Melihat senyum warga kampung, kekesalan Dilara menguap begitu saja. Bagaimana tidak kesal, suaminya menghabiskan miliaran rupiah tidak kurang dari 3 jam. Tetapi semua itu terbayar tuntas melihat senyum warga sekitar tempat ia tinggal mengembang. Apalagi saat Dilara mendengar beberapa diantaranya meminta maaf atas tindakan anggota keluarga yang ikut terhasut oleh ucapan abah Jajang. Sebagian lagi, menceritakan dengan antusias apa yang akan mereka lakukan dengan uang sebanyak itu. Hamish dan Dilara mendatangi Badrun yang istrinya menjadi korban di kebakaran rumah mereka. Mereka menyerahkan kunci ruko dan sejumlah uang yang lebih besar daripada warga yang lain sebagai wujud bela sungkawa atas kepergian teteh. Wajah Badrun yang datang dengan kedua anaknya masih muram tanpa kesedihan belum hilang. Hamish memeluk Badrun, menepuk pelan pundak pria itu, memberikan semangat. "Kalau akang butuh apa-apa, kabari saya. Saya pasti akan bantu semampu saya," pesan Hamish kepada pria bertubuh be
Aa!! "Bang, turunin!" Dilara meronta minta diturunkan. Hamish menggendong istrinya, menaiki tangga menuju ke kamar mereka. Setelah makan malam tadi, Hamish langsung undur diri dengan alasan lelah dan masih butuh banyak istirahat selama masa penyembuhan. "Katanya capek?" Dilara memajukan bibirnya, karena Hamish tidak kunjung menurunkannya. Padahal ia sudah malu setengah mati karena dilihat oleh anak-anak. "Kalau cuman gendong kamu, abang masih kuat," Hamish membalas ucapan Hamish santai. Telinga seperti tuli, mengabaikan sorakan anak-anak yang menggodanya.Hamish membawa Dilara masuk ke kamar mereka kemudian mengunci pintu. Dengan perlahan pria itu menurunkan Dilara di ranjang kemudian ia ikut merangkak naik. Dilara bergeser sedikit menjauh dari suaminya. Hamish mengernyit melihat tingkah sang istri lalu berkata, "Ngapain geser, Dik? Sini!" Hamish menepuk sisi ranjang di sebelahnya, meminta Dilara mendekat. "Aduh…aduh…." Hamish memegang perut berpura-pura kesakitan berharap Dila
"Bagaimana urusanmu dengan Lili?" Hamish yang sedang menandatangani berkas melirik sang asisten yang berdiri di depan meja kerjanya. "Aku tidak suka dengan rencanamu, Dam. Kamu mempermainkan orang tuamu dan memanfaatkan Lili. Akhiri segera atau aku yang akan membongkar semua." Hamish mengancam. Ia sampai menunjuk Adam dengan ujung pena, menunjukkan ia serius dengan ucapannya barusan. Adam menggaruk tengkuknya, bingung mencari kata untuk menggambarkan betapa rumit situasinya saat ini. "Ada apa?" tanya Hamish curiga. Ia sudah lama mengenal Adam, ia tahu jika lelaki itu sedang menyembunyikan sesuatu. "Sebenarnya —" Adam kembali menggaruk tengkuknya. Ia menarik nafas panjang kemudian menatap Hamish. "Sebenarnya besok pagi kami akan menikah."Hamish membalas tatapan Adam, tidak mengatakan apapun. Namun sedetik kemudian saat ia yakin Adam tidak sedang bercanda ia melempar asistennya itu dengan bolpoin dan juga asbak. Beruntung Adam sigap jadi bisa menghindari lemparan itu. "Apa yang s
"Dimana Lili?" tanya Dilara begitu Adam membuka pintu. Adam melirik tuan muda yang berdiri di belakang Dilara. Ia membuang nafas panjang sambil mempersilahkan bosnya masuk. Adam memperkenalkan Dilara kepada keluarganya yang datang ke acara pernikahan sederhananya dengan Lili. Pernikahan yang hanya mengundang keluarga dan dilakukan di rumahnya. Adm kemudian mengantarkan Dilara ke kamar pengantin. Kamar dimana Lili sedang mengganti kebaya dengan dress sederhana. "Kenapa pernikahan kalian mendadak sekali? Apa bang Adam melakukan sesuatu pada Lili?" tanya Dilara penuh selidik. "Lili, apa yang terjadi? Apa Blbang Adam memaksamu?" Merasa Adam tidak akan menjawab dengan jujur, Dilara beralih bertanya kepada Lili. Gadis itu melirik suaminya sepintas. Melihat gelengan kepala Adam, Lili menjawab, "Enggak, La. Aku sama bang Adam sudah lama sekali suka. Kebetulan keluarga bang Adam datang, jadi kami menikah," kilah gadis itu. Dilara tidak langsung percaya. Ia menatap satu per satu ketiga o
