“Siapa? Kau ingin tahu siapa pengkhianat itu?” tanya Levon dengan senyuman miring.
“Ya, Tuan. Siapa pengkhianat itu?” Pulisic tidak melepaskan pandangan dari Sang Tuan. Ia tidak sabar ingin mendengar Sang Pengkhianat yang sebenarnya.
“Kau tak 'kan percaya jika aku menyebut namanya,” jawab Levon menyunggingkan senyuman.
Levon semakin membuat Pulisic penasaran. Ia tak bergerak dari hadapan Tuannya dengan tatapan serius. Ia memperhatikan gerakan mulut dari Sang Tuan untuk mendengar kalimat apa lagi yang akan keluar.
“Semua orang mengenalnya sebagai orang yang sangat baik. Dia ramah dan tidak sombong. Dia murah senyum dan berteman dengan siapapun juga tanpa memandang statusnya. Dia selalu membantu orang yang sedang dalam kesulitan. Dia adalah ....”
Levon tidak langsung meneruskan kalimatnya, membuat Pulisic semakin membulatkan mata dan tak berkedip. Ia sudah memasang telinga lebar-lebar untuk mendengar nama Sang Pengkhianat. Sementara itu, L
“Dia anak dari Tuan Zentavious Robert Frankie, pemilik perusahaan industri kimia di Washington,” jawab Levon sambil menyapu pandangan ke sekitar ruangan ball room. “Anak Tuan Frankie? Pemilik perusahaan industri kimia? Aku baru tahu, karena nama orang tua di berkas biodatanya hanya tertulis Zentavious,” respon Pulisic. “Tapi Tuan Frankie adalah orang yang sangat baik dan dermawan? Jika dia tahu anaknya mempunyai sifat yang buruk, pasti dia sangat kecewa.” Pulisic menggeleng-gelengkan kepala. “Justru Frankie akan tertawa melihat anaknya berhasil menghancurkan perusahaan LEO Group.” Levon tersenyum kecut. “Apa? Apa maksud, Tuan?” tanya Pulisic melebarkan mata. “Frankie sendiri yang mengirim Rose ke perusahaan LEO Group untuk menghancurkan perusahaan ini,” jawab Levon sambil melangkah dan kembali mendaratkan pantatnya di kursi duduk. “Benarkah itu Tuan?” Pulisic masih belum percaya karena Frankie dikenal sebagai orang yang sangat baik di Amerika.
Levon menjeda-jeda kalimatnya, sehingga terkesan bertanya banyak hal.“Aku lupa memberitahumu, Papaku nanti malam akan ke sini untuk menemuimu. Jadi aku akan menjemputmu nanti malam untuk bertemu Papaku di rumah,” ucap Rose sambil memegang dahinya sebentar dan mendekati Levon.“Untuk menemuiku?” tanya Levon penasaran.“Aku sudah meminta izin padanya untuk menikah denganmu. Jadi ... jadi dia ingin bertemu dengan calon menantunya,” jawab Rose sambil bergelantungan manja di lengan Levon.“Apakah kamu sudah bercerita tentang kehidupanku? Pekerjaanku?” Levon memasang wajah sedikit takut.“Sudah ... aku sudah banyak bercerita tentang dirimu,” jawab Rose menadahkan kepala dengan ekspresi sedikit menggoda dan menakuti Levon.“Apa reaksinya? Apakah dia memarahimu karena sudah mencintai seorang cleaning service?”“Tidak ... dan jika dia memarahiku, pasti aku akan mela
Bola mata Frankie bergerak cepat mengalihkan pandangan ke arah Rose yang menyembunyikan piring dengan garpu. Rose tersenyum dengan bibir rapat dan seakan memberi isyarat pada Frankie melalui kontak mata.Levon menyeringai melihat Frankie seperti tersengat dengan pertanyaannya, tetapi Levon langsung memasang wajah bingung dan rasa bersalah, “Ada apa, Pa? Apakah aku salah bicara?”Frankie menghela napas pelan dan mengeluarkan senyuman, “Tidak, tidak ... maafkan aku. Barusan aku sedikit mengingat kejadian masa lalu. Disaat Rose meminta izin padaku untuk bekerja di perusahaan LEO Group. Waktu itu aku ingin Rose belajar mengurus perusahaan keluarga, tetapi Rose menolaknya. Dia merengek ingin mencari pengalaman dan ingin merasakan bagaimana bekerja di perusahan orang lain terlebih dahulu. Katanya ...”“Biar bisa peka terhadap keinginan dari setiap karyawan,” Rose menyela dan menyambung kalimat Frankie dengan senyuman.“
Levon tersentak, baru kali ini ada orang yang memanggilnya Leo dengan arogan.“Cepat naik, Leo. Tunggu apa lagi? Nanti ada orang yang melihat seorang supervisor cleaning service naik mobil mewah ini,” ucapnya dengan senyuman sindiran.“Kapan kau datang, Amel?” tanya Levon sambil masuk ke dalam mobil bagian depan.“Satu jam yang lalu,” jawab Amel sambil melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata.“Perjalanan dari Turki ke Amerika pasti sangat melelahkan,” kata Levon melirik tubuh Amel dari atas sampai bawah.“Ya sangat lelah sekali, tetapi aku tidak suka berdiam diri. Makanya aku meminta pada Fred agar aku yang menjemputmu,” balas Amelia sambil menoleh pada Levon yang sedang memperhatikan dirinya. “Mengapa kamu melihatku seperti itu? Apakah aku semakin cantik?”“Ya! Kau semakin cantik.”“Apakah kamu menggodaku?” tanya Amelia me
