Mendengar ucapan sang raja, Panglima Kondara tersenyum dan memberikan penghormatan kepada sang raja.
"Aku patuh kepada Gusti Prabu yang aku anggap sebagai panglima tertinggi di negri ini. Aku akan mengerahkan kekuatan penuh untuk membantu kesulitan negri ini dan segera mengusir para penjajah dari wilayah negri ini," ujar Panglima Kondara menyatakan kesiapannya dalam menghadapi perang melawan para wadiya balad kerajaan Kuta Waluya.
Melihat hal itu, Adipati Anggadita tersenyum-senyum. Bangga akan keberanian dan sikap Panglima Kondara yang berjiwa kesatria. Prabu Sandakala pun mengangguk kecil, dan berkata lirih sebagai respon baik atas pernyataan dari seorang panglima dari utusan kerajaan sahabat yang sudah siap siaga membantu kesulitan kerajaannya itu, “Ya, aku menjadi terharu karena keberanianmu dan para prajuritmu itu. Kalian telah berusaha keras melakukan perjalanan jauh hingga tiba di negri ini. Semata-mata untuk membantu kesulitan rakyat negri ini."
Pangl
Hadiah adalah apresiasi dan bentuk dukungan... Berikat vote dan penilaian yang baik agar saya dapat mengembangkan kreasi di cerita ini.
Saat itu, Panglima Kondara dan ketujuh pengawal setia Adipati Anggadita sudah tiba di hadapan Adipati Anggadita dan Senopati Rawana yang sedari tadi sudah menunggu kedatangan mereka untuk segera membahas strategi perang, baik itu penyerangan ataupun cara bertahan dalam menghadapi musuh. Senopati Rawana dan Adipati Anggadita langsung memerintahkan mereka untuk duduk, "Kalian duduk, ada hal penting yang akan aku bahas!"Lalu, Adipati Anggadita langsung mengawali perbincangan dan segera mengatur langkah tepat dalam melakukan peperangan tersebut."Esok hari, Panglima Kondara segera menyiapkan pasukan khusus panah dan pasukan berkuda untuk langsung melakukan serangkaian serangan terhadap pertahanan musuh. Selanjutnya, Runada bersama para prajurit gabungan langsung menyebrangi sungai dan menggempur mereka secara bertahap!" tutur sang adipati mengarah kepada Panglima Kondara dan Runada.Kemudian, Adipati Anggadita menoleh ke arah Panglima Jasrenga. Lalu, ia pun ber
Setelah hampir satu jam melakukan pengintaian, Riwanda dan Tokamara langsung kembali menghampiri Belung dan Wirya yang menunggu mereka di tepian sungai yang ada di pinggir hutan itu. Lalu, Riwanda memberi isyarat dengan suitan tiga kali ke arah pasukan yang sudah bersiap hendak melakukan penyerangan.Huit...Huit...Huit...Mendengar isyarat dari Riwanda, Panglima Kondara langsung mengangkat pedang dan segera memerintahkan para wadiya baladnya untuk bergerak ke area hutan tersebut, "Ayo, prajurit kita bergerak sekarang!" teriak Panglima Kondara memacu derap kudanya menyebrangi sungai yang beraliran tenang dan tidak mempunyai kedalaman itu, disusul oleh ratusan kuda yang ditunggangi oleh para pasukan panah segera bergerak untuk melakukan penyerangan.Setelah ratusan pasukan panah memasuki area hutan, Runada pun segera memerintahkan wadiya balad yang lainnya untuk segera melintasi sungai tersebut, "Ayo, maju semuanya!" teriak Runada memacu kuda memim
Setelah mengintrogasi dua prajurit itu, Adipati Anggadita langsung memerintahkan Badra untuk segera membawa Gonadarma dan kedua prajuritnya, "Badra, kau bawa mereka sekarang ke istana!" titahnya mengarah kepada Badra yang merupakan satu dari ketujuh pengawal pribadinya."Baik, Gusti Adipati," jawab Badra ia dan kelima rekannya segera membawa Gonadarma dan dua prajuritnya itu untuk segera dijebloskan ke dalam penjara yang ada di istana kerajaan Randakala.Setelah itu, Adipati Anggadita kembali duduk di depan perkemahan dan segera berbincang dengan Senopati Rawana dan Panglima Kondara mengenai langkah ke depan untuk menciptakan pertahanan yang kuat, agar kerajaan kecil yang kaya raya itu tidak dirong-rong dan tidak diganggu lagi oleh kerajaan-kerajaan besar yang hendak menguasai wilayah-wilayah kerajaan tersebut. Karena, kerajaan Randakala banyak memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah dan itu menjadi alasan kuat bagi kerajaan-kerajaan besar yang ada di sekitaran
