Setibanya di istana, Senopati Randu Aji dan Panglima Lintang serta beberapa orang yang ikut dengan mereka, mendapat sambutan hangat oleh para abdi dalem istana dan juga para petinggi kerajaan yang saat itu sedang berkumpul di pendapa bersama sang prabu.
Para dayang istana pun segera diperintahkan oleh sang raja untuk menjamu mereka dengan makanan dan minuman istimewa, "Silahkan duduk!" ucap Prabu Erlangga tersenyum hangat menyambut kedatangan Biksu Yan Tong dan kedua muridnya serta Ki Jasukarna."Terima kasih, Gusti Prabu," jawab Biksu Yan Tong memberi hormat kepada sang raja.Begitu pula dengan Ki Jasukarna dan kedua murid Biksu Yan Tong, sebelum duduk mereka memberi hormat dengan menundukkan badan di hadapan sang rajaSenopati Randu Aji didampingi oleh istrinya--Nyimas Arumbi, sudah duduk di samping Prabu Erlangga yang didampingi oleh Nyimas Arimbi sebagai permaisurinya.Sementara Panglima Lintang duduk sejajar bersebelahan dengan Biksu Yan Tong, Ki Bayu SPrabu Durdona terus mengalami kegagalan dalam merancang strategi penyerangan terhadap kerajaan kecil di selatan wilayah kerajaannya. Hingga dalam benaknya tumbuh rasa ketidak percayaan terhadap para punggawanya sendiri."Hamba rasa ini semua harus dihentikan sejenak, sejauh ini kita sudah banyak kehilangan wadiya balad, Gusti Prabu!" Panglima Bidukara berbisik lirih kepada sang raja.Prabu Durdona menghela nafas dalam-dalam, kemudian membuangnya perlahan sembari berpaling ke arah sang senopati, "Tetapi aku tidak bisa melepaskan diri dari keinginan kuat untuk menguasai kerajaan kecil itu, tentunya sangat mempengaruhi jiwa dan pikiranku ini," ujar Prabu Durdona."Sepertinya kita memang harus berupaya keras dalam menguasai kerajaan kecil yang kaya akan sumber daya alam itu. Akan tetapi, ada baiknya jika jeda terlebih dahulu, Gusti Prabu!" Senopati Bidukara menyahuti ucapan Prabu Durdona dan menyarankan untuk menghentikan rencana serangan berikutnya.Tiba-tiba, Prabu
Ketika tiba di belakang istana, Pramudita dan Wihesa berpapasan dengan kedua sosok pria berjubah merah. Dari masing-masing punggung kedua pria tidak dikenal itu tampak menyanggul sebilah pedang."Hai! Siapa kalian?" teriak Wihesa segera menghampiri kedua pria tersebut.Pramudita pun tidak tinggal diam, ia segera melangkah menghampiri Wihesa yang sudah berhadap-hadapan dengan kedua pria berjubah merah itu."Kami adalah dua iblis merah," jawab salah satu dari kedua pria itu berkata penuh kelembutan dan tidak menampakkan sikap angkuh di hadapan Wihesa dan Pramudita."Apa maksud kedatangan kalian ke istana ini?" tanya Pramudita dengan sorot mata tajam memandang wajah kedua pria yang mengaku sebagai iblis merah itu.Mereka tampak santai dan tidak bereaksi apa-apa. Meskipun, Wihesa dan Pramudita sudah pasang kuda-kuda dan siap melakukan serangan. Berkatalah salah satu dari kedua pria yang menamakan diri mereka sebagai dua iblis merah itu, "Mohon maaf atas kelancan
Kemudian, Panglima Jomara kembali mengarahkan pandangannya ke sekeliling tempat tersebut. Berteriaklah ia, "Wihesa ... keluarlah!"Namun, tetap saja tidak ada sahutan, sehingga emosi di dalam kepala Jomara semakin meningkat, "Jangan jadi pengecut kau!" teriaknya lagi sembari menghentakkan tanah, sehingga menimbulkan guncangan seperti gempa.Tanpa terduga, Wihesa dan Pramudita sudah berada pada jarak tidak terlalu jauh dari posisi Panglima Jomara, Wihesa dan Pramudita tertawa mengekeh, "Hahahaha ...." Dan mereka segera berbalik badan.Dengan sorot mata tajam dan sinis menatap wajah Panglima Jomara yang termangu-mangu di hadapan mereka.Panglima Jomara tampak kaget, ternyata yang membawanya tiba di lembah itu, benar-benar kedua panglima yang selama ini menjadi pesaingnya di kerajaan yang selalu berbeda pendapat dengannya.Panglima Jomara tampak geram dan marah besar terhadap kedua petinggi istana itu, yang dengan sengaja merancang siasat untuk membinasakannya, "Kalian a
