranda membunuh ipar saya itu melalui dirinya," ujar ayah lagi dengan serius."Maksudnya?" Perempuan itu nampak belum faham."Iya Miranda menyuruh pengasuh anak ipar saya untuk meracuni ipar saya itu, dan sekarang dia bersaksi di depan kami dan di pengadilan, ga ada yang fitnah Miranda, Bu, itu nyata."Ayah bicara panjang lebar memberitahukan kronologis pembunuhan Tante Dina."Astaghfirullah," gumam ibunya Tante Miranda sambil menutup mulut."Memang motif pembunuhannya apa, Nak Damar? kok bisa Miranda bunuh adik ipar Nak Damar?" tanya nenek itu lagi."Jadi gini, Bu, dulu sebelum saya kena
(POV TIARA)Tak ada pilihan aku menuruti setiap inginnya, Zara gadis rese itu, termasuk memasak di dapur bersama Mbak Sita.Memang menyebalkan!Selama ini aku tak pernah memegang bau anyir ikan ataupun ayam, jangankan memasak, mencuci celana dalam sendiri saja aku tak pernah.Tapi lihatlah sekarang, gadis sombong itu malah menyuruhku ini itu, mencuci pakaian dalamnya, bajunya, bahkan mencuci sepatunya yang bau terasi.Mending kalau digaji puluhan juta, aku hanya menerima dua juta, ini seperti penghinaan, aku tak tahan!Tapi aku harus ke mana jika pergi? rumah nenek? aku malas mendengar cibiran Tante Devi dan Tante Meri, belum lagi aku pasti tidur sekamar dengan nenek karena kamar di sana penuh oleh cucu nenek yang lain, aku tak bisa hidup seperti itu."Tiara, cuci ikannya udah belum?" tanya Mbak Sita.Si*lan! Padahal babu itu biasanya memanggilku dengan sebutan nona."Iya ini udah." Aku cemberut."Bawa cepet sini!" Nada suaranya sedikit membentak.Kurang ajar memang! Mbak Sita seolah
"Iya iya!"Terpaksa aku menghampiri lalu menyodorkan gelas-gelas pada sang tuan raja."Kamu di sini aja, jadi kalau ada perlu aku ga perlu teriak," bisik Zara membuatku mendelik kesalLihatlah anak songong itu menyuruhku berdiri seperti seorang dayang yang menunggu ratunya, aku sudah tahan!"Zara, sebenarnya ini acara apa sih? kok tumben ngajak kita kumpul?" tanya ibunya Zara yang super kolot.Mataku mendelik saat meliriknya.Sebel!"Oh iya aku lupa ngasih tahu." Si rese terkekeh."Sebenarnya ini acara syukuran kecil-kecilan aja sih, untuk merayakan tertangkapnya Miranda."Mataku membeliak mendengar Zara bicara, jadi sejak tadi aku berlelah-lelahan itu ternyata untuk menghina ibuku sendiri, kurang ajar sekali kau Zara!"Oh merayakan Miranda yang udah tertangkap, kok kamu happy banget gini sih?" tanya seorang perempuan berambut pendek dan pirang "Iya dong, dari dulu aku tuh pengen nyingkirin itu kuntilanak, dan baru kesampeannya sekarang, ya jelas aku happy dong, dan setelah ini aku h
"Omset kita setiap bulan semakin meningkat, Yah, apalagi cabang di kota, sepertinya kita harus memperluas area supermarket dan menambah fasilitas yang lebih menarik untuk memikat pengunjung."Aku menyerahkan data-data yang sudah kunalisis dari para staf karyawan bagian office, wajah ayah nampak berseri melihat data-data itu lembar demi lembarnya."Kita juga harus adakan sale besar-besaran pada produk yang sudah numpuk lama di gudang, Yah, itu juga salah satu cara memikat minat pengunjung."Lagi ayah mangut-mangut mendengar usulanku."Baik, kita akan adakan rapat esok hari membahas usulanmu itu ya, beberapa hari ke depan Ayah akan ajak kamu survey ke seluruh cabang supermarket, gimana?""Ok, siap, Yah.""Anak Ayah semakin dewasa ya." Ayah tersenyum sambil mengelus kepalaku."Iyalah dikasih makan." Aku mengerlingkan mata, sedangkan ayah tertawa.Sudah satu bulan tak terasa waktu cepat berlalu, sidang putusan Tante Miranda pun sebentar lagi akan digelar, rasanya sudah tak sabar melihat w