Di tempat yang berbeda, tepatnya di istana kerajaan Sanggabuana. Raut wajah kebahagiaan menyertai dua pasangan muda yang baru saja melangsungkan pernikahan satu hari yang lalu. Mereka adalah Prabu Erlangga dan Senopati Randu Aji yang menikahi dua gadis kembar putri angkatnya sang penasihat istana."Kebahagiaan dan kesuksesanku sudah terlampau jauh. Saatnya aku melakukan puji syukur kepada Dewata Agung atas karunia ini," ujar sang raja berkata di sidang istana yang dihadiri para petinggi dan para panglima kerajaan tersebut.Di samping kiri duduk sang permaisuri yang hari itu sudah didaulat oleh sang penasihat istana yang merupakan ayah angkatnya itu. Ia tersenyum manis memandang wajah suaminya, tampak anggun tubuh indahnya terbalut sari yang mewah serta bermahkotakan yang terbuat dari emas dan permata hijau menambah kecantikan wajah Arimbi yang elok nan rupawan.Sang raja sedikit menoleh dan balas tersenyum kepada permaisurinya itu. Lalu, ia berpaling kembali
Matahari belum sepenuhnya tenggelam, saat itu Lintang sudah memasang tenda kecil yang hanya cukup untuk dijadikan tempat tidurnya dengan sang istri. Berdiri di sebuah lereng dengan menggunakan terpal sederhana yang terbuat dari bahan plastik, tampak sederhana yang terletak di pinggiran bukit dekat dengan jalan setapak yang mengarah ke Kuta Tandingan tanpa ada seorang pun atau ada rumah yang terlihat di lereng bukit itu.Lintang mengeluarkan perbekalan makanan yang ia simpan di sebuah tas yang tergantung di punggung kudanya itu, "Nyimas!" panggil Lintang mengarah kepada istrinya yang sedang bersusah payah menghidupkan api unggun hanya dengan gesekkan sebuah batu khusus."Iya, sebentar!" jawabnya masih terus berusaha menyalakan api."Tinggalkan saja, biarkan aku yang akan menyalakannya nanti. Kau tidak cukup tenaga!" kata Lintang.Namun, Winiresti tak serta-merta mengandalkan suaminya hanya untuk melakukan pekerjaan itu, hingga pada akhirnya api pun menyala
Di alun-alun Kuta Tandingan yang menjadi pusat ibu kota kerajaan Sanggabuana. Siang itu sedang ramai banyak dikunjungi oleh para pendekar dari paguron-paguron dunia persilatan yang ada di wilayah kerajaan tersebut, Randini dan Kuntila sedang mengamati antrian panjang dari para pendekar yang saat itu hendak mendaftar dan berpartisipasi dalam acara syaembara yang diadakan oleh pihak kerajaan."Kau lihat itu!" bisik Kuntila mengarahkan jari telunjuknya ke arah seorang pendekar tampan yang ada di barisan depan antrian itu.Randini langsung mengarahkan dua bola matanya dan mengamati sosok pendekar tampan itu, "Aku mengenali pendekar itu, tapi aku lupa akan namanya," kata Randini berbicara dengan datar. Lalu, berpaling ke arah kerumunan orang yang sedang berada di tempat tersebut."Winiresti," desis Randini raut wajahnya tampak semringah.Randini menoleh ke arah Kuntila, "Kau lihat siapakah wanita yang berdiri di sana!?"Kuntila mengangkat alis tinggi-ti
Kemudian Panglima Aryadana, segera mengatakan mengenai hal yang tadi hendak dibicarakan oleh sang raja di hadapan para petinggi istana kerajaan."Kuta Tandingan, kadipaten Conan Utara dan Conan Selatan serta kadipaten Alas purba. Akan segera memiliki adipati baru dan hal itu akan di umumkan hari ini," tutur sang panglima dengan jelasnya sedikit berpaling ke arah sang raja. "Akan tetapi, mereka akan dilantik dua hari yang akan datang di alun-alun istana di daulat langsung oleh sang raja," sambung Panglima Aryadana.Setelah itu, ia menyerahkan kepada sang raja untuk segera mengumumkan siapa saja yang hendak didaulat sebagai adipati dan maha patih baru di empat wilayah itu.Prabu Erlangga pun bangkit, ia bersiap untuk segera menunjuk siapa saja yang akan memegang kendali dari keempat wilayah tersebut. Lalu, ia pun berkata, "Baiklah ... hari ini aku akan menunjuk siapa saja yang akan menduduki jabatan sebagai maha patih di Kuta Tandingan dan tiga adipati di ti
Ketiga pria itu tampak kaget dan merasa bingung. Sejatinya, di hutan tersebut bukanlah tempat yang favorit bagi para kera-kera itu. Sehingga menimbulkan pertanyaan besar dari ketiga orang itu. "Aku tidak pernah menjumpai kera-kera ini sebelumnya, karena tempat ini bukanlah tempat favorit bagi kera-kera," ujar Donggala yang merupakan salah seorang pimpinan dari rampok tersebut. Kedua anak buahnya tampak cemas dengan keadaan seperti itu, kera-kera tersebut terus melangkah mendekati ketiga rampok itu. Seakan-akan, mereka berusaha untuk berinteraksi. Berkatalah seekor kera yang mempunyai bulu lebat dengan warna kuning keemasan dan bertaring panjang itu, "Jika berbicara tentang hutan yang kalian masuki sekarang, ukurannya tidaklah terlalu luas, karena ini merupakan hutan pinus yang sebagian besar tidak terdapat sumber makanan di tempat ini. Akan tetapi aku dan kawan-kawanku kenapa bisa berada di hutan ini? Jawabnya hanya satu, kalian bertiga orang pertama di hari
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka