“Belajar apa, Wan?”Bening membawa satu porsi sate dari dapur, lalu duduk bersila di sofa panjang, yang berada di belakang Awan. Bocah tampan itu, tengah sibuk bertelungkup pada karpet yang berada di depan televisi. Di hadapan Awan, sudah berjajar beberapa buku yang tampaknya sudah dibaca oleh bocah itu.Aga sampai harus memindahkan meja persegi yang berada di sana, karena Awan lebih senang bergulung-gulung di bawah, daripada duduk anteng di kursi.“Tematik,” jawab Awan sambil menopang wajah dengan kedua tangan.“Bisa?”“Bisaa.” Awan lantas menutup buku yang dibaca, lalu membalik tubuhnya. Awan menatap Bening, dengan kedua telapak tangan yang ia satukan di atas perut. “Kenapa papa lama betul, nggak pulang-pulang?”“Papamu cuma di bawah, ketemu sama om Bimo,” ujar Bening sambil mengunyah satenya. “Bentar lagi juga balik.”Bening melihat bibir Awam mencebik ke arahnya. Ia masih menebak-nebak, apakah Awan menyukainya atau tidak. Namun, sejauh ini bocah itu masih bersikap seperti biasanya
Pagi itu, Aga terbangun ketika matahari sudah terasa terik. Bahkan, Aga harus mengerjap beberapa kali ketika hendak membuka mata, untuk menyesuaikan bias sinar yang masuk ke dalam indra penglihatannya.Tatapan Aga lantas turun pada perutnya. Ada sebuah kaki kecil melintang di atas sana, dan sudah bisa dipastikan kalau itu adalah Awan. Aga menoleh ke samping, dan sudah tidak mendapati Bening ada di sana. Sepertinya, gadis itu sudah bangun dari tidurnya, atau, Bening mungkin sempat terbangun, lalu memutuskan untuk pindah ke kamarnya. Tampaknya, pagi ini Awan benar-benar tidak akan masuk sekolah. Semua ini karena mereka bertiga sibuk membicarakan banyak hal, hingga malam terus beranjak larut. Sungguh, semua itu adalah sesuatu yang tidak pernah Aga lakukan sama sekali, bersama Awan dan Vira dahulu kala. Sesuatu yang menurutnya sedikit menyimpang, karena dilakukan pada hari aktif sekolah. Alhasil, Aga harus menciptakan sebuah alasan bagi guru Awan di sekolah, karena putranya masih tampak
Arum membuang napas panjang saat pertama kali melihat Bening. Gadis yang menjadi istri kedua putranya itu, ternyata jauh lebih muda daripada Vira. Selain itu, penampilan Bening yang begitu segar dan pembawaannya yang ceria, mungkin menjadi salah satu alasan Aga tetap bertahan dengan gadis itu.Menurut Arum, Bening itu cantik dan mengingatkannya dengan seseorang. Namun, hal itu belum cukup membuat hati Arum tergugah sedikit pun. Ia masih curiga, kalau Bening adalah selingkuhan Aga selama gadis itu masih bekerja bersama putranya. Bening terus mendekati Aga, sampai akhirnya pria itu tergoda dan bercerai dengan Vira.Lantas, satu hal lagi yang membuat Arum heran. Mengapa Awan bisa langsung terlihat akrab dengan Bening?Melihat hal tersebut, jelas saja kecurigaan Arum semakin besar saja.“Jadi, kalian berdua kenal waktu Aga pindah jadi pemred di SM?” tanya Arum meskipun sudah tahu semua hal itu. “Kamu sekretarisnya Aga, begitu?”“Sekretaris redaksi, Bu,” ralat Bening berusaha mengatur det
