Ketika pelayan itu sedang bercakap sembari mengobati luka Birawa. Tiba tiba terdengar suara dengusan berat, tanpa berpaling Birawa pun berkata, "Jayamena pun sudah terluka parah, orang yang mengenakan topeng tengkorak itu yang merupakan musuh paling ganas dalam melancarkan seranganuya jurus serangan yang ia miliki mempunyai perubahan yang sangat banyak dan sukar ditebak alur serangan sebelumnya!"
Pelayan itu berpaling ke arena pertarungan bola matanya terus mengamati gerak-gerik orang bertopeng tengkorak hitam itu, ia pun melihat luka diatas kaki kiri Jayamena tampak muncul aliran darah yang amat deras darah segar mengucur keluar tiada hentinya, jelas luka yang ia derita amat parah sekali.
"Haruskah aku ikut bertarung melawan keempat pria bertopeng itu?" bertanya sang pelayan mengarahkan pandangannya ke wajah Birawa.
"Apakah kau cukup punya keberanian untuk membantu kami?" Birawa bertanya penuh keraguan.
"Aku tidak mempunyai ilmu bela diri tinggi. Akan te
Di saat Ki Rona sedang terlibat dalam pembicaraan yang serius dengan Ki Kalamujeng dan ketujuh pengawal pribadi Adipati Anggadita, datanglah sang adipati bersama istirinya menghampiri dengan memberikan salam hormat kepada mertuanya itu.Adipati Anggadita segera duduk berhadap-hadapan dengan Ki Rona dan juga beberapa punggawanya. Tampak kaget Kasturi ketika melihat empat mayat pria bertopeng di pekarangan rumahnya. Bertanyalah ia kepada Ki Kalamujeng, "Siapakah mereka yang sudah terbunuh itu?""Mereka adalah penyusup, Kanjeng Nyimas ," jawab Ki Kalamujeng.Lalu, sang adipati pun, angkat bicara terkait kejadian yang sudah menimpa para punggawanya itu."Aku rasa mereka adalah komplotan pemberontak dari alas Gandok. Hati-hatilah kalian jangan lengah!""Iya, Raden," jawab Runada.Setelah itu, Adipati Anggadita memerintahkan Bisma dan yang lainnya yang tidak mengalami luka untuk segera menguburkan mayat-mayat tersebut di hutan yang tidak jau
Sepulang dari kadipaten Conan Utara, Senopati Randu Aji dan Panglima Lintang beserta kelima prajuritnya melewati jalanan sepi. Karena, untuk menuju pulang mereka tidak melewati jalan yang sama seperti apa yang dilakukan ketika berangkat ke kadipaten Conan Utara. Panglima Lintang tampak bingung dan segera mengejar laju kuda yang ditunggangi oleh Senopati Randu Aji, "Kenapa kita melewati jalanan ini, Gusti Senopati?" tanya Panglima Lintang mengerutkan kening. Senopati Randu Aji memperlambat laju kudanya, kuda yang ia tunggangi pun berjalan rendah sejajar dengan kuda Panglima Lintang yang di belakangnya diikuti oleh lima prajurit dengan masing-masing menunggangi kuda mereka. Senopati Randu Aji menjawab pertanyaan dari Panglima Lintang, "Ini adalah jalur lurus yang akan membawa kita ke Padepokan Wereng Ireng." "Oh ... hamba kira, ini jalan pintas hendak ke istana," kata Panglima Lintang baru faham dengan maksud Senopati Randu Aji yang sudah memilih jalana
Girimaya pun merasa aneh terhadap orang tua asing pemilik pedang pusaka, yang memutuskan untuk bermalam di Padepokan Wereng Ireng untuk menemani Ki Sowandaru yang terlentang hampir satu Minggu di pembaringan karena mengalami sakit.Bahkan, Girimaya pun tidak mengetahui kapankah gurunya itu akan sembuh. Berkata Girimaya kepada pria tua yang duduk di sebelah pembaringan Ki Sowandaru, "Aku khawatir guruku tidak sembuh.""Kau jangan cemas anak muda!" kata pria tua berkata sembari memegang erat pedang pusakanya itu.Girimaya berpaling ke arah pria tua yang duduk di sebelah pembaringan gurunya itu. Lalu, ia menjawab perkataan pria tua itu, "Akankah penyakit guru bisa disembuhkan?"Pria tua itu terkekeh-kekeh mendengar ucapan dari Girimaya, "Kau terlalu cemas berlebihan, gurumu ini bukan sakit biasa. Ini adalah ulah orang yang iri terhadapnya," kata pria tua itu.Girimaya mengerutkan kening dan sedikit menggeser posisi duduknya lebih mendekat ke arah pria tua itu.
