“Kenapa abang ngomong gitu? Kalau tuan Putra marah dan mengamuk gimana? Bukannya kita harus bikin supaya tidak ada lagi permusuhan antara Akbar dan Djaya?” Dani langsung protes setelah Putra pergi."Abang hanya bilang yang sebenarnya biar Djaya gak merasa di atas angin karena dulu keluarga Akbar pernah mengalah."Dani menggosok alisnya tidak gatal mendengar penjelasan Adam. ia memikirkan hubunganmu dengan Selena nanti jika kedua keluarga ini terus berseteru. "Abang akan cari tahu tentang video ini. Secepatnya akan Abang beri kabar." Adam tidak mempedulikan kegalauan Dani.Ia berdiri lalu mengancingkan jasnya. Pergi keluar meninggalkan Dani dan dekan.Dani duduk di kursi dekan menggantikan Adam. Ia mengetuk-ngetuk meja sambil memikirkan sesuatu. Dekan yang masih takut, berdiri di sebelah Dani siap menunggu perintah dari sang tuan muda. "T —tuan muda butuh sesuatu?" tanya dekan takut-takut."Apa fakultas punya catatan tamu yang datang?" Dani menoleh, melihat pria tua yang ada di seb
“Jadi dia pake nama palsu?” Selena sama terkejutnya dengan Dani saat suaminya itu menceritakan apa yang ia tahu tentang si pengirim makanan.Ia sedang duduk di meja makan dan menikmati makan malam yang Dani beli sebelum pulang dari kantor.Yup, Dani memilih pulang tepat waktu dan mengabaikan perintah Hans. Ia membawa pulang semua pekerjaannya yang belum selesai demi bisa makan malam bersama dengan Selena.Tentu saja ia pulang dengan menggunakan mobil yang Adam siapkan untuknya. Ia tidak mau ada orang yang mengikutinya seperti kemarin.Belum selesai menikmati makan malam, ponsel Dani berdering dan nama Dilara terpampang di sana.Selena menatap Dani, pria itu tahu diri dan mengerti maksud tatapan Selena. Ia menyetel mode pengeras suara lalu menyapa kakaknya itu.“Mbak bikin acara di rumah. Slametan. Kamu ke sini sama Selena, ya? Malam juga gak apa-apa. Bisa?” Suara Dilara mengisi ruang makan.Dani menatap Selena sejenak, lalu berkata , “Tapi mbak –”“Dan, sampai kapan kamu mau sembunyiin
“Yank, kamu masih marah?” Dani hanya bisa memandangi punggung Selena.Setelah pulang dari rumah Hamish, Selena tidak bicara sama sekali. Dan kini, saat mereka sudah di atas ranjang, wanita itu memunggunginya dan menutup nyaris seluruh tubuhnya dengan selimut."Yank…, " panggil Dani lagi, tetapi Selena tidak bergerak sama sekali. Tidak bisa! Ini tidak bisa dibiarkan! Ia tidak akan tahan jika harus diam-diaman seperti ini. Dani memutar otaknya, mencari cara agar Selena tidak lagi marah dan hubungan mereka kembali seperti semula. Dani masuk ke dalam selimut melingkarkan tangannya ke pinggangnya lalu menggeser tubuhnya mendekati sang istri. Ia menyembunyikan wajahnya pada punggung Selena lalu menggosoknya pelan. Dani bisa merasakan punggung Selena bergerak saat wanita menarik nafas panjang. Walau begitu, Selena tidak meminta Dani menjauh. “Mau denger aku cerita, gak?” tanya Dani. Ia mengecup punggung Selena beberapa kali.Dani memulai ceritanya walau Selena tidak menjawab. Mulai dar
[Jangan sampai kalian tidak datang!] Dani membaca pesan yang dikirim oleh mertuanya.Dani mendongak ketika Selena mengambil ponsel dari tangannya. Istrinya ingin membaca sendiri pesan yang tuan Putra kirimkan untuk mereka.Tidak terasa sudah waktunya Selena memeriksakan diri. Memastikan apakah ia sudah hamil atau belum.Manik Selena terus bergerak membaca pesan papa yang meminta mereka untuk datang ke rumah sakit dan memeriksa apa Selena hamil atau tidak.Sesuai perjanjian mereka harus bercerai jika Selena tidak hamil.“Gimana ini, Mas?” Selena duduk di sebelah Dani. Kakinya naik ke atas sofa. Setelah mengembalikan ponsel Dani, ia menggigit kuku ibu jari karena gugup dan takut.“Ya… tinggal datang, kan Yank.” Dani meletakkan ponsel di atas meja. Ia ikut menaikkan kaki dan duduk saling berhadapan dengan Selena. Ia menikmati wajah gugup sang istrinya.Ia suka sekali melihat berbagai ekspresi Selena. Mulai dari kesal, sedih, marah sampai gugup. Semua membuat Dani bisa menikmati kecanti