“Beeeb.”Akhirnya, Bening memiliki waktu berdua dengan Aga setelah Awan masuk ke kamarnya untuk tidur siang. Selain tidak masuk sekolah, Awan juga tidak akan pergi les seperti biasanya. Putra Aga itu, benar-benar menikmati harinya dengan bersenang-senang bersama papa dan ibu sambungnya.Begitu Aga menutup pintu kamar mereka, Bening langsung melingkarkan kedua tangannya dengan manja pada tubuh Aga. Bening mengangkat wajah, lalu mencebikkan bibirnya ketika menatap sang suami.“Hm?” Aga pun balas mengalungkan tangan ke tubuh sang istri. “Istirahat, biar kamu nggak kecapekan.”“Padahal aku nggak mau dipanggil Mimi,” protes Bening dengan menghentak kakinya geregetan. “Tapi mama kamu itu, main serobot aja.”“Terus mau dipanggil apa?”“Mommy!” seru Bening lalu memanyunkan bibirnya pada Aga. “Lucu, kan? Seperti anak-anak bule kalau manggil mamanya.”“Kenapa nggak langsung ngomong tadi?” Aga menghela heran, melihat sikap Bening yang lebih terlihat kalem ketika berada bersama orang tuanya. Beni
Manik Awan berkeliling menatap luas halaman rumah yang didatanginya pagi ini. Memandang takjub, karena ada sepetak kecil halaman khusus untuk bermain basket. Ada sebuah ring basket yang terpaku pada satu sisi dinding tembok yang menjulang cukup tinggi, dan Awan tidak lepas memandangnya sejak ia keluar dari mobil.“Papa, aku mau punya rumah yang ada lapangan basketnya!” tunjuk Awan pada sepetak tanah yang ada di sudut halaman rumah.“Minta sama Mimi.” Aga melirik Bening yang langsung cemberut saat mendengar panggilan yang dilontarkan Aga.“Panggil mommy, ya, Wan!” ralat Bening dengan segera. “Jangan mimi.”Aga menghampiri Bening lalu merangkulnya. Sedikit menunduk, untuk berbisik di telinga sang istri. “Mommy itu, pasangannya daddy. Kalau papa sama mimi, masih masuk ajalah, Beb.”“Ya udah, Awan suruh ganti aja manggilnya jadi Daddy.”“Mi,” panggil Awan menyela pembicaraan sepasang suami istri itu, sekaligus tidak menggubris keduanya karena sibuk menatap lapangan basket di depannya. “Ak
Pagi itu, seluruh keluarga benar-benar terlihat lengkap. Mereka semua berada di ruang tamu, dan mengambil posisi masing-masing pada sofa, serta kursi tambahan yang dibawa oleh sang asisten rumah tangga.Bening menatap wajah-wajah yang memasang senyum di depannya satu per satu. Sementara dirinya sendiri, sedari tadi hanya menampilkan wajah datar dan tidak ingin berpura-pura bahagia dengan pertemuan ini.Namun, hati Bening memang sedikit … hanya sedikit bergetar ketika melihat Camila. Wajah pucat wanita tua itu, sungguh mengingatkan Bening pada mendiang Sinta. Untuk yang satu ini, Bening percaya kalau tidak ada drama yang terjadi. Kesehatan wanita tua yang harus Bening panggil dengan sebutan oma itu, sepertinya memang menurun.Sekilas, Bening menatap tajam pada kedua adik tirinya, yakni Fika dan Dean. Di dalam hati kecilnya, Bening selalu menyalahkan mereka berdua atas nasib yang menimpanya selama ini. Mengapa kehidupan kedua orang itu sedari kecil selalu berselimut bahagia, sementara B
Ada satu hal yang membuat Aga kagum dengan sikap Bening saat ini. Meskipun gadis itu berada pada tingkat emosi tertingginya, Bening masih sanggup bersikap sangat kalem dengan Awan. Gadis itu, masih bisa menjawab dan menanggapi banyak pertanyaan yang diajukan Awan selama perjalanan pulang dengan baik. Kendati, Aga tahu benar kalau tatapan Bening saat ini sangat tidak fokus dengan semua hal.Sesampainya di apartemen, Bening pun kembali meminta maaf pada Awan karena belum bisa mengajak bocah itu mengunjungi rumah baru yang sedang dibangun. Bening beralasan, kepalanya mendadak pusing dan ingin beristirahat di kamar.“Main sendiri sebentar, ya!” pinta Aga sembari mengacak surai lebat putranya. “Papa mau ambilkan obat sakit kepala buat mommy, habis itu kamu bisa ikut papa kerja ke bawah sebentar, kalau mau.”Awan mengangguk antusias, karena ini kali pertama, Aga akan mengajaknya untuk melihat pekerjaan sang papa. “Aku boleh bawa gundam?”“Boleh!”Awan langsung berlari sembari berteriak hebo
