Ailfrid sudah sejak tadi mengakhiri ceritanya. Keduanya masih terdiam di posisi, tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Seth sudah hidup sangat lama, mungkin sejak dua atau tiga generasi kekaisaran Vriyodora. Ia dan kaumnya memang memilih menjauh dari manusia, tinggal di reruntuhan kota yang sudah mati. Mengisolasi diri dari dunia luar, tapi itu tidak berarti ia tidak memperhatikan apa yang terjadi di luar sana.Tapi sampai tidak mengetahui apa yang terjadi di Aldrand padahal itu bukan kejadian kecil jelas adalah sesuatu yang aneh. Setidaknya, seharusnya kerajaan utara juga mengetahuinya karena posisi mereka saling berdekatan.Lain Seth, maka lain pula apa yang dipikirkan oleh Ailfrid. Sang raja pada dasarnya punya kemampuan sihir yang cukup kuat, kalau tidak, mana mungkin ia bisa mengendalikan naga untuk menyerang Nuada—walau itu adalah pemaksaan. Makhluk sihir biasa mungkin bisa dikendalikan dengan mudah, tapi naga termasuk makhluk agung. Butuh sihir yang cukup besar untuk mengendalikannya selama beberapa saat.Apa yang sebenarnya diinginkan olehnya?Kekuasaan jelas sudah didapatnya. Ia adalah seorang calon raja sejak awal. Tidak ada alasan baginya untuk khawatir akan perebutan kekuasaan karena orang itu adalah anak tunggal.Ailfrid mengerjapkan kedua matanya, seperti tengah menyadari sesuatu. Anak tunggal, katanya?"Eire."Pemuda berambut coklat kemerahan itu mendongakkan kepalanya, mendapati sang lawan bicara menatapnya ragu."Jangan bilang tujuanmu ke hutan ini adalah mencari tempat dikurungnya naga itu lalu membebaskannya?""Oh, di luar dugaan kau cukup tanggap."Tentu saja, walau tidak secerdas Ailfrid, Seth bukan orang yang bodoh. Kalau tidak, ia mungkin sudah mati sejak memulai perjalanan dengan orang yang hobi sekali menantang maut ini.Seth menepuk dahinya pelan. Ia menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya. Sejak awal pilihannya mengikuti orang ini memang sudah salah. Ia memang makhluk yang semi abadi, masa hidupnya bisa cukup lama tapi bukan berarti ia tidak bisa mati sama sekali. Ikut dalam perjalanan dengan Ailfrid seperti mengurangi separuh masa hidupnya.Coba saja ia ingat, nyaris dijadikan persembahan sekte terlarang di kerajaan selatan, nyaris mati diburu elf pemburu karena tanpa sengaja mengganggu acara berburu mereka, atau terpanggang di sarang burung api. Dan masih banyak lagi, hingga ia bahkan tidak bisa mengingat bahaya apa lagi yang pernah membuat mereka hampir berhadapan dengan dewa kematian setiap saat.Ah, dewa kematian juga mungkin saja sudah lelah dengan keberuntungan hidup mereka. Selalu nyaris mati, tapi tidak pernah mati sungguhan.Tapi, tunggu.Seth sontak berdiri, melangkah cepat mendekati Alifrid. Kedua tangannya mencengkeram kerah coat yang dikenakannya, membuat temannya itu mengubah posisi menjadi berdiri."Membebaskan naga itu sama saja dengan mencari mati, sialan. Kau ingin berurusan dengan kerajaan Aldrand dan diburu oleh mereka?" Seth nyaris berteriak, walau bahkan suara sekecil apapun di tengah hutan gelap yang sepi seperti ini akan terdengar jelas.Sudah menjadi rahasia umum bahwa Raja Aldrand yang sekarang bukanlah seorang pengasih. Mencari masalah dengan sang raja sama saja seperti mengantar nyawa secara sukarela. Perbuatan sang raja memang tercela, tapi bukan berarti ia bisa ikut campur begitu saja.Vampir tidak memiliki hak apapun di dunia ini untuk bisa terlibat dengan hal-hal di luar jangkauan mereka. Itu sudah menjadi seperti hukum tidak tertulis.Ailfrid tersenyum tipis. Ia melepaskan cengkeraman Seth pada coat miliknya, "Aldrand akan menjadi lebih buruk kalau hal itu terus dibiarkan. Putra mahkota yang sekarang mungkin