Hamish menarik tangan Dilara dan meminta istrinya untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruang pemeriksaan."Kamu ngapain kesini, hum?" Melihat wajah khawatir sang istri, Hamish tidak dapat menahan tangannya untuk merapikan rambut Dilara yang sedikit berantakan dan mengusap pipi hangat gadis itu dengan ibu jari.Ia mengambil beberapa lembar tisu yang ada di atas meja kemudian mengeringkan kening Dilara yang dipenuhi keringat."Saya gak tahu caranya cari kabar abang. Jadi saya nyusul kesini." Dilara menerima air minum kemasan dari Hamish. Menenggaknya hingga habis kemudian kembali fokus kepada sang suami."Itu tadi siapa, Bang?" Dilara belum melupakan rasa ingin tahunya walau Hamish berusaha mengalihkan perhatian gadis itu."Eemm… yang satu utusan kantor. Yang lain pengacara yang kasi kantor." Hamish berusaha menjelaskan sejujur mungkin tanpa membuka identitasnya.Dilara si gadis polos hanya ber-o ria dan menerima penjelasan Hamish. Ia malah berpikir kantor tempat Hamish bekerja sanga
"Bu, sa — saya mohon jangan laporkan adik saya ke polisi." Dilara mendekati nyonya Rima yang merupakan orang tua teman sekolah Dani. Memohon agar tidak memperpanjang kasus ini dan menyelesaikan dengan cara kekeluargaan."Gak bisa! Ini sudah kriminal. Dia itu pencuri! Kalau kecil gini aja sudah jadi pencuri gimana nanti kalau sudah besar?!" Wanita itu mendelik menolak mentah-mentah permintaan Dilara.Dani tertangkap basah sedang mencuri ponsel teman sekolahnya. Murid itu tidak terima walau Dani sudah meminta maaf dan mengembalikan ponsel yang ia ambil.Urusan menjadi lebih panjang setelah anak itu melaporkan kejadian itu kepada orang tuanya. Nyonya Rima Dilara mendekati Dani, memandang Dani dengan tajam penuh tanda tanya tetapi juga iba.“Kenapa?” tanyanya kemudian. Membuat perhatian Hamish yang tadinya sedang mendengarkan keluhan nyonya Rima beralih kepada sang istri."Kenapa kamu ngelakuin ini, Dan? JAWAB!" Dilara berteriak.Hamish mendelik terkejut sekaligus heran. Mulutnya terbuka
Hamish melirik Dilara yang sudah berbaring di ranjangnya. Dengan penerangan seadanya dari lilin, Hamiah bisa melihat siluet tubuh Dilara yang berbalut selimut hingga sebatas leher."Bawakan dia selimut dan makanan enak. Katakan itu kiriman dari Dilara." Selesai memberikan perintah kepada Adam, Hamish menutup ponselnya dan meletakkan benda itu di nakas lalu duduk di tepi ranjang."Memangnya kamu gak kegerahan?" Hamish heran melihat Dilara yang betah menggunakan selimut padahal kipas angin di kamarnya mati.Wanita itu menggeleng cepat. Mengeratkan tangannya seolah takut selimut itu akan terbang ke angkasa.Hamish merangkak naik ke atas ranjang. Berbaring di sebelah sang istri bersamaan dengan itu Dilara bergeser hingga membuat jarak yang cukup jauh."Kamu gak takut jatuh?" Hamish memiringkan tubuhnya jadi ia bisa melihat Dilara yang sedang gugup dengan lebih jelas."Aku lebih takut sama abang," ucap Dilara sambil berbisik namun Hamish bisa menangkap apa yang baru saja Dilara katakan.Ke
“Mas ngelindur, yo?” seru Maya. Memangnya siapa yang akan percaya dengan ucapan dari utusan pelanggan yang selalu menunggak bayar listrik. Jangankan bisa meminta pemecatannya, mungkin mendapatkan potongan tunggakan saja tidak akan bisa.Seorang pria berjas lengkap berlari mendekati Hamish yang masih duduk di depan petugas layanan pelanggan.Ia berdiri di belakang Maya. Sambil mengatur nafas dan membenarkan letak kacamatanya, ia sedikit membungkuk menyapa Hamish.“Tuan Muda Hamish Akbar?” tanyanya memastikan.“Benar! Anda manajer disini?” balas Hamish dengan sikap angkuh dan arogan. Tubuh pria berumur pertengahan itu gemetar. Wajah pucatnya dihiasi butiran keringat sebesar biji jagung karena gugup. "Urus pelunasan tunggakan listrik panti Cahaya Mentari. Dan, aku mau ada listrik dalam dua jam. Kamu mengerti?" titahnya.Rahang Maya terjatuh melihat manajernya mengangguk takut. Itu belum seberapa, wanita itu dibuat lemas hingga bersandar di kursinya, tidak mampu menopang tubuh melihat
