Pekerjaan pertama yang akan dilakukan adalah membantu para warga pindahan dari bawah menuju ke atas. Orang-orang desa itu dibuatkan rumah baru dan ternyata prosesnya tidak semudah yang dibayangkan.Tidak semua bisa langsung setuju saat dipilihkan lahan tertentu. Kadang hal itu diwarnai juga dengan perdebatan.“Lihat itu Ki Lurah! Masak tanah untuk kami ada batu besarnya seperti itu. Yang muncul dipermukaan memang hanya seperti itu. Tapi bagaimana dengan bagian bawahnya! Kami jadi tak akan punya kebun seperti yang lainnya!” Seseorang protes keras dengan tanah yang dia dapatkan.Rangga yang saat itu menemani Ki Lurah mengatur pembagian tanah pun ikut pusing mendengar keluhan demi keluhan. Memang tanah di atas tampak lebih tandus. Dan semakin mereka ditempatkan di atas, mereka juga semakin protes karena sebelum bendungan jadi, jika butuh air, mereka harus turun sangat jauh ke bawah sana untuk mengambil air sungai yang hanya mengalir sangat kecil di musim kemarau itu.“Ya namanya memulai
Tiga hari lamanya para prajurit itu membantu membuatkan rumah baru untuk para warga. Terhitung cepat memang, karena tenaga kerjanya banyak dan rumah yang harus didirikan tidaklah banyak. Hanya tiga puluh rumah.Memang sedikit warga yang tinggal di sana. Kebanyakan adalah lelaki tua dan istrinya serta anak perempuannya sebab sebagian besar anak lelaki memilih untuk turun gunung mencari pekerjaan di tempat lain yang lebih menjanjikan.Para pemuda cenderung malas tinggal di desa terpencil dan bertanah tandus jika kemarau tiba, lalu tanah itu berubah menjadi tanah liat yang lengket saat musim hujan datang.Para warga bertahan di sana karena memang itulah tanah yang mereka miliki. Toh jika musim hujan tiba, tanah di gunung itu sangat subur dan menghasilkan banyak sekali sayuran dan tanaman pangan lainnya. Hanya saja jika kemarau tiba, mereka hidup sengsara karena harus turun ke bawah sana untuk mengambil air dari sungai Langger yang mengalir sangat kecil dan kadang pernah juga tak mengalir
Maharani mulai menyadari jika ada yang membuntuti di belakang. Ia menoleh dan melihat tiga lelaki muda yang berjalan mengikuti, bersiul-siul sambil menyunggingkan senyum sok akrab.“Mbakyu, ada pengganggu lagi…” kata Maharani sambil tetap melangkah seiring dengan langkah Citra.“Tak usah dihiraukan. Jika mereka benar-benar kurang ajar, kau boleh memberi mereka pelajaran, Rani!” kata Citra.Ketiga lelaki itu setidaknya tak terlihat seperti berandal. Mereka mungkin tiga pemuda pekerja di kotaraja yang kebetulan berpapasan lalu iseng ketika melihat dua orang wanita cantik yang sedang berjalan.Ketiga lelaki itu mempercepat langkah dan sengaja mengapit di sebelah kanan-kiri Maharani dan Citra.“Hei cantik, boleh berkenalan?”“Kalian berdua hendak kemana?”Mereka bertanya.“Jangan ganggu kami. Pergilah. Kami sedang tidak ingin bersama siapapun!” kata Maharani tegas.“Aduh-aduh… galak sekali… hihihi… jangan seperti itu, kami hanya ingin berkenalan,” balas si lelaki di sebelah kiri Maharani.
Citra mengambil tas belanjanya yang diulurkan oleh lelaki tampan itu. Jika dilihat dari penampilannya, dia seperti keturunan bangsawan atau setidak-tidaknya orang kaya.Pakaian lelaki tampan itu cukup bagus dan terbuat dari kain mahal. Kulitnya juga bersih. Rambutnya tergelung rapi dan sikapnya sopan; tak ada tatapan kurang ajar dari sorot matanya.“Terimakasih bantuannya, Raden…” ucap Citra.“Hati-hati jika di tempat ramai. Belakangan ini ada banyak kejahatan entah yang ringan atau yang berat…” kata lelaki itu.“Iya…” balas Citra.“Baiklah. Silakan dilanjut…” kata lelaki itu sambil berlalu meninggalkan Citra dan Maharani.Sang pencopet sudah lari entah kemana.Dalam hati Maharani berkata, tumben sekali ada lelaki yang tidak menyebalkan. Bahkan Maharani merasa ia dilirik pun tidak oleh lelaki itu.“Maaf Mbakyu, aku terlena…” kata Maharani.“Tidak apa-apa. Santai saja. Aku tahu kau pasti bisa mengejar pencopet itu. Hanya saja lelaki itu tadi kebetulan ada di depannya dan melihat kejadi
Baru kali ini Rangga akan menghadap sang Prabu. Ia ditemani Eyang Kartareja dan Eyang Sudibya untuk menyampaikan laporan seputaran progres proyek pembangunan bendungan.Seharusnya Rangga berdebar-debar saat bertemu dengan Sang Prabu. Namun entah kenapa, ia merasa biasa saja. Ia merasa tak ada yang istimewa dalam pertemuan itu.Rangga tahu dari kehidupan yang sebelumnya, bahwa Prabu Siliwangka, raja dari negri Tirtapura itu bukanlah raja yang taktis dalam menentukan keputusan. Ia malah terkesan plin-plan dan hanya mengandalkan apa yang dilakukan oleh para bawahannya.Satu hal lain yang diketahui Rangga, sang raja memiliki banyak selir dan banyak keturunan. Hal itu bukan lah hal bagus sebab di masa depan pasti akan ada ketegangan perebutan kekuasaan yang tidak akan berdampak bagus bagi rakyat.Selama Rangga mulai menjabat sebagai wakil Eyang Sudibya, ia memikirkan banyak hal. Yang ia lakukan itu bukan untuk menyenangkan Sang Prabu, namun semata-mata untuk menolong banyak orang, termasuk
Citra dan Rani sejenak melongo menatap lelaki itu.“Sudah habis…” kata Citra. Bersamaan dengan itu, Rani juga menjawab, “Masih ada…”Jawaban Citra dan Rani yang tidak kompak itu membuat lelaki tersebut terkekeh. “Kita bertemu lagi. Ternyata kalian berjualan makanan di kedai ini. Jadinya yang benar apa? masih ada atau sudah habis?”“E—sebenarnya sudah habis. Tapi, Raden Muda ingin makan apa? Kami bisa membuatkannya untuk satu porsi…” kata Citra.“Wah… kalau sudah habis ya lain kali saja. Saya tidak ingin merepotkan Nyai…” kata Lelaki itu.“Mbakyu, bukankah masih ada dendeng di belakang? Sayuran juga masih ada sedikit. Cukup jika hanya untuk satu porsi…” kata Rani.“Tapi kurang lengkap, Rani… tidak pantas menghidangkan sesuatu yang kurang lengkap… aku bisa memasak cepat…” kata Citra.“Aduh, saya jadi merepotkanmu… dendeng dan sayur yang dikatakan adik Nyai saja tadi… biar tidak repot. Saya bisa makan apa saja jika sudah lapar. Semua pasti enak…” kata lelaki itu.“Tunggu sebentar, Den… R
Sejak saat berangkat sendiri meninggalkan kotaraja, Rangga merasa jika ia sedang diikuti. Namun ia tak begitu yakin dengan hal itu; siapa pula yang mengikuti dan ada kepentingan apa?Rangga ingat jika ia memang menolak pengawalan dari istana. Bahkan juga menolak eyangnya meminta salah satu pengawalnya untuk mengantar. Dulu mungkin ia bersedia. Tapi untuk kali ini, Rangga merasa memiliki sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menjaga diri.Perjalanan tinggal setengahnya lagi. Hari itu Rangga bertolak dari sebuah desa tempat semalam ia menginap.Kali ini ia menunggang kudanya dengan santai sebab ia merasa yang membuntutitnya kian terang-terangan.Di depan adalah sebuah jalur hutan. Rangga malah sengaja berhenti meski di sana sepi. ‘Jika dia tak mengikutiku, maka dia akan lewat begitu saja!’ ucap Rangga dalam hati. Ia mengikat kudanya di salah satu pohon dan setelah itu ia duduk-duduk santai di bawah sebuah pohon sambil menikmati pisang bekalnya.Rangga menatap ke arah jalan di belakang tadi
Lelaki tua itu jelas tertegun dengan apa yang baru saja dilakukan Rangga.‘Sial. Dia sekuat itu! Kenapa tak ada pemberitahuan! Dia memang terlihat tak bisa bertarung. Tapi kekuatannya itu…’ ucap sang lelaki tua itu dalam hati.Karena merasa tak mau gagal, ia akhirnya mencabut goloknya dan menatap Rangga dengan tatapan pembunuh.Rangga sungguh ketar-ketir. Jika bertarung dengan tangan kosong, ada harapan ia selamat; ia hanya butuh mencengkeram lelaki itu dan membantingnya. Namun lain soal jika lelaki itu sudah menggunakan goloknya. Apalagi, dia tampak seperti ahli beladiri.Dan benar saja, lelaki itu bergerak cepat dan tak terduga. Rangga tak biasa menghadapi situasi seperti itu; ia bertarung dengan pendekar sungguhan yang menggunakan senjata.Entah bagaimana caranya, namun golok itu sudah menikam jantung Rangga.ERGGHHHH!!!Rangga mengerang. Tubuhnya gemetar dan tatapan matanya mulai berkunang-kunang. Darah keluar sangat banyak setelah lelaki itu menarik goloknya dan membiarkan Rangga
Serangan fajar itu berlangsung sengit. Pasukan Tirtapura benar-benar diuntungkan dengan keadaan musuh yang tidak siap dan masih kaget dengan ledakan.Pasukan pemanah segera beraksi menghujani benteng dan apapun di baliknya dengan panah. Lalu begitu panah-panah itu habis, pasukan darat segera berlari menyerbu melewati benteng yang rubuh itu dengan gagah berani sambil berteriak lantang saling membakar semangat satu sama lainnya.Senopati Teguh menahan Rangga agar tidak ikut masuk.“Di sini saja, Den… tugamu sudah selesai. Sisanya biar dibereskan pasukan darat dan pasukan kuda. Kita hanya perlu menunggu. Hari ini, tak sampai tengah hari, istana Wonobhumi akan takluk…” kata Senopati Teguh.Rangga tidak membantah. Ia menyaksikan kemelut itu dari kejauhan dan mendengarkan teriakan-teriakan mengerikan di balik benteng itu. Musuh tidak sepenuhnya siap dan kalah jumlah.Rupanya perang itu berlangsung cepat. Belum sampai matahari terasa terik, perang berakhir diiringi suara sorak sorai pasukan
Kereta Rangga berhenti di tempat yang direncanakan. Rangga bukannya lolos dari serangan itu. Ada dua anak panah yang telah tertancap di bahunya. Rasanya sungguh menyakitkan. Namun Rangga menghiraukan rasa sakit itu. Ketegangan membuatnya tak peduli dengan apapun.Pihak musuh tidak mengerti. Mereka banyak yang berpindah hingga di atas dan di sisi kanan dan kiri benteng itu sambil tetap berancang-ancang dengan panahnya. Rangga masih terpindung oleh bagian lengkung benteng sehingga siapa saja yang berada di atas belum bisa menyerangnya. Sementara ada banyak juga prajurit yang berada di balik gerbang benteng.Rangga segera bergegas ke belakang kereta. Ia menarik beberapa sumbu, lalu membakarnya tanpa ragu. Setelah itu, ia kembali memayungi tubuhnya dengan tameng dan ia berlari meninggalkan kereta itu kembali menuju ke pemukiman barat.Sungguh pun, Senopati Teguh sangat cemas. Ia sudah menyiapkan banyak prajurit pemanah saat itu. Saat Rangga berlari menyelamatkan diri, senopati Teguh memin
