Selama Maharani menemani Citra, kebetulan sekali tak ada masalah apapun yang datang.Namun kemudian selama tinggal di sana, pada akhirnya Maharani tahu kehidupan Citra dan tahu juga jika kedua orang tuanya itu sama sekali tak menyukai Rangga.Ki Suryo dan istrinya selalu mengeluh bahwa semua ketegangan itu gara-gara Rangga. Mereka seolah melupakan bahwa andai Kusuma menikahi Citra, maka apa jadinya?Meski situasinya tidak aman, Ki Suryo dan istrinya belakangan itu sibuk bepergian. Tujuannya bukan semata-mata untuk bisnis, namun mereka masih saja mencoba mencarikan calon suami untuk Citra. Keduanya masih berharap Citra mau meninggalkan Rangga demi kehidupan yang lebih baik.Peliknya, mereka menuduh Rangga mandul dan tak bisa memberi anak. Maharani kadang tak habis pikir dengan jalan pikiran kedua orang tua Citra. Sungguh keras kepala. Dan hal itu mengingatkan Rani akan si Teja yang meninggalkan kesan tidak menyenangkan dalam benak Rani.Hari itu pun, lagi-lagi Maharani mendengarkan oce
Citra berhambur dan memeluk suaminya seperti anak kecil yang sudah lama ditinggal orang tuanya.“Aku senang kangmas datang… kangen…” kata Citra tanpa melepaskan pelukannya.“Aku juga kangen, Nimasku… di rumah ada tamu?” ucap Rangga saat sejak ia masuk ke halaman itu sudah melihat sebuah kereta bagus yang ditunggui oleh seorang kusir.“Iya. Kangmas datang di saat yang tepat. Ayah dan ibu berulah lagi ingin menjodohkan aku dengan orang lain. Aku tidak mau di sini, kangmas… aku tersiksa oleh ucapan-ucapan mereka yang selalu menghinamu dan selalu memaksaku untuk meninggalkanmu…” kata Citra.“Iya. Lagipula aku datang untuk menjemputmu, Nimasku sayang…”“Sungguh?” ucap Citra senang.“Iya…” balas Rangga sambil semakin mengeratkan pelukannya.Pada saat yang sama, Nyi Suryo menengok keluar untuk melihat siapa yang datang dan apa yang dilakukan Citra. Betapa geram ia melihat anaknya sedang berpelukan dengan Rangga di halaman.“Citra! Lekas masuk! Tinggalkan lelaki itu!” teriak Nyi Suryo dengan
Citra meneteskan air mata melihat sikap ibunya dan mendengar apa yang dia katakan. Tanpa kata, Citra tetap melanjutkan langkahnya mendekati Rangga.“Kita pergi, Kangmas. Anggap saja aku sudah tak punya tempat bernaung di sini. Kedepannya, jangan lagi bawa aku kemari!” kata Citra dengan suara bergetar penuh emosi.Di depan para tetangga dan di depan Nyi Suryo, Rangga memasang semua barang bawaan Citra di atas pelana kuda. Lalu mereka bertiga menuntun kuda itu menjauh dari rumah.“CITRAAA!!! CITRAAAA!!!” Nyi Suryo memanggil. Namun Citra, Rangga dan Maharani tidak menoleh ke belakang.Rangga berpikir, ia harus membeli kereta kuda. Atau setidaknya satu ekor kuda lagi untuk Maharani, sementara Citra bisa satu kuda dengannya. Ia menyesal kenapa tak mampir dulu ke rumah dan mengambil kereta kuda miliknya.Rangga ingat, di dekat gapura masuk desa, ada seorang juragan kereta. Ia segera mengajak Citra dan Maharani untuk ke sana. Niat awalnya adalah untuk membeli kuda atau kereta. Namun ternyata
Rangga melanjutkan ceritanya dan Citra terus menyimak. Meski demikian, Rangga tak menyebut lebih dahulu jika kakeknya adalah orang penting di istana kotaraja. Ia hanya mengatakan jika kakeknya masih hidup dan ia sempat menemuinya untuk meminta bantuan.“Jika kita ke sana, maka kita akan aman. Lagipula ada Maharani yang bisa kita andalkan, dan juga Kang Teja…” kata Rangga.“Sejujurnya aku malas bertemu kang Rangga. Dia selalu patuh dan mendukung kemauan ibuku…” kata Citra.“Ya sudah kalau begitu. Tapi yang jelas saat ini, Kusuma menjadi buronan prajurit istana karena dia adalah mata-mata kerajaan musuh. Jadi, dia tak akan berani menunjukkan batang hidungnya di kotaraja. Selama Kusuma belum tertangkap, akan lebih aman jika kita tinggal di kotaraja!” kata Rangga.“Di rumah kakekmu?” tanya Citra.“Iya. Tapi jika kau tidak nyaman, kita bisa menyewa sebuah rumah dan tinggal sementara di sana. Bagaimana menurutmu?” tanya Rangga.“Terserah Kangmas saja. Di mana pun asal dekat denganmu aku tak
