“Orang-orang suruhan kita juga menjadi tersangka karena dianggap membantu Ethan untuk membunuh orang itu,” jawab Pulisic kaku.
“Apakah polisi mengenali wajah-wajah orang suruhan kita?” tanya Levon sambil berdiri dan menatap pulisic.
“Tidak, Tuan. Untung orang-orang suruhan kita memakai topeng,” jelas Pulisic.
“Itulah sebabnya aku menyuruh mereka memakai topeng,” ungkap Levon dengan tatapan tajam, tetapi di detik berikut bibirnya mengulas senyum licik. “Karena Rose pasti merencanakan semua ini.”
“Lalu? Ethan?” tanya Levon lagi sambil merapikan dokumen di atas meja.
“Dia sudah ada di penjara, Tuan. Pasti sekarang dia lebih merasa aman berada disana dari kejaran Rose,” jawab Pulisic.
Levon menoleh ke arah Pulisic lagi dengan tatapan tajam, “Justru Rose menginginkan Ethan dipenjara agar dia lebih leluasa menyiksanya. Polisi akan meremukkan tulang-tulang Ethan setiap hari. Bukankah itu lebih menyakitkan dari kematian?”
“Rose b
Apakah gerak-gerik Levon terbatas saat menikah dengan Rose? Ikuti terus ya ceritanya. Dan jangan lupa vote dan tinggalkan jejak koementar kalian agar Author semakin semangat. Thanks
Sebelum Rose melihat nama Nona Amelia yang terpampang di layar ponsel, Levon langsung mengangkatnya.“Ya? ... Kau tenang saja, besok kakak kirim uangnya ... Ya sudah dulu, nanti kakak telepon kembali.” Levon bicara asal dan berharap Amelia mengerti posisinya. Lalu, ia memutus sambungan telepon dan meletakkan ponselnya kembali di saku baju.“Adikmu?” tanya Rose.“Iya adikku. Dia meminta kiriman uang untuk biaya kuliahnya,” jawab Levon tersenyum menatap Rose. Dan berharap calon istrinya tidak curiga.“Mengapa kau mematikan teleponnya? Padahal aku ingin bicara dengannya,” protes Rose.“Karena aku tidak ingin ada yang mengganggu kebersamaan kita,” jawab Levon sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Rose dengan tatapan menggoda.“Benarkah?” tanya Rose manja.“Iya,” jawab Levon dengan menaik-turunkan alisnya.“Hem kalau begitu aku minta nom
“Mengapa kau masih dendam padaku, James?” tanya Levon dengan memasang wajah sedih, dan itu membuat James berdiri dan menunjukkan wajah penuh dendam.“Diam kau, Sampah. Jika kau ingin aku tidak mempunyai dendam lagi padamu, maka lawanlah aku. Dan jangan berteriak seperti anak kecil!” tantang James dengan tatapan semringah. Ia yakin jika berduel satu lawan satu pasti bisa mengalahkan Levon.Levon terdiam dan tampak ragu untuk membuka mulut, membuat James tertawa renyah. Wajahnya semakin tampak semringah.“Sudah kuduga, kau pasti takut melawanku. Jadi jangan salahkan aku, jika aku masih dendam padamu. Aku akan terus berusaha mencelakaimu,” sindir James dengan tatapan menghina pada Levon.Levon masih terdiam, tetapi bibirnya sekilas tersenyum miring, “Hem sepertinya aku harus memberimu pelajaran agar kau tidak terus menggangguku,” batin Levon dengan tetap mempertahankan wajah sedih.“Hahaha ... Meng
“Apa yang kau akan lakukan padaku, Sampah?” teriak James sambil tetap beringsut dengan keringat dingin.Levon menjawab dengan mendaratkan pukulan keras ke kepala James bagian pelipis, membuat dirinya langsung pingsan seketika bersamaan dengan terbukanya pintu rumah.“Hai cantik. Kau sudah datang,” sapa Levon sambil menghembus napas lega karena James pingsan tepat waktu.Sementara itu Amelia terbelalak karena terkejut melihat James sudah terkapar dengan wajah lebam dan mulut berlumuran darah.“Apa yang terjadi? Aku barusan mendengar teriakan,” kata Amelia mematung di depan pintu.“Sedikit bersenang-senang,” jawab Levon dengan santai sambil melihat James.“Bukankah dia karyawan—”“Mantan karyawan cleaning service,” sela cepat Levon sambil melangkah mendekati Amelia, “Nanti aku ceritakan,” kata Levon lagi dengan tatapan mengisyaratkan mengajak
