“Ke rumahnya?” tanya Natasya ketika mobil meninggalkan rumah Papa Gaza.“Rumah siapa?” Gaza bertanya balik.“Kembaran kamu,” jawab Natasya.Gaza berdecap dan menggeleng. “Mau apa ke rumahnya, kantornya saja. Lagian memang kita mau resepsi besok? Oh iya mengenai resepsi, kamu sungguh tidak keberatan? Kamu jangan hanya karena Papa yang bicara seperti itu terus langsung mau.”“Enggak apa-apa asal tidak sebesar punya kembaran kamu, aku ngeri kalau acaranya seperti itu. Aku bukan terpaksa Gaza, hanya salah satu usaha agar diterima baik dalam keluarga kamu. Ada satu hal yang ingin aku tanyakan sama kamu, tapi nanti saja kita bicarakan di rumah.” Natasya meraih selembar tisu dan menghapus jejak keringat di lehernya.“Apa itu? di sini saja, aku penasaran.” Gaza memutar kemudi menuju kantor Valen yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah orang tuanya.“Aku bilang di rumah.” Natasya tidak mau kalah dengan permintaan Gaza.“Dasar pemarah,” gerutu Gaza.“Kamu juga enggak bisa banget dib
“Apa sih?” sergah Natasya kesal terus dipandang Gaza dengan senyuman di kulum.Mereka sudah berada di Apartemen Gaza dan Natasya tengah melepas anting serta hendak berganti pakaian formalnya.“Kenapa kamu mengurusi orang bergosip sampai Valen saja menyindir – bini lu cemburu sana pulang – padahal kamu tinggalkan saja kelar urusan.” Gaza sendiri di belakang Natasya tengah melepas pakaiannya, mereka berpandangan melalui cermin besar di depan Natasya.“Mereka bilang kamu tidak sekaya kembaran kamu, dan kamu hanya menjaga jodoh orang bertahun-tahun. Makanya itu perempuan lebih memilih Valen yang kaya tujuh turunan.” Dengan masih bernada tinggi Natasya memelotot pada Gaza melalui cermin.Gaza tersenyum mendengarnya, melempar kemeja ke atas ranjang. Mendekatkan diri pada Natasya dan memeluk pinggangnya dari belakang lembut. Mendaratkan kecupan pada leher jenjang sang istri.“Enggak usah cium-cium awas .... ““Tidak perlu marah suami kamu di jelek-jelekkan, Sayang. Aku tidak tersinggu
“Bye, honey buny sweaty.” Gaza daratkan kecupan pada bibir polos Natasya.“Geli Ga astaga!” seru Natasya dengan mata melotot, namun tidak Gaza pedulikan.Setelah pemeriksaan terakhir Natasya, mereka mencari informasi sebanyak mungkin untuk pemilihan opsi lain dalam penyembuhan luka-luka di punggung Natasya. Sedangkan tersangka sendiri sudah di jatuhi hukuman berat, begitu juga dengan rumah bordil tempat sebelumnya ia bekerja. Pemeriksaan besar-besaran tersebut menimbulkan kegemparan pada semua pekerja. “Aku mulai bosan di Apartemen kamu, aku mau bekerja Ga.” Natasya mengutarakan keinginannya.“Iya jadi Asisten aku ya,” ledek Gaza.Natasya melotot kembali. “Aku serius, Gaza.”“Ok nanti aku pikirkan, kamu habiskan dulu uang aku itu. Aku berangkat dulu ya.” Gaza kembali mendaratkan kecupan pada bibir Natasya sebelum benar-benar berangkat.“Dasar orang kaya sombong. Aku saja enggak tahu harta kamu berapa,” gerutu Natasya sepeninggal Gaza yang membawa tas laptop hitam.Menghabiska
Natasya mengangkat kepala ketika jendela kaca mobilnya di ketuk dari luar, mendesah lega saat ternyata orang tersebut adalah Gaza. Tidak terasa hampir empat jam Natasya menunggu di dalam mobil, sudah lebih dari lima kali pintu mobilnya di ketuk dari luar oleh warga setempat atau orang yang lewat jalanan itu. Menanyakan apa mobilnya mengalami masalah karena berhenti terlalu lama di sana. Saat Natasya berkata akan ada yang menjemputnya, baru orang-orang tersebut meninggalkan Natasya sendirian.“Kamu tidur di mobil?” tanya Gaza melihat mata merah Natasya.“Enggak, aku menahan mengantuk menunggu kamu.” Natasya membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana.Memandang penampilan Gaza yang masih lengkap dengan pakaian kerja bahkan dasinya. Seketika Natasya tersenyum hangat, Gaza sungguh menyusul dirinya dengan jarak tempuh empat jam menuju lokasinya.“Aku lapar sekali Ga, kamu melarang aku ke mana-mana dan aku benar-benar hanya di mobil menunggu kamu selama empat jam. Beri aku makan.” Nat