Bisa saja begitu."Ayah, aku tuh ga pernah nyuruh dia nyetrika sampai malam, dianya aja kalau kerja lelet, kalau kerja sambil main hape, ya jelas aja kelarnya malem," sahutku sambil mencebik.Lelaki ini juga menyebalkan, selain kerap membela anak pembunuh itu, ia juga seperti tak tertarik ketika kusarankan rujuk dengan bunda.Apa ia tak mikir masa tuanya seperti apa tanpa istri? atau jangan-jangan ia mau cari yang lain?"Ayah rasa kamu ngasih dia gaji terlalu kecil, Ra, setidaknya tambahin lagi lah satu juta, gaji asisten rumah tangga emang pasarannya segitu, kamu jangan zalim dong sama orang."Aku mengerlingkan mata melihat ayah begitu peduli pada anak mantan istrinya, lama-lama bisa bahaya jika anak itu terus tinggal di sini."Udah deh Ayah ga usah ikut campur urusanku, lagian kenapa sih Ayah peduli banget sama tuh anak? Ayah sayang sama dia? mau angkat dia jadi anak?" Aku memandanginya dengan tajam.Ayah terlihat mengusap wajah dengan gusar "Zara, kamu sudah dewasa, sebaiknya hila
Sore usai pulang dari kantor aku melajukan mobil menuju rumah bunda, otakku berfikir keras, siapakah seseorang yang ia ingin kenalkan pada anaknya ini?Bunda sudah menunggu sambil duduk di kursi terasnya, bibirnya tersenyum ketika melihat mobilku datang."Baru pulang?" tanya bunda."Iya, baru banget." Aku masuk ke dalam bersamanya."Nih minum dulu." Kali ini bunda menyodorkanku segelas teh manis hangat yang dipadukan dengan perasan jeruk lemon."Siapa sih yang mau Bunda kenalin ke aku?"Bunda tersenyum malu-malu, aku jadi curiga mungkinkah ia ingin memperkenalkan kekasihnya? kutatap mata bunda dengan serius."Sebentar lagi dia datang." Bunda tersenyum."Ia siapa?"Sebuah klakson mobil mengalihkan perhatian, kami berdua lantas menoleh ke arah depan, sebuah mobil Pajero hitam terparkir di sana.Lalu keluarlah seorang lelaki yang berpenampilan gagah, dari usia sepertinya ia tak jauh beda dengan ayah, hanya penampilanhya saja yang membuat ia tak terlihat tua.Kaca mata hitam itu dilepas,
Aku memutuskan pergi ke Cafe milik Arvin yang baru dibuka minggu-minggu ini, tempat yang dihias kekinian dan dipenuhi spot untuk Poto Selfi itu memang mulai ramai dikunjungi orang-orang, karena tempatnya yang bagus dan menu-menu dengan harga terjangkau."Dih, orang sibuk baru nongol." Pemuda betubuh tinggi dengan hidung mancung itu langsung menyapa begitu aku masuk ke dalam cafenya.Aku langsung duduk di salah satu meja dengan wajah ditekuk, ia pun menghampiri lalu duduk di hadapanku."Pasti lagi ada masalah."Tepat sekali ia selalu bisa menebak isi hati."Nyokap gua, Vin." Aku mendelikkan mata."Kenapa lagi nyokap lu?""Mau kawin lagi, dan yang bikin gue sebel dia malah nikah sama orang lain bukan sama Ayah gue, 'kan ngeselin.""Udah gitu bokap gue juga ga kalah rese, lu tahu ga dia belain anak pelakor itu terus-terusan, bahkan sekarang sampe dikasih kerjaan."Arvin terkekeh-kekeh di atas rasa jengkelku, dia emang teman paling rese sedunia."Ngapa lu ketawa?!" Aku menepuk lengannya k
Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan
(POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel
(POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na
(POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya
"Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku
"Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi
Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue
Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak