"Aku harus ke Jakarta beberapa hari. Rekeningmu sudah bisa digunakan lagi. Aku sudah mengirimkan sejumlah uang untuk pegangan selama aku pergi." Hamish bicara sambil memasukkan beberapa bajunya ke traveling bag ukuran sedang.Dilara berdiri di ambang pintu, hanya berani memperhatikan Hamish tanpa berani bertanya karena tahu suaminya masih marah.Mata hitam Dilara berkaca-kaca, menahan kesedihannya. Hamish yang berubah dingin membuat Dilara semakin merasa bersalah, tetapi ia tahu sekarang bukan saat yang tepat. Apalagi Adam sudah memperingatkannya.Hamish mengangkat tasnya, menurunkan dari atas ranjang. Ia mengambil jaket kulit lalu keluar kamar melewati Dilara begitu saja.“Bang, tunggu!” Suara Dilara menghentikan langkah Hamish. Suara langkah kaki Dilara terdengar mendekat.Wanita itu mengambil tangan Hamish dan mencium punggung tangan suaminya seperti yang biasa Dilara lakukan jika Hamish hendak pergi.Hamish diam, tidak mengatakan apapun, tersenyum pun tidak. Hamish langsung masuk
"A —Apa yang kalian lakukan?!" Syahril berteriak. Saat mendapatkan telepon kalau perusahaannya didatangi oleh beberapa orang, Syahril langsung menuju ke kantornya.Orang-orang suruhan Hamish masuk ke setiap divisi dan mengambil alih operasional. Melakukan audit besar-besaran seperti yang Hamish perintahkan.Syahril semakin geram karena kantornya diobrak-abrik. Mereka memeriksa setiap laci dan lemari, mengeluarkan semua isinya hingga ruangan Syahril jadi berantakan.“Berhenti! Keluar kalian!” Syahril kembali berteriak kali ini ia menarik orang yang ada paling dekat dengannya, menyeret orang itu keluar namun gagal. Orang itu menepis tangan Syahril lalu kembali mengerjakan pekerjaannya.Tidak menyerah, Syahril mendekati orang yang lain, mencoba memaksa mereka keluar tetapi percuma.Syahril mengangkat telepon, menghubungi satpam kantor dan memerintahkan mereka untuk segera datang.Tak sampai lima menit beberapa petugas keamanan berseragam safari masuk ke ruang kerja Syahril. Syahril yang
"Kamu gak bisa melakukan ini, Mish! Aku ini masih keluargamu!" Syahril berteriak sampai menjadi pusat perhatian orang-orang ketika membaca surat perintah penangkapan yang dibawa oleh polisi.Ia menolak untuk dibawa ke kantor polisi membuat para petugas terpaksa membawanya dengan paksa.Syahril meronta, mencoba melepaskan diri dari para petugas berseragam coklat yang memegangi tangannya.Selama perjalanan turun dari lantai ruang kerjanya ke lobi, Syahril terus saja berteriak mengatakan pada Hamish jika ia keponakannya itu seharusnya tidak memenjarakannya.Ia berteriak memaki dan juga mengatakan bahwa Hamish tidak akan bisa memenjarakannya lalu meminta sekretarisnya untuk menghubungi pengacara."Ini baru sebagian kecil pembalasan ku buat om." Hamish menanggapi santai Syahril yang melotot ke arahnya. Pria itu enggan masuk ke mobil polisi dan masih menuntut untuk dibebaskan."Apa kalian tidak tahu siapa aku, huh?! Aku ini Syahril Akbar! Kalian tidak bisa menangkapku seperti ini." Syahril
"Mawar keluarkan aku dari sini!" Syahril menggebrak meja dengan wajah memerah saat Mawar dan pengacara mengunjunginya di kantor polisi"Sampai pemeriksaan selesai, kamu harus tetap disini, Bang." Mawar mengibaskan kipas ke wajah untuk menghalau pengapnya udara ruang pemeriksaan."Dan berapa lama itu?" tanya Syahril dengan kening mengernyit. Mawar menoleh melihat pengacara, menyerahkan kepada pembela itu untuk menjawab pertanyaan Syahril."2x24 jam, Tuan. Jika mereka tidak menemukan bukti, mereka pasti akan membebaskan tuan."Syahril duduk pasrah, tidak ada gunanya berdebat. Hanya satu hari lagi.Mawar mengambil ponsel dari tasnya saat mendengar suara notifikasi. Sebuah pesan dari anak buahny berisikan tautan. Nyonya sebaiknya melihat ini. ~ Tulis pesan itu. Penasaran dengan tautan berwarna biru, Mawar mengklik. Matanya membulat sempurna melihat berita yang ditayangkan disalah satu kanal berita online.Hamish sedang duduk bersama beberapa pengacara terkenal. Pengacara yang ditunjuk