Amelia tersenyum licik, ia pintar memainkan situasi. Ia ingin memberikan tekanan awal pada Rose. Tanpa menatap ke arah Rose, Amelia tahu bagaimana gerakan gelisah dan perubahan ekspresi wajah calon istri sepupunya itu. “Dia adalah mantan manajer personalia, Tuan Eric.” Amelia tersenyum puas melirik Rose yang terlihat menghembus napas lega dan mulai tenang kembali. Semua staf karyawan lega, orang yang dicurigai Amelia bukan salah satu dari mereka. Suara-suara mulai terdengar menyebut nama Eric. Mereka yakin, Eric memang pelakunya. Rose menampakkan senyum dengan bibir rapat. Ia terlihat puas menatap Amelia dengan tatapan mata kemenangan. “Tapi itu hanya kecurigaan awal. Aku akan terus mengawasi kalian.” Amelia mengakhiri penjelasannya dengan melangkah ke luar. Di mata seluruh staf karyawan, kesan pertama kepada Amelia adalah dia sangat arogan. Pulisic saja tunduk kepadanya. “Silahkan kalian kembali ke ruangan masing-masing!” titah
Staf karyawan bagian Personalia mulai menerka-nerka, apa maksud dari teriakan sang manajer? Baru hari pertama, sepupu Tuan Leo itu terlihat sangat marah.“Apa begini kalian bekerja?” Amelia menatat tajam pada semua staf karyawan personalia yang sudah berbaris di depannya.“Apa maksudnya, Nona?” tanya Brian mewakili teman lainnya. Dadanya kembang-kempis melihat wajah merah dari Amelia.Semua orang juga seperti itu. Mereka melirik-lirik satu sama lain dengan gelisah.“Lihatlah ini! Ada satu karyawan pabrik yang tidak sesuai kualifikasi. Lulusan apa, kerjanya apa!” suara lantang Amelia menggema di ruangan tersebut. “Anton lulusan teknik industri, tapi dia ditempatkan bagian pengendalian mesin pengilangan minyak!”“Mohon maaf, Nona. Yang tidak sesuai dengan jurusan pendidikan hanya Anton. Tapi, Nona tenang saja. Kemampuannya sudah teruji, hasil kerjanya sangat memuaskan,” bela Brian mencoba te
Semua orang mematung, tak percaya dengan ucapan Levon barusan. “Apakah kau serius memecatku? Barusan aku hanya bercanda saja,” kata James terjingkat menghampiri Levon dengan memaksakan senyum meski raut wajahnya tetap terlihat cemas. “Ya benar itu! Kami barusan hanya bercanda. Jangan pecat diriku. Jika kau memecatku, bagaimana nasib anak istriku dirumah?” sambung salah satu dari mereka. Karyawan yang lainnya pun begitu, mereka tiba-tiba ramah pada Levon. Jurus rayuan mengiba-mengiba dilancarkan agar hati Levon lunak. Levon bergeming menampakkan wajah memerah oleh marah. “Ambil pesangon kalian. Carilah pekerjaan di tempat lain!” Suara Levon bergetar, tidak ada sedikit pun nada kasihan di situ. Lalu, ia berjalan melewati mereka. “Dan karyawan yang tidak dipecat, silahkan bekerja!” Karyawan yang dipecat Levon, memandang dirinya dengan penuh kebencian dan dendam, “Kau akan menyesal sudah berani memecat kami!” Levon hanya menyeringai mend
“Suatu hari nanti kau akan tahu alasannya, Amel,” kata Levon menatap lembut pada Amelia. “Sekarang fokuslah kepada tugasmu.” “Kau selalu saja seperti itu.” Amelia cemberut sambil memalingkan wajah. Lalu, ia berdiri dan melangkah pergi. Levon tersenyum melihat Amelia ke luar dari ruangan CEO, ia gemas memperhatikan sepupunya yang melangkah dengan cepat. “Amelia, kau tenang saja. Aku bergerak di belakangmu, karena musuh yang kau hadapi sangat berbahaya. Aku butuh bantuanmu untuk mengungkap tikus-tikus perusahaan sampai ke akar-akarnya,” ucap Levon lirih dengan tatapan menerawang. Lalu, ia merebahkan tubuhnya kembali di permukaan sofa. Namun, baru sekejap memejamkan mata ponselnya berdering. Tampak nama Tuan Pulisic terpampang di layar. “Tuan? Karyawan cleaning service yang dipecat, mereka melakukan demo di depan perusahaan,” kata Pulisic panik. “Lalu? Apa masalahnya? Kau tinggal mengusirnya,” jawab santai Levon dalam keadaan mata terpejam.