“Ternyata lu ini lebih rendah dari yang aku kira!” Hans bersedekap, ia bersandar pada tepi meja. Menggeleng pelan, mengejek Dani yang baru saja datang.Kening Dani mengernyit, tidak mengerti apa yang Hans sedang bicarakan. Ia meletakkan tasnya di kursi lalu duduk sambil memeriksa pekerjaan yang sudah menunggunya. “Maksud bapak apa?” Dani mengambil sebuah map, membuka lalu membaca apa software yang harus ia kerjakan. “Halah, gak usah pura-pura gak tahu! Gue pikir lu itu mahasiswa beneran ternyata nyari tante-tante juga.” Hans terkekeh menertawakan Dani. Mata pria itu bergerak dari atas ke bawah, memperhatikan penampilan Dani. “Pantes pakaian lu semuanya branded. Ternyata lu jual diri,” tuduhnya setelah bisa mengenali merek pakaian dan celana yang dikenakan Dani. “Jam lu asli? Gila, lu dibayar berapa per jam?” tanya Hans lagi.“Jangan sembarangan, Pak! Aku gak pernah seperti itu.” Dani membantah dengan tegas. Tetapi bukan percaya Hans justru tertawa.“Sudah ada buktinya masih ngelak
“Kamu ini benar-benar menantu tidak berguna! Hanya bisa membuatku malu saja!” pekik Putra sambil mendorong Dani hingga pemuda itu tersungkur di lantai. Selena berteriak terkejut. Ia berlari menghampiri Dani dan membantu suaminya berdiri. “Papa ini apa-apaan?!” Selena berteriak. “Seharian ini Dani kerja keras buat nurunin semua berita itu dari berita online.” “Percuma saja! Satu Indonesia sudah baca berita itu! Sekarang siapa yang mau sama kamu, Lena! Semua orang berpikir kamu wanita murahan.” “Papa!” Dani meneriaki Putra yang sudah keterlaluan. Mana ada seorang ayah yang mengatakan hal tidak pantas seperti itu kepada putrinya sendiri. Putra berdecak sebal. Ia menarik rambutnya yang sudah beruban karena frustasi menghadapi situasi saat ini yang sangat merugikan perusahaannya. Baru beberapa jam saja beberapa investor sudah membatalkan kerja sama mereka, bahkan ada juga yang menarik dana investasinya. Belum lagi pengusaha yang hendak ia jodohkan dengan Selena yang akan memikirkan k
“Ka – kamu?” Wajah Selena berubah pucat saat melihat siapa yang berdiri di depan pagar rumahnya.Setelah Dani berangkat, Selena mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Sambil menyapu lantai ia memikirkan kebiasaan Dani yang sedikit mengganggunya.Setiap kamu mereka makan, Dani selalu memesan makanan apapun yang Selena suka. Tetapi biasanya ia akan memesan nasi goreng atau paling bagus juga spaghetti.Selena menghubungi Dilara. Untung saja hari itu mereka sempat bertukar nomor telepon.Walau agak sungkan, Selena tetap bertanya makanan kesukaan Dani. Walau tidak bisa masak, paling tidak saat mereka makan bersama Selena bisa memesankan makanan yang Dani suka.Berbekal bolpoin dan kertas, ia mencatat semua nama makanan yang Dilara sebutkan.“Dani itu paling suka makanan rumahan. Sayur bening, tempe goreng dan sambal juga kerupuk saja, dia sudah senang.” Suara Dilara terdengar di ujung telepon.Selena menggigit bibir bawahnya. Ini kelemahannya. Ia tidak bisa masak makanan Indonesia. “
Dani menindih Selena yang terbaring di atas ranjang. Menyipitkan mata, menatap penuh selidik istrinya sendiri. “Kamu habis ngapain?” tanya Dani sambil memperhatikan pundak Selena yang terekspos dengan jelas. Dani mendapati Selena hanya mengenakan handuk yang melilit di tubuhnya yang setengah basah.“Habis mandi, lah Mas! Gak kecium ya, wangi sabun?” Selena mendekatkan wajahnya pada Dani agar suaminya bisa mencium wanginya sabun mandi. Darah Dani berdesir saat kulit mereka saling bersentuhan. Lelaki itu menarik nafas panjang, menikmati wanginya sang istri. “Kamu godain aku, ya?” Dani melepaskan ujung handuk yang terselip di bagian depan. Membukanya sedikit dan melihat yang bersembunyi di balik handuk putih itu.Selena membusungkan dadanya, menantang sambil memasang senyum licik. “Siapa yang godain? Siapa suruh masuk gak pake ketuk pintu dulu.” Selena melingkarkan kakinya pada pinggang Dani, mengunci suaminya agar tidak bisa bergerak. Mengalungkan tangan pada leher Dani dan memaks
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k