Rangga sebenarnya cukup terkejut melihat Teja memiliki beberapa luka gores yang terlihat di tangannya. Mungkin di tubuhnya juga.“Kang Teja… apa yang terjadi padamu?” tanya Rangga dengan perasaan tidak enak hati.“Kusuma berhasil kabur lagi. Kau berhati-hatilah. Dia lebih berbahaya dari apa yang kita pikirkan. Dari anak buahnya yang aku tangkap dan aku tanyai, Kusuma memiliki hubungan baik dengan kelompok-kelompok besar di mana dia bisa mendapatkan pendekar-pendekar berkemampuan tinggi yang ia sewa. Dia juga menjalankan banyak usaha gelap yang selama ini tidak diketahui balai keamanan kotaraja!” kata Teja sambil mengusap wajahnya kasar.Rangga tertegun. Ia memang tak banyak tahu soal Kusuma. Sebelum dia kembali ke masa mudanya, yang ia tahu adalah Kusuma memiliki beberapa bisnis kotor saja di kotaraja seperti rumah hiburan, kedai arak dan tempat judi. Selain itu ia dikenal sebagai juragan kayu. Bisnis bersih itu hanya sebuah cara untuk menutupi bisnis hitamnya.‘Perubahan takdir membu
Teja dengan gelagapan menghindari satu serangan itu. Maharani pun juga sengaja tak membuat serangannya kena. Ia melakukan hal itu hanya untuk memberi peringatan agar Teja waspada.“Ayo!” ucap Maharani. Berikutnya, manakala Teja sudah kembali siap, Maharani mengerahkan serangan yang sesungguhnya.Gerakan Maharani sungguh cepat dan rumit. Namun ia sengaja mengurangi kekuatan pukulannya. Maharani seperti sengaja mempermainkan Teja sehingga pukulan yang sungguh-sungguh berupa pukulan itu tidak pernah mengenai Teja, namun tamparan yang ia lakukan berkali-kali menyambar pipi lelaki itu.Dalam waktu singkat, sudah belasan tamparan yang dengan telak mengenai pipi kanan dan kiri Teja. Lama kelamaan, kedua pipi itu terasa panas juga. Teja sudah berusaha membalas karena hal itu pun ternyata sanggup memancing emosinya.Namun sayangnya, dari banyak segi, Teja memang masih di bawah Maharani. Teja, sebagai lelaki, boleh saja lebih kuat. Namun dalam hal teknik, kecepatan, kelincahan, serta pengalaman
Citra mencoba lepas dari pelukan Rangga, namun ia tertahan. Rangga memeluknya erat-kuat.“Kangmas mencari wanita lain selama aku di sini?” ucap Citra dengan suara bergetar.“Hahaha… ayo aku kenalkan. Kendalikan amarahmu. Nanti kau akan tahu sendiri…” kata Rangga.Tulang belulang Citra serasa lemas. Kesedihan menyeruak begitu saja.“Rani, kemarilah. Ini istriku yang harus kau lindungi nantinya…” kata Rangga memanggil Maharani.Seribu tanya melanda pikiran Citra. Ia semakin dibuat bingung.Maharani melangkah mendekat dan ia cukup peka jika Citra mungkin berpikir yang tidak-tidak atas keberadaannya.“Salam kenal. Namaku Maharani. Mbak Yu bisa memanggilku Rani. Aku pendekar yang bekerja untuk Kang Rangga dan tugasku adalah menemanimu nantinya…” kata Maharani.Citra masih bingung mau mengatakan apa, ia menoleh ke arah Rangga. “Pendekar?”“Kusuma belum ketemu. Aku sempat ke kotaraja dan bertemu Kang Teja. Dia akan mengirim orang untuk menjaga rumah ini. Namun aku akan merasa lebih aman jika
Rumah tua Eyang Kartareja masih terlihat kokoh, teduh dan seolah memiliki sebuah wibawa sebagai bangunan; semua dibangun sesuai pakem leluhur.Saat Rangga telah sampai di gapura tanpa gerbang yang menjadi jalur masuk ke halaman yang luas dengan beberapa jenis pohon tua yang tumbuh besar di sana, beberapa prajurit penjaga menyapa dengan santun.Rangga turun dari kuda dan berjalan pelan mendekati mereka. Rangga tahu siapa mereka, namun sebaliknya, mereka tak tahu siapa Rangga.“Raden hendak bertamu dan bertemu Eyang Kartareja?” ujar salah satu prajurit penjaga yang berpakaian biasa saja. Namun sikap dan pembawaan mereka memberi kesan jelas bahwa mereka adalah prajurit istana yang ditugaskan untuk menjaga rumah itu.“Benar. Apakah beliau ada di rumah?” tanya Rangga.“Nanti saya sampaikan dulu kepada beliau. Bisa tahu Raden ini siapa?” tanya prajurit itu.“Namaku Rangga. Beliau pasti tahu…” kata Rangga.“Baik, Den…” Prajurit itu segera bergegas ke dalam rumah dan Rangga menunggu di depan