tidak akan pernah memiliki takhta kerajaan berapa tahun pun ia menunggu."Ada banyak hal yang diketahuinya. Apa yang sudah dilihatnya hari itu, dan apa obsesi yang dimiliki sang raja. Naga itu hanya salah satunya."Kekuasaan adalah yang pertama, lalu selanjutnya adalah keabadian.""Ap—"Belum sempat Seth menyelesaikan perkataannya, tanah yang mereka pijak bergetar. Awalnya pelan, semakin lama semakin keras. Bebatuan dan pepohonan di sekitar mereka berjatuhan. Keduanya tersentak lalu menoleh ke seberang sungai. Ailfrid segera mengenakan kacamata miliknya, benda itu membuatnya bisa melihat aliran sihir yang memang sulit dilihat oleh mata telanjang.Arus sihirnya kini terlihat. Dan tujuannya melewati sungai. Keduanya saling berpandangan. Seth yang memang bisa melihat hal itu dengan kedua matanya hanya bisa mendengus. Sudah sejauh ini, mana mungkin untuk berhenti. Harga dirinya bisa jatuh."Ayo. Akan kuceritakan hal yang lainnya setelah tugas kita di sini selesai. Setidaknya kau juga harus tahu alasan kenapa aku ngotot melakukan ini."~0~Iris biru laut terbuka perlahan. Ia mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, sebelum kemudian mengubah posisinya menjadi duduk di atas ranjang luas miliknya. Nuansa kamar sewarna krem itu kini tertangkap indera penglihatannya. Gadis berambut platinum blonde itu mendadak terbangun ketika mimpinya baru separuh jalan.Ia beranjak dari tempat tidurnya ke arah jendela yang belum ditutup. Tirai putih transparannya berkibar terbawa angin luar. Langit sudah begitu gelap. Seingatnya ia tertidur di kala senja tadi, dan kemungkinannya melewatkan makan malam.Sang kakak mungkin akan memarahinya nanti. Tapi mau bagaimana lagi.Kantuk itu tidak tertahankan. Biasanya itu adalah sebuah pertanda. Untuk seseorang yang memiliki kemampuan yang berhubungan dengan mimpi, mimpi apapun tidak bisa dianggap sepele.Tapi, itu adalah mimpi tentang seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia tidak pernah bertemu seseorang berambut coklat kemerahan dengan iris mata hijau. Hijau adalah ciri khas keluarga kerajaan Aldrand dan ia tidak pernah melihat laki-laki itu di setiap hal yang berhubungan dengan kerajaan.Tok tokSuara ketukan pintu membuatnya sedikit tersentak. Lalu disusul suara seorang wanita paruh baya dan pintu yang terbuka perlahan. Seorang wanita dengan gaun bernuansa sage green membungkukkan tubuhnya, memberikan hormat."Tuan Putri Freya, maaf mengganggu waktu istirahat anda, tapi saat ini Yang Mulia Raja tengah menunggu anda di ruang makan."Apa?Gadis itu melotot. Memangnya sang kakak tidak bisa melanjutkan makan malam tanpa dirinya? Bagaimana jika ia baru terbangun tengah malam?Ah tidak, Marie, pelayan paruh baya sekaligus orang yang sudah mengasuhnya sejak kecil ini mungkin akan memaksanya untuk bangun. Apalagi kalau kakaknya yang menyuruh. Jelas saja, tidak akan ada yang berani melawan perintah dari raja Kerajaan Riodora itu.Rakyat kerajaan utara mengenalnya sebagai sosok yang kaku walau sebenarnya laki-laki berambut sama dengannya itu adalah seorang pengasih. Tidak ada yang memprotes kerajaan ketika sang kakak diangkat sebagai raja di umurnya yang masih dua puluh dua. Toh sejak kedua orang tua mereka, raja dan ratu sebelumnya meninggal dalam kecelakaan kapal lima tahun yang lalu tidak ada lagi yang lebih cocok untuk menggantikan ayahnya menjadi raja selain kakak laki-lakinya.Lagipula mereka hanya dua bersaudara. Dan ia jelas tidak termasuk dalam pilihan untuk naik takhta.Tidak masalah, ia juga tidak ingin menjadi penguasa kalau kebebasannya jadi taruhan. Sang kakak sudah lebih dari cocok untuk melakukan hal merepotkan seperti itu."Marie, bisakah kau keluar