Girimaya terus memburu orang asing bertubuh kurus itu, meskipun ia hanya seorang diri. Sementara Ki Jasukarna tetap berdiam diri menemani Ki Sowandaru di kediamannya.Beberapa saat kemudian, datang tiga orang murid Ki Sowandaru, "Sampurasun!" ucap para murid paguron silat Wereng Ireng."Rampes, masuk saja!" sahut Ki Jasukarna.Ketiga pemuda itu segera masuk dan melangkah menghampiri gurunya yang masih terbaring lemah tidak sadarkan diri. Kemudian, salah satu dari ketiga pemuda itu bertanya kepada Ki Jasukarna akan keberadaan kawannya--Girimaya, "Bukankah tadi Aki bersama Girimaya?""Ya, aku tadi bersamanya," jawab pria tua itu sembari tak lepas memegangi pedang pusaka miliknya.Ketiga pemuda itu tampak penasaran dan mengamati keadaan rumah tersebut, "Lantas, Girimaya sekarang ke mana, Ki?" tanya salah satu dari ketiga pemuda itu mengerutkan kening.Ki Jasukarna menghela nafas panjang. Lalu, menjawab pertanyaan pemuda itu dengan lirihnya, "Girimaya sedan
Tiba di saung tersebut, Girimaya dan ketiga rekannya itu sangatlah berhati-hati. Mereka melangkah perlahan mendekati saung kecil yang berdiri kokoh di bawah air terjun dekat Lembah Tengkorak itu."Aku saja yang akan memastikan apakah ada orang di dalam saung ini," bisik Satrya langsung maju beberapa langkah memasuki saung tersebut."Saung ini kosong, Girimaya," teriak Satrya dari dalam saung.Kemudian Girimaya dan ketiga rekannya pun segera masuk ke dalam saung tersebut. Raduka segera menyalakan api dengan menggunakan pemantik yang ia dapatkan dari saung tersebut dan menyalakan sebuah lentera yang sudah ada di saung itu. Entah siapa pemilik saung kecil itu? Ketiga pemuda itu berkesimpulan bahwa di bawah air terjun itu ada seseorang yang pernah tinggal dan mereka pun banyak menemukan barang-barang yang bisa menunjukkan kebenaran akan dugaan mereka tersebut.Tiba-tiba, dari luar saung terdengar suara parau kembali berteriak, "Hai, anak muda!" seru suara terse
Beberapa saat kemudian, Girimaya dan ketiga rekannya serta tiga orang yang tersesat di hutan itu sudah tiba di kediaman Ki Sowandaru.Kakek tua yang bernama Yan Tong dan kedua muridnya mendapatkan perlakuan baik dari Girimaya dan juga para murid yang malam itu sudah berada di kediaman guru mereka.Ki Jasukarna pun menyambut baik kehadiran Yan Tong dan kedua muridnya itu.Mereka berbincang sembari menikmati suguhan wedang hangat dan makanan khas Alas Purba yang disuguhkan oleh para murid Ki Sowandaru."Apakah yang terjadi dengan gurumu ini?" tanya Yan Tong mengarah kepada Girimaya yang merupakan murid paling senior di paguron silat itu."Aku tidak mengetahui pasti, penyakit apakah yang diderita guruku ini," jawab Girimaya lirih.Yan Tong sedikit bergeser dan mendekat ke arah pembaringan Ki Sowandaru, "Izinkan aku untuk memeriksa kondisi guru kalian!" ucap pria berusia senja itu.Girimaya dengan senang hati mempersilahkan Yan Tong, "Silahkan, Tuan To
Beberapa saat kemudian, Ki Sowandaru pun terbangun dan segera bangkit. Berkatalah ia, seakan-akan baru terbangun dari tidur lelapnya, "Girimaya! Kau di mana?" panggil Ki Sowandaru matanya masih belum terbuka sepenuhnya dan penglihatannya pun masih tampak samar.Wiratama segera mendekat ke arah pembaringan gurunya, "Girimaya sedang beristirahat, Guru," sahut Wiratama.Ki Sowandaru tampak haus dan segera meminta air kepada muridnya itu. Wiratama segera mengambil segelas air hangat lalu diberikannya kepada Ki Sowandaru."Ini, Guru!"Ki Sowandaru langsung meraih gelas berukuran besar yang terbuat dari keramik itu, "Terima kasih muridku." Pria tua itu tampak haus dan menghabiskan air dalam gelas tersebut.Saat itu, ia masih belum sadar kalau dirinya sedang dikelilingi orang-orang penting dari kerajaan dan para tamu jauh dari negeri Yanang.Beberapa saat setelah minum, Ki Sowandaru menghela nafas panjang, dan menoleh ke arah Panglima Lintang dan juga Senopati
Ki Duaman tampak terkejut ketika baru melangkah menuju arah kediamannya. Dalam perjalanan tersebut berpapasan dengan kedua pendekar paruh baya dan seorang gadis cantik, mereka seperti pasangan suami istri.Keduanya berjalan dengan menggunakan tongkat. Di belakang kedua pasangan pendekar itu, tampak sesosok gadis yang bertubuh mungil, gadis itu diperkirakan baru berumur belasan tahun berparas cantik memiliki bentuk mata bundar, hidungnya yang mancung menaungi sepasang bibirnya yang merekah merah delima, Mengenakan baju pakaian khas Randakala biru muda bermotif bunga dengan celana kampring warna hitam dibalut sarung batik putih setengah di atas lutut. Pada kedua bahunya tampak sebilah pedang yang bertangkai warna coklat mengkilat."Mereka itu siapa? Aku tidak mengenali ketiga orang itu?" gumam Ki Duaman terus mengamati langkah tiga orang asing itu.Gadis cantik itu tersenyum sinis, ketika melihat Ki Duaman sedang mengamatinya. Gadis itu memang terlihat cantik meski hany
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka