Natasya mengerutkan kening saat membaca pesan dari Gaza yang menyatakan ia kan menginap di Bandung untuk keperluan pekerjaannya. Semenjak Natasya menceritakan mengenai sang paman yang membuatnya sampai jatuh sakit, Gaza tidak lagi membahas sedikitpun perihal itu. Gaza hanya meminta Natasya tetap di rumah sebelum ia pulang.“Gaza ke mana Sya? sorry aku menghubungi kamu karena nomor Gaza tidak bisa dihubungi.” Valen, kembaran Gaza menghubungi Natasya yang sedang membuat puding di dapur.“Katanya sedang di Bandung, Gaza dari kemarin di sana belum pulang,” jawab Natasya.“Bandung? Waduh, kapan kira-kira pulangnya Sya? kok sedang kerja ponsel malah tidak aktif terus.” Valen kembali bertanya.“Kurang tahu Val, hanya bilang itu. Nanti aku coba hubungi lagi,” tutur Natasya.“Ok Sya thanks ya.” Valen mengakhiri panggilan dan meninggalkan tanya semakin besar dalam benak Natasya.Natasya menghubungi Gaza langsung, benar tidak aktif. Meninggalkan pesan untuk segera menghubunginya setelah p
“Kamu yakin sanggup? Yang kemarin saja kamu sampai sakit Diwang.” Gaza menahan lengan Natasya saat di depan ruang ICU. Natasya terlihat tidak yakin karena hanya diam membisu, Gaza mendesah kecil sebelum bersuara pelan. “Biar aku yang masuk dan foto untuk kamu lihat, bagaimana?” Menawarkan opsi lain, Gaza membelai telapak tangan dingin Natasya. Setelah Natasya mengangguk, Gaza masuk ke dalam ruangan di mana Gunarto dirawat. Natasya sendiri duduk di ruang tunggu bersisihan dengan sang bibi yang terus menangis. “Paman dan Bibi ke Jakarta satu tahun lalu Diwang, rumah peninggalan orang tua kamu sudah dijual sama paman kamu. Rumah kami sendiri sudah di sita pihak Bank karena banyak hutang. Bibi memutuskan untuk bekerja menjadi pembantu rumah tangga yang sangat jauh dari sana. Bibi sangat malu sama seluruh warga desa yang menginginkan paman kamu segera pindah. Paman kamu karena tidak punya siapa-siapa dan tidak
“Kamu kapan bisa libur agak panjang? Tiga hari mungkin?” Natasya bertanya saat Gaza tengah duduk di depan meja kerja di dalam kamarnya dengan kaca mata dan celana pendek. “Kenapa?” Gaza balik bertanya. “Ingin jalan-jalan saja, kalau kamu sibuk, aku bisa sih jalan sendiri sih.” Natasya membelai bahu Gaza sebelum menaiki ranjang untuk beristirahat. “Bosan ya? kalau satu minggu ini sepertinya aku enggak bisa. Karena beberapa yang kemarin di cancel aku masukan minggu ini semua. Kamu jalan-jalan sendiri enggak apa-apa? jangan jauh-jauh tapi ya. Atau ke vila aku saja bagaimana?” Gaza memberikan penawaran alternatif. “Aku ingin lihat pantai Ga, ingin bermalam tepi pantai. Aku ke Sumbawa ya,” usul Natasya. “Apa? jauh sekali Di, kalau mau ke sana sama aku. Jangan sendiri awas kamu,” ancaman Gaza membuat Natasya cemberut. “Ya makanya aku tanya kapan kamu bisa libur agak lama.” Natasya
“Kamu tidak tahu kalau aku sedang datang bulan?” Pertanyaan Natasya bagai siraman air dingin di kepala Gaza yang mendidih. “Demi Tuhan, Diwang,” seru Gaza frustasi. Natasya tertawa lebar dan puas sekali, Gaza yang tengah mencumbunya langsung berhenti seketika dengan kepala terkulai di dada terbukanya. Natasya menarik kepala sang suami untuk ia cium dalam. Memberikan apa yang Gaza inginkan sebagai imbalan untuknya yang sudah memenuhi keinginan berlibur mendadaknya. “Are you kidding?” geram Gaza setelah Natasya melepas bibirnya. “Bercanda, aku sepenuhnya milik kamu,” bisik Natasya dengan nada mendayu lembut. “Diwangkari,” geram Gaza untuk kedua kalinya. Tawa Natasya terbungkam langsung oleh ciuman dalam Gaza, ciuman yang menjadikan Natasya melambung tinggi hanya dengan permainan bibir dan lidah suaminya. Ia ternyata sangat merindukan Gaza bukan hanya sosoknya, melainkan juga s
“Apa?” tanya Gaza pelan. “Kamu mendengarnya, aku malas mengulang pertanyaan yang sama,” keluh Natasya.Gaza tertawa kecil. “Iya dengar, tapi kaget saja kamu tanyakan hal itu. Padahal selama ini aku tidak pernah menyinggung ke sana bukan?” “Iya memang, tapi kita memang akan membahas hal itu cepat atau lambat,” aku Natasya pelan. “Kamu mau kita bahas sekarang? aku bisa kapan saja.” Gaza masih bertanya untuk memastikan. “Aku tanya sekarang berarti aku siap bahas sekarang,” dengus Natasya dan membuat Gaza melepas tawa kecilnya. “Baiklah mari kita bahas, di pagi hari yang cerah ini.” Gaza mengangkat Natasya dari pangkuannya karena akan membicarakan hal serius. Setelah Natasya mengikat rambut dan duduk dengan baik, ia meminum beberapa teguk terlebih dahulu kopi milik Gaza yang masih hangat. “Jawab dulu pertanyaan aku yang tadi,” pinta Natasya.