Beberapa hari kemudian, Pasukan Tirtapura sudah bergerak dan mereka berhasil menguasai wilayah barat kotaraja. Kini jarak kedua kubu itu bisa dibilang hanya beberapa langkah saja, terpisah oleh jalan dan juga benteng istana yang tinggi dan tebal.Dua kubu pasukan itu sudah sempat saling bersitegang dan bertukar serangan anak panah. Namun Senopati Wuring segera menghentikan hal itu karena bisa menjadi sebuah pemborosan.Dalam benak senopati Wuring ada banyak metode untuk menaklukkan Wonobhumi. Atau membuat mereka pada akhirnya membuka gerbang dan menyerang. Hal itu adalah sebuah kerugian besar bagi pihak Wonobhumi.Salah satu cara yang terpikirkan adalah dengan mengisolasi tempat itu. Tak akan ada pasokan makanan dan mereka tak akan bisa bertahan.Sementara, pasukan Tirtapura masih akan bisa bertahan karena mereka masih bisa mendapatkan pasokan makanan entah bagaimana caranya.Dan metode itu disampaikan oleh Senopati Wuring kepada semua jajaran senopati dan orang penting di kubu Tirtap
Hari-hari berlalu. Kini Rangga bersama rombongan besar pasukan Tirtapura sedang menuju ke kotaraja Wonobhumi.Pasukan Wonobhumi yang bertahan di kota Suluk akhirnya berhasil dikalahkan. Tidak banyak dari pasukan itu yang berhasil melarikan diri ke kotaraja. Selebihnya mati dan terluka parah, serta dijadikan tahanan sampai entah kapan.Yang pasti, kota-kota yang dilewati oleh pasukan Tirtapura selalu gemetar ketakutan sebab Wonobhumi sudah benar-benar kehilangan kekuatan, kecuali yang tersisa di kotaraja.Tentu setiap kota kadipaten akan memiliki pasukan sendiri-sendiri. Namun pada saat perang terjadi, kotaraja meminta sumbangan prajurit sehingga setiap kadipaten yang ada di wilayah Wonobhumi telah kehilangan setengah pasukannya.Dan kali ini, daripada hancur lebur, para adipati memilih untuk menyerah dan berdamai dengan Tirtapura yang artinya mereka dengan suka rela menyerahkan diri dan mengakui kedaulatan Tirtapura, serta mau menjadi bagian dari kerajaan tersebut.Hal itu tentu saja
Dalam kekacauan itu, sayangnya tim yang berada di titik kedua kurang sabar. Banu juga merasa bingung dengan hiruk pikuk yang terjadi. Sehingga, semula yang seharusnya mereka menyalakan petasan ketika prajurit darat kembali untuk mengevakuasi teman-teman mereka, malah terburu-buru menyalakan petasan itu manakala mereka menganggap situasinya sudah tepat.Sehingga, pasukan darat musuh bisa dibilang selamat dari jebakan itu. Yang kena hanyalah kesatuan yang bertugas untuk mengangkut dan mengawal perbekalan.Senopati Teguh tak berani mengambil banyak resiko. Ia hanya menyuruh pasukannya untuk menghabiskan anak panah yang mereka miliki dan juga menjatuhkan bebatuan berukuran sedang dari atas gunung. Selebihnya mereka pergi meninggalkan tempat itu.Apapun itu, hasil dari serangan petasan tersebut cukup memuaskan. Ada banyak korban jatuh dari pihak Wonobhumi meski jumlah prajurit mereka masih sangat banyak.Namun demikian, mereka kehilangan waktu, kehilangan banyak kuda, dan juga amunisi lain