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B
“Arg! Sial!” teriak Amelia menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu ia berdiri lagi dan mulai merusak barang-barang miliknya di kamar itu.“Leo!” teriaknya lagi penuh emosi. Kali ini ia mengacak-acak sprei kasur. “Apa kau menginginkan aku mati? Kenapa kau tak mencegahku, Leo? Kenapa kau malah mengantar wanita iblis itu pulang?”Angelina sangat marah karena setelah mengirim video itu, Levon justru tidak panik dan berusaha datang menemuinya.“Leo!” teriakannya lebih kencang hingga suaranya serak. “gara-gara wanita iblis itu, kau jauh dariku!”Sementara itu Levon sudah sampai di mansion. Kedatangannya ditemui Emma.“Leo kenapa pulang? Dimana Angel? Bukannya kau mengantarkan Angel ke Washington?” tanya Emma cemas.“Tidak, Anne. Leo mengantarnya ke apartemen Hoston. Sementara waktu dia lebih baik tinggal di sana sampai keadaan di mans
Amelia mengirimkan sebuah video yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan aksi percobaan bunuh diri dengan cara memakan serbuk sabun cuci.“Ada apa, Leo?” tanya Emma sekilas melihat perubahan ekspresi wajah Levon.“Hem tidak ada apa-apa, Anne,” kilah Levon. Beruntung ia barusan menekan mute suara di ponselnya.“Hem Anne kira ada sesuatu.”Levon menggelengkan kepala. Lalu pandangannya bergeser ke arah Angelina. “Ow ya, Angel. Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak perlu, Tuan. Aku minta bantuan pada Fred saja,” respon Angelina menolak. Ia berusaha menghindar dari Levon.“Biarlah Levon yang mengantarmu pulang, Angel,” kata Emma.“Tidak perlu ....” Angelina berhenti berbicara ketika Emma menatapnya dengan isyarat dirinya tidak boleh menolak dihantar Levon. “Baik, Anne.”Malam ini aja aku menuruti permintaan Anne. Setelah ini aku akan m
“Nona, jangan lakukan itu.” Yang tadinya Angelina diam seribu bahasa, akhirnya bersuara. Tatapannya penuh rasa bersalah. “Aku tidak akan menerima perjodohan ini. Maafkan aku ... aku gadis yang tidak tahu diri. Seharusnya dari dulu aku tidak hadir dalam keluarga Tuan Leo.” “Jika kau menyadari semua kesalahanmu, pergilah sekarang juga!” bentak Amelia pada Angelina dengan sorot mata tajam. “Jika kau tidak ingin melihatku mati, pergilah sejauh mungkin dan jangan perlihatkan wajahmu lagi! Kalau perlu pindah Negara!” Angelina meneteskan air mata, “Baik, Nona. Aku akan pergi dari kehidupan Tuan Leo. Aku akan menjauh dari Tuan Leo ... Maafkan semua kesalahanku. Sejujurnya aku tidak pernah punya niat merebut Tuan Leo dari Nona.” Angelina pun berlari ke kamarnya dengan tangisan, sedangkan sedari tadi tatapan tajam Levon tetap menyorot pada Amelia. “Menikahlah denganku, Leo. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu,” ucap Amelia dengan buliran tangisan, me