Menunggu Syahril menjalani operasi dan menunggu sang paman sadar, membuat Hamish lupa jika seharusnya hari ini ia kembali ke Sidoarjo untuk menyelesaikan masalahnya dengan Dilara.Hamish masih duduk di depan ruang pulih sadar bersama dengan nyonya Syahril yang sejak tadi gelisah. Wanita itu sesekali melirik Hamish sinis sambil mengumpati keponakan suaminya itu. Beruntung tidak ada hal serius yang terjadi kepada Syahril. Dokter hanya harus memasang beberapa ring jantung untuk membuat jantung pria itu bisa bekerja lebih optimal.“Tante akan menuntut pertanggungjawaban mu, Mish! Jangan pikir karena om Syahril baik-baik saja, tante akan melupakan ini," pekiknya sambil mengikuti bangkar Syahril yang baru saja keluar dari ruang pulih sadar menuju kamar rawat.Hamish mengatur agar Syahril di rawat di kamar rawat terbaik di rumah sakit ini. Tetapi niat baiknya itu tidak disambut baik oleh nyonya Syahril."Gak usah sok baik! Kamu pikir kami gak bisa bayar rumah sakit, hah?!" Nyonya Syahril me
"Tuan muda, Erik melarikan diri dari tahanan." Kabar yang Hamish dapat dari Adam dalam perjalanannya menuju rumah membuat pria itu semakin khawatir. Ia mulai menghubungkan kaburnya Erik dengan kepergian Dilara. Setelah Mila menelponnya tadi, Hamish langsung mengatur kepulangannya ke Sidoarjo. Kini, duduk di mobil bersama dengan Adam menuju ke rumahnya.Adam kembali bicara di telepon melalui earbud yang jarang sekali lepas dari telinganya."Baik, terima kasih atas informasinya." Adam melirik, melihat Hamish dari kaca spion."Ada apa, Dam?" Dari gelagat Adam, Hamish bisa menebak pasti ada masalah."Nyonya Mawar menghilang, Tuan Muda. Pihak kepolisian baru saja mengkonfirmasi." Hamish menghembuskan nafas panjang. Semakin khawatir sesuatu terjadi kepada istrinya. Tidak mungkin sebuah kebetulan Erik dan tante Mawar menghilang diwaktu yang hampir bersamaan.“Minta orang kita untuk mencari mereka berdua.” Hamish memberi perintah setelah sekian lama diam. Ada sedikit penyesalan dalam hatin
“Terakhir kali Dilara nge-chat saya itu mau pinjam uang, Tuan Muda. Tapi saya juga lagi gak pegang uang, jadi saya gak bisa kasih.” Lili menunduk penuh penyesalan.“Dia tidak mengatakan hal aneh?” tanya Hamish dari balik meja kerjanya. Ia memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri memikirkan sang istri.Lili menggeleng pelan.“Dia tidak punya kenalan lain? Teman atau kerabat lain?” tanya Hamish lagi berharap menemukan petunjuk lain.Lili kembali menggeleng. "Setahu saya satu-satunya tempat yang sering Dilara kunjungi hanya makam mendiang ayahnya, Tuan Muda."Adam sudah memeriksa tempat itu, tidak ada tanda-tanda orang datang. Bisa ia pastikan jika Dilara tidak kesana."Coba hubungi Lara. Mungkin saja dia memblokir nomorku." Ia memberi perintah.Dengan tangan bergetar, takut dengan wajah serius Hamish yang seperti singa siap menerkam mangsa, Lili mengambil ponsel dari saku rok seragamnya.Jari kecil Lili bergerak cepat mencari nomor ponsel Dilara. Menggeser tombol hijau lalu menempelkan
Hamish setuju untuk membantu Widianto dengan syarat Widianto harus mengakui semua kejahatan yang ia lakukan. Pria itu setuju. Lebih baik ia mengakui sendiri apa yang ia lakukan daripada aibnya dibuka oleh orang lain.Hamish dan Adam mengatur kepergian Widianto ke Jakarta dan memasukkan Widianto ke dalam program perlindungan saksi untuk kasusnya."Apa anda tidak tahu tempat yang kira-kira dijadikan tempat persembunyiannya oleh tante Mawar?" tanya Hamish sebelum Widianto berangkat.Pria itu berpikir sejenak, kemudian menggeleng. Dengan pengawalan polisi, Widianto berangkat ke Jakarta sedang keluarganya di Sidoarjo akan dilindungi polisi sampai Mawar ditangkap.Hamish mendatangi kantor Erik setelah Widianto berangkat. Tidak ada karyawan yang berani menghalanginya karena semua sudah tahu perusahaan jasa itu sudah beralih tangan ke Akbar Corp.Ia masuk ke ruang kerja Erik. Meminta sekretaris Erik untuk membuka brangkas yang ada di ruangan ini.Hamish memeriksa lemari besi itu, mengeluark
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k