dulu sebentar? aku butuh lima menit untuk bersiap. Tidak, tidak, kau tidak perlu membantuku, aku bisa melakukannya sendiri," Freya sudah lebih dulu memotong ketika sang pelayan ingin menyelanya. Ia mendorong pelan wanita paruh baya itu keluar kamar sambil meminta maaf, "kali ini saja, ya?"Marie hanya bisa menghela nafas. Sang putri memang jarang sekali ingin dibantu untuk berpakaian. Terkadang ia jadi bingung jika sang putri sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri, untuk apa ia masih ditugaskan menjaganya?"Tumbuh dewasa terlalu cepat itu memang terkadang sedikit menyedihkan."~0~Ailfrid berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah dipenuhi oleh rerumputan. Jalan ini memang sudah tidak pernah dilalui lagi tapi jelas sekali dulunya pernah ada jalan di tempat ini. Seth berjalan di belakangnya, sesekali menoleh ke belakang. Walau tempat ini tidak lagi berpenghuni tapi bukan tidak mungkin tidak ada makhluk lain yang sama-sama berada di sini. Sengaja atau tidak."Se—"'Tolong.'DegSebuah suara terdengar. Mendadak rasa sakit menyerang kepalanya. Ailfrid bersandar pada pohon terdekat, ia mencengkeram kepalanya ketika rasa sakit itu datang bertubi-tubi.Suara itu seolah berasal dari dalam kepala, menembus gendang telinga tanpa ampun.Rasa sakit di kepalanya semakin lama semakin tidak tertahankan, hingga akhirnya pandangannya menjadi buram. Dan satu-satunya hal yang diingatnya hanyalah bau tanah basah yang menusuk hidung, dan suara Seth yang memanggilnya berulang kali."EIRE!!"Ailfrid membuka kedua matanya perlahan. Hal yang pertama dilihatnya adalah langit gelap tanpa bintang yang membentang. Tangannya meraba sekitar dan baru disadarinya ia sedang terbaring di atas rerumputan dengan coat miliknya yang dijadikan bantalan. Ia mengerjap beberapa kali, lalu mengubah posisinya menjadi duduk.“Apa yang terjadi?”“Ah, kau sudah sadar?” Seth yang baru kembali dari berkeliling sekitar segera menghampiri Ailfrid.“Aku pingsan?” Ailfrid mengerutkan alisnya, “berapa lama?”Seth memberikan botol minum yang dibawanya dalam tas yang selalu tersampir di pundaknya pada pemuda berambut coklat itu, yang tentu saja diterima dengan senang hati.“Dua jam. Beruntungnya, selama dua jam kau tidak sadarkan diri tidak ada apapun yang terjadi. Gempa tadi hanya terjadi sekali, lalu…” Seth duduk tepat di depan Ailfrid yang masih belum ingin mengubah posisi atau sekedar beranjak, sebenarnya ia memang lelah jadi sekalian saja ia gunakan kesempatan ini untuk istirahat, “arus sihirnya meng
Ailfrid masih terus menatap bebatuan kristal di bawah sana. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Nekat mendekat hanya akan mengantar nyawanya secara sukarela, tapi kalau hanya diam dan tidak melakukan apapun, ini hanya akan jadi hal yang sia-sia. Ia tidak tahu sihir macam apa yang digunakan untuk mengurung makhluk itu. Bisa saja sihir hitam, atau malah sihir suci. Yang manapun sama berbahayanya kalau ia tidak tahu apapun.Belum lagi jika di sekelilingnya dipasangi sihir pelindung agar tidak ada seorang pun yang bisa mendekat—untuk yang ini mungkin ia masih bisa sedikit melakukan sesuatu, walau tidak yakin dengan hasilnya. Tapi setidaknya ia jauh lebih berpengalaman soal sihir pelindung dibandingkan dengan jenis sihir yang lain.'Setidaknya, kalau ingin memberikan informasi jangan setengah-setengah, sialan. Diam seperti orang bodoh seperti ini, aku yakin kalau dia akan melihat ini seperti sesuatu yang menggelikan,' batin pemuda berambut coklat itu.Ailfrid berusaha mengi