Eyang Kartareja terkekeh melihat Nawang yang tampak kaget. “Hehehe, dulu kan aku pernah bercerita kepadamu jika aku punya cucu. Tak kusangka, dia malah datang sendiri sebelum aku sempat mencarinya. Layani dia dengan baik, Nawang…”Nawang merasa rumit. Ia tak tahu harus senang atau tidak dengan hal itu. Yang pasti, ia punya niat untuk mempertemukan Rangga dengan kakeknya. Tapi jika dipikir ulang lebih jauh, ia belum hendak bertemu Rangga dalam waktu sedekat itu.‘Bukan seperti ini rencanaku. Di mata Eyang, aku ini hanyalah wanita murahan dan saat ini aku masih tidak bisa mendekati Rangga. Jadi, apa yang harus aku lakukan? Jika Rangga tahu aku kenal dengan Eyang, ini bisa sangat buruk. Dia masih tidur… ini kesempatan…’ ucap Nawang dalam hati.“e—aduh…” Nawang tiba-tiba merintih pelan sambil membungkukkan badannya dan meringis.“Kau kenapa, nduk?”“E-eyang… Mohon maaf… sepertinya… saya datang bulan… em… apakah boleh temanku saja yang menggantikan saya?” Ujar Nawang semakin mendramatisir
Rangga mulai tengkurap pasrah. Namun ternyata itu tidak cukup.“Maaf, Raden… kalau bisa, bajunya dilepas. Saya bisa leluasa membaluri minyaknya…” kata Sukma.Tak mau banyak berdebat agar semua itu lekas selesai, Rangga melepas bajunya dan kembali tidur tengkurap lagi.“Tubuh Raden bagus. Raden senang berolah raga?” ucap Sukma berbasa-basi sambil mulai menyiapkan racikan minyak rempah-rempah untuk membaluri tubuh Rangga. Aroma cengkehnya yang kuat itu membuat pikiran Rangga merasa lebih rileks.“Tidak juga… tidak pernah malahan…” balas Rangga.“Berarti Raden beruntung. Jika Raden rajin olah raga, tubuh ini akan lebih terbentuk keras. Pasangan Raden pasti akan menyukainya…” ucap Sukma.Ajaibnya, ucapan itu membuat Rangga mulai memiliki niat untuk berolah raga. Demi menyenangkan Citra tentu saja.“Apakah sudah terlalu terlambat jika aku belajar kanuragan untuk berolah raga?” tanya Rangga.“Bukankah tak ada kata terlambat untuk yang namanya belajar, Raden? Lagipula kan tujuannya agar seha
“Tidak perlu. Aku sehat dan baik-baik saja. Aku tadi hanya bertanya dan sedikit penasaran saja…” kata Rangga menolak tawaran untuk diperiksa Sukma.Rangga tak mau salah langkah. Ia harus tahu dari ahli lain; bagaimana sebenarnya seorang lelaki harus diperiksa kesuburannya.“Oh… baik Raden…” Sukma menelan kekecewaannya. Ternyata tidak mudah juga menggodai cucu Eyang Kartareja. Maka ia lanjutkan fokusnya untuk memijit saja sambil sedikit jahil tipis-tipis dengan harapan Rangga berubah pikiran. Namun sampai acara pijit itu selesai, Rangga tetap tak tergoda. Namun sebenarnya, ada sesuatu yang benar-benar keras di bawah sana dan tertekan. Rangga sedari tadi hanya berusaha menahan diri saja sambil menenggelamkan wajahnya di bantal.“Sudah selesai Raden… silakan dilanjut tidurnya saja. Saya pamit keluar untuk menemui Eyang…” kata Sukma.“Baik. Terimakasih pijitannya…” kata Rangga datar. Begitu Sukma keluar kamar, Rangga segera mengenakan bajunya dan lanjut tidur. Ia benar-benar mengantuk. Ra
Dua hari telah berlalu dengan cepat. Akhirnya yang ditunggu Rangga datang juga; kabar.Dua orang dari istana, entah siapa itu, datang melaporkan hasil kerja pemburuan Kusuma kepada Eyang Kartaraja. Rangga diam menguping pembicaraan itu dari dalam kamarnya.“Jadi bagaimana hasilnya?” tanya Eyang Kartareja.“Sebelumnya kami mohon maaf, Eyang…” ucap salah satu orang itu. Di istana, Kartareja memang akrab dipanggil sebagai Eyang karena usianya yang sudah senja. “Kusuma ternyata mendapatkan perlindungan dari kerajaan musuh. Dia melarikan diri ke wilayah Wonobhumi!”“Hah? Bagaimana bisa?” tanya Kartareja.“Kami sudah berhasil menangkap Kusuma dan orang-orangnya. Namun beberapa telik sandi istana yang membantu kami mengenali beberapa orang dari kelompok itu. Mereka tak lain adalah orang-orang Wonobhumi. Sehingga kasus ini menjadi lebih rumit. Kami menyiksa mereka sampai akhirnya mereka mau bicara. Kusuma memang orang Tirtapura, namun ia menerima banyak uang dari Wonobhumi karena menjual kaba
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j