"Saya curiga sama bang Adam," ucap Dilara yang sedang menyiapkan pakaian ganti untuk Hamish. "Curiga gimana?" Tangan Hamish yang sedang membuka kancing kemeja berhenti beberapa saat, sekilas melirik istrinya yang menunggu kemeja kotor darinya. "Ya soal tiba-tiba nikahin Lili. Pasti ada apa-apanya," tebak Dilara. "Masa nikah dadakan begitu?" Sambil mengungkapkan kecurigaannya, Dilara mendekati ranjang, membersihkan dengan sapu lidi karena mereka bersiap untuk tidur."Kita dulu juga dadakan, loh Dik." Hamish mengingatkan sambil tersenyum jahil. Bibir Dilara mengerucut kesal. "Sudah, ngapain mikirin mereka? Lili dan Adam sudah dewasa. Mereka bisa buat keputusannya sendiri." Hamish menarik tubuh Dilara mendekat, setelah itu ia memeluk istrinya dari belakang. "Lebih baik kita mikirin rencana bulan madu. Dua minggu lagi abang sudah bisa cuti. Kamu mau kemana?" Hamish meletakkan dagunya di pundak Dilara. Sudut bibir Hamish terangkat mendengar nafas istrinya yang mulai berat. Ia sengaj
"Jaga bicara anda, Tuan!" Adam maju satu langkah menutupi tubuh kecil Lili. Parman memicingkan mata, memindai Adam dari atas hingga bawah. Ia belum pernah melihat pria ini sebelumnya?“Jadi lu sugar daddy anak gue?” Parman berjalan memutari Adam, kembali memperhatikan Adam.“Lu berani bayar anak gue berapa? Anak gue masih perawan, harganya mahal.” Jika tidak ingat sedang berada di rumah sakit, Adam pasti sudah menghajar mulut kurang ajar Parman."Apa kerjaan lu? Sopir, ya? Anak gue lu bayar berapa?" Parman terus memberondong Adam dengan pertanyaan yang membuat hati pria itu panas. Wajah dingin dan tanpa ekspresi Adam terlihat semakin menyeramkan karena ia menahan emosinya. Pernikahannya dengan Lila mungkin karena saling membutuhkan tetapi Lila tetaplah istrinya yang harus dan wajib ia jaga martabatnya. “Saya suami Lili,” kata Adam pada akhirnya. Langkah Parman terhenti, kali ini ia menatap mata Adam mencari kejujuran dari ucapan Adm barusan.Tidak mengatakan apapun, ia menarik t
"Untuk apa uang sebanyak itu?" Hamish menutup komputer lipatnya dan menjadikan Adam sebagai satu-satu pusat perhatian.Adam terdiam tidak langsung menjawab jika ayah Lily meminta uang sebesar 500 juta sebagai mahar untuk menikahi putrinya.Pria itu mengancam akan mengeluarkan ibu Lili dengan paksa dari rumah sakit dan membawa istrinya pergi jika Adam tidak menyediakan permintaannya itu. "Dam, ada apa sebenarnya?" Bukan Hamish tidak mampu meminjamkan uang sebanyak itu. Tetapi kalau sampai Adam meminjam uang kepadanya artinya orang kepercayaannya itu sedang dalam masalah. "Maaf, tuan muda, saya permisi dulu." Adam membatalkan niatnya untuk meminjam uang kepada Hamish.Ia memilih untuk berusaha sendiri walau itu artinya ia harus menjual rumah yang ia beli dengan hasil keringatnya sendiri. Adam ke rumah sakit untuk melihat keadaan mertuanya. Ia punya waktu dua hari untuk menyiapkan uang. "Apa mungkin kalau ibu saya dipindahkan ke ruangan yang lebih private dan lebih terjamin keamanan
"Maaf, Bang!" seru Lili penuh sesal. Ia tidak bermaksud melibatkan Adam dalam masalah keluarganya. Diamnya Adam membuat Lili semakin merasa bersalah dan berpikir pria itu marah kepadanya."Maaf, aku sudah membuat abang susah." Lili menunduk tidak enak hati.Lili bersikeras ingin tahu uang apa yang ayahnya minta. Ia dengan tegas melarang Adam memberikan uang yang Parman minta karena pernikahan mereka hanya pura-pura dan mungkin tidak akan lebih dari satu tahun. "Bukan salahmu!" Adam menjawab singkat kemudian meninggalkan Lili di ruang tamu."Bereskan belanjaanmu! Jangan sampai dagingnya busuk," ucapnya lagi sebelum masuk ke kamar.Adam membuka laci kecil yang ada di dalam lemari pakaian. Mengeluarkan sertifikat rumah lalu pergi dari rumah tanpa berpamitan kepada Lili. Ia menuju rumah Hamish berharap sang tuan muda mau membeli rumahnya.Hamish yang duduk berhadapan dengan Adam menatap pria itu dengan tajam, semakin penasaran dengan masalah yang Adam sedang hadapi saat ini. "Kenapa
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k