"Hi, Baby!" Suara manja membuat Hamish yang sedang asik berbincang dengan Adam meneh ke arah pintu.Hamish sudah berada di kantor Mulyadi membicarakan rencana pembebasan Dani.Nyonya Rita setuju dengan permintaan Hamish dengan syarat Hamish membayar beberapa tagihannya yang akan jatuh tempo sebagai tanda jadi kesepakatan mereka.Hamish mendongak mencari sumber suara. Suara ketukan heels mendekat dan tak lama ia merasakan tangan memeluk pundaknya.Wangi aroma parfum menyengat menyeruak di indera penciuman Hamish. Ia mengambil tangan wanita itu, melepaskan jari-jari indah yang berani menyentuhnya tanpa ijin lalu bergeser menjauh."Lusy? Sedang apa kamu disini?" Hamish mendelik melihat Adam, bertanya lewat tatapan mata bagaimana wanita ini bisa ada di Sidoarjo. Bukannya mendapat jawaban, Hamish justru melihat Adam mengedikkan pundak."Aku cari kamu lagi, Babe!" Lusy bergeser mendekat pada Hamish sambil memperhatikan penampilan pria itu."Babe, kamu ngapain pake baju kucel, jelek gini? E
"Kalian mau nonton di rumah ustadz Imam? Kenapa?" Kening Hamish berkerut mendengar permintaan anak-anak.Mereka mengganggu kesempatannya untuk mendapatkan hak karena ingin meminta ijin Dilara. Dan itu membuat Hamish terpaksa berdiri di belakang Dilara agar bisa menutupi bagian tubuhnya yang terlanjur mengeras."Ada kartun baru, Bang!" seru Amar bersemangat. "Anak-anak di sekolah udah pada ngomongin, jadi kita penasaran pengen liat."Dilara menjelaskan mereka sungkan jika menumpang nonton di tetangga. Maka dari itu, anak-anak lebih sering menumpang nonton di rumah ustadz Imam walau rumahnya agak jauh."Boleh ya, Mbak? Dua jam aja." Sekar memohon.Dilara yang memang tidak pernah bisa menolak keinginan anak-anak akhirnya mengangguk pelan. "Hore!!" Kesembilan anak yang berdiri di depan pintu kamar Dilara bersorak senang. Mereka bergantian mengecup punggung tangan Hamish dan Dilara lalu berpamitan."Nyebrangnya hati-hati, ya!" pesan Dilara sambil mengantar kepergian mereka.Sedang Hamish
"Gimana, Bang?” Entah sudah berapa kali Dilara menanyakan itu karena Hamish belum berhasil antena televisi.Ia sudah berhasil memasang kaki penyangga televisi walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama. Tetapi bagi Hamish itu kebanggaan tersendiri.Bibir Hamish mengerucut. Ia bosan mendengar pertanyaan Dilara yang seperti sedang meremehkannya.“Bisa!” sahutnya kesal sambil membaca buku panduan. Terlalu banyak baut dan detail yang harus dipasang sebelum antena itu bisa dipasang di tempat yang cukup tinggi.“Kalau kamu sudah ngantuk, tidur aja duluan.” Hamish yang duduk melantai masih berkonsentrasi mencocokkan bagian demi bagian antena.Ia melirik sekilas saat melihat bayangan Diara bergerak. Setelah istrinya menghilang dari ruang keluarga, Hamish kembali fokus pada barang-barang yang harus ia rakit.Hampir setengah jam ia berkutat dengan baut, akhirnya Hamish berhasil memasang bagian belakang antena yang akan dipasang di tembok. Ia memasang kabel antena pada televisi lalu mencari-car
"Dik, kamu sudah tidur?" Hamish membuang nafas ke udara mendapati istrinya tidur dengan tubuh berbalut selimut hingga pundak.Hamish naik ke ranjang dengan lesu. Gagal sudah rencananya untuk menghabiskan malam panas dengan Dilara.Hamish memasang muka masam sejak subuh. Bahkan saat sedsng sarapan, pria itu bekum merubah air mukanya.Anak-anak saling pandang, menyadari perubahan Hamish pagi ini. Bagaimana tidak kesal, semalam hasratnya mulai menanjak namun terpaksa harus diturunkan tanpa melepaskan apapun.Tidurnya gelisah berharap sentuhan, sayang Dilara tidak berbalik badan sama sekali."Abang Hamish kenapa? Sakit gigi? Mukanya kok gitu?" Si kecil Maya mewakili pertanyaan semua orang.Gadis mungil itu dengan polos dan tanpa takut bertanya kepada Hamish."Mbak Lara, di warung pak Haji ada obat sakit gigi, ga?" Gadis itu mengalihkan pandangannya kepada Dilara yang duduk bersebelahan dengan Hamish."Makanya, lain kali jangan di tempat umum. Jadinya gatot, deh! Alias gagal total!" Suar
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k