Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Nadya. “Maaf, saya tidak faham ucapan tante,” ujar Alea tidak enak.
“Aku tidak bermaksud apa-apa, tidak usah terlalu di fikirkan.” Nadya tertawa garing melihat reaksi Alea. Kemudian bangkit dan memasangkan kalung tadi di leher jenjang gadis itu.
“A -apa, aduh ma -maaf, tante tapi aku tidak bisa menerima ini!” seru Alea menolak saat kalung itu hampir saja bertengger indah di lehernya.
“Kenapa?” tanya Nadya heran.
“Saya hanya merasa tidak pantas. Kalung itu sangat berharga untuk tante dan keluarga tante. Saya rasa Leon lebih berhak, Tante!”
Alea menolak dengan sopan. Wajah nya terlihat sangat tidak nyaman.
“Leon sudah punya yang sama persis seperti ini,” sahut Nadya mengangkat kalung itu tinggi-tinggi di depan wajah.
“Aya
Entah kenapa, walaupun dia sangat membenci Leon, hatinya merasakan sakit saat mendengar ucapan pria itu barusan.“Apa salahku?”Apa salahku? Apa pria ini benar-benar tidak tahu letak kesalahannya? Baiklah akan kuberi tahu dia tentang kesalahan nya!Alea segera berbalik. Hatinya yang tadi tersentuh, kini kembali mengobarkan api amarah. Dengan langkah lebar dia berjalan mendekati Leon yang masih setia berdiri di balik pagar.Namun, semua amarah yang tadi hendak meluap, seketika kembali surut saat melihat pria itu memperlihatkan wajah putus asa. Ekspresi wajah yang selalu diperlihatkan Leon kecil, padanya dulu saat di kampung.Alea kembali tertegun dengan bibir membisu. Dia menatap wajah Leon beberapa saat lamanya, hingga mata mereka saling beradu pandang. Buru-buru gadis itu mengalihkan pandangan, dengan wajah bersemu merah. Kini Leon memiliki kesempat
“Kamu pilih juga yang kamu suka ya,” ucap Hamidah pada Alea. Gadis itu mengangguk sungkan dan membiarkan Hamidah memilih-milih pakaian dengan pegawai tadi.Setelah kedua orang itu hilang di balik tumpukan baju, Alea berjalan mendekati pakaian yang sangat disukainya tadi. Perlahan tangannya mengusap permukaan bahan pakaian itu, sangat halus. Diusapnya dengan sayang, dan memeriksa tiap bagian-bagian baju itu.“Cantik sekali!”“Kamu suka?” tiba-tiba Hamidah sudah ada di belakangnya bersama pegawai tadi.“Eh, enggak Oma! Cuma lihat-lihat aja, kok!” seru gadis itu kikuk, karena ketahuan.“Udah! Ambil aja. Mbak, ini di bungkus juga ya!” Hamidah memerintah pegawai tadi untuk membungkus pakaian itu juga bersama pakaian yang sudah di pilih untuk dirinya.“Jangan, Oma!” Alea menolak dan memberi isy
Hamidah melarang Alea menelepon ibunya. Dengan sengaja ingin membuat kejutan antara ibu dan anak itu.Sekitar satu jam perjalanan, mereka tiba di rumah Alea, setelah sebelumnya membeli banyak makanan juga oleh-oleh dan buah. Alea sampai berkali-kali menolak dan meminta tolong agar Hamidah tidak melakukan hal itu padanya, tapi tak sekalipun di gubris oleh wanita tua itu.Mobil berhenti di depan rumah Alea yang memiliki halaman luas dan tidak dipagar. Mendengar suara mobil di luar, Ibunda Alea yang sedang memasak di belakang, mematikan api kompor dan berjalan tergopoh-gopoh ke bagian depan rumah. Tak biasanya ada tamu dengan mobil datang berkunjung.“Assalamu’alaikum, Bunda!” seru Alea setengah berlari memeluk ibunda nya. Sang bunda balas memeluk anaknya dengan perasaan bingung.Di belakang Alea, Hamidah berdiri bersama sopir pribadinya. Menyadari hal itu, Ibunda Alea melepas pelukann
“Kenapa?” tanya Asha, bunda Alea keheranan melihat reaksi anaknya. “Ya, enggak apa-apa sih, Bunda!” Alea meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu merasa mati kutu. Bagaimana bisa bunda nya dengan santai mengundang pria yang paling di hindarinya itu ke rumah mereka. “Kamu udah siapkan kamar depan buat Oma?” Bundanya lagi-lagi bertanya, hingga membuyarkan lamunan gadis itu. Diapun mengangguk mengiyakan, dengan kedua jempol terangkat ke depan. Hamidah dan Asha sama-sama tersenyum melihat tingkah gadis itu. “Pak Asep kemana ya?” Hamidah bertanya sambil melongokkan kepala mencari keberadaan sopir nya. “Tadi sepertinya di depan, sama ayahnya Alea. Kebetulan hari ini ayahnya pulang cepat. Habis rapat katanya.” Bunda Alea menjelaskan dengan panjang lebar, sambil tangannya tak henti merapikan berbungkus-bungkus makanan yang tadi dibawa Alea dan Hamidah. Menyusunnya ke dalam lema