“Aku sudah pesan makanan, nanti diantar kemari kalau sudah datang. Kita terpaksa pakai pakaian yang sama sampai besok, Di.” Gaza membanting punggung di atas ranjang ukuran sedang.“Di bolehkan sama hotelnya?” tanya Natasya yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi usai membersihkan diri.“Boleh, ini kita menginap di hotel minimalis jadi boleh. Coba Aston, mana boleh. Aku mau tidur dulu sebentar ya, kamu yang tunggu makanan diantar kemari.” Suara Gaza mulai melemah karena mengantuk.Natasya mengangguk memilih duduk di tepi ranjang dan menepuk badan Gaza untuk geser ke tengah. Memandang wajah terlelap Gaza yang dalam hitungan menit sudah mendengkur pelan, Natasya tersenyum kecil. Ia daratkan kecupan kecil pada pipi Gaza dan memilih berbaring menyamping dengan tangan memainkan ponselnya.“Capek sekali bapak satu ini. Maaf ya sudah merepotkan kamu,” gumam Natasya sebelum fokus pada ponselnya yang ternyata banyak panggilan dan pesan.Gaza tertidur satu jam karena Natasya membangu
Natasya menarik nafas panjang sebelum memasuki sebuah restoran yang ia tuju. Sedari Apartemen Gaza jantungnya tidak mau berdetak pelan. Orang yang akan ia temui adalah satu-satunya orang yang amat ia segani dan hormati. Adalah papa Gaza, beliau tiba-tiba menghubunginya entah mendapatkan nomornya dari mana dan memintanya bertemu untuk mengobrol.“Selamat siang, Om,” sapa Natasya.“Iya siang Diwang, silakan duduk. Mau pesan apa?” Papa Gaza menerima salam dari Natasya.“Om sendiri sudah pesan? Saya pesan minum saja,” jawab Natasya.“Sudah, pesan kopi tadi. Silakan pesan dulu.” Papa Gaza mempersilakan Natasya memesan terlebih dahulu sebelum mereka berbicara, keduanya hanya memesan minuman karena merasa tidak akan bisa makan dengan apa yang akan mereka bicarakan.“Langsung saja ya Diwang, kamu teman sekolah Gaza di Semarang benar? kata Valen seperti itu.” Papa Gaza mulai bersuara.Natasya mengangguk kecil. “Benar Om, saya satu sekolah bahkan satu meja dengan Gaza saat SMA. Saya juga
Natasya menginjak pedal gas mobilnya dengan kuat, tidak memedulikan klakson dari pengendara lain yang kaget karena kecepatannya mengemudi. Tujuannya satu, kantor Gaza. Akan tetapi saat Natasya sampai di kantor sang suami, Gaza sedang berada di luar kantor.“Halo Di ... katanya tadi kamu ke kantor? Ada apa? kamu posisi di mana?” Gaza memberondong pertanyaan begitu Natasya mengangkat panggilannya.“Di rumah, katanya kamu sedang di luar kantor.” Natasya menjawab dengan nada malas.“Iya ada pertemuan dengan klien, Apartemen maksud kamu?” Gaza menegaskan kembali ucapan Hera.“Rumah ... rumah aku. Kamu pukul berapa pulang?” Suara Natasya semakin terdengar malas menjawab.“Kemungkinan agak terlambat, ada beberapa kendala di kantor. Tapi aku usahakan langsung pulang begitu selesai ya. Mau aku jemput nanti di rumah kamu?” Gaza mengendus ada yang sedang Natasya tutupi dari cara dia menjawab.“Enggak usah, kamu kabari saja kalau sudah pulang. Nanti aku ke Apartemen, matikan Ga aku mengant
“Tidak perlu bangun.” Natasya mendorong kembali dada Gaza yang hendak bangun dari posisi terlentangnya.Selimut yang menutupi tubuh Natasya menjadi tersingkap karena gerak bangun Gaza. Natasya menarik ke atas kembali karena suhu ruangan terasa dingin menggigit lapisan kulitnya“Sebentar aku naikkan suhu ruangan dulu.” Gaza kembali bangun dan turun dari ranjang masih dengan tanpa busana.“Astaga Gaza! pakai baju!” seru Natasya.“Buat apa?” Dengan songongnya Gaza menjawab demikian.“Yang lihat kamu doang, bagian mana lagi yang enggak kamu lihat dari badan aku.” Gaza menambahkan setelah kembali menaiki ranjang dengan penerangan temaram.Natasya berdecap dengan tangan merapikan helai rambut berantakannya di kening.“Bicara,” pinta Gaza setelah nyaman berbaring miring menatap wajah wanitanya yang tetap terlihat cantik walau gurah lelah terlihat di sana karena aktivitas mereka.“Papa kamu meminta kita bertemu. Tunggu sebentar, aku cerita seperti ini bukan karena aku ingin mengadu s
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-