Rangga dan beberapa anggota timnya berada di lokasi titik pertama namun tak persis di tempat-tempat petasan itu dipasang sedemikian rupa.Prajurit darat sudah lewat dari tadi. Dan juga kereta-kereta pengangkut perbekalan. Rangga sampai merinding sendiri melihat banyaknya iringan panjang prajurit Wonobhumi tersebut.Yang dilakukan Rangga dan teman-temannya hanyalah berdiri di pinggir jalan karena tugas para prajurit di tempat itu memang hanya menjaga jalur.Hanya di awal-awal saja, pemimpin rombongan pasukan darat berhenti dan menanyakan situasi. Rangga menjawab jika jalur telah bersih dan aman untuk dilewati. Selebihnya para prajurit itu melanjutkan perjalanannya.“Panjang sekali barisannya… dan pasukan berkuda masih sangat jauh. Aku khawatir jika petasan kita gagal…” bisik Sanji yang saat itu berada di sebelah Rangga.“Jangan khawatir. Ada puluhan petasan dan tak mungkin tak ada yang meledak. Kita hanya harus berhati-hati saja, sebab yang akan kita hadapi nanti adalah kuda-kuda yang
Ketika Rangga tiba di lokasi, rupanya Senopati Teguh dan pasukannya sudah membereskan pasukan Wonobhumi yang menguasai jalur itu. Sehingga, Rangga dan timnya bisa segera langsung bekerja.Petasan-petasan itu dipasang sedemikian rupa di tempat-tempat tertentu, tersembunyi, namun juga kelak bisa dinyalakan dengan mudah. Kuncinya ada pada pemasangan sumbu dan hal itu cukup menguras persediaan bubuk api yang dibawa oleh Jian Zhu.Pasukan Senopati Teguh merampas peralatan dan juga seragam pasukan musuh. Kini mereka semua menyamar menjadi pasukan Wonobhumi. Sehingga jika ada pasukan pemeriksa datang, mereka berpikir jika jalur itu masih aman dan dalam kekuasaan Wonobhumi.Hal itu adalah hal yang sangat fatal bagi pihak Wonobhumi. Mereka menganggap remeh jalur itu dan tidak teliti.Hanya butuh satu hari saja bagi tim Rangga untuk memasang petasan-petasan itu dan setelahnya, ia membuat rencana sangat matang bersama timnya, Senopati Teguh dan juga para prajurit tertentu yang terpilih untuk mem
Rangga memutuskan untuk mencari Banu sendirian. Wiji dan Sanji sebetulnya menawarkan diri. Namun Rangga menolaknya. Ia meminta dua orang itu untuk beristirahat saja.Namun saat Rangga telah berada di depan penginapan, ia melihat Banu kembali.“Kau baik-baik saja?” tanya Rangga khawatir.“Masuk dulu, kang! Aku tadi terpaksa harus bersembunyi dari kejaran orang yang memergokiku melemparkan sesuatu di gudang dan membuatnya meledak!” kata Banu.Maka mereka segera masuk ke dalam penginapan itu. Rangga sungguh merasa lega. Tak ada yang celaka. Ia hanya merasa sangat bersalah apabila orang yang ia bawa itu celaka meski semua paham resiko menjadi prajurit; mati dalam tugas.Serangan petasan atau bisa dibilang serangan bom berkekuatan kecil itu sungguh membuat pihak Wonobhumi geram. Mereka menetapkan kejadian itu sebagai serangan dari Tirtapura. Dan mereka belum memahami apa yang digunakan pihak Tirtapura hingga bisa meledakkan sesuatu dan ledakannya itu cukup berbahaya pula.Malam itu, ada ba
Tenda-tenda yang menjadi pemukiman sementara para prajurit Wonobhumi itu masih ramai. Orang-orang cenderung berkelompok mengelilingi api unggun. Di sana mereka bertukar cerita sambil membakar ubi.Tak ada daging. Mereka akan mendapatkan daging di waktu tertentu untuk perbaikan gizi. Camilan malam seperti ubi bakar itu biasanya mereka dapatkan dari ladang entah milik siapa siapa yang mereka jarah semena-mena.Sudah bukan rahasia jika ada banyak prajurit nakal yang dengan dalih patroli, mereka pergi keluar dari kota menuju ke desa-desa dan perkebunan untuk mencari makanan. Dan bahkan yang keterlaluan, mereka tak hanya mencuri hasil ladang seperti ubi, singkong dan jagung, namun mereka juga mencuri ayam dan kambing.Sesungguhnya banyak warga kecil yang menderita oleh ulah para prajurit itu. Di satu sisi, para prajurit itu memang lapar dan stress. Mereka akan menyikat habis kesempatan yang ada selama tidak ketahuan atasan. Masa-masa perang, di mana pun itu, selalu menjadi masa kelam dan j