Sebuah kepala muncul dari balik pintu. Ternyata OB yang bertemu dengan Alea di koridor tadi, datang membawa dua cangkir kopi yang tadi diminta Ferdi.“Ini, kopinya Pak Ferdi,” tutur OB itu sopan seraya membungkukkan badan.“Kamu itu bikin saya kaget aja! Sudah sana!” Ferdi menghardik OB tadi, padahal pria itu mungkin seusia ayahnya.OB itu kemudian berlalu setelah sebelumnya melempar senyum oada Alea. Gadis itu balas tersenyum, sambil menganggukkan kepala.“Mbak, kenal sama OB, itu?” Ferdi mengajukan pertanyaan menyelidik. Alea tersenyum sinis, kemudian menjawab. “Aku tidak harus kenal, hanya untuk membalas sebuah senyuman, bukan?” sindirnya, melirik ke arah Ferdi yang masih menunjukkan sikap curiga.“Aku hanya bertemu di koridor dengannya, tadi, sebelum ke ruangan ini!” tegas gadis itu, menjelaskan situasi yang terjadi.
Dengan nafas ngos-ngosan Alea berhenti di depan gedung perkantoran yang akan dia tuju. Gadis itu memegang dada nya dengan sebelah tangan, sedang tangan sebelahnya berada di pinggang. Dia mencoba merasakan detak jantung nya yang tidak karuan. “Huft! Hampir saja,” ucapnya lirih pada diri sendiri. Setelah menarik nafas dengan teratur, dia kemudian merapikan pakaiannya yang kusut karena berlari tadi, lalu berjalan -dengan penuh percaya diri- ke dalam gedung perkantoran itu. Sekarang dia perlu bertemu dengan bendahara perusahaan, guna meminta bukti transaksi keuangan, juga legalitasnya. Langkah kakinya tidak lagi berhenti di depan meja receptionist, melainkan langsung menuju lift, dan berhenti di lantai 13 sesuai arahan OB tadi pagi. Tak butuh waktu lama bagi Alea untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Bendahara yang di temuinya jauh lebih mudah diajak bekerja sama daripada manager keuangan tadi
Setelah melihat mobil yang membawa Alea benar-benar menghilang dari depan rumah, Leon kembali menutup tirai jendela dan perlahan berjalan keluar kamar menemui nenek nya.“Alea sudah pulang, Nek?” tanya Leon bersandiwara. Hamidah memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa pria itu artikan. Yang pasti, saat itu dia merasa dikasihani, dan dia tidak suka.“Kok, ngeliatnya gitu amat, Nek?” Leon mendengus seraya menjatuhkan bobot tubuhnya kesamping Hamidah.“Emang, Nenek kenapa?” Hamidah mencibir ke arah cucunya itu, kemudian menyerahkan berkas yang tadi baru selesai di kerjakan oleh Alea. “Nih, kelakuan Tante mu! Bikin Nenek pusing. Entah bagaimana lagi harus bersikap pada mereka. Kalau bukan karena Bagus, anak nenek, pasti sudah lama Nenek penjarakan Tante mu itu!”Leon menerima berkas yang disodorkan oleh neneknya. Membaca lembar demi lembar kertas itu de
“Kok, pergi gitu aja? Kan belum habis gelangnya dicoba,” seru Bagas membujuk gadis itu. Dia tahu Alea sedang kesal. Yang di tanya tak menjawab, hanya berjalan lurus tanpa melihat kiri kanan.“Eh, itu ada boneka beruang besar banget!” Alea langsung menoleh le arah jari telunjuk Bagas. Benar saja, di salah satu stand dipajang sebuah boneka beruang seukuran manusia. Disana tertulis, jika bisa menembak dengan tepat tiga kali berturut-turut, bisa memperoleh boneka itu.Seketika mata gadis itu membola, memancarkan binar yang lebih terang. Langkah kakinya berbelok ke arah stand boneka itu.“Bang, aku mau main,” ucap Alea pada penjaga stand. Pria yang sedang menjaga stand itu menghampiri Alea dan menyerahkan senjata panah, tidak terlalu besar.Awalnya Alea kebingungan memakainya, tapi setelah memperhatikan pengunjung lain yang sedang memainkannya, Alea langsu