Acara liburan mendadak mereka dilewati dengan penuh suka cita, tidak membicarakan pekerjaan. Hanya merencanakan masa depan mereka kelak akan mereka lukis seperti apa dan bagaimana. Sesampainya kembali ke Ibu Kota, Gaza menemani Natasya ke Dokter untuk memeriksakan diri. “Hai Sya, lama tidak bertemu. Bagaimana kabar?” Seorang Dokter wanita menyapa dengan ramah. “Kabar baik Dokter Aile, iya lama ya aku enggak ke sini.” Natasya menerima jabat tangan dan pelukan lembut dari Dokter cantik di sana. “Silakan duduk Sya, Pak.” Dokter berambut ikat satu tersebut mempersilakan kedua tamunya duduk. “Jadwal suntik? Atau another .... “ “Aku mau berhenti suntik dan periksa apakah keadaan badan aku memungkinkan untuk bisa hamil. Oh iya maaf lupa, ini suami aku namanya Gazalio.” Natasya menepuk lengan Gaza dengan senyuman lebah. “Are you married? Congratulation Sya, astaga kenapa tidak meng
Natasya memijat keningnya pelan, pertengkarannya tadi pagi dengan Gaza adalah pertama kalinya untuk mereka semenjak menikah. Pertengkaran dalam artian sesungguhnya dalam rumah tangga keduanya. Natasya sekarang berada di sebah bangunan besar berlantai tiga yang baru saja selesai. Bangunan inilah satu-satunya yang belum ia beritahukan pada Gaza, ia memang sudah lama tidak mengunjunginya. “Sudah 98% coba dicek satu-satu alat-alatnya. Kalau bangunan sih oke aku menelitinya tiap inci,” kelakar sang penanggung jawab yang Natasya percayakan sepenuhnya. Natasya mengangguk dengan tawa kecil, mulai berjalan melihat sudut demi sudut bangunan bercat putih berkelir gold. Berdampingan dengan sang kawan lama bernama Rion Gunaldi, Rion adalah teman yang awalnya bekerja di rumah bordil mami Grace sebagai salah satu sopir pengantar para pekerja yang masih dalam tahap training. Dia keluar saat Ibunya tahu ia bekerja di mana dan mengamuk hingga menggebuki
“Papa mau kami pulang lagi?” Gaza menjawab pertanyaan papanya dengan sebuah ancaman.Papa Gaza mendengus. “Kamu sudah cukup tua untuk tidak bisa menjawab pertanyaan Papa.” Natasya menyentuh lengan Gaza pelan, memberikan sebuah senyuman kecil pada papa Gaza sebelum ia menjawab. “Kami sedang mengurusnya Om, semoga Om berkenan datang ke acara resepsi kami nanti,” tutur Natasya ramah. “Syukur kalau sedang di urus, jangan keasyikan diam nanti dikira yang tidak-tidak sama kolega papa,” tandas papa Gaza. “Papa ... sudah jangan diajak berantem terus, syukur mereka mau ke sini. Masuk Ga, Sya.” Vallen menepuk bahu Gaza dan memberikan senyuman pada Natasya. “Mereka mau adakan resepsi, tagih tanggalnya.” Papa Gaza masuk ke dalam meninggalkan kedua putra kembarnya dan Natasya. “Jangan terus dibalas darah tinggi juga dong Ga. Kamu tahu sifat papa seperti itu,” tambah Vallen.
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-