Rangga tak bisa menyanggupi tawaran kakeknya. Tanggung jika ia memikirkan waktu yang ia miliki. “Beri saya waktu untuk berpikir Eyang. Sepuluh hari lagi. Jika posisi itu diambil orang lain ya sudah. Tidak apa-apa…” kata Rangga.Eyang Kartareja hanya bisa menghela nafas. Namun ia tak mau memaksa. Ia tak mau kehilangan satu-satunya keturunan yang ia miliki dan ia sudah kapok kehilangan putranya karena dulu ia suka memaksakan kehendak.Namun di hari-hari berikutnya, Eyang Kartareja sengaja mengajak Rangga untuk ke istana; sekadar jalan-jalan dan yang terpenting adalah mengenalkan Rangga kepada kalangan pejabat istana.Kadang Rangga juga diajak Eyang Kartaraja bertemu dengan orang-orang penting istana dan mau tak mau kadang ia juga mendengarkan pembicaraan mereka semua.Rangga berpikir, sebab ia tahu apa yang terjadi di masa depan, bahwa Tirtaloka memiliki banyak potensi yang bisa diolah dan dikembangkan dengan tepat untuk mendatangkan manfaat optimal.Saat ini Rangga sedang diajak Eyangn
Hari itu tiba juga. Seharian Rangga gelisah menunggu sesuatu terjadi padanya. Citra sampai bingung melihat suaminya yang bersikap tak biasa.“Kangmas sungguh tidak apa-apa?” tanya Citra.“Hanya masuk angin mungkin. Aku akan ke kamar saja…” kata Rangga.“Perlu aku pijit atau aku keroki?” tanya Citra.“Boleh…” balas Rangga. Di momen seperti itu, sentuhan Citra adalah satu-satunya hal yang membuatnya sedikit merasa lebih tenang.Malam pun tiba dan Rangga masih bertanya-tanya; bagaimana nasibnya selanjutnya?‘Apakah aku masih diberi waktu? Tapi sampai kapan? Jika seperti ini, yang ada aku malah tidak tenang sama sekali!’ ucap Rangga dalam hati.Citra sudah terbuai di alam mimpi. Sedari tadi Rangga hanya pura-pura tertidur. Lalu ia beranjak dari ranjang dengan sehalus mungkin. Ia ingin kebelakang untuk buang air kecil.Usai buang air kecil, Rangga mendongak ke atas untuk melihat bulan purnama yang tampak terang. Udara terasa dingin menusuk tulang.Rangga tak mengerti kenapa ia terpaku diam
Rangga sudah resmi menjadi wakil mentri pembangunan dan kini ia menyibukkan diri dalam proyek pembangunan bendungan sungai Langger. Ia ditunjuk sebagai pemimpinnya oleh Eyang Sudibya dan memiliki wewenang penuh untuk mengatur segala bentuk pengadaan kebutuhan dan keuangan.Seminggu lamanya Rangga menggodok konsep itu bersama para pejabat terkait dan rencana itu disetujui oleh semua pihak termasuk Sang Raja.Banyak yang tercengang saat Rangga memimpin rapat penggodokan konsep itu. Rangga masih muda, namun seolah ia sudah matang dan banyak pengalaman layaknya pejabat-pejabat yang sudah berusia 50an tahun lebih. Pengalaman dari masa depan sungguh sangat berguna untuk hal itu.Proyek itu akan dikerjakan oleh 50 tukang batu ahli dengan 500 prajurit sebagai kulinya yang dipimpin oleh dua orang senopati. Dalam hal ini, Rangga adalah pemimpin proyek yang memiliki kuasa penuh untuk memerintah.Selama dua hari, istana sibuk untuk melakukan persiapan pemberangkatan itu. Karena kabar dan kegiatan
Suasana ceria itu mendadak memburuk bagi Rangga dan Citra yang telah melihat Nawang di dalam kedai itu.“Kita ke sana saja, istriku…” kata Rangga sengaja mengajak Citra mencari tempat yang jauh dari meja Nawang dan kedua temannya itu.“Kenapa dia ada di sini!” gerutu Citra. Ia tak memungkiri Nawang sudah melakukan salah satu jasa besar yang membuat saat itu Teja datang pada waktu yang tepat dan menyelamatkannya. Namun tetap saja Citra selalu merasa tidak nyaman dengan keberadaan Nawang; ia merasa tidak aman pula karena ia menganggap Nawang itu cantik dan bertubuh bagus serta punya aura pemikat yang kuat.Nawang pun juga melihat Rangga, Citra dan Maharani. Dua teman Nawang, Tyas dan Dian pun menatap mereka, terutama Rangga.“Lelaki tampan! Dua wanita cantik itu… mencurigakan sekali. Jangan-jangan dua wanita itu juga sama seperti kita; wanita sewaan…” kata Tyas.“Iya. Jika pasangan resmi sepertinya tidak mungkin. Saudara pun juga tak mungkin. Wajah mereka berbeda. Tak ada mirip-miripnya
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j