Ailfrid menyeka peluh yang mengalir di dahinya, di luar dugaan ini berhasil tapi di lain sisi ternyata cukup melelahkan padahal yang di pilihnya adalah pola yang paling sederhana. Apa yang diharapkan dari orang itu memintanya untuk melakukan semua ini? Hanya karena ia satu-satunya di antara mereka yang bebas pergi kemanapun? Yang benar saja.WushhDalam beberapa detik kabut hitam itu kembali menghilang, sihir yang digunakan Ailfrid hanya bisa bertahan lima detik saja dan semuanya kembali seperti semula. Harusnya itu cukup, kalau Seth memperhatikan dengan cukup baik."Bagaimana?""Kabutnya terlalu pekat, makhluk hidup yang bernafas mungkin saja akan mati di langkah pertamanya memasuki kabut karena menghirup udaranya, mungkin itu juga yang membuat para elf memutuskan untuk pergi dari sini. Hidup di tempat ini jadi seperti berdampingan dengan bom waktu yang sesekali bisa meledak kapanpun. Tapi..." Seth menoleh pada Ailfrid yang balas menatapnya."Hutan ini tidak terganggu sama sekali kan
Seth terus berlari mendekati bongkahan kristal transparan itu. Semakin lama, langkah kakinya terasa semakin berat. Sesuatu menahannya untuk terus mendekat. Ia yakin kalau saja ia seorang manusia, kemungkinan mati kehabisan nafas atau terlempar karena tekanan bisa jadi salah satu opsi untuk menghadap dewa kematian lebih cepat.Dewa kematian kali ini mungkin saja akan sungguhan berbahagia kalau salah satu dari mereka berhasil menjemput ajal.Iris merahnya menyapu sekeliling, kabut pekat itu kembali menguar, menghalangi pandangannya. Kelihatannya pada jarak tertentu seseorang berusaha mendekati kristal itu maka kabut pun akan muncul dengan sendirinya, tanpa harus menggunakan sihir pembuka tabir.Ia menyeringai, "Siapapun yang menyegel dan menciptakan jebakan semacam ini benar-benar niat sekali."Karena jika hanya bertujuan untuk mengurung, dinding pelindung seperti yang dibuat oleh para elf sudah lebih dari cukup. Kecuali jika si penyegel memang sungguhan menggunakan kekuatan naga putih
Seth masih tetap dalam posisinya, walau tangan kanannya tetap bersiaga. Jaga-jaga kalau makhluk di depannya ini akan menyerangnya lagi. Ia dan Ailfrid sebenarnya tidak terlalu diburu oleh waktu, kalau saja tidak ada gangguan semacam ini. Dengan munculnya makhluk ini, maka tidak akan menunggu waktu lama sampai mungkin raja Aldrand akan mengetahui tujuan mereka.Sosok di hadapannya terkekeh, ia membuka jubah yang menyelubungi tubuhnya. Iris merah keemasan adalah yang pertama dilihatnya. Berbeda dengan mata merah milik vampir yang lebih terlihat seperti warna batu rubi, warna mata milik orang ini merah terang—ciri dari seorang iblis.“Kita berdua sama-sama menjatuhkan harga diri dan tunduk pada manusia, jadi apa bedanya, Seth?”Seth menelan salivanya. Makhluk berambut hitam dengan tanduk yang dipenuhi oleh mata berwarna merah terang itu berbahaya. Dari segi umur dan pengalaman saja mereka sudah berbeda jauh. Bisa-bisanya tempat ini dijaga oleh makhluk seperti ini. Pantas saja para elf le
“Jadi?” Seth sudah duduk di salah satu kursi di kamar penginapan yang disewa oleh Ailfrid. Iris rubinya mengarah tepat pada pemuda berambut coklat kemerahan yang berusaha mengalihkan pandangannya agar tidak beradu dengan sang vampir.Hari sudah memasuki tengah malam ketika mereka kembali ke penginapan. Keduanya berteleportasi langsung ke dalam kamar, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Kalau mereka muncul di lobi, mereka hanya akan menimbulkan keributan, apalagi ditambah jalanan kota di waktu seperti ini yang masih terlihat ramai. Sihir memang hal yang biasa di dunia ini, tapi lain ceritanya kalau mereka tiba-tiba muncul di jalanan dengan seekor naga dalam pelukan.Naga itu hewan sihir suci, membawanya begitu saja bukan hal yang tepat terutama karena Aldrand pernah berurusan dengan salah satunya. Bayangkan saja seberapa hebohnya orang-orang di luar sana.“Kau tidak ingin membiarkanku istirahat? Setidaknya, biarkan aku berbaring satu jam saja,” Ailfrid baru saja meletak