Aga menyingkap selimut, lalu bangkit dari tidur ketika napas yang dihirupnya mulai teratur. Ia duduk sebentar di tepi ranjang, lalu melihat sang istri yang masih terkulai lelah melalui bahunya sebentar. Aga tidak bisa membendung senyum yang ada di wajahnya, karena ia tidak pernah menduga, kalau pernikahannya bersama Bening bisa luar biasa seperti sekarang.Entah hal ini karena mereka masih bisa dikatakan pengantin baru, sehingga semuanya masih terlalu menggebu. Atau, memang beginilah sebuah pernikahan harus berjalan.“Mau mandi?” tanya Bening memiringkan tubuhnya yang berbalut selimut, dan melihat punggung polos Aga yang membelakanginya.Aga menggeleng. “Aku mau ke kamar Awan. Mau lihat dia sudah bangun apa belum.” Aga lantas bangkit, lalu memunguti pakaiannya yang berserakan dan segera memakainya.“Mau tidur lagi?” tanya Aga setelah kaos dan celana pendek sudah melekat di tubuhnya.Bening kembali bertelentang lelah. “Aku mau mandi bentar lagi, lengket!”“Kalau gitu jangan mandi dulu.
Haluu Mba beb ... Sang Sekretaris beneran tamat dund. Mas Telaga Cakrawala sama mba Bening Bhanuwati mohon pamit undur diri dulu. Mereka mau istirahat. Kan, mau buatin adek buat Awan. :D :D :D Nanti, kita ketemu sama mereka lagi di spin off-nya dengan judul SANG PENGACARA, dan kita tuntasin hil-hil yang masih menggantung di sana. Daaan, berikut ini daftar penerima koin GN dari saia untuk 5 top fans pemberi Gems terbanyak di Sang Sekretaris. Datanya diambil per tanggal 30 June 2022 tepat pukul 06.00 WIB. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Tralala : 750 koin GN + pulsa 150 rb Demigoddess : 500 koin GN + pulsa 100 rb Zee Sandi : 350 koin GN + pulsa 50 rb Lili Ning Mardani : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanietha_ Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi, saia bisa setor
“Ayo, keluar.” Bening merengek, sembari menggelengkan kepala. Ia belum siap dengan ajakan Aga, untuk menemui sang mertua yang meminta mereka datang pagi ini. Karena Bening tahu, yang akan dibahas oleh Arum, pasti masalah itu lagi, itu lagi. “Dulu, waktu sama bu Vira, mama begini juga nggak, sih?” “Nggak.” Aga langsung menjawab dengan pasti. “Kok, sama aku begini?” sambar Bening secepat mungkin, sambil meremas tali sabuk pengaman yang masih belum ia buka. “Tapi sama bu Vira, nggak?” “Karena kami dulu masih muda, Beb,” jawab Aga lalu mencondongkan tubuh untuk membuka sabuk pengaman sang istri. “Masih sibuk meniti karir, dan betul-betul merintis semua dari nol.” “Eh, aku juga masih muda.” Bening kembali berkilah seperti biasa. “Tapi aku?” Aga menjatuhkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. “Sebentar lagi, aku sudah kepala empat. Mama sama papa juga nggak akan selalu fit seperti sekarang.” “Kamu, tuh, sepertinya udah mulai oleng, deh.” Bening mencibir lalu memanyunkan bibir. “I
