"Abang mau datang ke acaranya abah Jajang?" Suara Dilara mengisi pendengaran Hamish yang sedang meletakkan barang-barang belanjaan di ruang tamu.Saking banyaknya belanjaan mereka, Hamish sampai harus menyewa mobil pick-up untuk membawa barang-barang itu pulang."Enggak, Dik. Ngapain? Itu kan acara keluarga. Kecuali abah emang bikin acara buat satu kampung." Hamish meletakkan oven kompor di lantai.Dilara mengangguk setuju. Wanita itu mengambil bahan-bahan kue lalu membawanya ke dapur. Sambil sesekali memperhatikan rumah abah Jajang, Dilara memindahkan tepung dari plastik ke kontainer kedap udara.Wanita itu memicingkan mata, menajamkan penglihatan saat melihat siluet pria di teras abah Jajang."Besok abang bantuin bikin kue, ya?" tawar Hamish. Ia membawa setumpuk loyang yang di atasnya ada beberapa baskom yang akan ia cuci."Liat apa?" tanyanya sambil meletakkan tumpukan loyang di dekat tempat cuci piring.Dilara masih menatap jendela jauh ke rumah abah Jajang. "Abah punya anak laki
"Kurang?" Masih melihat kedua orang itu melongo, Hamish kembali ke motornya dan mengambil amplop yang ia simpan di bawah jok motor.Di depan pemilik toko bangunan dan si buruh, Hamish mengeluarkan isi amplop coklat yang ia bawa.Mulut keduanya terbuka semakin lebar, menganga tidak bisa berkata-kata. "I — ini uang semua? Ka -—kamu dapat dari mana?" Si pemilik toko bangunan mengambil selembar uang yang ada di atas lemari kacanya. Memastikan itu benar uang asli."Kerjalah!" seru Hamish kesal. Ia mengambil uang yang dipegang oleh pemilik toko bangunan.“Ini cukup, kan?” Hamish memberikan limma gepok uang seratus ribu untuk membayar semua barang yang akan ia beli. Ia juga memberikan sepuluh gepok kepada buruh sebagai tanda jadi jasanya. “Saya mau selesai dalam dua minggu. Kalau berhasil saya kasih bonus.” dua pasang mata yang baru saja menerima orang dari Hamish berbinar bahagia. Mereka yang tadinya merendahkan Hamish kini berbalik sangat menghormati Hamish Akbar.Semua barang sudah t
“Urang kasih pelajaran eta Hamish, sialan!” Jajang yang gelap mata keluar dari kamar uangnya. Mengambil parang yang tersimpan rapi di dalam peti.Erik segera menyusul ayahnya. Menahan abah agar tidak nekat mendatangi Hamish dan membuat keributan.“Tenang, Bah! Urusan gini kita harus punya bukti. Salah-salah nanti abah yang dihakimi warga.” Erik mencoba menenangkan pria tua itu.Lilis setuju. Ia ikut menenangkan abah dan membawa pria itu ke kamar.“Sekarang, kita awasin aja dulu orang itu. Nanti begitu ada bukti, kita tangkap. Biar warga yang hukum dia. Saya denger, biar kampung selamat, harus dibakar, Bah,” ujar Erik. Kali ini Hamish pasti merasakan akibat karena berurusan dengannya. Ia akan lepas dari segala tuduhan karena warga kampung akan melakukan semua itu untuknya.“Kamu awasin rumah itu. Kamu juga, Lis. Kalau ada berita apapun, segera kabarin abah.” Abah Jajang memberi perintah.Lilis keluar kamar lebih dulu, sedang Erik ia membisikkan sesuatu ke telinga abah, membuat pria it
“Ini bukan punya saya, Kang!” elak Hamish.Tidak merasa memiliki benda aneh itu.“Akang lihat sendiri kemarin saya tidak membawa ini ke ruko.” Hamish membuang kotak itu.Berita penemuan kotak aneh yang terbakar sama sekali itu dengan cepat menyebar. Bukan hanya di desa tempat Hamish tinggal tetapi juga desa sebelah.Warga menatap aneh Hamish jika melintas di jalan kampung. Mereka berbisik saat Dilara keluar rumah.Ibu-ibu yang awalnya ramah dengan Hamish kini menjauh dan bersikap dingin dengan Hamish.“Bang, orang-orang makin mikir kalau abang pake cara mistis buat dapat uang.” Dilara bercerita mereka makan siang.“Biar aja, Dik! Yang penting itu gak bener.” Hamish tidak terlalu peduli. Ia makan dengan santai tanpa beban sama sekali.Hamish melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia datang ke ruko setiap hari untuk mengawasi pembangunan ruko.Ya, akhirnya ia merobohkan bangunan ruko yang sudah terbakar dan membangun lagi dari awal. Tidak lagi ruko, kali ini Hamish membangun rumah serta
~ Lembang ~Setelah Hamish berangkat, Dilara menyibukan dirinya di dapur dengan membuat kue basah yang akan ia titipkan di warung. Selama toko kuenya belum selesai dibangun, Dilara memperkenalkan kue buatannya dengan menitipkan di warung-warung yang ada di sekitar desa.“Teh, saya anter ini dulu. Teteh gak apa-apa, kan sendirian di rumah.” Dilara menggeleng, ia melanjutkan membersihkan dapur yang lumayan berantakan sementara istri Badrun pergi mengantarkan kue-kue basah buatan Dilara.Rasa memang tidak bisa berbohong. Walau warga desa menganggap Dilara tidak waras, tetapi lidah mereka tidak bisa bohong.Kue buatan Dilara sangat enak dan cocok untuk lidah mereka. Itu sebabnya kue-kue buatan istri Hamish itu selalu habis terjual.CEKLEK!Tangan Dilara yang sedang menggosok loyang seketika berhenti saat mendengar suara pintu yang tertutup.Kening wanita berkerut, ia sangat yakin setelah teteh Badrun pergi, ia sudah menutup pintu. Dilara menggeleng pelan. "Saya pasti lupa. Itu angin!"