Pelabuhan Kerajaan Riodora dipenuhi oleh ratusan orang berlalu-lalang. Sebagian ada yang memang bertujuan ke luar wilayah, sebagian lagi para pendatang, dan sebagiannya lagi adalah orang-orang yang memang bekerja di sana. Cuaca terik membuat sebagian orang menjadi emosi, sesekali terdengar umpatan dan makian di beberapa sudut.Dua hari terlewati di laut lepas tanpa ada kendala berarti. Beruntung saja badai yang kadang timbul tidak muncul sama sekali. Ailfrid di tengah laut bukan orang yang bisa diandalkan, malah lebih terasa seperti beban. Beberapa kali perjalanan laut mereka, dan beberapa kali itu pula Seth selalu punya keinginan untuk mendorongnya ke tengah laut. Orang itu merepotkan. Kalau hanya diam di dalam kabin saja sampai mereka tiba di tujuan, ia tidak masalah. Tapi Ailfrid lebih senang menempel padanya seperti benalu.Mereka berdua turun dari kapal, dengan Ailfrid yang berjalan sambil memegangi pundak Seth. Kepalanya masih terasa pusing, dan perutnya masi
Irene terus berlari mengejar laki-laki itu, tanpa menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh dari tempatnya semula. Langkah kedua kakinya membawa dirinya ke pelabuhan besar Kerajaan Riodora. Ia baru menyadari ketika suara dari cerobong asap di salah satu kapal yang akan pergi tertangkap indera pendengarannya, membuatnya seketika menghentikan laju larinya.Ia menoleh ke salah satu sisinya, lautan sudah nyaris di depan mata. Ada banyak kapal yang berlabuh di sana, entah itu kapal kecil atau kapal besar. Kapal pengangkut barang, ataupun kapal penumpang. Pelabuhan adalah tempat tersibuk di Riodora, dibandingkan tempat lainnya di kerajaan ini. Keramaiannya nyaris tanpa henti bahkan walau waktu sudah menunjukkan tengah malam atau dini hari, dan waktu siang menuju senja adalah waktu paling ramai, karena di waktu-waktu itu kapal penumpang banyak berlabuh.Gadis itu membelalakkan kedua matanya, menyadari bahwa ia sudah berlari terlalu jauh. Ia menatap sekelilingnya, laki-laki ta
Menjadi pengamat itu terkadang rasanya menyebalkan. Ia memperhatikan banyak hal, melihat banyak hal, dan menyadari banyak hal. Tapi kesemuanya itu tidak selalu sesuai dengan dugaannya. Ingin bertanya untuk memastikan, tapi ia sendiri harus memastikan banyak hal hanya untuk bertanya satu. Terutama sekali kondisi yang terlihat tidak memungkinkan sekalipun ia sudah memastikan banyak hal.Ailfrid bisa bertanya pada Arian soal dirinya, tapi itu sama saja dengan keharusan untuknya membuka identitas aslinya. Freya bukan orang bodoh, gadis itu tentu saja masih mengingat secara detail apa yang terjadi kemarin. Salah bertanya hanya akan membawanya kembali pada topik mengenai pangeran kedua yang disinggung oleh si pencuri.Mengajaknya keluar dari kompartemen?Hanya akan menimbulkan kecurigaan lebih jelas. Seth tidak masalah sebenarnya, tapi melihat bagaimana reaksinya terhadap Arian, salah bicara mungkin akan membawanya pada masalah lain yang tidak diketahuinya.Terlalu banyak berpikir hanya aka
Stasiun kereta kota pelabuhan terlihat lengang. Bangunan tua dengan warna coklat tua yang mendominasi itu tidak terlalu besar, orang-orang pelabuhan jarang menggunakan kereta untuk bepergian karena jadwal yang sedikit jarang.Ketiga orang itu masih berdiri di depan pintu masuk, dengan Ailfrid yang berdiri di antara Seth dan Freya.'Ini buruk? Aku tidak pernah melihat mereka saling berbicara selain waktu pertama kali bertemu di penginapan, tapi kenapa mereka seperti sedang perang dingin begini?'Freya memang tidak menunjukkan raut wajah terganggu, tapi dengan minimnya interaksi mereka dan juga gadis itu yang tidak berusaha untuk berbicara dengan Seth, ia sudah cukup mengerti. Lain dengan Seth. Vampir itu jelas menunjukkan rasa tidak sukanya.Ailfrid menghela nafas untuk yang kesekian kalinya hari ini. Jangankan mengkhawatirkan apa yang ada di Lugh, sejak awal ia tidak yakin ini akan berjalan lancar.Pemuda berusia dua puluh empat tahun itu