“Mama itu ada ngomong apa, sih, sama Awan?” Bening membuka rumah pemberian Aga yang baru saja selesai di bangun. Masih kosong, dan belum diisi furniture sama sekali. Ini pertama kalinya, Bening dan Aga menghampiri rumah mereka ketika semuanya sudah bersih dan siap diisi berbagai perabotan dan ditempati. Jika mengingat resepsi pernikahan mereka yang akan digelar sebentar lagi, keduanya sudah bisa menempatinya setelah pulang dari bulan madu. “Mama? Ku?” Aga bertanya ragu, karena mereka pagi tadi sempat mengajak Awan pergi ke rumah Clara. Sudah dua hari Awan menginap di apartemen, dan waktunya mengembalikan bocah itu pada Vira. Jika tidak, mantan istrinya itu pasti akan menelepon Aga tanpa henti. “Atau, mamamu?” “Mamamulah.” Hentakan ujung high heels Bening menggema pada lantai marmer di seluruh ruang yang masih kosong itu. “Mama Arum.” “Mamaku, ada ngomong apa?” Aga dengan cepat menyusul langkah Bening yang terlihat kesal. Namun, tidak berniat untuk mensejajarkan langkahnya. Ke ruan
Arum membuang napas panjang. Meskipun masih setengah hati, tapi ia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Mengingat, bagaimana putranya itu terlihat sangat jatuh cinta dengan Bening, pun dengan Awan yang tidak mempermasalahkan semuanya, Arum menyerah. Namun, menyerah di sini bukan berarti Arum setuju, karena ada sebagian dari hatinya masih tertinggal dengan Vira.Dalam diam, terkadang Arum masih memikirkan nasib mantan menantunya itu. Arum mengerti jika sikap Vira memang tidak bisa dibenarkan, tapi Aga pun ternyata sudah patah arang dan tidak ingin melanjutkan rumah tangganya kembali. Jadi, hanya perpisahan yang menjadi jalan keluar satu-satunya.“Jadi, bagaimana kalau resepsinya dipercepat saja?” usul Clara di tengah-tengah pertemuan kedua keluarga yang diadakan di rumahnya. Sudah dua bulan berlalu dari pembacaan surat wasiat Camila kala itu, tapi baik Aga, maupun Bening tidak kunjung menyinggung masalah resepsi pernikahan. Sampai akhirnya, Clara meminta Aga menghubungi kedua orang tu
“Telaga … Cakrawala.”Pria paruh baya yang duduk santai pada kursi taman di belakang rumah, mengangguk-angguk ketika melihat Aga muncul di hadapannya.“Awalnya saya sangsi kalau yang disebut mendiang ibu Camila adalah Aga yang sama, tapi, sangat kecil kemungkinannya kalau ada dua orang yang namanya sama persis seperti kamu,” tunjuk pria itu, lalu menatap gadis yang berada di samping Aga.Seluruh anggota keluarga yang sudah lebih dulu berkumpul, hanya bisa tersenyum canggung. Selain berprofesi sebagai pengacara keluarga, pria paruh baya yang duduk bersama putranya itu, juga merupakan sahabat dekat mendiang Camila.Aga memberi senyum ramah, lalu segera menghampiri pria tersebut bersama Bening. “Apa kabar, Be? Kita lama nggak ketemu.”Pria paruh baya dengan nama asli Rasyid Pamungkas itu, segera berdiri untuk menyambut uluran tangan Aga. “Saya kaget, waktu Abi bilang kamu sudah nikah lagi. Lebih kaget lagi, waktu tahu kamu menantu dari mendiang ibu Camila.”Setelah menjabat tangan Aga, R
“Percuma beli mobil baru.” Bening berdecak, dan selalu saja sibuk membeo setiap kali jalan bersama Aga. “Pergi ke mana-mana selalu disupirin gini. Buang-buang uang tahu, nggak!”“Kan, lebih enak disupirin gini.”“Terus ngapain beli mobil baru, kalau aku nggak boleh nyetir sendiri,” protes Bening.“Siapa bilang nggak boleh nyetir sendiri?” sanggah Aga tetap tenang tanpa melirik sang istri sama sekali. Ia hanya menatap lurus pada jalan raya, sembari menahan tawa. “Kebetulan aku punya waktu luang, jadi mending aku yang nyupiri, kan?”“Kenapa kamu selalu punya waktu luang pas aku mau jalan.” Bening kembali protes karena curiga dengan sikap Aga. Semakin ke sini, pria itu semakin posesif saja. Ke mana pun Bening pergi, Aga akan selalu punya waktu pergi menemaninya. “Pas jam kerja juga gitu. Pasti mendadak bilang kerjaan selesai, kalau aku izin mau jalan.” “Karena kerjaanku memang sudah selesai,” jawab Aga santai tanpa beban. “Lagian mobilmu ini juga kepake, kan? Jadi, kita belinya nggak si