Leon berjalan dengan pikiran kosong, meninggalkan apartemen Safira. Setelah turun ke bawah, pria itu baru menyadari kalau hari sudah gelap. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 02.45 dini hari. Dia tersentak, lalu menyadari bahwa suasana memang sangat sunyi. Buru-buru dia ke tempat mobilnya terparkir, dan langsung melajukan kendaraannya pulang ke rumah...Leon merebahkan diri ke atas ranjang, mencoba mengingat rentetan kejadian yang terjadi di apartemen Safira tadi sore. Pria itu masih tidak bisa mencerna arah pembicaraan gadis itu. Apa maksudnya dengan ‘yang kita lakukan tadi?’ Leon mengacak rambutnya frustasi. Pikiran kotor mulai menghantui, tapi dia berusaha menepisnya sekuat tenaga. Dia berharap tidak terjadi sesuatu disana, antara dia dan Safira.***Pagi-pagi Nadya, ibunda Leon menggedor pintu kamar anaknya. Karena tak ada sahutan, wanita paruh baya itu nekat menerob
Leon terkulai tak sadarkan diri di sofa ruang tamu apartemen gadis itu. Lalu dengan santainya Safira melenggang, kemudian mengambil posisi duduk di atas paha pria itu. Tangan mungilnya dengan lincah memainkan keyboard ponsel, menyentuh tombol dial, untuk menghubungi seseorang. Tak lama kemudian, telepon terhubung.“Semua aman, loe bisa datang sekarang,” ujar Safira. Sementara tangannya mengelus wajah tampan Leon dan menyusurinya hingga dada. Setelah mendengar sahutan dari seberang sana, Safira memutuskan sambungan telepon, kemudian beralih mengamati wajah yang terlelap itu.“Oh, Leon! Seharusnya kita tidak perlu berada dalam situasi seperti ini, jika saja kau tidak memilih gadis kampung itu.” Gadis itu bergumam, dengan pandangan sedikit sayu. Ada sorot penyesalan yang terpancar dari mata itu. “Sayangnya, kau memilih dia daripada aku yang sudah sekian lama menemanimu.” Suara itu kini bergetar, sedikit serak
Alea menyambar tas nya, dan beranjak dari tempat itu, meninggalkan Leon disana. Namun, baru tiga langkah kakinya berjalan, lengan kekar pria itu sudah menahannya.“Gitu aja ngambek,” godanya sambil menyentil hidung Alea dengan ujung jari. Alea diam saja, masih memalingkan wajah. Pura-pura kesal.“Jangan marah, aku bingung kalau kamu marah.” Leon menggenggam kedua tangan gadis itu, disaksikan oleh pengunjung lain dan pemilik rumah makan. Mereka mulai bersuara, mendukung Leon.“Udah, Mbak! Jangan ngambek lagi, kasihan mas nya,” seorang ibu berkomentar. Alea melebarkan mata, memandang Leon. Lalu perlahan melirik keadaan sekitar. Betapa malunya gadis itu, saat menyadari kalau mereka sudah jadi bahan tontonan sejak tadi.Buru-buru Alea menarik tangannya, tapi di tahan oleh Leon. Pria itu malah menariknya hingga kini mereka berhadapan dengan jarak tak lebih dari tiga pul
Alea tidak menyadari bahwa sikap leon yang menyebalkan hanyalah cara agar dia selalu berada di samping pria itu, dan dia tidak menyadarinya. Bulir-bulir kristal bening lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tak terdengar. Ternyata Leon sangat melindunginya, dan dia malah sibuk membenci pria itu...“Leon!” Alea berdiri di ambang pintu, dengan wajah bersimbah air mata. Bibirnya bergetar saat menyebut nama pria itu. Leon dan Asha, yang sedang asik berbincang kaget melihat wajah sembab gadis itu.“Alea, kenapa?”“Kamu, kenapa?”Kedua orang itu berdiri, bingung. Lalu Alea menghambur ke pelukan Leon, tanpa menghiraukan Bundanya yang berdiri disana. Dia menangis sesenggukan. Leon mengusap rambut panjang gadis itu, menenangkannya. Berpaling ke arah Asha, dan meminta maaf dengan isyarat.“Kamu, kenapa