Sebulan setelah kabar hilangnya Panglima Jomara, kerajaan Kuta Waluya semakin di hadapkan dengan kekacauan. Para petinggi istana pun saling menuduh satu sama lain, sehingga menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran tinggi dari sang raja.Kabar tersebut sudah sampai ke telinga Prabu Erlangga. Hingga tumbuh sebuah gagasan dari Prabu Erlangga untuk segera mengunjungi perbatasan-perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya dan wilayah kerajaan lainnya.Bukan hanya itu, Prabu Erlangga pun berniat mengunjungi kerajaan Randakala sebagai bentuk dukungan dari kerajaan Sanggabuana terhadap pemerintahan kerajaan tersebut, sekaligus memantau perkembangan pembangunan tembok pembatas di wilayah kerajaan Randakala yang merupakan tempat lahir mendiang Prabu Sanjaya--ayahanda Prabu Erlangga.Berkatalah sang raja di hadapan para petinggi istana, yang pagi itu sengaja dikumpulkan untuk membahas terkait permasalahan yang sedang kisruh di kerajaan Kuta Waluya
Setelah tiba di hutan yang masih berada di wilayah Kuta Tandingan, tiba-tiba ada seorang pendekar dengan memacu derap kudanya kencang menghampiri rombongan sang raja yang hendak masuk ke dalam hutan tersebut.Pendekar itu kemudian meloncat turun dari kudanya, ia segera menghampiri rombongan sang raja. Memberi salam hormat sambil berkata, "Hamba menjadi cemas, Gusti Prabu. Karena justru rombongan ini datang terlampau cepat dari rencana. Syukurlah, kalau tidak terjadi sesuatu atas, Gusti Prabu."Panglima Lintang terheran-heran melihat sikap pendekar tersebut yang sama sekali tidak ia kenali. Dada sang panglima berdesir mendengar sambutan dari pendekar itu, tampak sangat ajrih (hormat) terhadap sang raja.Prabu Erlangga berpaling ke arah Panglima Lintang, mereka saling bertatap-tatapan. Kemudian, sang raja berpaling lagi kepada pendekar itu, "Mohon maaf sebelumnya, kau ini siapa, Pendekar?" tanya sang raja tampak penasaran."Ampun, Gusti Prabu. Hamba Jaka Kelana, ha
Tanpa terduga, tubuh Jaka Kelana memutar kencang laksana sebuah gangsing. Sering dengan keluarnya kilatan-kilatan mirip sekali dengan petir dalam tubuh Jaka kelana, dan kilatan petir itu mulai melesat dan mengarah kepada tubuh kedua pendekar itu.Sambaran yang sangat mematikan, Dukiwang dan Kumbolo memekik keras dan tubuhnya berapi-api, laksana kayu kering yang terbakar api hinggap dan berkobar di tubuh kedua pendekar sombong itu.Hingga tubuh mereka pun hangus dan hancur lebur terhantam dahsyatnya jurus Sambar Petir yang dimiliki oleh Jaka Kelana. Bunyi gelegar dan dentuman keras mewarnai ajalnya kedua pendekar tersebut.Kegaduhan tersebut, dirasakan pula oleh sang raja dan rombongan yang sedang berada di dalam hutan. Prabu Erlangga terkaget-kaget mendengar bunyi dentuman dan gelegar bersahutan serta diiringi oleh guncangan bumi."Ada apa gerangan? Seperti ada sebuah kekuatan besar yang sedang berkecamuk di luar hutan ini," ucap sang raja meluruskan pandangannya
Tujuh hari kemudian, sang raja beserta para pengawal pribadinya sudah melakukan perjalanan menuju ke kadipaten Kuta Gandok, untuk memantau pembangunan jalan dan tembok pembatas antara kerajaan Sanggabuana dengan kerajaan Kundar yang merupakan kerjaan dekat yang selama ini bersikap dingin terhadap kemajuan kerajaan Sanggabuana.Kerajaan Kundar dipimpin oleh seorang raja yang berlatar belakang dari kalangan rakyat biasa dan bukan berasal dari keturunan bangsawan. Prabu Domala dulunya merupakan seorang prajurit senior yang mengambil alih kekuasaan ketika para petinggi istana Kundar sudah tewas semua akibat serangan agresi besar-besaran dari kerajaan Yanang.Berkat dukungan penuh dari mendiang Prabu Sanjaya di masa kejayaan kerajaan Kuta Tandingan, Domala akhirnya mendapatkan kepercayaan dari rakyat untuk menjadi pemimpin di kerajaan tersebut.***Setibanya di lokasi pembangunan tembok raksasa tersebut. Prabu Erlang dengan didampingi oleh Panglima Lintang dan Jaka Ke