Scott berdiri di depan pintu berukuran besar berwarna putih gading. Ia masih belum ingin beranjak dari tempatnya. Dua pengawal yang berdiri di samping kiri dan kanan pintu hanya menatapnya sekilas, tapi tidak berani untuk bertanya—tidak, jangankan bertanya, mereka tidak sanggup bahkan hanya untuk mengeluarkan suara sedikitpun. Keduanya lebih memilih untuk menatap lantai marmer di bawahnya.Aura yang dikeluarkan oleh putra mahkota memang tidak pernah bersahabat, tapi yang kali ini jauh lebih buruk dari itu. Mereka sudah terbiasa, setiap kali menginjakkan kaki di istana utama, mood sang putra mahkota selalu berubah menjadi lebih buruk dari biasanya, apalagi jika bertemu dengan sang raja. Satu-satunya yang bisa membuatnya sedikit melunak hanya keberadaan perdana menteri.Ia menarik nafas. Tangan kanannya terjulur, membuka perlahan pintu besar itu. Ruangan di baliknya adalah ruang kerja sang raja. Perlahan ia melangkah masuk, setelah sebelumnya mengatur ekspresinya men
Pemuda berambut merah itu menghela nafas, kedua tangannya melipat selembar kertas berukuran kecil yang sedari tadi dilihat olehnya, sebelum kemudian merobeknya menjadi ukuran kecil. Serpihan-serpihan kecil itu dibiarkannya berjatuhan di atas meja. Seberkas cahaya berwarna kemerahan muncul dari tangan kanannya dan robekan kertas tadi perlahan terbakar hingga menjadi abu, lalu menghilang begitu saja.Burung elang berbulu coklat yang masih bertengger di jendela itu menatapnya dalam diam, lalu terbang menjauh. Tugasnya sudah selesai, setidaknya untuk sementara ini.Tok tokSuara ketukan pada pintu mengalihkan perhatiannya, lalu suara seorang lelaki paruh baya terdengar. “Putra Mahkota, Yang Mulia Raja ingin bertemu dengan anda di ruangan kerjanya.”Ia mengusap wajahnya dengan kasar, hembusan nafas berat terdengar setelahnya. Ia benci dengan situasi ini. Dari sekian banyak hal yang tidak disukainya, berada dalam satu ruangan dengan sang ayah adalah sal
Freya menatap kedua orang di depannya dengan ragu. Ia sejujurnya tidak terlalu mengetahui soal Lugh. Hanya sekilas dijelaskan dalam sejarah yang pernah dipelajarinya beberapa tahun yang lalu, yang dulunya pernah menjadi kota pertanian yang cukup makmur di Riodora sebelum akhirnya dihapus dari peta. Selebihnya, tidak ada seorang pun di istana yang bersedia menjelaskan lebih lanjut soal Lugh, seolah ada yang sedang berusaha mereka tutupi.“Jadi…” Ailfrid bersandar pada jendela, sedangkan Freya duduk di salah satu kursi yang ada di sana, “kotanya hilang? Hancur? Atau sudah tidak berpenghuni?”Apa yang sudah pernah dibacanya terlalu jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Freya. Ada pesan lanjutan dari apa yang diterimanya ketika masih di Rockfell, tentang tujuan yang mengharuskan mereka menuju Lugh.Sebuah kota kecil di kaki gunung, nyaris dikelilingi perbukitan dan dibelah oleh sebuah sungai panjang. Satu-satunya cara menuju ke sana adalah dengan mengg