Meskipun Camila sudah beristirahat dengan tenang di pembaringan terakhirnya, suasana rumah duka yang begitu megah itu masih saja terlihat ramai. Para tamu datang silih berganti, untuk menyampaikan duka mendalamnya.Yang Bening perhatikan, Fikalah yang justru terlihat sangat kehilangan atas kepergian sang oma. Gadis itu bahkan sempat tidak sadarkan diri, ketika tubuh beku sang oma diturunkan ke peristirahatan abadinya. Untuk satu hal itu, Bening bisa merasakan semua yang dialami Fika karena pernah berada di posisi yang sama.Clara terlihat lebih tegar, dan terus mencoba menguatkan putri kesayangannya atas kehilangan mereka. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat hati Bening kembali tercubit perih.Bening … cemburu dengan kedekatan Clara dan Fika.“Hei.” Aga mengusap lengan Bening yang berada dalam rangkulannya. “I know what you’re thinking.”“No, you’re not.”“Ayolah, Beb. Kamu harus paham situasinya.” Sedari tadi, Aga memperhatikan ke mana tatapan sang istri tertuju. Pun dengan ekspr
Aga berbalik, ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka. Menelan ludah, saat melihat kaki jenjang itu melangkah pelan, dan menampilkan tubuh segar yang hanya berbalut handuk. Senyum jahil yang disematkan oleh sang istri yang tengah mengusap surai basahnya, sungguh membuat Aga ingin menghempas tubuh Bening ke ranjang dan memasukinya.Namun, jadwal bulanan yang tengah didapatkan sang istri, membuat Aga hanya bisa menggigit jari. Bersabar, karena Aga tahu penantiannya nanti tidak akan sia-sia.“Jam sepuluh balik, lho, ya,” ujar Bening mengingatkan dengan wajah semringah. “Kita cari mobil baruuu.”“Aku cuma di bawah, Beb.” Aga meraih pinggang ramping sang istri yang sudah berhenti tepat di depannya. “Kamu bisa susul ke bawah, terus kita langsung jalan.”Bening mengangguk setuju dengan usul Aga. Ia lalu berjinjit, dan memberi satu kecupan singkat pada bibir bawah Aga yang terbuka. “Awan jadi nginap di sini? Atau masih ditahan sama omanya?”“Omanya masih mau nahan karena kesepian, tapi Aw
“Lama banget pulangnya.” Dengan memegang sepiring bihun goreng yang masih tersisa separuh, Bening sedikit merajuk menyambut kedatangan sang suami.Aga melepas jaket bombernya, sembari menghampiri Bening. Melemparnya ke sembarang arah, lalu menghempas bokongnya di samping sang istri. Aga memberi kecupan pada pipi Bening terlebih dahulu, barulah menanggapi protes istrinya.“Tadi ada om Romi di bawah.” Pulang ke apartemen dan disambut dengan pemandangan indah seperti sekarang, sungguh membuat semua lelah Aga hilang seketika. Satu setel baju tidur yang terdiri dari tanktop dan celana pendek itu, sungguh memberi sebuah energi tersendiri bagi Aga.“Om Romi?” Bening menoleh sambil mengunyah bihunnya. “Ngapain malem-malem dateng ke sini? Sendirian apa sama istrinya?”Aga langsung mencapit bibir istrinya itu dengan gemas. “Istrinya om Romi itu, mamamuuu,” decak Aga lalu sedikit menggeser bokongnya untuk merebahkan diri, dan meletakkan kepala di paha mulus sang istri. “Om Romi datang sama Dean.