“Aku ingin melamar mu untuk jadi istriku,”“APA,” Alea terpekik kaget, mendengar ucapan Leon barusan. “Kau becanda!” seru gadis itu panik.“Tidak, aku serius!” pria itu menjawab dengan tegas. Alea bergeming di tempatnya.“Apa aku salah jika berfikir kamu memiliki perasaan yang sama denganku?” tanya pria itu serius. Alea menatap wajah itu, tampak berpikir sebentar, sebelum kemudian menyeretnya masuk ke dalam rumah.“Kau serius dengan ucapan mu barusan?” Alea kembali bertanya, dan Leon pun mengangguk dengan mantap sebagai jawaban.“Jika kau ingin mendengar jawabanku, kau harus menceritakan semuanya, apa yang terjadi padamu. Dari awal hingga akhir, tanpa ada yang di tutup-tutupi.” Alea bersedekap, menunggu jawaban pria itu.“Tidak bisakah itu nanti saja? A
“Alea ...!” sebuah suara yang sangat dia kenal terdengar memanggi dari arah belakang, tepat sebelum gadis itu menutup pintu rumahnya.Alea menoleh ke belakang dan mendapati Leon suda berdiri di sana, di balik pagar dengan raut wajah yang tidak bisa di jelaskan. “Leon?” seru gadis itu antara gembira, marah dan panik, bercampur jadi satu. “Ada apa, kesini?” suara nya berubah sinis, saat dia mengingat kejadian tadi siang di ruang kerja pria itu.“Boleh, aku bicara?” tanya Leon dengan wajah memelas. Alea menatap wajah itu, dan luluh melihat wajah tampan yang sekarang sedang memohon di balik pagar. Gadis itu berjalan kembali ke luar da membuka kunci pagar, lalu mempersilahkan pria itu masuk.“Ada apa?” tanya Alea saat mereka sudah duduk dengan nayaman di ruang tamu.“Eum, kata Lukman tadi, kamu memergoki Tante Soraya menelepon seseorang, un
“Apa, Nona menyukai Tuan Muda?”“HEH?” Alea terkejut dengan pertanyaan Cepluk yang terus terang itu. Asisten rumah tangga itu mengulas sebuah senyum di wajah polosnya.“Buktinya, tadi sampai nangis karena khawatir sama Tuan Leon.” Gadis itu menutup mulut karena geli.“Eh, enggak kok! Kata siapa?” Alea mengelak dari pandangan Cepluk, gadis itu mengusap wajahnya yang semakin menghangat.“Kata Cepluk, lah!” lagi-lagi dia menggoda Alea dengan senyuman.“Cepluk, jangan bilang apa-apa sama Nyonya Hamidah, ya!” bisik Alea di dekat telinga gadis itu.“Tenang aja, Nona! Aku yakin Nyonya Hamidah dan Nyonya muda akan merestui Nona jika berjodoh dengan TuanLeon,” sahut Cepluk,juga berbisik di telinga Alea.“Haduh, bukan itu! Tapi yang tadi,” seru Alea mena
Alea membelalakkan mata melihat pemandangan di depannya. Tampak seorang wanita dengan pakaian sexy sedang memeluk Leon dari belakang, sementara pria itu menghadap ke arah dinding kaca tebal membelakangi meja kerjanya. Sosok wanita itu tampak tak asing, dengan rambut panjang bergelombang dan suara nya yang manja.Leon membalikkan tubuh saat mendengar suara Alea dari arah pintu, pria itu kaget luar biasa. Tangannya refleks melepaskan lilitan lengan wanita itu di perutnya, dan mengejar Alea yang sudah belari dari sana.“Lepaskan!” bentak Leon dengan suara bergetar menahan amarah. Dia tidak sanggup membayangkan apa yang ada di dalam fikiran Alea saat itu. Hanya dengan sekali hentak, Leon sudah terbebas dari pelukan wanita itu, namun langkahnya tertahan karena tangannya dicekal dengan kuat.“Lepaskan, kubilang! Apa kamu gak bosan, mempermalukan dirimu sendiri, Safira?” wanita yang ternyata adalah Safir
“Saya ingin mengajukan pertanyaan,” soraya menginterupsi ucapan Pak Subagyo.“Ya, silahkan!” sahut pengacara itu dengan tenang.“Bagaimana dengan almarhum suami saya, kenapa dia tidak menerima apapun dari keluarganya?” Soraya bertanya dengan nada tidak puas. Pak Subagyo mengulum senyum sebelum kemudian berkata, “Apa maksud Nyonya dengan tidak menerima apa-apa? Bukankah semua yang di terima oleh Bagas dan Nyonya merupakan warisan keluarga Hutomo untuk suami anda. Kebetulan suami anda,Pak Bagus Hutomo sudah meniinggal dunia, sehingga yang menerima warisan adalah Nyonya dan anak Tuan Bagus, yaitu Bagas.” Pak Subayo menjelakank panjang lebar.“Tidak ada gunanya protes, malah akan merugikan dirimu sendiri. Seharusnya kamu berterima kasih karena aku masih memberikan warisan padamu,,” seru Hamidah dingin.“Baiklah, tidak ada gunanya berdebat!