“Pangeran… kedua? Apa maksudnya?” Freya adalah yang pertama mengeluarkan suara, keheningan itu sedikit mengganggunya, tapi apa yang dikatakan oleh pencuri tadi jauh lebih mengganggunya.Mathias menoleh pada sang putri, lalu mengalihkan tatapannya pada pemuda berambut coklat kemerahan di sampingnya. Laki-laki bertubuh jangkung itu menghela nafas pelan. Ia sudah menduga banyak hal—bahkan hanya dalam waktu beberapa saat ia berada di sini. Tapi bukan haknya untuk mengatakan apapun, toh itu bukan urusannya. Selama tidak mengganggu ketentraman di Riodora, ia tidak peduli.“Tuan Putri, ini sudah saatnya anda kembali. Kakak anda mungkin saja sudah mengacau di istana.”Ia tidak membual untuk yang satu ini. Sang raja adalah orang yang bijaksana, walau agak kaku. Tapi ia orang yang pengertian. Hanya saja di luar dari urusan kerajaan, sayangnya orang itu juga seorang kakak—yang protektif, kalau perlu ditambahkan. Bukan sesuatu yang aneh, mengingat mereka berdua hanya
Irene terus berlari mengejar laki-laki itu, tanpa menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh dari tempatnya semula. Langkah kedua kakinya membawa dirinya ke pelabuhan besar Kerajaan Riodora. Ia baru menyadari ketika suara dari cerobong asap di salah satu kapal yang akan pergi tertangkap indera pendengarannya, membuatnya seketika menghentikan laju larinya.Ia menoleh ke salah satu sisinya, lautan sudah nyaris di depan mata. Ada banyak kapal yang berlabuh di sana, entah itu kapal kecil atau kapal besar. Kapal pengangkut barang, ataupun kapal penumpang. Pelabuhan adalah tempat tersibuk di Riodora, dibandingkan tempat lainnya di kerajaan ini. Keramaiannya nyaris tanpa henti bahkan walau waktu sudah menunjukkan tengah malam atau dini hari, dan waktu siang menuju senja adalah waktu paling ramai, karena di waktu-waktu itu kapal penumpang banyak berlabuh.Gadis itu membelalakkan kedua matanya, menyadari bahwa ia sudah berlari terlalu jauh. Ia menatap sekelilingnya, laki-laki ta
Pelabuhan Kerajaan Riodora dipenuhi oleh ratusan orang berlalu-lalang. Sebagian ada yang memang bertujuan ke luar wilayah, sebagian lagi para pendatang, dan sebagiannya lagi adalah orang-orang yang memang bekerja di sana. Cuaca terik membuat sebagian orang menjadi emosi, sesekali terdengar umpatan dan makian di beberapa sudut.Dua hari terlewati di laut lepas tanpa ada kendala berarti. Beruntung saja badai yang kadang timbul tidak muncul sama sekali. Ailfrid di tengah laut bukan orang yang bisa diandalkan, malah lebih terasa seperti beban. Beberapa kali perjalanan laut mereka, dan beberapa kali itu pula Seth selalu punya keinginan untuk mendorongnya ke tengah laut. Orang itu merepotkan. Kalau hanya diam di dalam kabin saja sampai mereka tiba di tujuan, ia tidak masalah. Tapi Ailfrid lebih senang menempel padanya seperti benalu.Mereka berdua turun dari kapal, dengan Ailfrid yang berjalan sambil memegangi pundak Seth. Kepalanya masih terasa pusing, dan perutnya masi
“Jadi?” Seth sudah duduk di salah satu kursi di kamar penginapan yang disewa oleh Ailfrid. Iris rubinya mengarah tepat pada pemuda berambut coklat kemerahan yang berusaha mengalihkan pandangannya agar tidak beradu dengan sang vampir.Hari sudah memasuki tengah malam ketika mereka kembali ke penginapan. Keduanya berteleportasi langsung ke dalam kamar, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Kalau mereka muncul di lobi, mereka hanya akan menimbulkan keributan, apalagi ditambah jalanan kota di waktu seperti ini yang masih terlihat ramai. Sihir memang hal yang biasa di dunia ini, tapi lain ceritanya kalau mereka tiba-tiba muncul di jalanan dengan seekor naga dalam pelukan.Naga itu hewan sihir suci, membawanya begitu saja bukan hal yang tepat terutama karena Aldrand pernah berurusan dengan salah satunya. Bayangkan saja seberapa hebohnya orang-orang di luar sana.“Kau tidak ingin membiarkanku istirahat? Setidaknya, biarkan aku berbaring satu jam saja,” Ailfrid baru saja meletak