Amelia dan Pulisic terkesiap dengan mulut menganga.“Sungguh?” tanya Amelia dengan melengkingkan suara dan senyuman merekah.Levon tersenyum miring, menjaga nada bicaranya tetap terkesan bercanda, “Cepatlah, Amel. Malam ini kita akan bersenang-senang.”Saat Levon sampai di balkon lantai dua, ia berhenti dan melihat ke bawah. “Amel, kita akan menyamar. Kita datang ke sana sebagai pengemis.”Amelia mengangguk dan melebarkan senyuman, sedangkan Levon mengalihkan pandangan ke arah Pulisic.“Pulisic?” panggil Levon, dan seketika Pulisic mendongak dan menoleh ke arah Sang Tuan.“Ya, Tuan?”“Aku ingin semua keluarga setinganku ada disini besok pagi sebelum aku berangkat kerja!” titah Levon begitu dingin dengan tatapan serius.“Baik, Tuan.”“Mengapa kau memanggil mereka?” tanya Amelia penasaran, tapi di detik berikutnya ia
“Malam ini aku ingin bersenang-senang dengan cara mengajarimu mengemudikan mobil. Tapi kita harus membeli hadiah untuk mereka terlebih dahulu.” Rose menoleh pada Levon yang masih menatap jendela kaca mobil. Levon menoleh dengan mengulas senyuman indah pada Rose, “Baiklah.” Rose memarkirkan mobil, lalu menggandeng tangan Levon menuju toko Madison. Sebuah toko yang berisikan barang-barang mewah dan mahal. Levon tersenyum, tapi di detik berikutnya ia berpura-pura konyol, “Rose sepertinya kau salah tujuan. Harga barang di toko ini sangat mahal.” Rose tetap membawa Levon masuk ke dalam toko, “Tidak, Lev. Aku tidak salah masuk. Kita akan belanja di toko ini.” “Rose, aku tidak punya banyak uang untuk berbelanja di toko ini.” Levon menghentikan langkah, membuat Rose ikut terhenti. Para pengunjung mulai memperhatikan mereka, karena mendengar ucapan Levon. Pandangan hina mulai terlihat, mereka melihat penampilan Levon yang sangat sederhana. Seme
“Kau sangat menyebalkan, Leo!” Amelia menghempaskan tubuhnya di kasur dengan perasaan kesal karena malam ini mereka gagal menjalankan misi membongkar kejahatan Hubert. “Ini semua gara-gara wanita iblis itu!” Amelia memukul-mukul permukaan kasur. Tatapan matanya menyala memikirkan Rose. Lalu, ia bangkit dan menuju kamar Levon dengan wajah yang begitu kesal. Di kamar Levon, ia menatap bingkai foto keluarga besar di tengah-tengah dinding, “Foto ini diambil lima tahun saat masih Leo masih berada di Turki.” Amelia tersenyum mengingat memori yang ada pada foto itu, tetapi beberapa detik kemudian ia kembali kesal mengingat kejadian malam ini. “Leo? Mengapa kau bermain halus dalam menangkap pengkhianat di perusahaanmu? Jika kau mau, kau bisa bermain kasar dengan membantai habis musuh-musuhmu tanpa ampun. Tidak akan ada yang bisa mengalahkan dirimu saat wajah Sang Penguasa diperlihatkan pada musuh-musuhmu. Seperti yang kau lakukan saat berada di Turki, k
“Kau tak kan bisa menghentikanku!” Tatapan Rose tak kalah tajam. Ia menampakkan senyuman seringai, tetapi di detik berikutnya ia langsung tesenyum indah menatap Levon. “Bercanda, Lev.”Levon pura-pura menunduk dengan wajah sedih, “Jangan perlihatkan tatapan itu lagi padaku. Jangan berakting, aku tidak suka.”Rose terkekeh geli, “Hahaha, maaf, maaf. Tapi kau barusan juga menatap aneh padaku. Jadi aku membalasnya.”“Hem iya! Aku juga minta maaf.” Levon mendongak dan mengulas senyum indah menatap Rose.Levon dan Rose menyelesaikan aktifitas belanjanya di toko, dan akhirnya mereka berdua menuju parkiran mobil. Rose menyalakan mesin mobil dan melajukan dengan kecepatan standart.“Lev? Belajar menyetir ya,” pinta Rose sambil tetap melihat ke depan.“Jalanan sangat rame, aku takut” respon Levon.“Oke begini saja, nanti aku hubungi temanku yang mem