Bersamaan dengan kunjungan Prabu Erlangga ke istana kerajaan Randakala, sebuah peristiwa besar sedang berkecamuk di kerajaan Kuta Waluya. Yakni, terbunuhnya Senopati Bidukara secara misterius dan sejauh ini pelakunya pun belum diketahui pasti.Kematian Senopati Bidukara hanya berselang satu bulan dari kematian Panglima Jomara yang ditemukan tewas dengan kondisi tubuh sudah membusuk di suatu lembah yang ada di sebuah hutan di wilayah kerajaan Kuta Waluya."Aneh sekali ... menurut pendengaranku, orang yang membunuh Senopati Bidukara itu jugalah yang membunuh Panglima Jomara," ucap salah seorang penduduk desa berkata lirih di hadapan rekannya."Berarti pelakunya hanya satu orang saja?" sahut rekannya tampak penasaran."Ya, bisa saja seperti itu. Namun, tidak menutup kemungkinan pembunuhnya pun bisa lebih dari satu orang," jawab pemuda berikat kepala hitam."Bersyukurlah, jika Prabu Durdona terbunuh juga," timpal pria paruh baya sembari meraih kopi hitam dalam s
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya
Beberapa saat kemudian, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah berhasil mendekat ke arah lembah tempat keberadaan para pemberontak tersebut, Panglima Wanakarma dan Panglima Jaka Kelana segera membagi tugas."Kau dengan 150 prajurit segera naik ke bukit sana, aku dan yang lainnya tetap di sini!" bisik Panglima Jaka Kelana."Baik, Panglima." Panglima Wanakarma segera turun dari kudanya. Setelah mengikatkan tali kuda, ia langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera naik ke atas bukit yang berada tepat di atas lembah. Dengan penuh kehati-hatian dan terkesan senyap, Panglima Wanakarma dan para prajuritnya mulai bergerak perlahan naik ke atas bukit dengan maksud menyergap para prajurit musuh yang berada di beberapa saung yang mereka dirikan si atas bukit tersebut."Kalian langsung sergap mereka! Jika mereka tidak melakukan perlawanan jangan sakiti mereka!" perintah Panglima Wanakarma.Para prajurit itu pun segera melaksanakan tugas tersebut dan langsung
Ternyata semua rencana berjalan seperti yang telah diperhitungkan. Pasukan pemberontak akhirnya mundur tepat pada waktunya, meskipun para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak melakukan gangguan terhadap mereka.Pra prajurit kerajaan Sanggabuana yang baru tiba itu, sangat merasakan kenyamanan setelah melakukan perjalanan jauh, tiba di tempat tersebut tanpa ada halangan."Bersyukurlah, kita datang mereka sudah lebih dulu ketakutan dan menjauh dari tempat ini," ujar Wanakarma sang panglima perang yang baru saja pulang dari Kepatihan Waluya Jaya dan langsung ikut bersama Senopati Lintang ke Alas Conan."Aku harap, kalian bisa menikmati istirahat kalian malam ini," timpal Panglima Jaka Kelana.Dari kelima ratus prajurit yang dipimpinnya itu, yang bertugas jaga hanya sekitar seratus prajurit saja, itu pun secara bergiliran agar mereka tidak terlalu kelelahan ketika akan menggempur pertahanan musuh di dalam hutan tersebut."Kalian harus segera istirahat!" seru Pangl
Keesokan harinya tepat menjelang sore, Panglima Jaka Kelana dan Senopati Lintang serta ribuan pasukan dengan persenjataan lengkap sudah bersiap hendak melakukan perjalanan jauh menuju ke kadipaten Conan Selatan dan Conan Utara untuk mengamankan kedua kadipaten tersebut dari teror para pemberontak yang akhir-akhir ini kerap melakukan teror terhadap para penduduk.Tampak seribu prajurit khusus sudah bersiap untuk segera berangkat, ada sekitar 300 pasukan kuda dan 20 pedati yang ditarik oleh beberapa ekor sapi yang membawa peralatan kemah dan juga bahan makanan untuk perbekalan para prajurit selama bertugas di sana."Aku harap kalian berhati-hati dan waspada terhadap para pemberontak itu!" pesan Prabu Erlangga di sela pelepasan para prajurit kerajaan yang hendak bertugas menumpas para pemberontak yang berada di hutan Conan."Baik, Gusti Prabu," ucap Senopati Lintang.Selain dirinya, istrinya pun ikut dalam tugas tersebut. Winiresti bersama ratusan prajurit wanita dan pasuka