Kedatangan Hamish masih menjadi pusat pembicaraan warga kampung. Semua terheran-heran melihat pria itu datang ke dengan menggunakan helikopter serta berpakaian rapi. Belum lagi Hamish membawa dua orang berpakaian putih seperti dokter yang seketika memancing rasa penasaran warga. Kabar tentang Hamish juga sampai ke telinga Abah Jajang. Mendengar suara helikopter ia bergegas ke halaman belakang rumahnya. Mulut pria tua itu terbuka lebar melihat sendiri helikopter yang bawa Hamish. Karena walaupun Abah adalah juragan kaya raya Iya belum pernah melihat apalagi menaiki helikopter secara langsung. "I — ini bener Hamish yang bawa? Wah… urang rasa dia bener-bener ngepet!" ujar Abah Jajang sambil menatap kagum helikopter hingga ia lupa berkedip. Ia semakin yakin apa yang Erik katakan itu benar. Ia dan warga harus segera mengambil tindakan sebelum kampung ini terkena sial dan ia kalah saing dengan HamishTeteh Badrun membukakan pintu kamar yang sejak tadi ia kunci. Mempersilahkan Hamish b
"Periksa rumahnya!" titah abah Jajang. Pagi-pagi sekali iya dan beberapa warga kampung sudah berdiri di depan rumah Hamish.Tidak menunggu izin dari si tuan rumah, tiga pemuda kampung langsung masuk bahkan mendorong Hamish yang berdiri di depan pintu agar menyingkir. Mereka menggeledah setiap sudut rumah Hamish mencari bukti jika Hamish menggunakan ilmu hitam untuk mengumpulkan harta. "Hei! Kalian mau apa?" Hamish berteriak mencoba menghentikan mereka namun tidak berhasil. Orang-orang itu membongkar setiap barang, membuat rumahnya berantakan. Tidak berhasil, Hamish pergi menghampiri abah yang duduk di ruang tamu. "Bah, ini sebenarnya ada apa?" tanya Hamish dengan nada protes. "Kenapa kalian tiba-tiba datang dan membongkar rumah saya?" Ia duduk di depan abah Jajang, menatap abah dengan serius menuntut penjelasan.Abah menjawab dengan santai, "Urang tahu kamu pasti ilmu hitam makanya bisa tiba-tiba duitna loba. Iya, kan?" Abah langsung melontarkan tuduhan"Jadi sebelum desa ini k
"Rasakan, Hamish! Gak lama lagi, nama Hamish Akbar akan tinggal kenangan." Erik tersenyum penuh kemenangan. Ia memperhatikan Hamish dari jauh dan menikmati tontonan.Sesuai dugaannya, dia tidak perlu mengotori tangan karena warga desa yang bodoh ini yang akan membalaskan dendamnya. Hamish tertunduk lesu, pasrah dan kehilangan gairah hidup setelah melihat rumahnya terbakar dan rata dengan tanah. Tidak peduli bagaimana ia meraung dan memohon agar dilepaskan supaya bisa menyelamatkan istrinya, warga kampung tidak peduli sama sekali. Adam lebih beruntung, orang berpikir ia korban guna-guna Hamish, makanya warga melepaskannya. Pria itu sedang meyakinkan beberapa orang yang dituakan di kampung itu, tetapi sepertinya mereka lebih percaya abah Jajang apalagi fakta di lapangan memang menunjukkan kalau Hamish kaya secara tiba-tiba. "Dia pasti sudah diguna-guna, makanya sangat membela Hamish!" seru abah Jajang, meyakinkan warga. "Sudah, sekarang kita arak Hamish keliling kampung biar dira
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k