“Aku benci dirimu.” Tangan halus Amelia memukul-mukuli Levon dengan raut wajah sangat kesal. “Kau berhasil menipuku untuk menjemputmu.”Levon terkekeh geli, “Aku serius, Amel. Ini berita bagus. Lihatlah! Dia menghabiskan banyak uang untukku.”Mereka sampai di mansion, Amelia langsung turun dari mobil. Sementara itu, Levon hanya tertawa renyah memperhatikan langkah sepupunya yang menuju ke dalam mansion, “Hem masih labil. Itu karena semenjak kecil dia selalu dimanja oleh keluarga.”Saat Levon turun dari mobil, tiba-tiba Fred langsung bersimpuh di kakinya dengan gemetar dan ketakutan. Levon mengerti, Fred merasa bersalah karena tidak bisa menjalankan perintah darinya.“M-maaf, Tuan. Tadi semua kunci mobil disita oleh Nona Amaelia. Dan Nona melarangku menjemput Tuan.” Fred gugup dan tak berani mendongak menatap Sang Tuan. “Hukumlah saya, Tuan!”“Baiklah! Sebagai hukuma
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B
“Arg! Sial!” teriak Amelia menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu ia berdiri lagi dan mulai merusak barang-barang miliknya di kamar itu.“Leo!” teriaknya lagi penuh emosi. Kali ini ia mengacak-acak sprei kasur. “Apa kau menginginkan aku mati? Kenapa kau tak mencegahku, Leo? Kenapa kau malah mengantar wanita iblis itu pulang?”Angelina sangat marah karena setelah mengirim video itu, Levon justru tidak panik dan berusaha datang menemuinya.“Leo!” teriakannya lebih kencang hingga suaranya serak. “gara-gara wanita iblis itu, kau jauh dariku!”Sementara itu Levon sudah sampai di mansion. Kedatangannya ditemui Emma.“Leo kenapa pulang? Dimana Angel? Bukannya kau mengantarkan Angel ke Washington?” tanya Emma cemas.“Tidak, Anne. Leo mengantarnya ke apartemen Hoston. Sementara waktu dia lebih baik tinggal di sana sampai keadaan di mans
Amelia mengirimkan sebuah video yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan aksi percobaan bunuh diri dengan cara memakan serbuk sabun cuci.“Ada apa, Leo?” tanya Emma sekilas melihat perubahan ekspresi wajah Levon.“Hem tidak ada apa-apa, Anne,” kilah Levon. Beruntung ia barusan menekan mute suara di ponselnya.“Hem Anne kira ada sesuatu.”Levon menggelengkan kepala. Lalu pandangannya bergeser ke arah Angelina. “Ow ya, Angel. Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak perlu, Tuan. Aku minta bantuan pada Fred saja,” respon Angelina menolak. Ia berusaha menghindar dari Levon.“Biarlah Levon yang mengantarmu pulang, Angel,” kata Emma.“Tidak perlu ....” Angelina berhenti berbicara ketika Emma menatapnya dengan isyarat dirinya tidak boleh menolak dihantar Levon. “Baik, Anne.”Malam ini aja aku menuruti permintaan Anne. Setelah ini aku akan m
“Nona, jangan lakukan itu.” Yang tadinya Angelina diam seribu bahasa, akhirnya bersuara. Tatapannya penuh rasa bersalah. “Aku tidak akan menerima perjodohan ini. Maafkan aku ... aku gadis yang tidak tahu diri. Seharusnya dari dulu aku tidak hadir dalam keluarga Tuan Leo.” “Jika kau menyadari semua kesalahanmu, pergilah sekarang juga!” bentak Amelia pada Angelina dengan sorot mata tajam. “Jika kau tidak ingin melihatku mati, pergilah sejauh mungkin dan jangan perlihatkan wajahmu lagi! Kalau perlu pindah Negara!” Angelina meneteskan air mata, “Baik, Nona. Aku akan pergi dari kehidupan Tuan Leo. Aku akan menjauh dari Tuan Leo ... Maafkan semua kesalahanku. Sejujurnya aku tidak pernah punya niat merebut Tuan Leo dari Nona.” Angelina pun berlari ke kamarnya dengan tangisan, sedangkan sedari tadi tatapan tajam Levon tetap menyorot pada Amelia. “Menikahlah denganku, Leo. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu,” ucap Amelia dengan buliran tangisan, me